Januari 26, 2009

Masyarakat Adat Papua Menjadi Minoritas di Atas Tanah Sendiri

Dalam forum Conferention of Parties (COP) XIV di Poznan, Polandia akhir tahun 2008 terjadi perdebatan negara-negara berkembang dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand mengenai masyarakat pribumi atau yang biasa kita sebut Masyarakat Adat. Empat negara maju tersebut menolak penggunaan “S” dalam kalimat “full end effective participation of Indigenous Peoples” pada skema Reduction Emitions from Deforestation and Degradation (REDD).

Peniadaan “S” dalam dokumen draft text Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) 29 agenda item 5 diduga oleh komunitas masyarakat pribumi sebagai upaya meniadakan hak-hak masyarakat adat dalam skema REDD. Dengan kata lain, mereka mengakui eksistensi Masyarakat Adat dalam perspektif individu, bukan komunal, sehingga tidak mengakui adanya hak-hak masyarakat adat yang diakui oleh PBB melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).
Pandangan empat negara maju ini mendapat protes yang sangat keras oleh sembilan orang pemimpin masyarakat pribumi yang mewakili kelompok masyarakat pribumi dari seluruh dunia dalam event tersebut. Sayangnya, pada tanggal 10 Desember, komunitas masyarakat pribumi ini juga ditolak untuk menyampaikan pandangan final mereka terhadap dokumen SBSTA tersebut.

“Ini sangat tidak fair. Mereka telah menghilangkan substansi yang menyebutkan bahwa masyarakat pribumi memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap keputusan yang akan diambil yang bisa mempengaruhi kehidupan diwilayah mereka.” ujar Vicky Torpuz, Chair of the UN Permanent Forum on Indigenous Issues.

Tidak diragukan lagi, ini bukan mengenai perdebatan semantika, tapi merupakan perdebatan antara visi kapitalis dan visi indigenous. Visi Kapitalis tentunya berpihak pada tradisi ekspansi kapital sebagai wujud baru kolonialisme dan tentu saja bertolak belakang dengan visi indigenous yang memiliki tradisi heritage. Belum lagi jika kita melihat sudut pandang masyarakat adat dimanapun mengenai dimensi kehidupan di sekitar mereka yang tidak lepas dari apa yang disebut masyarakat modern sebagai Sumber Daya Alam (SDA).

Dan di sisi lain, SDA merupakan salah satu tujuan utama tradisi ekspansi yang dilakukan para kapitalis. Yang juga memisahkan SDA dari konteks alam yang dipahami oleh masyarakat adat sebagai satu kesatuan utuh dengan mereka. Sehingga bukanlah hal yang aneh jika masyarakat adat memandang tanah sebagai satu kesatuan utuh, baik apa yang ada di dalam tanah, di atas tanah hingga disekitarnya, termasuk manusia yang tinggal diatasnya. Di sini, apa yang kemudian disebut sebagai ancestral domain lebih rasional daripada apa yang dikenal sebagai ancestral land dalam hukum-hukum tentang tanah. Tidak ada kehidupan tanpa tanah. Itulah yang diyakini oleh masyarakat adat dimanapun mereka berada.

Perdebatan di atas, merupakan sebuah potret masyarakat internasional tentang masyarakat adat. Sebuah fakta yang juga terjadi di Papua sejak jaman kolonialisme Belanda hingga jaman Otsus ini. Konflik apapun di Papua ini bisa dipastikan bersumber dari SDA dan hak-hak masyarakat adat Papua. Misalnya dalam Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

“Bagi orang Papua tanah itu sangat penting karena sama dengan kehidupan manusia dan juga sebagai identitas dari setiap kelompok etnis yang memiliki wilayah tertentu.
Kalau ada pemanfaatan terhadap tanah itu oleh pihak lain, maka itu akan menjadi persoalan besar. Karena setiap kelompok etnis mempunyai cara-cara tertentu untuk memanfaatkan tanah. Ada bagian-bagian yang dipakai untuk berkebun, ada bagian lain yang dibiarkan tetap hutan alami agar menjadi tempat tinggal hewan untuk berburu atau tempat mencari kayu untuk bahan-bahan membangun rumah. Jadi ada bagian-bagian tanah tertentu yang harus mereka tebang atau dijaga pelestariannya.” ujar J. Mansoben, Antropolog dari Universitas Cenderawasih, tentang fungsi tanah bagi orang Papua kepada Tabloid JUBI dalam salah satu wawancara dengannya.

Jika merujuk pada fungsi tanah bagi orang Papua yang disebutkan diatas, pasal dalam UU Pokok Agraria diatas tentunya meniadakan eksistensi masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum konsep negara diperkenalkan yang pastinya telah dan masih akan menimbulkan konflik antara negara dan masyarakat. Sengketa tanah antar masyarakat Papua maupun antara masyarakat dengan pihak lainnya merupakan wujud dari implementasi UU tersebut yang tidak memperhatikan nilai dan fungsi tanah bagi orang Papua.

Demikian juga dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian menjadi pintu masuk PT Freeport Indonesia untuk melakukan eksplorasi di Timika tanpa sedikitpun menghargai eksistensi masyarakat Adat di wilayah tersebut. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada emas dan tembaga di Timika, tapi juga terjadi pada kekayaan lain masyarakat adat Papua seperti hutan, laut, gas alam, keanekaragaman hayati hingga kekayaan intelektual orang Papua. Dalam perspektif masyarakat adat ini lebih tepat disebut sebagai perampasan daripada sebuah pembangunan.

Di masa lalu, masyarakat adat Papua telah mengembangkan sistem distribusi SDA, ekonomi, dan politik berdasarkan hukum adat yang dimiliki oleh masing-masing komunitas. Misalnya kepemilikan komunal atas tanah mencerminkan pola demokratis dalam sistem distribusi SDA. Demikian juga dengan pola-pola kepemimpinan seperti Bigman dan Ondoafi yang mencerminkan sistem politik dalam hukum adat masyarakat Papua. Ondoafi ataupun Bigman, hancur sejak diterapkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeret sistem politik tradisional milik masyarakat Papua ke dalam sistem pemerintahan administratif desa.

Terseretnya “Self Governing Community” ini juga menyeret hak komunitas (termasuk tanah) dalam klaim negara. Sejak saat ini juga, komunitas masyarakat adat menjadi sub-ordinat dari pemerintahan desa yang bisa disebut sebagai proses “negaranisasi”. Ditambah lagi dengan tradisi kapitalis yang mulai merambah Papua, maka proses “negaranisasi” ini menjadi sebuah legitimasi politik penguasaan atas sumber daya alam milik masyarakat Papua. Hak masyarakat adat Papuapun menjadi hilang.

Jika mengutip pendapat Marx, semakin tampak ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka yang ada dalam suatu sistem sosial, maka akan terjadi kecenderungan yang semakin kuat ke arah konflik kepentingan antara segmen dominan dan sub-ordinat. Pendapat ini dipertegas oleh Jonathan Turner, seorang Profesor Teori Sosiologi dari University of California at Riverside (USA) bahwa semakin segmen sub-ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber daya yang semakin langka.

Teori-teori ini menjadi sangat rasional jika masyarakat adat Papua merasa perlu menuntut kembali hak-hak mereka yang telah “dirampas” oleh negara maupun sektor swasta. Ironisnya, perbedaan perspektif antara negara dengan komunitas masyarakat adat tentang SDA ini seringkali menempatkan masyarakat adat Papua dalam ketidakadilan. Dalam pengalaman masyarakat adat Papua, ketidakadilan ini seringkali muncul dalam stigma separatis yang dimunculkan oleh negara. Selain itu, muncul juga dalam pengembangan opini/wacana tentang masyarakat adat Papua sebagai korban. Perspektif korban dalam memandang masyarakat Papua ini sangat tidak adil untuk sebuah komunitas yang memiliki kekayaan alam melimpah. Perspektif seperti ini bisa jadi akan meniadakan prinsip Self Determination masyarakat adat yang diakui dalam UNDRIP.

Lebih ironis lagi, status Otonomi Khusus yang diberikan untuk provinsi Papua yang bertujuan mulia untuk memajukan Papua lebih banyak diidentikan dengan uang. Berapa besar dana Otsus yang di dapat, berapa banyak yang dikorupsi, berapa banyak alokasinya untuk setiap sektor selalu menjadi topik utama dalam forum-forum tentang Otonomi Khusus Papua. Sementara substansi Otsus sendiri, yakni hak-hak dasar orang asli Papua, menjadi nomor kesekian. Suara-suara yang menginginkan penuntasan hak-hak dasar orang asli Papua ini juga seringkali dituding sebagai suara separatis.

Tidak mudah menempatkan masyarakat adat Papua dalam sebuah opini/wacana yang adil, terutama dalam perspektif pemilik kekayaan melimpah dan bukan dalam perspektif korban. Selain karena belum adanya regulasi nasional yang bisa mengarahkan perspektif masyarakat secara adil dalam memandang masyarakat adat, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak ekosob masyarakat adat Papua masih juga dipandang dalam perspektif sipil politik. Tidak hanya oleh negara tapi juga oleh aktor-aktor non negara lainnya. Fakta ini juga yang menjadi kendala untuk menyelesaikan persoalan-persoalan Papua pada “akarnya”. (Victor Mambor)
---------------------------
Sumber: http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=958&Itemid=9

"Quo Vadis" Pelayanan Kesehatan Papua?

Oleh Lana Erawati*)

TULISAN ini ditujukan kepada saudara-saudara kaum elite Papua yang saat ini memegang kedudukan, baik sebagai pejabat pemerintah, LSM, tokoh gereja, maupun tokoh masyarakat, agar mereka peduli kepada rakyat yang kurang beruntung, kurang mendapat kesempatan dan perhatian dan kurang dalam segala-galanya.

Kita semua sudah mendengar bahwa terjadi kematian balita yang cukup besar dalam kurun waktu sebulan di tujuh kecamatan wilayah Kabupaten Paniai pada Desember lalu. Sebagai gambaran, di Kecamatan Pogapa saja dengan jumlah penduduk 15.800 telah terjadi 52 kematian balita sejak November sampai saat ini (17 Desember 2004 - Red).

Yayasan Denyut Desa yang mempunyai program pengembangan masyarakat di wilayah tersebut menerima laporan ini, kemudian melapor pada Pemkab Paniai namun tidak ada tanggapan. Singkatnya pada 13 Desember tiga tim relawan melakukan aksi sosial di wilayah tersebut. Kegiatan ini terlaksana berkat sumbangan para karyawan PT Freeport, PT Freeport sendiri, Rumah Sakit Mitra Masyarakat, PT ISOS AEA (institusi kesehatan di PT Freeport) dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK)

Tim yang ke Pogapa menyimpulkan penyebab kematian adalah pneumonia dengan komplikasi diare ringan, sebagai kelanjutan dari infeksi saluran pernapasan yang tidak ditangani dengan baik. Mengapa sampai penyakit ISPA yang biasa terjadi di mana-mana bisa menyebabkan kematian balita yang begitu dahsyat? Hal ini disebabkan kemampuan dan pengetahuan orang tua untuk merawat anak masih sangat rendah, dan di sisi lain pelayanan kesehatan sangat minim dengan, kualitas yang amat rendah. Memang ironis sekali, musibah dahsyat dengan penyebab penyakit yang sepele. Tapi itulah kenyataannya.

Terdapat tujuh kecamatan yang terkena KLB (Kejadian Luar Biasa), mayoritas dihuni oleh suku Moni, yang tinggal di wilayah bergunung-gunung dan hawanya cukup dingin. Transportasi satu-satunya yang menghubungkan ibu kota kecamatan dengan daerah lain adalah pesawat terbang kecil jenis Cessna. Komunikasi hanya dengan radio pada jam-jam tertentu. Desa-desa itu tidak ada lapangan terbangnya, dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki beberapa jam sampai 2-3 hari. Kondisi ini tentu sama sejak puluhan tahun lalu, namun mengapa selama ini musibah sedahsyat itu tidak terjadi?

