Oktober 01, 2008

Tanah ini Saya Punya Tubuh…

“Tanah ini saya punya tubuh, Gunung Nemangkawi ini Jantungku, Danau Wonangon ini saya punya sum-sum, dan Kali ini saya punya nafas. Tetapi Kao sudah makan saya, kao tidak punya hati dan perasaan. Freeport dan Pemerintah, kamu sudah makan saya. Tidak sadarkah kamu?” (Yosepha Alomang, peraih “Goldman Environmental Prize’)

Dahulu ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari seorang Ibu. Setelah seorang Ibu itu meninggal, ia berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), wilayah kontrak karya PT Freeport Indonesia. Daerah itu adalah daerah keramat bagi orang Amugme dan Kamoro Timika, Papua.

Ersberg-- yang open pit-nya telah ditambang sampai habis pada tahun 1989, lalu berlanjut oleh Ginandjar Kartasasmita, selaku Mentamben pada tahun 1996, pada KK di wilayah Grasberg Open Pit, DOZ, IOZ, DOM, Kucing Liar, Amole dengan ijin produksi yang tercantum pada AMDAL adalah 300 ribu /ton/hari—adalah daerah yang diyakini warga sebagai “kepala” Ibu mereka yang telah meninggal itu. Bahkan sejak tahun 1971 warga Amugme dipindahkan ke luar dari wilayah "leher" Ibu mereka ke wilayah kaki, kira-kira di mile 65-74.

Akibat pemindahan ini, beratus orang telah meningal. Pada waktu itu, (tahun 70-an) ada seorang guru agama, namanya Kelly Kwalik. Dia adalah seorang guru agama. Melihat daerah keramatnya dikuasai dan warganya diusir dan dibunuh dari daerah tersebut oleh Freeport dengan kekuatan militer Indonesia, dia meletakkan kapur tulis-bolpen-buku. Dia (Kelly) masuk hutan dan memimpin gerakan Organisasai Papua Merdeka (OPM) di wilayah Timika dan sekitarnya. Ia mau membela eksistensi suku dan bangsanya yang telah digadaikan sejak zaman Ibnoe Soetowo bertemu Henri Kensinger di Washington DC pada tahun 1967 itu.

Saat itu tahun 1970-an tengah terjadi perang melawan TNI di suku Yali, Damal dan Dani, yang memakan korban ribuan orang. Puncaknya bahkan TNI AU yang bermarkas di Baukau TL pada tahun 1979 menggerakan pesawat tempur-nya untuk membombardir dan menembak ribuan orang suku ini, (baca Solidaritas Rakyat Papua Monday, Feb 27 2006). Tahun 1974, tepatnya tanggal 6-7 Januari, masyarakat Papua dan khususnya Amugme dan Kamoro marah besar kepada Freeport. Mereka berdemonstrasi dan merusak sebagian fasilitas Freeport. Akhirnya tercapailah January Agreement.

Salah satu isinya (pasal 3) persetujuan Freeport untuk membangun sekolah termasuk perumahan guru, klinik dan perumahan perawat, pasar dan pusat pembelanjaan, beberapa rumah, kesempatan kerja dan fasilitas lainnya (baca Jubi, 2001). Akhirnya, perjanjian itu hanya tinggal janji. Tahun 1977 menyusul pemberontakan--istilah Indonesia---Organisasi OPM di Ilaga, masyarakat Amugme dan Kamoro kembali melakukan aksi damai di Akimuga memprotes Freeport. Namun jawabannya adalah laras senjata oleh militer Indonesia (penjaga modal asing). Sejumlah orang berlumuran darah di tanah leluhur mereka.

Sehari setelah itu, masyarakat memotong pipa-pipa saluran konsentrat Freeport. Masyarakat dibubarkan lagi oleh tentara. Masyarakat berlarian ke hutan. Tahun 1980, Freeport bergabung dengan McMoran, perusahaan eksplorasi dan pengembangan minyak yang dinahkodai “Bob” Moffett. PT Freeport MCMoRan (FM) sangat cepat menampak menjadi raksasa dunia dengan keuntungan diperkirakan lebih 1,5 milyar dollar AS/tahun, (baca Amugme dan Kamoro).

