September 28, 2008

Negara dan Kekerasan Terorganisir

Kekerasan negara merupakan kekerasan yang menyatu dalam struktur negara. Negara pada dasarnya merupakan organisasi politik yang lahir dan berkembang dalam situasi yang sarat kekerasan. Negara berupaya sedemikian rupa untuk memberikan pembenaran (justifikasi) terhadap tindak-tindak kekerasan oleh negara, sebenarnya baru mendapat pembenaran sejak Perjanjian Westphalia tahun 1648. Semenjak itu, negara mempergunakan alasan memepertahankan kedaulatannya untuk melakukan tindak kekerasan, baik kepada warganya sendiri maupun kepada negara lain. Menurut Max Weber, dalam Economy and Society (1979), mengatakan ” institusi negara modern merupakan organisasi politik satu-satunya yang memiliki klaim atas monopoli dan kontrol terhadap sarana kekerasan”. Kekerasan sudah merupakan perkara yang melekat pada negara sebagai sebuah kekerasan yang terorganisir (organized violance). Sebagai sesuatu yang melekat (embedded), maka siapun yang memegang kendali negara (otoriter atau tidak), ia tetap akan menggunakan instrumen kekerasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaannya.
Menurut pandangan Charles Till (1985), negara modern terbentuk dan berkembang dari sebuah praktek kekerasan; ”war makes state” (peranglah yang menciptakan negara). Senada dengan itu, Lambang Trijono (2002) mengatakan ”negara merupakan organisasi politik yang ditemukan,dibentuk,dan dibesarkan melalui cara-cara kekerasan, sebagai sebuah kekerasan terorganisir. Menurut Charles Till, aktor – aktor(yang berkuasa dalam) negara menjalankan aktiivitas kekerasan, adalah sebagai berikut :
1)menciptakan perang (war making), yaitu selalu berusaha menghilangkan dan mentralisir musuh-musuhnya yang berasal dari luar daerah kekuasaannya.
2)menciptakan nehara(state making), yaitu selalu berusaha menghilangkan dan mentralisir musuh-musuhnya yang berasal dari dalam daerah kekuasaannya.
3)melakukan proteksi(protection), yakni selalu berusaha menghilangkan dan mentralisir musuh-musuhnya yang berasal dari dalam kekuasaannya sendiri, yang berusaha merebut kekuasaannya.
4)ektraksi (extraction), yakni berusaha sekuat tenaga unutk memperoleh sarana dan kekuatan yang maksimal untuk menjalan ketiga agenda tersebut.

Menurut Lambang Trijono mengungkapkan, bagi kaum legitimist, kekerasan negara merupakan sesuatu yang sah adanya, sebagai sarana paling efektif untuk meraih dan mempertahankan kekeuasaan, atau untuk melegitimasinya. Sementara itu, bagi kaum non-legitimist, kekerasan merupakan sesuatu yang dapat mendelegitimasi kekuasaan, serta menghancurkan negara.
Dalam Power Elite, Wright Mills berpendapat ”semua politik adalah kekuasaan, dan bentuk kekuasaan paling puncak adalah kekerasan”. Mils yakin bahwa baik politik,kekuasaan, maupun kekerasan, saling memperkuat satu sama lain. Selanjutnya Max Weber (1978) mengatakan ”kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan orang lain, memadamkan usaha perlawananm dan menjamin tercapainya kehendak si penguasa”. Jalan kekerasan seringkali digunakan oleh penguasa untuk menopang kekuasaannya. Kekerasan diperlukan oleh penguasa untuk mendominasi rakyat, serta meredam dan melemahkan perlawanan dari pihak-pihak yang mennetang keinginanya. Lalu, apakah pembungkaman dan dominasi apalagi yang ditempuh melalui jalan kekerasan, akan serta merta dapat meredam, atau menghilangkan pembungkaman sama sekali ?. Tidak selamanya, sebab kadang – kadang perlawanan justru menjadi lebih sengit dari sbeelumnya. Sepeti dikatakan George Simmel, doninasi atau penundukan oleh tekanan dan kekerasan, tidak akan pernah melahirkan kekusaan sempurna, karena dominasi tidak pernah bisa menundukkan kesadaran manusia.
Di Indonesia, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara, memakan korban yang tidak sedikit (terutama di masa pemerintahan Jendral Soeharto), seperti ;
1)pembantaian massal terhadap lebih dari 500 ribu pengikut Partai Komunis (PKI), atau yang dituduh PKI.
2)Pembantaian terhadap kelompok DI/TII (atau yang dituduh DI/TII), yang mengorbankan ratusan ribu orang.
3)pembantaian rakyat Timor – timur yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang jiwa.
4)pembunuhan massak terhadap kelompok islam di tanjung priok.
5)kasus penembakan misterius (Petrus) tahun 1980
6)Pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) di Aceh sejak tahun 1989 yang menewaskan ratusan ribu orang.
7)pembantaian rakyat di Papua
8)penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah aktivis.
dan masih banyak lagi, kasus-kasus kekerasan di dalam negara ini yang belum terselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...