Peran Misionaris
Marilah kita menengok kilas balik pelayanan kesehatan di Papua. Kira-kira 20 tahun yang lalu, jumlah tenaga dokter masih sangat sedikit, namun para misionaris banyak bekerja di daerah-daerah pedalaman dan kontribusinya dalam pelayanan kesehatan sangat besar. Pemerintah, misionaris dan LSM bekerja sama dengan kompak dalam pelayanan kesehatan.

Kemudian satu per satu para misionaris pergi karena tidak mendapat izin tinggal. Kepergian mereka sangat memukul semua karya sosial di pedalaman dan dampak negatifnya sangat signifikan. Namun sejalan dengan itu jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Papua juga meningkat.

Dinas Kesehatan Kabupaten memegang peran utama dalam menjalankan upaya kesehatan, sedangkan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kanwil berperan dalam membuat kebijakan dan mengontrol. Walaupun banyak sekali kekurangannya namun pelayanan kesehatan masih berjalan di sebagian besar wilayah Papua. Kalaupun terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), hanya pada tempat-tempat yang benar-benar terpencil bukan di ibu kota kecamatan, atau bila terjadi di kota penyebabnya tentu bukan masalah sepele dan tidak ada kematian besar-besaran seperti di wilayah Paniai.

Kemudian terjadilah reformasi, lalu kaum elite Papua menuntut �Papuanisasi� dalam arti agar para elite Papua diberi kesempatan menduduki jabatan. Ttdak jelas apa tujuan Papuanisasi, namun banyak contoh para pejabat digeser begitu saja dengan tidak hormat, tanpa menghiraukan jasa-jasanya, masa pengabdiannya dan kemampuannya lalu diganti dengan orang Papua yang tidak punya kemampuan dan belum memenuhi syarat untuk menjabat. Semua peraturan, etika, moral dilanggar, yang penling orang Papua dapat jabatan. Bahkan di satu kabupaten para dokter �pendatang� diusir, Kepala Dinas dianiaya sehingga menimbulkan ketakutan bagi para dokter untuk bertugas di Papua.

Sering Tutup
Kalau dulu yang namanya Puskesmas induk selalu buka setiap hari, maka sekarang ini lebih banyak ditemukan Puskesmas yang sering tutup. Dulu hampir semua balita memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) sehingga bisa dipantau perkembangannya. , mendapat vitamin A, obat cacing dan sebagainya. Sekarang ini kegiatan itu tidak jelas lagi. Dulu semua petugas tahu membedakan kriteria KLB dan Dinas Kesehatan Kabupaten sangat tanggap, sekarang ini ada KLB sampai berminggu-minggu dengan begitu banyak kematian, belum berbuat apa-apa.

Marilah kita menelaah masalah ini dengan logika akal sehat, kalau dulu yang disebut mantri atau perawat entah itu dari SPK, SPR atau sekadar dilatih oleh misionaris tahu mengobati penyakit sederhana seperti ISPA dan malaria. Sekarang mereka tidak mampu. Jadi kalau di Pogapa dikatakan ada enam orang mantri, harus dipertanyakan apakah memang punya kemampuan dasar sebagai mantri. Harus dipertanyakan pula berapa hari dalam setahun mereka bekerja? Banyak sekali keluhan dari masyarakat bahwa petugas kesehatan jarang ada di tempat.


Jadi di Papua banyak sekali petugas kesehatan yang aspal, asli tapi palsu, karena sebenarnya tidak punya kemampuan bahkan kemampuan dasar sekali pun. Lalu jam kerja yang aspal, karena hanya bekerja sekian persen dari jam kerja.

Mari kita menengok institusi pendidikan kesehatan di Papua, berapa banyak meluluskan anak didik yang tidak layak lulus? Berapa banyak ijazah aspal diluncurkan? Berapa persen dari guru-guru sekolah kesehatan yang memiliki kualitas sebagai guru? Benarkah sekian jam belajar dalam kurikulum dipenuhi? Berapa persen jam membolos para guru? Bolehkah dikatakan institusi pendidikan kesehatan di Papua ini memang asli institusi pendidikan kesehatan dalam arti memang memenuhi syarat �dasar� untuk disebut begitu? Atau jangan-jangan juga hanya aspal?

Asal-asalan
Dinas Kesehatan Kabupaten memegang peran utama dalam menjalankan upaya kesehatan namun saat ini fungsinya kabur. Berapa persen Kepala Dinas yang memiliki kemampuan sebagai Kepala Dinas? Kalau dulu Kepala Dinas hanya dijabat oleh dokter-dokter senior, maka sekarang ini orang dengan macam-macam latar belakang pendidikan bisa menjabat.
Ada yang sarjana hukum, ekonomi dan lain-lain. Akibatnya, banyak Kepala Dinas Kesehatan di Papua tidak mampu membuat analisis kesehatan, tidak punya pengetahuan minimal epidemiologi, tidak bisa membaca data statistik kesehatan ataupun kemampuan minimal lainnya dalam manajemen kesehatan masyarakat.

Dulu sebagian besar dokter bekerja sesuai yang diharapkan, hanya segelintir yang malas. Namun sekarang ini sudah lumrah kalau para dokter membolos, mabuk, korupsi. Persentase dokter yang baik-baik semakin lama semakin berkurang, yang idealis mungkin tinggal sisa-sisa. Dulu prestasi kerja masih dihargai, mekanisme reward & punishment, walaupun banyak sekali kekurangan di sana-sini, masih berjalan. Sekarang ini lebih mengarah ke hukum rimba. Siapa kuat, akan mendapat.

Jangan ditanya lagi kemajuan dalam hal korupsi. Banyak pejabat yang tidak punya kemampuan sebagai pejabat, namun dalam korupsi tidak mau kalah dengan wilayah lain di Indonesia. Dinas Kesenian provinsi yang selama ini memacu menjadi pengontrol kehilangan kemampuan kontrolnya karena otonomi daerah yang tidak terkendali. Masing-masing Dinas Kesehatan menjadi kerajaan kecil-kecil yang bisa berbuat sewenang-wenang.

Jadilah, pelayan kesehatan yang dilakukan oleh sebagian tenaga-tenaga aspal, lulusan institusi pendidikan aspal, dengan jam kerja aspal, di bawah bimbingan dinas kesehatan aspal, ditambah rongrongan korupsi yang tidak terkendali maka hasilnya adalah tragedi yang mengerikan seperti yang terjadi di Paniai. Memang tidak semua begitu, namun jumlah keburukan yang ada saat ini bila tidak segera ditanggulangi akan menghancurkan masa depan masyarakat.
Kini banyak elite Papua yang menikmati duduk sebagai pejabat di kursi empuk dengon materi yang berimpah. Namun jangan lupa masyarakat kecil Papua harus membayar dengan mahal, bahkan dengan nyawanya.

Reformasi Total
Tragedi yang terjadi di Paniai kiranya cukup untuk mengetuk nurani para elite Papua agar mau berbagi dengan saudara-saudara yang masih tertinggal. Kiranya memiliki kebesaran hati untuk membiarkan mereka mendapatkan kesejahteraan setidak-tidaknya hak untuk �hidup�.
Bila para elite Papua masih memiliki �belas kasihan� pada masyarakat kecil, maka jalan keluarnya adalah reformasi total di berbagai jajaran Dinas Kesehatan. Kepala Dinas Kabupaten yang tidak mampu harus diganti dengan yang kompeten tidak peduli suku maupun agamanya.

Karena jumlah tenaga yang mampu hanya sedikit maka Dinas Kesehatan Kabupaten sebaiknya dikembalikan seperti dulu sebelum pemekaran. Kota-kota yang tidak mempunyai sarana yang memadai seperti Enarotali atau Sarmi sebaiknya di bawah naungan Dinas Kesehatan Kabupaten lain. Dinas Kesehatan Provinsi sebaiknya hanya satu saja di Jayapura karena bila dipecah sulit mendapat tenaga yang kompeten dan boros biaya.
Harus dilakukan audit oleh tim independen atas sekolah-sekolah kesehatan, dan berani mengganti kepala sekolah maupun guru-guru dengan yang kompeten. Harus dipertanyakan keberadaan Fakultas Kedokteran Unversitas Cenderawasih di Jayapura, apakah masih layak untuk diteruskan?

Diperlukan keberanian dan kejujuran dari semua pihak untuk mengatakan yang sebenarnya. Berani berkata benar bila benar, salah bila salah, tidak layak bila tidak layak, layak bila layak. Sekarang tinggal bagaimana keputusan para elite Papua, apakah mau selamatkan Papua atau hancurkan Papua.

Penulis adalah dokter yang tinggal di Papua.
-------------------------------------
Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0501/ 08/opi02. html

Di Papua, Isu Pendidikan Gratis Menjadi Trik Kampanye Politisi Busuk-Sesat!

Penghisapan atas rakyat Papua melalui biaya pendidikan yang mahal dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi saat ini menjadi perhatian para pejabat dan politisi busuk-sesat di Tanah Papua. Hanya saja, perhatian tersebut bukan untuk membantu meringankan beban dimaksud, tetapi hanyalah trik politik sesaat untuk kepentingan Pemilu 2009. Mereka berkepentingan menarik simpati para pemilih dalam Pesta Demokrasi Penjajah.

Menyusul pernyataan Wagub Papua Alex Hesegem bahwa Pemprov akan membebaskan biaya pendidikan dasar di Papua, Tokoh Milisi Merah Putih yang juga kader Golkar, Yan L. Ayomi mengatakan, tidak hanya pendidikan dasar yang harus dibebaskan biayanya, tetapi juga biaya pendidikan SMA dan SMK dengan alasan, bahwa di jenjang ini dibutuhkan biaya yang tinggi.

“Jadi kami berpendapat jangan hanya pendidikan dasar yang dibebaskan biayanya, tetapi kami meminta Pemprov Papua juga membebaskan biaya pendidikan bagi siswa SMA dan SMK di Tanah Papua,” kata Ayomi seperti dikutip SKH Cepos Edisi Selasa (30/12/08).

Pernyataan Ayomi jelas merupakan trik kampanye terselubung untuk kepentingan dirinya dan Partai Golkar dalam Pemilu 2009 ini karena Golkar telah merumuskan metode berkampanye bohong dengan cara mengangkat isu-isu sentral dari beban hidup rakyat.

“Kita harus melihat dan menganalisa penderitaan rakyat kemudian menjual kembali kepada mereka dalam bentuk kampanye yang dikemas sedemikian rupa agar kita menang mutlak dalam Pemilu 2009 nanti,” jelas Yance Kayame kepada para pendukungnya pada pertengahan tahun lalu.

Yance Kayame adalah politisi busuk-sesat berkapasitas senior dalam Partai Golkar. Ia merupakan arsitek utama dalam merancang berbagai program untuk dijadikan bahan kampanye Partai berlambang Pohon Beringin itu.

Isu-isu gratis, terutama di dua sektor penghisapan yang paling mencekik rakyat yaitu pendidikan dan kesehatan saat ini menjadi bahan kampanye utama para politisi busuk-sesat yang telah terdaftar dalam Daftar Calon Tetap Caleg Pemilu 2009 ini.

Sejak Otsus diberlakukan di Papua, belum ada satu pun program prioritas yang digratiskan. Malah, penghisapan atas rakyat justru terjadi di empat program prioritas yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi rakyat.***


-------------------------------
Sumber:http://wptoday.wordpress.com/2009/01/06/di-papua-isu-pendidikan-gratis-menjadi-trik-kampanye-politisi-busuk-sesat/

Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Mitra Kerja Pemerintah

Pembentukan DKR sebagai Mitra Kerja Pmerintah khususnya Dinas Kesehatan Propinsi Papua sebab masalah kesehatan masih memprihatinkan di Indonesia termasuk di Propinsi Papua khususnya didaerah terpencil.