PT FM secara langsung maupun tidak langsung memegang 85,9 persen. Sedangkan pemerintah Indonesia (Jakarta) memiliki 9,4 persen. Sisanya 4,7 persen, dipegang PT Nusamba (milik Bob Hasan). Pada tahun 1980-an, di Papua mulai dilakukan operasi budaya oleh militer Indonesia. Ada pelarangan permainan musik khas suku-suku di wilayah Pengunungan Tenggah Papua (Dani, Mee, Yali, Damal, Amugme ), pelarangan penggunaan koteka, wajib 'jatah beras', penekanan penggunaan bahasa daerah, wajib belajar kurikulum nasional, dan ada kasus pembunuhan Arnol Ap pada April 1984, dan beberapa kasus lainnya.

Tahun 1991, kontrak karya II antara PT FM dengan pemerintah Indonesia ditandatangani. Kontrak kedua terkesan aneh. Kontrak pertama belum selesai, mengapa sudah diperpanjang? Juga perpanjangan ini tidak melibatkan masyarakat Papua, sekalipun pemerintah daerah Papua. Akibat kasus ini, Ginandjar Kartasasmita, Mentaben ketika itu dituding terlibat suap. Tahun 1996,melalui perjuangan rakyat, PT FM bersedia memberikan 1 persen dari keuntungannya untuk rakyat, yakni (katanya) 35 milyar.

Latar belakangnya, seperti yang ditulis Bachriadi dalam Merana di Tengah Kelimpahan, (1998), berawal dari dicabutnya asuransi politik PT FI sebesar 100 juta dollar AS oleh OPIC (Overseas Private Investment Corporation), sebuah lembaga menjamin investasi di AS. Alasannya PT FI sering terlibat dalam pelanggaran HAM di tanah Papua. Namun melalui negosiasi ulang PT FI mendapatkan jaminan. Pada tahun 1995-1996 terjadi beberapa kali bentrok di areal penambang PT Freeport Indonesia antara penduduk dengan aparat keamanan yang menjaga PT FM. Pada kurun waktu yang sama, dengan adanya 'drama' penyanderaan di Mapenduma.

Pada saat itu juga, di kota Timika dan sekitarnya masyarakat suku Amugme dipaksa untuk menunjukkan di mana beradanya Kelly Kwalik dan pasukannya. Banyak yang disiksa. Pada saat itulah Mama Yosepha Alomang (pada tahun 2001 mendapatkan Goldman Environmental Prize), seorang ibu rumah tangga, dimasukkan oleh TNI ke dalam kointainer milik PT FM Indonesia bersama 'kotoran manusia' selama 1 minggu. Tahun 1998, Soeharto jatuh.

Bocoran laporan keuangan tahunan PT FM pada tahun 1996 tertulis, Soeharto mendapat ' oleh-oleh' 32 milyar rupiah. Jumlahnya sama dengan jumlah 1 persen. Seiring dengan itu, keinginan Pemda Papua untuk “memiliki” PT FI makin menguat. Diantaranya adalah ide kepemilikan saham. Yang ada selama ini hanyalah wakil dari masyarakat Amugme dan Kamoro menjadi komisaris yakni Tom Beanal, serta Gubernus sebagai komisaris ex-officio.

Tanggal 27 Desember 2005, kita semua baru saja mendapatkan laporan dari New York Times tentang PT FM, " Di bawah Gunung Kekayaan mengalir Sungai Limbah' oleh Jane Perlez dan Raymond Bonner, yang menyebutkan 1998 - 2004 ada $ 20 juta yang mengalir ke pihak militer, bahkan menuju ke dalam kantong beberapa 'person' jenderal, kolonel, letkol. Seolah-olah PT FM 'memelihara' TNI.