Hal ini diungkapkan Samuel Awom, Sekretaris Jenderal Propinsi Papua, saat diwawancarai Jubi pada kamis (08/01) disekretariat DKR.
"Dewan ini berdiri karena Menteri Kesehatan RI melihat masalah kesehatan di daerah terpencil di Indonesia, lebih khusus di Papua kurang di perhatikan, " Ujar Awom".

Ditambahkan kebanyakan di daerah-daerah terpencil kekurangan fasilitas kesehatan, bangunan fisik yang kurang diperhatikan sehingga kesehatan masyarakat tidak terjamin dengan baik. "Selain itu kurangnya tenaga kesehatan dan dokter spesialis" Ujar Awom.
Menurutnya kadang dalam indikasi pelayanan kesehatan dari dinas-dinas itu sering terjadi kemandegan pelayanan kesehatan terutama menyangkut dana-dana kesehatan.

"ini kenyataan yang ada di Papua sebab selama ini tidak didistribusi dengan baik" Ungkap Samuel tegas. Dengan alasan ini, maka lanjut dia, DKR sebagai Mitra Kerja Dinas Kesehatan untuk mengkoordinir masyarakat dalam menanggulangi kesehatannya. Sampai sejauh ini DKR sudah beroperasi untuk menjalankan programnya disemua kabupaten-kabupaten yang ada di Papua, baik di Propinsi Papua dan Papua Barat. Ujar Awom.

Ditambahkannya program-program yang dijalankan selama ini, yaitu ; pendataan penduduk, pendataan pos kesehatan antara lain puskesmas, pustu dan lain-lain. Selain itu dilakukan pendataan penyakit yang sering dialami. Jadi hampir kebanyakan DKR memediasi masyarakat bawah dan memastikan apakah mereka selama ini sudah mendapat pelayanan kesehatan secara gratis atau belum. Urai Awom.

Dikatakan pada tahun 2008 tanggal 11 - 12 Maret, DKR melakukan Workshop dan Konferensi yang menugaskan DKR untuk mendukung Departemen Kesehatan RI dalam membangun desa-desa siaga diseluruh wilayah NKRI.

"Selanjutnya sesuai dengan seruan Presiden SBY saat Pencanangan Pekan Kesehatan Nasional pada (08/06/05) dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 116/SK/II/2008. Ujar Awom. (Musa Abubar).
------------------------------
Sumber:http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=893&Itemid=9

Pelayanan Kesehatan Yang Buruk Di Ibu Kota Provinsi Papua

Awal Tahun 2009

Baru saja kita mendengar pidato akhir tahun Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu, SH. Tanggal 31 Desember 2008 lalu yang menjamin pelayanan kesehatan Gratis bagi semua orang asli Papua, ternyata apa yang terjadi di lapangan dalam hal ini pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit pemerintah tidak sesuai dengan pidato Gubernur Papua akhir tahun lalu.

Hal ini terbukti dari apa yang dialami Ibu Paulina Monim pemegang kartu Jamkesmas warga Desa Babrongko Distrik Sentani Kabupaten Jayapura yang pada sabtu 17 Januari 2009 lalu ketika hendak melahirkan putra keduanya secara Cessar harus ditolak oleh pihak RSUD Abepura dengan alasan tidak tersedia dokter bedah di rumah sakit tersebut. Akhirnya ia harus diantar keluarganya ke RSUD Dok II Jayapura. Ternyata apa yang terjadi sangat memilukan sementara ia harus menahan sakit karena sudah waktunya bersalin, ia harus ditolak untuk kedua kalinya di rumah sakit yang nota bene adalah rumah sakit Provinsi Papua dengan alasan bahwa tidak ada ruangan yang layak karena ruangan yang ada sementara dihuni oleh pasien yang mengalami infeksi menular. Akhirnya setelah menempuh perjalanan dari Sentani Kabupaten Jayapura ke RSUD Abepura Kota Jayapura dan selanjutnya ke RSUD Dok II Kota Jayapura, harus kembali lagi ke Abepura dan melahirkan di RS. Dian Harapan Waena Abepura, tutur ibu kandung dari Ibu Paulina Monim, Ibu Alfonsina Ongge Wally dengan sedih kepada Sekjen Dewan Kesehatan Rakyat Papua (DKR) Semuel Awom yang pada hari senin 19 Januari 2009 berkunjung ke RS. Dian Harapan Waena Abepura. Lanjut ibu Alfonsina kepada Sekjen DKR bahwa dia pada saat itu sangat sedih dan bingung karena harus di tolak di RSUD Abepura dan Dok II Jayapura, sehingga terpakasa harus membawa anaknya Ibu Paulina Monim untuk bersalin dan dirawat di RS. Dian Harapan meskipun dia tau bahwa RS. Dian Harapan adalah rumah sakit swasta yang tentunya biaya untuk operasi Cessar sangat mahal belum lagi ditambah dengan obat-obatan yang harus ditebus, terangnya. Saat ini ibu Paulina Monim masih dirawat di ruang bersalin RS. Dian Harapan Waena Abepura menunggu proses untuk keluar dan tentunya harus menyelesaikan biaya administrasi dan perawatan di RS. Dian Harapan.

Inilah potret buruk dari pelayanan kesehatan di Ibu Kota Provinsi Papua, ternyata salah satu prioritas penting dari agenda Otonomi Khusus Papua yaitu bidang kesehatan belum dijalankan dengan baik seperti apa yang dialami oleh Ibu Monim warga Desa Babrongko Distrik Sentani Kabupaten Jayapura.***(drh)

Januari 18, 2009

MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA

Kwik Kian Gie

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Panitia Nasional Peringatan 100 tahun Bung Hatta, dan merasa sangat terhormat dijadikan pembicara utama dalam kesempatan ini. Kepada Keluarga Besar Bung Hatta saya mengucapkan selamat atas ulang tahunnya yang ke 100. Tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan bahwa bangsa Indonesia beruntung dikaruniai oleh Tuhan salah seorang putera terbaiknya yang memenuhi panggilan zamannya dengan memerdekakan bangsa Indonesia, yang memainkan peran penting dalam meletakkan landasan dan dasar-dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa mengurangi ruang lingkup kiprah Bung Hatta dalam pembentukan negara bangsa, perannya terbesar adalah dalam bidang ekonomi dengan pikiran-pikirannya tentang bagaimana mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi yang mewujudkan kemakmuran dan keadilan dalam pembagian manfaatnya.
Secara pribadi saya merasa bersyukur dan merasa bangga bahwa saya memperoleh kesempatan beberapa kali berdiskusi dengan Bung Hatta tentang berbagai hal, antara lain tentang alma mater kita, yaitu Nederlandsche Handelshoogeschool yang meningkatkan diri menjadi Nederlandse Economische Hogeschool dan kemudian memperluas dirinya menjadi Erasmus Universiteit Rotterdam sampai sekarang. Kesemuanya ini membuat saya lebih-lebih lagi merasa bahagia dapat bersumbang saran pada rangkaian diskusi hari ini.
Para Hadirin Yth.,
Aneh rasanya bahwa 57 tahun setelah kita merdeka dan berhasil membentuk negara bangsa yang berbentuk kesatuan dalam kemajemukan, kita merasa perlu berbicara tentang  "Membangun Kekuatan Nasional untuk Kemandirian Bangsa." Bukankah kita sudah lama merdeka dan berdaulat yang dengan sendirinya juga mandiri ?
Marilah kita lihat kenyataan dewasa ini. Negara kita yang kaya akan minyak telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal.

Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS. Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS. Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 57 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPn  sudah mendekat. Semua orang menjadikan tidak datangnya investor asing menjadi ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja mencerminkan pikiran yang mandiri.

Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda dari upah atau maakloon yang membuat pemilik industri perakitan dan industri penjahitan itu cukup kaya atas penderitaan kaum buruh Indonesia seperti yang dapat kita saksikan di film "New Rulers of the World" buatan John Pilger. Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis utang dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggungan jawan tentang bagaimana dirinya mengurus Indonesia ? Anehnya, setiap tahun mereka bangga kalau utang yang diperoleh bertambah. Mereka merasa bangga dapat memberikan pertanggungan jawab kepada IGGI ketimbang kepada parlemennya sendiri. Utang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah tidak mampu membayar cicilan pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. Hal yang sama diulangi di tahun 2000 dan lagi di tahun 2002. Kali ini pembayaran bunganya juga sudah tidak sanggup dibayar sehingga juga harus ditunda pembayarannya. Jumlahnya ditambahkan pada utang pokok yang dengan sendirinya juga menggelembung  yang mengandung kewajiban pembayaran bunga oleh pemerintah.

Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Bank yang kalah clearing dan harus diskors diselamatkan oleh Bank Indonesia dengan menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto. Setelah itu masih kalah clearing lagi, dan diselamatkan lagi dengan fasilitas diskono ke II. Uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri oleh para pemilik bank untuk mendanai pembentukan konglomerat sambil melakukan mark up. Pelanggaran Legal Lending Limit dilanggar selama bertahun-tahun dalam jumlah yang menghancurkan banknya dengan perlindungan oleh Bank Indonesia sendiri. Maka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa bank sudah hancur lebur.

Kepercayaan masyarakat menurun drastis. Rupiah melemah dari Rp. 2.400 per dollar menjadi Rp. 16.000 per dollar. Dalam kondisi yang seperti ini Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar iurannya menggunakan haknya untuk minta bantuan.

Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai dengan conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun tidak kita perkirakan semula bahwa isinya demikian tidak masuk akal dan demikian menekan serta merugikannya. Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga internasional seperti CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia bersatu padu dalam sikap dan persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan bahwa pemerintah melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan olehnya, yang dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih memasyarakat dengan nama Letter of Intent atau LOI.

Bank Dunia setiap tahunnya juga menyusun apa yang dinamakan Country Strategy Report tentang Indonesia yang harus dilaksanakan kalau tidak mau diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai sekarang setiap tahun memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena jumlah utang keseluruhannya sudah melampaui batas-batas kepantasan dan prinsip kesinambungan, untuk sementara dan entah sampai kapan kita tidak dapat hidup tanpa berutang terus setiap tahunnya kalau kita tidak mau bahwa puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus sekolah.

Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap keikut sertaan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri.

Para Hadirin yang terhormat,
Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan yang disebabkan karena terjerumusnya pemerintah kita ke dalam lubang yang disebut jebakan utang atau debt trap. Karakteristiknya adalah yang secara populer dapat digambarkan dengan kata "dilematis" atau "maju kena mundur kena." Memerintah memang selalu harus memecahkahkan masalah-masalah dilematis seperti ini, tetapi masalahnya tidak mendasar, masalahnya adalah pilihan-pilihan yang sifatnya teknokratik. Kondisi dilematis yang kita hadapi sekarang adalah kehilangan kemandirian dalam merumuskan kebijakan. Karena itu masalahnya menjadi sangat mendasar, apakah putera puteri terbaik bangsa kita yang masih belum menjual dirinya untuk dijadikan kroni atau komprador dari bangsa-bangsa lain dibenarkan untuk hanya bertopang dagu, ataukah melakukan terobosan-terobosan untuk keluar dari situasi dan kondisi yang serba tidak lagi berdaulat dan mandiri.

Hari ini kita berbicara tentang "membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa." Apa yang tersurat dan tersirat dari tema pokok diskusi hari ini ? Ada dua hal. Yang satu adalah bahwa kita memang sama-sama merasakan atau bahkan meyakini bahwa setelah 57 tahun merdeka kita telah kehilangan kemandirian. Yang lain adalah bahwa kita tidak mau menerimanya, sehingga kita merasa perlu membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa. Membangun kekuatan nasional tidak dapat dilepaskan dari semangat nasionalisme. Pengertian nasionalisme itu memang dipertanyakan dalam dunia yang sedang dalam arus besar globalisasi. Banyak kaum teknokrat kita yang mempertanyakan apakah nasionalisme masih relevan sekarang ini ? Maka masalah ini akan kami bahas cukup panjang lebar.

Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita tidak dapat bergerak secara merdeka. Mengapa ? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan berdaulat penuh ? Memang, tetapi kalau kita berani melanggar pikiran-pikiran yang dominan atau main stream thoughts dari masyarakat internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran kontrak, dianggap melakukan contract breuk yang harus dihukum dengan diisolasinya Indonesia dari masyarakat internasional. Beranikah kita menghadapi isolasi dengan segala konsekwensinya ? Musuh kita untuk meraih kembali kemandirian bangsa bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh lembaga-lembaga internasional, tetapi di dalam Indonesia diperkuat oleh sekelompok elit intelektual bangsa Indonesia yang besar pengaruhnya dalam pembentukan opini publik, betapapun tidak masuk akalnya pikiran-pikiran mainstream yang menjelma menjadi aturan, konvensi, dogma dan doktrin yang bagaikan sabda Tuhan yang mutlak.

Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah menjadi aturan main, konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara. Ketika itu nanti terjadi, adalah para komprador dan kroni bangsa kita sendiri yang menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan pengendalian pembentukan opini publik. Ini tidak mengherankan. Dalam setiap zaman selalu ada saja pengkhianat bangsa, komprador dan kroni yang dengan bangga dan dengan senang hati menyediakan dirinya untuk melayani kepentingan kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan rakyatnya sendiri. Dalam bidang ekonomi kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan membangun jaringan nasional maupun internasional. Mereka adalah Mafia Ekonom Orde Baru.

Maka untuk meraih kemandirian, kita harus menggalang kekuatan nasional untuk melibas atau paling tidak mengkerdilkan pengaruh Mafia Ekonom Orde Baru itu. Mereka tidak punya pendirian. Mereka sudah mulai berpengaruh ketika Bung Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama zaman Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri melalui pembentukan berbagai dewan penasihat, tim asistensi dan sebagainya yang disponsori dan dipaksakan kepada Gus Dur oleh kekuatan-kekuatan internasional. Dalam era Megawati sekarang ini, mereka bahkan mengendalikan banyak Eselon I dan II dari semua departemen dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang rapi bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada Presiden Megawati, tetapi kepada Presidennya sendiri yang dilengkapi dengan para Menteri tanpa bentuk pula, tetapi de facto yang berkuasa atas bagian-bagian penting dari birokrasi resmi.

Bagaimana caranya ? Slogan para komprador itu adalah bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari semakin deras. Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun juga untuk melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi total. Slogan propaganda mereka adalah "Apakah A Seng lebih baik daripada Asing ?", dan "BUMN minta diinjeksi uang oleh pemerintah, tetapi perusahaan asing membayar pajak kepada pemerintah."

Maka dalam rangka membangun kekuatan nasional, yang pertama harus kita lakukan adalah menumbangkan doktrin-doktrin anti nasionalisme yang terus menerus tanpa bosannya harus kita ulangi lagi dan ulangi lagi. Cara inilah yang diterapkan oleh Bung Karno dalam menggalang kekuatan nasional. Mafia Ekonom Orde Baru paham betul tentang hal ini. Itulah sebabnya mereka mencemooh yang ingin menggalang kekuatan nasional melalui kampanye atau pengulangan tentang yang salah dan perbaikannya akan diperjuangkan sebagai membosankan, tidak mempunyai pokok pembicaraan lain, sudah kuno, dan seterusnya.

Marilah kita bahas apakah benar bahwa nasioanlisme memang sudah mati dan tidak relevan lagi ? Tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan dunia telah berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang riil. Namun kalau dikatakan bahwa nasioanlisme sudah mati dan tidak relevan lagi adalah kesalahan besar. Lagi-lagi adalah kelompok Mafia Ekonom Orde Baru yang sangat gigih menyuarakan bahwa nasionalisme adalah bagaikan katak dalam tempurung, hanya dianut oleh orang-ornag kuno yang tidak berpendidikan dan sudah sangat ketinggalan zaman tentang bagaimana dunia bekerja.

Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya maupun dalam simbolisme-nya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang dilakukan oleh banyak dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir setiap department store menjualnya. Sebaliknya dengan susah payah saya mencari pin bendera merah putih di Jakarta dan tidak berhasil dengan kwalitas yang baik. Akhirnya saya membelinya dari Amerika melalui internet. Sekarang dengan mengacu pada pengalaman di tahun 1942, semua majalah di Amerika dianjurkan untuk memasang bendera Amerika pada cover-nya. Kata-katanya adalah : "July 1942 United we stand. In July 1942, America's magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the American flag on their covers. Be inspired." Bagaimana Mafia Ekonom Orde Baru ? Beranikah Anda menghujat Amerika sebagai ketinggalan zaman, katak dalam tempurung, tidak mengerti globalisasi dan seterusnya ?

Pada tanggal 18 Maret 2002 Uni Eropa berkumpul di Barcelona menyelenggarakan konperensi tingkat tinggi yang kesimpulannya penuh dengan nasionalisme Eropa. Memang sudah bukan negara-negara Eropa secara individual, tetapi menjadi Uni Eropa. Jelas sekali semangat kebangkitan kembali nasioanlisme Eropa yang terang-terangan membandingkan dirinya dengan Amerika Serikat dengan semangat yang tidak mau kalah. Kita tidak perlu mengemukakan fakta-fakta betapa Malaysia, Jepang dan RRC tidak pernah tidak nasionalistis.

Jauh sebelum itu, Edith Cresson sebagai Menteri Perdagangan Perancis membeli paberik elektronik Thomson dengan teknologi primitif untuk dijadikan BUMN. Paberik ini dibeli dan dijadikan BUMN karena kalah bersaing dengan Jepang dan mengalami kerugian besar. Ketika ditanya oleh parlemen Perancis mengapa, karena tidak menguasai hajat hidup orang banyak, dijawab bahwa dia tidak bisa melihat pasaran cosumers electronics Perancis di dominasi oleh Jepang. Bukankah ini nasionalisme ? Ataukah harus dikatakan bahwa parlemen Perancis adalah katak dalam tempurung ? Philips membeli Grundig yang adalah saingannya dan hampir bangkrut. Ketika saya tanyakan langsung kepada Prof. Dekker, Komisaris Utama Philips dia menjawab bahwa dia tidak bisa menerima pasaran elektronik Jerman didominasi oleh Jepang.

Ketika Hollywood dibeli oleh Sony, Sony dibuat bangkrut oleh para artis yang menandatangani kontrak dan terang-terangan tidak muncul ketika harus dibuat filmnya. Mereka menantang Sony supaya semua artis dituntut. Apakah sikap ini bukan nasionalisme Amerika ? Dan apakah ini nasionalisme sempit ?

Ketika IMF menekan kami untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai nol persen, Eropa, Amerika dan Jepang memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk produk-produk pertanian demi melindungi para petaninya. Apakah itu bukan nasionalisme, yang bahkan sangat tidak adil dan mau menangnya sendiri ?

Dengan mengatakan ini saya menjalani resiko disebut kampungan, karena hanya dapat menyebutkan fakta-fakta dari negara lain, tetapi tidak mempunyai daya nalar untuk menjelaskan mengapa nasionalisme masih relevan dalam era globalisasi yang semakin dipicu oleh revolusi micro chips dan revolusi telekomunikasi yang masih belum berakhir ?

Mungkin saya kampungan. Namun izinkanlah saya memeras otak mencoba memahami fenomena yang sedang berlangsung tanpa memusnahkan bangsa sendiri, dan tanpa membuat bangsa kita menjadi kuli di negaranya sendiri dan menjadi bangsa kuli dari bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Para Hadirin Yth.,
Tadi telah saya katakan bahwa kita tidak mungkin membangun kekuatan nasional tanpa dilandasi oleh semangat nasionalisme, karena semangat nasionalisme itulah yang merupakan ruhnya kekuatan nasional. Tetapi nasionalisme itu sendiri sekarang di persimpangan jalan. Maka marilah kita berupaya memperoleh kejelasan terlebih dahulu tentang hal ini.

Memang harus diakui bahwa walaupun kita telah merdeka 57 tahun lamanya, pengertian dan penghayatan nasionalisme oleh banyak orang, dibawah sadarnya masih banyak didominasi oleh nasionalisme pra kemerdekaan, baik yang membela maupun yang menentangnya, termasuk Mafia Ekonom Orde Baru. Karena itulah Mafia Ekonom Orde Baru tidak dapat membayangkan adanya perasaan nasionalisme yang dapat bersinergi dengan globalisasi. Nasionalisme pra kemerdekaan fokusnya sederhana dan tunggal, yaitu menumbangkan resim kolonial untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Apakah founding fathers kita tidak pernah memikirkan apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia setelah memperoleh kemerdekaannya, serta apa tujuan yang lebih lanjut dari sekedar merdeka secara politik ? Kalau kita mempelajari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita, jelas sekali jangakauan pemikiran para founding fathers kita yang sangat luas dan jauh kedepan. Bung Hatta sendiri merupakan monumen dalam pemikiran pembangunan ekonomi. Tetapi karena perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah perjuangan yang panjang dan sangat berat, fokus segala pemikiran dan upaya memang seolah-olah hanya terpusat pada kemerdekaan politik belaka. Kemudian setelah kita merdeka, kita langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan sebagai nation state yang kokoh dan bersatu padu. Segala pemikiran dan upaya disedot oleh pemahaman dan penghayatan negara bangsa, atau oleh nation and character building. Yang saya rasakan, betapa sedikitnya generasi saya (apalagi generasi muda sekarang) yang memahami dan menghayati betapa sulitnya menempa penduduk negara kepulauan kita menjadi satu bangsa kesatuan, terutama setelah dijajah dengan politik divide et empera selama 3,5 abad. Kurangnya penghayatan inilah yang membuat banyak di kalangan elit kita mencemooh Bung Karno sebagai diktator demagoog yang hanya pandai mengombang ambingkan sentimen massa dengan retorikanya yang kosong dan keblinger, tetapi tidak becus mengurus perekonomian negaranya. Namun banyak juga yang bisa melihat sisi lain dari periode kepemimpinannya, yaitu panggilan sejarah untuk memimpin  di dalam sebuah periode pembentukan persatuan dan kesatuan negara bangsa yang baru saja merdeka, tetapi bangsa yang sangat pluralistik dengan kepulauannya, yang selama 3,5 abad dijajah dengan cara divide et empera tadi. Maka bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode perjuangan keras dan sulit, melalui segala trial and errors-nya untuk tiba pada pembentukan nasion dan karakter bangsa dengan negara kesatuan yang mengenal sistem kabinet presidensiil, yang terobsesi terhadap pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat, tetapi tidak mengharamkan pemungutan suara kalau alternatifnya adalah tanpa keputusan atau kekalutan. Dan karena itu, menjadi negara bangsa yang demokrasinya bisa menghindari diktatur mayoritas dan tirani minoritas. Bangsa yang tidak menganut faham bahwa konsensus nasional adalah 50 % ditambah 1. Bangsa yang secara moril melalui obesesi musyawarah mufakat selalu mendengarkan dan mencoba meyakinkan minoritas sampai habis-habisan sebelum mengambil jalan pintas melalui pemungutan suara. Bangsa, yang partai mayoritasnya tidak meninggalkan ruang sidang untuk ke WC atau minum kopi selama partai minoritas berbicara, dan hanya masuk untuk menolak segala usulannya. Tetapi bangsa yang mayoritasnya terobsesi untuk mencapai keputusan secara musyawarah dan mufakat, sehingga mendengarkan dan menanggapi minoritas secara sungguh-sungguh, walaupun minoritasnya hanya 10% saja. Pembentukan bangsa bercirikan pluralistik yang mempunyai satu bahasa nasional. Bangsa dengan toleransi beragama yang sulit dicari duanya. Masih segar di dalam ingatan kita keinginan Quebec di Kanada untuk memisahkan diri karena kesatuan bahasa mereka yang lain dengan bagian-bagian lain dari Kanada, yaitu Perancis versus Inggeris. Masih kita saksikan sampai sekarang betapa bangsa Irlandia yang letaknya di Eropa Barat itu masih saling membunuh karena perbedaan agama. Masih segar juga di ingatan kita betapa bangsa Belgia yang sekecil itu dan juga terletak di Eropa Barat masih saling membunuh karena perbedaan bahasa di kalangan mereka. Kalau kita tempatkan kondisi kita dalam perspektif ini, sia-siakah periode antara 1945 dan 1966 yang diwarnai oleh pergulatan keras dan tampak semerawut itu untuk pembentukan nasion dan karakter ? Dan apakah itu bukan nasionalisme yang masih besar dampak poistifnya sampai hari ini ? Bung Karno juga dicemooh sebagai orang yang suka gemerlapan, suka terhadap proyek-proyek mercu suar. Yang dijadikan ajang ejekan ketika itu adalah pembangunan Hotel Indonesia, Tugu Monumen Nasional dan jalan-jalan raya Thamrin, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, bypass ke Tanjung Priok dan sebagainya. Tetapi begitu berkuasa, para pengejek itu langsung saja membangun proyek-proyek yang jauh lebih banyak dan jauh lebih megah daripada era Bung Karno. Kantor-kantor pemerintah dibangun sebagai gedung-gedung pencakar langit yang sangat mewah, walaupun dibiayai dengan utang. Sebaliknya, dapatkah kita membayangkan apa jadinya Jakarta sekarang tanpa jalan-jalan tersebut ? Dalam waktu singkta, jalan-jalan yang dinamakan mercu suarnya Bung Karno itu menjadi macet, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru merasa wajar-wajar dan sah-sah saja membangun jalan tol yang dimonopoli oleh Ibu Tutut Soeharto. Bisakah kita membayangkan bagaimana Jakarta tanpa Hotel Indonesia sebelum munculnya hotel-hotel berbintang lainnya ? Hotel Indonesia juga menjadi kerdil dalam waktu singkat, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru itu merasa wajar-wajar dan sah-sah saja bahwa kredit dalam jumlah raksasa dipakai untuk mendanai pembangunan hotel-hotel mentereng, terutama Hotel Grand Hyatt dengan serampangan yang akhirnya menjadi macet semuanya. Setelah semua bank rusak, para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru juga merasa normal-normal saja bahwa pemerintah menginjeksi dengan surat utang yang berpotensi membengkak sampai menjadi kewajiban membayar dengan jumlah ribuan trilyun rupiah. Mengapa ? Karena IMF menganggap wajar. Dengan mengemukakan ini semuanya, saya hanya ingin mengingatkan betapa tipisnya apresiasi dan penghayatan kita terhadap perspektif sejarah dari nasionalisme, yang dari periode ke periode mempunyai panggilan zamannya sendiri-sendiri, yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang sendiri-sendiri pula, dan yang mempunyai prioritasnya sendiri-sendiri pula, karena keterbatasan kita sebagai manusia untuk melakukan segalanya seketika.

Bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode pembentukan negara bangsa yang produktif dan telah menghasilkan kehidupan bernegara dan berbangsa seperti yang saya gambarkan tadi. Eksesnya ada, tetapi zaman apa yang tidak membawa ekses ? Periode ini adalah tahap akhir dari nasionalisme lama.

Dengan nasion seperti itu sebagai landasan, kita memulai periode baru di tahun 1966 dibawah kepemimpinan Pak Harto. Periode ini bercirikan pembangunan ekonomi secara pragmatik dan teknokratik. Stabilitas sebagai syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi yang berkesinambungan diserahkan kepada ABRI. Strategi pembangunan diserahkan kepada kaum teknokrat yang berintikan para cendekiawan dari Universitas Indonesia. Kekalutan moneter ditanggulangi dengan terbosoan-terobosan sanering uang panas. Inflasi yang 600% diturunkan sampai pada proporsi yang wajar melalui penarikan uang dengan insentif pemutihan modal dan bunga deposito yang sampai 60% setahun. Hubungan dengan lembaga-lembaga internasional dan dengan negara-negara Barat yang membeku dibuka kembali, yang memungkinkan mengalirnya bantuan luar negeri dan investasi modal asing. Berbagai insentif bagi penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri diberikan, seperti yang tertuang di dalam undang-undang PMA dan PMDN. Hasilnya menjakjubkan. Angka-angka statistik mengenai pertumbuhan meyakinkan, sedangkan secara fisik dapat kita saksikan, bahwa praktis tidak ada lagi jalan yang berlubang-lubang. Sandang dan pangan serba cukup kalau dibandingkan dengan situasi tahun 1965-1966.  Di kota-kota kecil dan pedesaan kita saksikan kemakmuran dan kesejahteraan yang mencolok kalau dibandingkan dengan tahun 1965-1966. Di perkotaan, terutama di Jakarta, asalkan kita tidak memasmuki daerah-daerah kumuh, kita tidak merasa berada di negara yang sedang berkembang. Jalan-jalan macet dengan mobil yang harganya ratusan juta sampai milyaran rupiah. Para entrepreneur dan eksekutif berlalu lalang di restoran-restoran dan hotel-hotel termahal yang harganya dicantumkan dalam US $, dan tidak kalah mahal dengan negara-negara maju.

Indonesia yang mengenal sistem lalu lintas devisa bebas dan membuka pintu lebar-lebar terhadap modal asing memang terkait erat dengan intensifnya sebuah gejala yang kita kenal dengan globalisasi. Seorang eksekutif dari perusahaan transnasional garmen di New York yang mengendalikan perusahaannya di seluruh dunia melalui tilpun, facsimile, computer dan modemnya, lebih tergantung pada para perancangnya yang ada di Itali, para akhli marketingnya yang ada di Paris, para pemasok mesin yang ada di Jepang dan para konglomerat eksportir tukang jahit yang ada di Jakarta, daripada perusahaan-perusahaan yang ada di tetangganya di New York. Banyak dari wiraswasta kita yang lebih tergantung pada sumber dana dan pasar internasional daripada sumber dana dan pasar domestik. Banyak usahawan kita yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan atau para hartawan internasional, yang beraneka ragam tingkat kemandiriannya di dalam perusahaan patungan itu. Perusahaan transnasionalnya merasa dia lihay karena bisa menggunakan orang sangat ternama menjadi kompradornya. Sebaliknya orang Indonesia yang bersangkutan sangat bangga, bahwa dia bisa menjadi kaya tanpa modal dan tanpa konsep, asalkan nurut saja dengan keinginan mitra asingnya. Mereka berpendidikan Barat, bisa bergaul dan berbahasa Inggeris dengan fasih. Perilaku dan tata nilainya mengenai apa yang sopan dan apa yang tidak sopan sudah Barat. Basa basi dan humornya sudah Barat. Dia adalah kosmopolit yang universal. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju dan kaya, dia mempunyai villa yang mentereng dan mobil yang mahal.

Dalam suasana seperti ini lalu muncul kelompok cukup berpengaruh yang mulai beranggapan bahwa nasionalisme sudah mati. Nasionalisme adalah mencapai kemerdekaan politik. Urusan mempertahankan kemerdekaan supaya tidak di aneksasi oleh negara lain adalah urusan ABRI yang mereka gaji melalui pembayaran pajak. Urusan keamanan dan kententeraman adalah urusan polisi yang juga mereka gaji melalui pembayaran pajak. Demikian juga dengan para birokrat yang menjaga, supaya kehidupan ini menjadi nyaman, tenteram dan damai, supaya mereka bisa berkiprah secara kontinu. Ya, itu semuanya diakui. Tetapi terkadang dirasakan menjengkelkan karena memeras. Maka kalau perlu, digantilah fungsi douane dengan SGS.

Tetapi mereka adalah kelompok kosmopolit yang universal. Mereka yang mengendalikan arus barang, arus jasa dan arus uang yang tidak mengenal batas-batas negara. Merekalah yang membangkitkan pendapatan dengan jaringan nasional maupun jaringan internasionalnya. Mereka yang mengalami setiap menit, bahwa uang tidak mengenal batas-batas negara. Negara bangsa adalah mesti, karena biasanya memang harus ada, walaupun nyatanya batas-batas politiknya pun bisa berubah-ubah seperti yang sedang terjadi di Eropa, baik Barat maupun Timur. Negara bangsa atau nation states mempunyai kehidupannya sendiri, sedangkan satuan-satuan produksi, distribusi dengan jaringan internasionalnya adalah corporate states yang batasan-batasannya tidak sama dengan batasan-batasan wilayah geografis dan politik. Karena itu, bagi mereka nation states haruslah berfungsi dan bersifat melayani corporate states, harus ondergeschikt pada corporate states.

Mereka heran apabila dalam zaman seperti ini masih ada orang yang betreriak nasionalisme dan patriotisme. Apa yang mau dijadikan sasaran patriotisme-nya ?

Walaupun ada, dan bahkan cukup banyak dan cukup besar lobi dan pengaruhnya dari kelompok yang baru saya gambarkan tadi, tetapi di tengah-tengah bangsa kita toh masih ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa nasionalisme dan patriotisme masih relevan. Saya termasuk kelompok ini. Maka menjadi menarik apa argumentasinya ? Punyakah kita argumentasi yang sekuat argumentasi mereka ? Bukankah kaum nasionalis di zaman sekarang orang-orang kerdil, sempit seperti katak di dalam tempurung ? Perlukah manusia merasa mempunyai ikatan sebagai bangsa, kalau dunia ini sudah terkait dengan komunikasi dan transparansi yang demikian intens-nya ? Memang manusia selalu membutuhkan kelompok. Tetapi bukankah kelompok ini diikat dengan kepentingan materi melalui uang yang konvertibel di seluruh dunia ? Bukankah kesetiaan kita yang relevan adalah kesetiaan kepada coprorate state-nya masing-masing yang bisa mempunyai markas besar di mana saja atas dasar pehitungan untung rugi materialistik dan pragmatik ?

Kalau memang ada ikatan dalam rangka negara bangsa atau nation state yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan meyakinkan, itulah nasioanlisme baru yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang. Adakah itu ? Bagaimana gambarannya, apa bentuknya dan apa argumentasinya ? Marilah kita telusuri.

Izinkanlah saya memulai dengan dialog dalam kampanye pemilu yang untuk pertama kalinya saya alami di dalam hidup saya, yaitu di bulan Maret tahun 1987 di Petak Sinkiang, Jakarta. Ketika kepada massa saya tanyakan, kalau saya hidup di dalam keluarga yang sangat rukun dan harmonis, apakah berarti kita memusuhi keluarga tetangga kita ? Massa menjawab serentak dengan "tidaaak". Lalu saya tanyakan lagi, kalau satu RT sangat rukun, saling membantu dan harmonis, apakah RT itu mesti bermusuhan dengan RT lainnya ? Dijawab lagi "tidaaak". Karena dalam rangka kampanye, lalu saya tanyakan lagi, apakah kalau warga PDI bersatu padu, memperkuat diri, memperbaiki diri, saling asah, asih dan asuh, apakah dengan sendirinya bermusuhan dengan PPP dan GOLKAR ? Dijawab lagi dengan "tidaaak". Saya bertanya lagi, bagaimana kalau partai politik, RT, RW dan keluarga kita bubarkan saja, karena toh tidak relevan ? Dengan serentak dijawab lagi : "tidaaak". Setibanya di rumah saya merenung, mengapa saya tanyakan yang terakhir, yaitu apakah tidak lebih baik dibubarkan saja kalau tidak berhadapan dengan musuh bersama ? Saya tiba pada kesimpulan, bahwa di bawah sadar, saya ternyata kerdil, karena saya hanya melihat manfaat pembentukan kelompok kalau menghadapi musuh. Saya tidak melihat bahwa pembentukan kelompok yang mempunyai kesamaan, apapun kesamaan itu, ternyata mempunyai daya sinergi untuk membangkitkan hal-hal yang baik dan berguna bagi umat manusia. Tetapi massa yang "bodoh" itu, secara naluriah ternyata pandai. Maka mereka berpendapat, bahwa walaupun tidak ada musuh, pembentukan kelompok tetap perlu, tetap tidak perlu dibubarkan. Berlakukah opini yang demikian itu bagi negara bangsa ?

Maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah negara bangsa yang sudah tidak mempunyai musuh penjajah lagi masih berguna ? Apakah negara bangsa yang kecuali tidak dijajah, juga semakin lama semakin tidak mempunyai perbedaan ideologi lagi dengan bangsa-bangsa lainnya, masih relevan dipertahankan ? Beberapa entrepreneur dan eksekutif tadi mengatakan masih perlu, tetapi hanya untuk menjaga ketertiban, menjaga keamanan dan keselamatan bagi dirinya, serta membangun infra struktur yang dibutuhkan oleh corporate state-nya. Maka baginya, nation state haruslah tunduk dan hanya melayani corporate state yang mereka miliki dan kendalikan.

Tadi telah saya katakan bahwa saya bukan penganut faham yang demikian. Saya tetap yakin, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan identifikasi dengan kelompok yang mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu. Kesamaan yang paling mendasar adalah kesamaan senasib sepenanggungan dan atas dasar ini mempunyai kehendak membentuk negara bangsa. Kelompok sebagai bangsa selalu mempunyai naluri mengambil nilai tambah dari bangsa lainnya. Caranya yang paling primitif adalah peperangan fisik, saling memusanahkan dan saling menghalau, supaya memperbesar lahan nafkahnya. Peperangan-peperangan yang demikian adalah peperangan-peperangan kecil dari suku-suku primitif atau tribeswar. Dalam bentuknya yang sudah lebih modern lagi, negara bangsa yang lebih kuat menaklukkan dan menjajah bangsa lainnya dengan senjata. Tujuan akhirnya adalah melakukan penghisapan nilai tambah dari negara yang terjajah. Maka kolonialisme menjadi mode di mana-mana di seluruh penjuru dunia, dan kita menjadi korban Belanda selama 3,5 abad. Dengan dimensi yang lebih modern dan lebih besar lagi, Jerman Nazi di belahan Eropa dan Jepang di belahan Asia Timur ingin menundukkan bangsa-bangsa di sekitarnya untuk mengambil nilai tambah dari seluruh Eropa bagi Jerman dan di seluruh Asia Timur Raya bagi Jepang. Jepang, bahkan ingin melebarkan sayapnya lagi ke Pasifik dengan menggempur Pear Harbour. Berkecamuklah Perang Dunia ke II yang diakhiri dengan bom atom yang dahsyat. Setelah itu, terbentuk pengelompokan-pengelompokan antar negara dengan blok-blok superpowers, NATO dan Pakta Warsawa, masing-masing dibawah pimpinan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mereka mulai melakukan perlombaan persenjataan. Tetapi senjatanya sudah bukan bom atom lagi, melainkan yang lebih dahsyat lagi, yaitu bom dan rudal nuklir. Kalau sampai senjata itu dipakai di dalam pertempuran dengan skala global, akan musnahlah semua kehidupan di bumi ini. Jepang dan Jerman yang dikalahkan dalam perang dunia ke II nampaknya yang paling jeli mengenali, bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsa lain tidak bisa lagi dilakukan dengan senjata. Karena senjatanya sudah nuklir dengan daya musnah yang sangat dahsyat, pengambilan nilai tambah melalui penjajahan dengan senjata yang mengundang peperangan nuklir tidak akan terjadi. Tidak akan terjadi, karena manusia juga mempunyai naluri mempertahankan diri. Maka Jepang dan Jerman, tetapi terutama Jepang yang paling mengerti dan segera mempraktekkan bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsa-bangsa lain memang tidak berbeda dengan peperangan antar bangsa, tetapi senjatanya harus diganti dengan senjata teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya harus diganti dengan perusahaan-perusahaan transnasional. Kegiatan intelijen sangat penting, tetapi yang dicuri sekarang adalah rahasia membuat micro chips, dan mencuri teknologi paling canggih.

Mereka membuat dirinya unggul dalam produksi, distribusi, dalam pemenuhan kebutuhan manusia seluruh jagad, dan melalui cara ini selalu sangat jeli dan tajam menggait nilai tambah yang setinggi-tingginya. Caranya sangat beragam disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara bangsa yang sedang "dikerjain". Yang masih primitif dijadikan ajang mencari bahan baku dan pasaran bagi barang jadinya. Yang lebih canggih disuruh menjadi tukang jahit. Yang buruhnya masih murah dimasuki dalam bentuk merelokasi industrinya yang di negaranya sendiri sudah usang. Kalau sudah sangat canggih seperti Eropa Barat dan AS dimasuki dengan investasi langsung, membeli real estate, membeli salah satu studio terbesar di Hollywood, dan seterusnya dan sebagainya. Caranya bermitra juga sangat luwes. Yang bisa dijadikan komprador boneka ya dijadikan kopmrador. Yang agak pandai dan ingin mempunyai suara sedikit dalam pengambilan keputusan ya dijadikan eksekutif sesuai kemampuannya. Tetapi selalu didasarkan atas perhitungan yang tajam. Senjatanya, sekali lagi, adalah manajemen dan teknologi.

Maka tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai tambah yang diraih dari negara-negara terbelakang oleh negara-negara maju sangat besar. Mungkin sekali jauh lebih besar daripada ketika menjajah model kuno zaman kolonial abad ke 18.

Tetapi di dalam penampilannya ada perbedaan yang sangat besar. Kalau dulu yang terjajah merasa sangat dihina, merasa sakit dan juga secara materi merasa sengsara. Sekarang lain lagi. Yang dijajah adalah negara yang sudah merdeka dan berdaulat. Elit yang berkuasa tidak merasa dihina. Mereka menjadi kaya dan mentereng karena korupsi, walaupun pada hakekatnya adalah komprador suruhannya belaka. Tetapi kalau yang menjadi suruhan didukung oleh pemerintah dari negara yang merdeka, dan toh bisa menjadi kaya raya, dan dengan kekayaannya ini lalu bisa sangat bergaya di negaranya sendiri maupun di mana saja di seluruh penjuru dunia, penggaitan nilai tambah yang demikian bisa dirasakan sangat nyaman oleh yang sedang di eksploitasi.

Dari uraian tadi jelas, bahwa percaturan dunia diwarnai oleh hubungan antar negara yang semuanya sudah merdeka secara politik, menyempitnya perbedaan ideologi antar negara, sedang berlangsungnya proses regionalisasi negara bangsa di mana-mana, menciptakan pengelompokan-pengelompokan baru atas pertimbangan yang lebih banyak di dominasi oleh pertimbangan ekonomnis, tetapi di motori oleh semangat nasioanlisme baru dengan daerah geografis yang lebih luas.

Nasionalisme baru adalah nasionalisme yang mengenali dengan tajam interaksi antarbangsa zaman sekarang dan mampu mengantisipasi perkembangannya. Maksudnya tidak hanya memantau sambil menutup dirinya, tetapi ikut bermain di dalam percaturan dan interaksi antar bangsa di dunia. Namun orientasi dari pengenalan dan kewaspadaan ini bukan untuk kemakmuran orang seorang, melainkan untuk seluruh bangsanya seadil mungkin. Semanagt nasioanlisme baru dalam menciptakan dan merebut nilai tambah tidak mau kalah dengan bangsa lain, tetapi tidak melalui penutupan diri, melainkan melalui semangat saling mengungguli.

Dengan demikian, seorang nasionalis baru adalah orang yang menghitung dengan tajam dan enggan menerima tawaran menjadi komprador mitra dagang asing, kalau dari perhitungannya dia tahu bahwa nilai tambah secara tidak adil dan tidak seimbang lebih menguntungkan mitra asingnya daripada bangsanya. Seorang nasionalis baru adalah orang yang merasa sangat terganggu ketika di luar negeri menyaksikan alangkah kalahnya negaranya sendiri dalam segala bidang, dalam kemakmuran, dalam penguasaan teknologi dan manajemen, dalam kebersihan, dalam keadilan sosialnya, dan menterjemahkan rasa malu itu ke dalam semangat tidak mau kalah dan ingin mengejar ketinggalannya. Orang yang bukan nasionalis baru adalah orang yang ketika menyaksikan semuanya itu lalu berkeinginan menetap saja di luar negeri, atau tidak menetap, tetapi membeli rumah, mobil, minta izin tinggal, supaya dari waktu ke waktu bisa menikmati kemakmuran negara lain itu, dan memikirkan bagaimana dia bisa meningkatkan kemakmurannya di luar negeri yang sudah nyaman dengan menggait nilai tambah dari negaranya sendiri, kalau perlu hanya sebagai komprador saja. Seorang nasionalis baru ketika mengunjungi paberik langsung melakukan catatan-catatan dan pemotretan-pemotretan dengan semangat ingin meniru membuat barang. Orang yang bukan nasionalis baru hanya berkeinginan memilkiki produk untuk konsumsinya sendiri supaya bisa lebih bergaya. Seorang yang bukan nasionalis baru tanpa perasaan terganggu memakai barang mewah buatan luar negeri dengan bangganya, sedangkan nasionalis baru juga memakainya, tetapi selalu diliputi perasaan penasaran mengapa bangsanya tidak bisa membuat barang yang sama. Seorang yang bukan nasionalis baru mau saja bermitra dengan perusahaan asing untuk menggait nilai tambah bagi si asing tanpa perasaan terganggu. Seorang nasionalis baru mungkin juga melakukan dan berbuat yang sama, tetapi selalu diganggu oleh perasaan penasaran, mengapa dia tidak bermitra juga dengan perusahaan asing di negara si asing juga, supaya sama derajatnya. Seorang nasionalis baru berusaha keras supaya memperlakukan para akhli Indonesia sama dan sederajat dalam perlakuan, dalam kepercayan dan dalam penggajian dengan para akhli asing, asalkan pendidikannya di sekolah yang sama di luar negeri, dan pengetahuan yang dimilikinya maupun kepandaiannya sama. Seorang yang bukan nasionalis baru cenderung masih dilekati oleh jiwa yang terjajah, yang selalu lebih menghargai para akhli asing, terutama yang bule, walaupun pilihan yang dihadapinya, yang bangsanya sendiri juga tamatan dari sekolah yang sama, dan bisa menunjukkan bahwa dia paling sedikit sama pandainya, sama pengalamannya, dan lebih mengenal Indonesia daripada para akhli asing itu.