FM diduga membayar jutaan dolar kepada sejumlah pejabat militer di Papua dan memberikan fasilitas khusus kepada militer dan kepolisian demi mengamankan operasi pertambangan mereka. Seantero penduduk dunia mengenal kota penghasil emas dan tembaga terbesar yang disebut Timika karena di daerah ini terdapat perusahaan asing yang memberi makan mayoritas penduduk dunia dan bagi Pemerintah Indonesia. Tanah Papua dijuluki kota kaya, tanah yang diberkati, taman firdaus, tetapi rakyat hidupnya menjerit.

Rakyat Papua sebagai pemilik hak ulayat hanya menggigit jari tangannya sendiri. Rakyat juga dibantai secara fisik bagaikan binatang yang tidak memiliki nilai, harkat dan martabat. Penyedotan Sumber Daya Alam (emas, tembaga dan berbagai kekayaan) dari perut Mama Papua direncanakan sejak masa pemerintahan Presiden yang Pertama yakni Presiden Soekarno.

Ketika ia mengumandangkan merebut Negara Boneka Irian Barat di Yogyakarta pada bulan Desember tahun 1961, sesungguhnya sejak itulah penjarahan kekayaan alam dengan manusia Papua telah dimulai. Integrasi Papua ke dalam Negara Republik Indonesia terjadi telah terbukti bukan karena untuk manusia Papua melainkan untuk pengerut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Maka pembangunan Papua adalah pembangunan genoside (pelenyapan rasial) Jakarta dengan militernya. Dalam laporan Amnesti HAM menyebutkan bahwa selama rakyat Papua berintegrasi dengan Negara RI terjadi pengorbanan jiwa 100.000 rakyat Papua.

Data ini yang sempat terindentifikasi, sementara ratusan nyawa Rakyat Papua tergentang di hutan belantara, di kali, di gunung-gunung, rawa-rawa, bukit, pesisir pantai di tengah lautan nan teduh. Adalah bukanlah hal yang baru, bahwa sebagian besar yang telah menjadi korban ialah rakyat yang berada di areal konsesi penambangan FM.

Bila dibuka kembali rekaman penderitaan rakyat akan terungkap teriakan, "Biar sudah saya ingin dan mau hidup baik tapi, tidur nyenyak tapi, tidak mau dingin tapi, tidak mau sakit tapi, saya tidak mau lapar tapi, saya tidak mau tanah saya hilang tapi, saya tidak mau kali saya tercemar tapi, saya tidak mau anak-anak saya terlantar tapi biar sudae…apa boleh buat semuanya hanya tinggal impian saja dan dengan berat hati meninggalkan tanah leluhurku untuk menghadap Sang Khalik.

Jadi, yang tersimpan selama ini di sanubari rakyat Papua adalah penderitaan. PT FM sebagai pengisap, pemakan hasil kekayaan Papua. Dapatkah pernah kita menghitung selama 40-an tahun PT FM beroperasi di Papua, berapa banyak emas, tembaga yang diambil, dalam hitungan waktu; detik, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan secara menyeluruh? Setelah itu pernahkah kita hitung apa yang dibuat bagi masyarakat pemilik hak ulayat dan Papua pada umumnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain-lain? Khususnya di bidang pendidikan, untuk membiayai SDM Papua secara khusus masyarakat pegunungan tengah, ternyata terdata 0% FM membiayai dan menyekolahkan sampai gelar DOKTER.

Sejak masuknya Freeport tahun 1967 hingga 2006 ini, baru satu orang yaitu Dr. Agus Sumule yang disekolahkan. Sehingga menganggap bahwa, keberadaan Freeport hanya memeras, membunuh dan menjajah manusia Papua khususnya di pegunungan tengah Papua.