Karena nasionalisme baru begitu terkait dengan interaksi bangsa-bangsa lain, ekspor memegang peranan penting. Kalau kita analisa tahapan-tahapan kemampuan sesuatu bangsa dalam ekspor, bisa kita bedakan sebagai berikut :
1. Mengekspor barang buatannya sebagai "tukang jahit". Design, spesifikasi, cara membuatnya, mesin-mesinnya, prosedur produksi dan administrasinya, bahan bakunya, semuanya ditentukan oleh perusahaan asing yang akan menampung produknya untuk dipasarkan di luar negeri. Merk juga harus memakai merk dari prinsipal. Untuk jasanya, mitra Indonesia yang "tukang jahit" ini memperoleh imbalan sekedarnya. Biasanya sangat kecil. Tetapi dari bekerja sebagai "tukang jahit" ini, dia menguasai pengetahuan dan ketrampilan untuk membuat produk yang eksak sama. Maka dia mulai meningkatkan dirinya ke dalam tahapan yang berikutnya, yaitu
2. Membuat barang yang eksak sama, tetapi memakai merknya sendiri. Dengan demikian ternyata bahwa harga pokoknya jauh lebih rendah dari harga yang dijual di luar negeri dengan merk prinsipalnya. Jadi dia sekarang sudah bisa membuat barang yang kwalitasnya eksak sama, tetapi dengan memakai merknya sendiri.
Ini adalah tindakan yang sangat prinsipiil dan krusial, karena dia sekarang dipaksa untuk bisa meyakinkan konsumen di luar negeri, bahwa produknya tidak kalah dalam kwalitas, tetapi sangat menang murah dalam harga. Hanya merknya yang masih belum terkenal. Dia harus melakukan promosi dan advertensi supaya merknya dikenal dan diakui sebagai sama baiknya dengan merk lain yang ditiru. Tahap berikutnya adalah :
3. Dia mulai memasukkan features, kemampuan-kemampuan tambahan dari produk yang tadinya ditiru 100 %. Contohnya adalah PC buatan Taiwan, yang meniru IBM, tetapi ditambah kemampuannya, sedangkan harganya jauh lebih murah. Tindakan ini memperkuat kedudukannya di pasar. Tahapan selanjutnya adalah :
4. Dia sudah berani merubah design produknya supaya tampak lebih indah dan lebih cantik. Dia sudah mulai berani beradu dalam bidang estetika.
5. Dia melakukan penelitan dan pengembangan sendiri, sehingga untuk barang yang fungsinya sama, yaitu memenuhi kebutuhan manusia akan barang yang dihasilkannya, dia sudah mendasarkan diri pada penemuan dan terbosoan teknologi sendiri. Misalnya, TV yang sama-sama TV-nya sudah meningkat dari sistem analog menjadi sistem digital. Musik yang tadinya atas dasar pita diganti menjadi piringan laser, dan sekarang compact disc.
Jelas bahwa untuk meningkatkan kemampuan dari tahapan ke tahapan seperti yang digambarkan tadi, orang membutuhkan dedikasi semangat yang luar biasa besarnya. Juga membutuhkan berani mempertaruhkan modalnya untuk pnelitian dan untuk merugi kalau gagal.
Pertanyaannya adalah kekuatan apa yang bisa membuatnya demikian, kalau dia sebagai komprador, sebagai tukang jahit saja sudah bisa menjadi sangat kaya ? Kekuatan penggerak atau driving force ini bagi bangsa Jepang dan Jerman jelas adalah obsesi untuk unggul, obsesi supaya seluruh bangsanya disegani dan dihargai di mana-mana diseluruh penjuru dunia. Mereka adalah nasionalis modern. Orang yang bukan nasionalis baru sudah akan sangat puas dengan menjadi kaya sebagai komprador. Kebanggaannya adalah kebanggaan karena dia kaya, dan karena itu bisa hidup di luar dengan gaya orang-orang di luar negeri yang sudah maju. Dia cenderung mengindentikkan dirinya dengan bangsa yang sudah maju di negaranya. Walaupun tidak suka, dia memaksakan dirinya minum wine, lebih menyukai steak, dan bahkan tartar atau daging mentah serta bekecot dengan nama yang lebih keren atau escargot. Dia berbuat sebisanya supaya bisa berbicara mengenai musik klasik Barat, supaya bisa berbicara mengenai lukisan. Dia tidak mempunyai kebutuhan supaya dengan pengalamannya dan kontaknya meningkatkan kemampuan seluruh bangsanya supaya bisa menjadi bangsa yang lebih disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Sampai sekarang saya hanya berbicara mengenai nasionalisme baru dalam kaitannya dengan percaturan ekonomi dan bisnis dunia, karena dengan telah lama merdekanya Indonesia, dan dengan semakin tiadanya perbedaan ideologi antar bangsa, kegiatan bangsa-bangsa lebih terpusat pada perolehan nilai tambah dari mana saja.

Namun dapatkah nasionalisme dan patriotisme ada kalau tidak ada demokrasi dan keadilan ?
Kadar besar kecilnya demokrasi sangat berpengaruh terhadap nasionalisme baru. Bagi mereka yang merasa tidak cukup mempunyai hak-hak demokrasi, adalah lumrah apabila mereka ini lambat laun tergelincir pada suasana batin yang apatis, yang masa bodoh. Mereka dalam bentuknya yang ekstrim bisa merasa warga negara kelas dua atau lebih rendah lagi. Mereka tidak lagi atau kurang merasa merupakan bagian dari bangsanya, sehingga semua naluri yang masih ada untuk membela bangsanya secara keseluruhan semakin lama semakin pudar. Karena itu, demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme. Demokrasi memberikan perasaan bahwa dia ikut memiliki negara bangsanya. Karena itu demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme baru yang begitu gamblang, sehingga tidak banyak yang bisa di analisa kecuali menyebutnya. Bagi saya, kalau kita berbicara mengenai nasionalisme baru, sebenarnya sudah termasuk di dalamnya sebagai satu nafas adalah juga patriotisme, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi. Hanya dengan itu semuanya sebagai satu paket, semuanya menjadi bisa ada. Kalau salah satu daripadanya tidak ada, keseluruhannya menjadi kabur.

KESIMPULAN

Istilah nasionalisme baru memang pada tempatnya, karena dengan telah lamanya kita merdeka, dan dengan berubahnya dunia dengan segala dinamkianya, fokus nasionalisme yang ingin kemerdekaan bagi bangsa kita secara politik sudah lama kita peroleh.
Setelah itu kita dihadapkan pada masalah sangat mendasar, yaitu masalah nation dan character building bagi bangsa yang wilayahnya berkepulauan, pluralistik, berbhineka. Dengan sumpah pemuda, di tahun 1928 kita sudah bertekad untuk membentuk negara bangsa yang berbentuk negara kesatuan, negara yang tunggal ika. Dapat kita bayangkan betapa beratnya periode antara tahun 1945 dan 1966. Seperti tadi telah saya kemukakan, kita telah berhasil dengan cukup gemilang.
Dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi secara nyata yang teknokratik dan pragmatik, negara kita terbuka bagi dunia luar. Sektor swasta secara sistematis diberi kesempatan yang lebih besar. Semua orang berkiprah dalam bidang pembangunan ekonomi, dalam bidang produksi dan distribusi. Semuanya berlangsung di dalam suasana interaksi antar bangsa yang semakin intens, di dalam dunia yang semakin mengecil dengan revolusi microchips dan revolusi telekomunikasi melalui satelit. Dalam suasana seperti ini kita berkiprah secara intens pula, sehingga kurang sempat memikirkan, masihkah nasionalisme relevan ? Pendangakalan intelektualisme terjadi karena terdesak oleh intens-nya dunia produksi, distribusi dan konsumsi, dan intensnya interaksi antar bangsa, dimana Indonesia termasuk di dalamnya.

Setelah penelusuran dalam bidang ekonomi, bisnis, produksi, distribusi, konsumsi, regionalisasi dan internasionalisasi, saya tiba pada kesimpulan bahwa lebih daripada yang sudah-sudah ternyata nasionalisme, patriotisme, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi masih sangat relevan. Pertarungan memperoleh nilai tambah masih valid, tetapi bentuknya berubah. Penghisapan nilai tambah melalui senjata dan pendudukan berganti menjadi teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya berubah menjadi perusahaan-perusahaan transnasional. Proses penghisapannya melalui kemitraan dan investasi langsung, lebih beraneka ragam, lebih luwes dan lebih sophisticated sehingga sangat sulit dikenali.

Untuk pengenalan apakah di dalam interaksi antar bangsa ini kita diuntungkan atau dirugikan membutuhkan kalkulasi yang konkret. Benarkah bahwa di dalam kenyataannya kita lebih diuntungkan oleh modal asing karena adanya lapangan kerja, karena adanya transfer of knowledge dan transfer of technology. Benarkah bahwa kita diuntungkan secara fair dan adil karena pendapatan pajak. Bukankah keuntungan mereka jauh lebih besar dari kita dan kita akan bisa mendapatkan lebih seandainya kita mau bekerja keras dan mau membebaskan diri dari konvensi, dogma, doktrin serta mitos-mitos yang oleh negara-negara maju dipaksakan kepada kita melalui para kompradornya yang sangat berpengaruh. Kesemuanya ini hanya dapat diketahui kalau kita melakukan kalkulasi yang eksak dan konkret. Bukan sekedar merumuskannya secara garis besar. Nasionalisme baru menuntut kemampuan-kemampuan baru dan dimensi pemikiran mikro yang bagi kita relatif baru ini.

Tidak ada negara yang bangkrut seperti halnya perusahaan, karena negara dapat berutang. Tetapi yang demikian itu bisa kita peroleh sebagai komprador dengan nilai tambah yang tidak sebanding kecilnya. Maka yang menjadi masalah bagi kita bukannya akan bangkrut atau tidak secara ekonomis, tetapi akan menjadi bangsa kelas terkemuka atau kelas belakang. Apakah kita akan menjadi bangsa yang diremehkan atau menjadi bangsa yang disegani.

Modal kita hanya semangat, yaitu nasionalisme baru, patriotisme baru, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi.

Akhir kata, apakah yang menjadi driving force terbetuknya Eropa bersatu ? Keuntungan materi sematakah ataukah Eropa Barat sebagai kelompok negara yang demikian tuanya, akhirnya menemukan kembali nasionalisme barunya juga ?

Kita sering mendengarkan bahwa Jepang maju karena mempunyai sistem life time employment, mempunyai TQC dan QCC, mempunyai MITI, mempunyai sistem pendidikan yang terseleksi sejak SD dengan jalur elit yang berkesinambungan. Tetapi jarang yang menanyakan, mengapa justru Jepang mempunyai segalanya ini dan bangsa lain tidak punya ? Bisakah jawabnya adalah karena bangsa Jepang tidak pernah pudar nasioanlisme dan patriotisme-nya, dan bangsa Jepanglah yang paling awal mampu menterjemahkannya ke dalam nasioanlisme baru, yang arena pertempurannya adalah perolehan nilai tambah dari bangsa-bangsa yang telah merdeka. Dan karena itu senjatanya harus berubah menjadi penguasaan teknologi dan manajemen ?

Relevansi mengenai pentingnya keterkaitan dengan negara bangsanya mungkin bisa lebih ditonjolkan dengan contoh, bahwa apabila negara melalui pemerintahnya membela kepentingannya dengan memberikan subsidi seperti sertifikat ekspor, dia justru terkena sanksi penutupan negara penerima barangnya, seperti halnya dengan AS belum lama berselang dalam hal ekspor tekstil. Dalam keadaan sulit dia berteriak minta perlindungan dan subsidi. Apabila subsidi diberikan, dia akan terkena sanksi oleh negara pengimpor barangnya. Apakah negara bangsanya masih dirasa tidak relevan dalam kaitannya corporate states versus nation states ?

Kalau nasionalisme baru toh harus diberi definisi, saya kira definisi yang paling tepat adalah semangat yang selalu ingin meningkatkan kemampuan penciptaan kekayaan negaranya, tetapi bersedia bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain, dengan syarat bahwa di dalam kerjasama ini kita tidak dirugikan dan tidak merugikan negara lain. Sifat kerjasama dan interaksi adalah untuk mencapai sinergi dan tidak saling menghisap.