Sementara sejak akhir Tahun 2005 dan awal 2006 terjadi beberapa kejadian pelanggaran HAM yang menelan rakyat sipil: (1) Kelaparan yang menimpa rakyat di Kabupaten Yahukimo yang menelan korban jiwa 154 orang; (2) Penganiayaan oleh tiga aparat kepolisian yang mengakibatkan kematian secara sadis Alm. Obet Kosay pada 10 Januari 2006 di Desa Wesaput Wamena; (3) Anggota Brimob yang menyiksa seorang guru di Kabupaten Wasior; (4) Di Timika, pada tanggal 11 Januari 2006, aparat Polri dan FBI menangkap secara paksa 12 warga sipil.

Tindakan aparat TNI dan Polri tidak pernah berhenti, pada tanggal 20 Januari 2006 bertempat di Distrik Wahgete Paniai Papua, TNI dan Polri kembali melakukan tindakan represif lagi terhadap 4 orang rakyat sipil yang tidak berdosa. Mereka yang menjadi korban masing-masing MOSES DOUW (14 tahun-siswa SMP Negeri Wahgete) meninggal dunia, YUNIKE KOTOUKI (18 tahun-Pelajar) luka pada paha kanan, PETRUS PEKEY (43 tahun) luka tembak pada rusuk kanan dan MELIANUS DOUW luka memar. Aksi kekerasan terhadap empat warga sipil terjadi di Tembagapura Timika pada 14 Februari 2006.

Pada hari Senin, 13 Februari 2006 Kapolsek Tembagapura memberitahukan kepada masyarakat supaya mereka yang mendulang emas dihentikan dan dibicarakan dengan pihak aparat kepolisian dan security PT FM. Selasa, 14 Februari masyarakat seperti biasanya melakukan pendulangan emas. Sekitar jam 13.00 WIT Kapolsek dengan aparatnya(Brimop) juga dibantu oleh security PT FM mendatangi masyarakat.

Mereka memaksakan masyarakat untuk menghentikan aktivitas pendulangan dan pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing. Sikap arogansi aparat kepolisian ini tidak diterima oleh masyarakat dan melakukan pertengkaran/adu mulut. Selanjutnya Kapolsek dengan anak buanya kembali ke polsek.

Sementara masyarakat tetap melakukan aktivitas pendulangan seperti biasanya. Sekitar, pukul 14.00 WIT (satu jam kemudian) aparat kepolisian yang dipimpin langsung oleh Kapolsek Tembagapura secara paksa dengan tindakan fisik mengusir masyarakat. Sikap aparat ini tidak diterima oleh masyarakat dan masyarakat tetap bertahan di tempat.

Dalam selang beberapa menit kemudian karena secara paksa diusir oleh polisi maka terjadi lempar melempar antara aparat kepolisian, security PT FM dengan masyarakat. Selanjutnya karena tidak bisa menahan aparat kepolisian mengeluarkan rentetan tembakan ke arah masyarakat dan mengakibatkan beberapa korban dari pihak masyarakat. Masyarakat tidak bisa lari menyelamatkan diri karena di samping kiri dan kanan mereka dikelilingi tebing dan jurang dan juga kali.

Keadaan ini mengakibatkan masyarakat hanya bertahan di tempat dengan menyelamatkan diri sebisa mungkin. Rentetan tembakan yang membabi-buta, mengakibatkan peluru yang tersedia habis. Dengan melihat peluru habis, masyarakat dengan spontan menyerang aparat kepolisian.

Serangan balik ini mengakibatkan jatuhnya korban di kalangan aparat kepolisian. Sekitar, pukul 16.00-20 WIT, dengan cepat mendengar kejadian ini dan mereka secara spontan menuju ke tempat kejadian. Selain itu, mereka memalang Base-gam, pos pemeriksaan di mile 72. Setelah menutup sambil menyanyi mereka bertahan hingga pagi.

Kejadian ini mengakibatkan beberapa rakyat tak berdosa kembali lagi menjadi korban. Mereka yang menjadi korban ialah: Yulianus Murip Nico Magai, Juniter Waker dan Welinus Alom (Baca: Radar Timika,2006).

dikutip dari : Tulisan Yeremias Degei

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...