Para Hadirin Yth.,
Ketidak mandirian kita sekarang sudah memasuki tahapan yang sangat membahayakan. Saya tidak perlu berpanjang lebar karena sudah diperdebatkan dan diliput secara panjang lebar.
Kita sedang dalam proses dipaksa untuk benar-benar mengeluarkan uang ribuan trilyun rupiah membayar obligasi rekapitalisasi perbankan beserta bunganya. Perkiraan yang dihitung dengan cermat oleh BPPN menunjukkan bahwa kewajiban pemerintah untuk membayar obligasi rekap beserta bunganya bervariasi antara 1000 sampai 14.000 trilyun rupiah. Maka kalau kita ingin mengenakkan diri sendiri, tidak mungkin pemerintah harus membayar kurang dari tiga ribu trilyun rupiah. Obligasi atau surat utang yang semula dimaksud sekedar sebagai instrumen sekarang dipaksakan oleh IMF untuk dibayar betul. Obligasi yang tadinya harus ditarik kembali sebelum bank dijual, sekarang dipaksakan harus tetap melekat pada bank yang dijual seperti halnya dengan BCA. Dalam LOI terbaru, tidak lebih lambat dari bulan September Bank Niaga harus dijual dengan pola yang sama, dan Bank Danamon serta Bank Mandiri juga harus dijual dengan pola yang sama. Telah dibuktikan pula bahwa utang pokok obligasi yang jatuh tempo memang tidak mampu dibayar dan ditunda pembayarannya. Bahkan, sudah dan akan diterbitkan obligasi baru, yang kesemuanya akan menjadikan APBN kita di tahun-tahun mendatang pasti tidak sustainable. Tetapi IMF tidak mau tahu, mengajukan berbagai perhitungan yang sama sekali tidak masuk akal, dan lagi-lagi, dibela oleh Mafia Ekonom Orde Baru. Bukankah mengherankan dan mengejutkan bahwa selama 32 tahun Orde Baru pemerintah tidak pernah berutang dalam negeri, karena takut terjadi crowding out. Tetapi sekarang merasa tidak apa-apa menerbitkan surat utang yang bersama-sama dengan bunganya mengakibatkan kewajiban pembayaran oleh pemerintah sebesar ribuan trilyun rupiah ?

IMF melakukan tekanan pada Tim Ekonomi pemerintah untuk melakukan semuanya yang jelas karena sudah kehilangan kemandiriannya, dan dampak ketiadaan kemandirian ini sudah membawa kita pada ambang kehancuran. Maka sebagai tindak lanjut dari diskusi hari ini kita memang sudah harus membangun kekuatan nasional untuk memperoleh kemandirian kita sendiri demi menyelematkan kemerdekaan, kedaulatan dan kemandirian bangsa, sehingga dengan demikian dapat menghindarkan diri dari ketergantungan yang permanen dari masyarakat internasional.

Kelas-kelas dalam Masyarakat (Ketika Masih Diperlukan dan Ketika Tidak)

Oleh: Frederick Engels1

Telah sering dipertanyakan: seberapa jauh kah berbagai kelas dalam masyarakat masih berguna atau bahkan masih diperlukan? Tentu saja, dengan sendirinya, jawabannya akan berbeda di setiap kurun sejarah. Tentu saja, pada suatu masa, kelas aristokrasi merupakan suatu unsur masyarakat yang tak terelakan (ada) dan masih diperlukan. Namun itu dahulu sekali, sekian lama berselang. Pada masa lainnya, kelas menengah kapitalis atau borjuisseperti orang Perancis menyebutnyalahir sebagai keharusan yang juga terelakan, yang berjuang menentang aristokrasi dan berhasil mematahkan kekuasaan politiknya serta, pada gilirannya, menjadi pre-dominan secara ekonomi dan politik. Namun, sejak terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat, tak pernah ada suatu zaman yang masyarakatnya tanpa kelas pekerja. Nama dan status sosial kelas tersebut pun turut berubah; kelas hamba-sahaya menggantikan kelas budak dan, pada gilirannya pula, ia digantikan oleh kelas pekerja bebasselain bebas dari perhambaan juga bebas dari semua pemilikan materi, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Namun, sangat lah jelas: perubahan apapun yang terjadi pada lapisan atas masyarakatmereka yang tidak memproduksi (barang dan jasa)ia tidak dapat hidup tanpa kelas penghasil/produser. Dengan demikian, kelas penghasil lah yang sebenarnya diperlukan dalam semua keadaanwalau, bila tiba waktunya, ia tidak akan menjadi suatu kelas lagi, ia akan menjadi keseluruhan masyarakat itu sendiri.
Nah, keniscayaan apa kah yang menentukan keberadaan masing-masing (ketiga) kelas tersebut pada saat ini?
Aristokrasi pemilik tanah, boleh dikatakan, secara ekonomi sudah tidak berguna lagi di Inggris; namun, di Irlandia dan Skotlandia, ia menjadi suatu gangguan positif karena kecenderungan-kecenderungan depopulatifnyamenyebarkan penduduk hijrah menyeberangi lautan, menyebabkan penduduk kelaparan, dan perannya digantikan domba atau kijang. Itu saja kegunaan yang bisa dibanggakan oleh para tuan tanah Irlandia dan Skotlandia. Coba bebaskan perkembangan persaingan produksi dan perdagangan makanan sayur-sayuran dan hewani Amerika lebih maju lagi, maka kelas aristokrasi bertanah Inggris akan melakukan hal yang samapaling tidak bagi mereka yang mampu berbuat begitukarena mereka mempunyai estate-estate (tanah-tanah berukuran luas) di perkotaan sebagai andalannya. Untuk selanjutnya, persaingan tersebut akan segera membebaskan masyarakat dari cara produksi feodal. Dan ini lah yang semujur-mujurnya bagi kitaapalagi tindak-politik mereka, baik di Majelis Tinggi dan di Majelis Rendah, sungguh, menjadi suatu gangguan nasional yang paling sengit/memuncak.
Tapi, bagaimana dengan kelas menengah kapitalisnya, kelas yang telah dicerahkan oleh liberalisme, yang telah membangun imperium kolonial Inggris dan yang telah memantapkan kebebasan di Inggris? Kelas yang, di tahun 1831, telah mereformasi parlemen, telah membatalkan Undang-undang Gandum dan menurunkan pajak demi pajak? Kelas yang telah menciptakan dan masih menguasai serta menjalankan manufaktur-manufaktur raksasa, angkatan laut perdagangan yang luar-biasa besarnya, dan sistem perkeretaapian Inggris yang terus meluas? Jelas lah kelas tersebut masih diperlukan, setidak-tidaknya sama diperlukannya seperti kelas pekerjayang mereka kendalikan dan pimpin dalam melaju dari satu kemajuan ke kemajuan lainnya.
Memang, fungsi ekonomi kelas menengah kapitalis tersebut adalah menciptakan sistem manufaktur/komunikasi modern (bertenaga mesin-uap) dan menghancurkan setiap hambatan ekonomi-politik yang bisa menunda atau menghalangi perkembangan sistem tersebut. Tidak disangsikan lagi, selama kelas menengah kapitalis itu menjalankan fungsi tersebut, atau dalam keadaan-keadaan seperti itu, maka ia adalah suatu kelas yang masih diperlukan. Tetapi, masih kah keadaannya seperti itu? Apakah ia masih bisa memenuhi fungsi dasarnya, sebagai pengelola dan pengembang produksi sosial yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan? Mari kita periksa.
Bila kita memeriksanya dengan landasan (basis) material alat-alat komunikasi, yang kita dapati adalah: telegraf masih berada di tangan pemerintah. Perkeretaapian dan sebagian besar kapal-kapal laut masih belum dimiliki oleh individu-individu kapitalis, yang mengelola bisnis mereka sendirian, melainkan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan perseroan yang bisnisnya dikelola oleh buruh-buruh bayaran, oleh buruh-buruh yang kedudukannya sepenuhnya dan selengkapnya adalah sebagai pekerja-pekerja atasan yang dibayar lebih tinggi. Bagaimana dengan para direktur dan pemegang saham? Pekerja-pekerja atasan tersebut mengerti dengan baik bahwa semakin sedikit direktur dan pemegang saham mencampuri urusan manajemen dan fungsi pengawasan, maka semakin baik lah hal itu bagi perseroan tersebut. Suatu pengawasan yang longgar, hanya sekadar formalitas saja, memang merupakan satu-satunya fungsi yang masih tersisa bagi para pemilik bisnis tersebut. Dengan demikian, bisa kita mengerti bahwa sesungguhnya para kapitalis pemilik perusahaan-perusahaan raksasa tersebut tidak mempunyai kegiatan lain dalam perusahaan-perusahaan tersebut, kecuali hanya menerima deviden (pembagian keuntungan) setengah-tahunan. Dalam hal itu, fungsi sosial para kapitalis telah dialihkan kepada pekerja-pekerja yang dibayar, diupah; sedangkan mereka sendiri terus menerus mengantongi devidendan kadang menerima upah untuk fungsi-fungsi formal yang masih melekat, meski pun ia telah berhenti dari fungsi-fungsi formal tersebut.
Namun ada fungsi lain yang masih tersisa bagi para kapitalis itu, meski pun telah dipaksa “pensiun” dari manajemen karena luasnya perusahaan-perusahaan raksasa bersangkutan. Fungsi tersebut: berspekulasi dengan saham-sahamnya di bursa saham. Karena tak ada yang dikerjakan lagi maka para “pensiunan” kita itu atau, sesungguhnya, para kapitalis yang sudah digantikan fungsinya itu, berjudi sesuka-suka hati mereka di lingkungan gemah-ripah bursa saham. Mereka pergi ke bursa saham dengan niat pasti: mengantongi uang sebanyak-banyaknya, dengan berpura-pura seolah-olah uang tersebut mereka peroleh sebagai “upah”, walaupun mereka juga mengatakan bahwa asal-muasal segala pemilikan adalah kerja dan simpananbarangkali memang itu asal-muasalnya, tetapi jelas bukan itu tujuannya. Betapa munafiknya: dengan kekerasan mereka menutup sarang-sarang judi yang kecil-kecil, sedangkan masyarakat kapitalis kita itu tidak dapat hidup tanpa sebuah rumah judi raksasa, tempat berjuta-juta demi berjuta-juta derita disebut sebagai kekalahan atau bahkan kemenangan (sekalipun), dan ia menjadi pusat masyarakat itu sendiri! Bila demikian hal nya, sesungguhnya, keberadaan para kapitalis pemegang sahamyang sudah “pensiun”itu tidak saja menjadi berlebihan, tidak diperlukan lagi, tapi juga menjadi sangat mengganggu.
Kenyataannya, sungguh, perkeretaapian dan perkapalan (dengan tenaga uap) hari demi hari kian menjadi kebutuhan pula bagi semua perusahaan manufaktur dan perdagangan besar. “Pengembangan”perubahan dari kongsi-kongsi besar perseorangan menjadi perseroan-perseroan terbatastelah menjadi kenyataan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Dari pergudangan-pergudangan kota Manchester hingga bengkel-bengkel, tambang-tambang batu bara di Wales dan di Utara, serta pabrik-pabrik Lancashire, segalanya, sedang atau telah dikembangkan. Di seluruh Oldham nyaris hanya tersisa sebuah pabrik katun yang berada di tangan perseorangan; bahkan pedagang eceran semakin digantikan oleh “toko-toko koperatif” yang, sebenarnya, sebagian besar hanya lah koperasi papan nama belakatetapi penjelasan tentangnya kita tunda dahulu. Demikian lah, telah kita lihat bahwa perkembangan sistem produksi kapitalis itu sendiri yang merubah kelas kapitalis, berubah seperti layaknya pemintal-tangan. Tapi, perbedaan perubahannya seperti ini: pemintal-tangan ditakdirkan mati pelan-pelan karena kelaparan, namun kapitalis yang “pensiun” itu mati pelahan-lahan karena terlalu banyak makan. Dalam hal itu, mereka umumnya sama saja: keduanya tak tahu harus diapakan diri mereka itu.
Maka, ini lah hasilnya: perkembangan ekonomi masyarakat kita sekarang ini cenderung semakin terkonsentrasi, mensosialisasikan produksi ke dalam perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak dapat lagi dikelola oleh kelas kapitalis perseorangan. Segala omong-kosong tentang “ketajaman melihat” si kapitalis dan keajaiban-keajaiban yang dihasilkannya, berubah menjadi omong-kosong besar segera setelah satu perusahaan mencapai ukuran tertentu. Bayangkan lah “ketajaman melihat” perkeretaapian London dan Inggris Barat-laut! Yang tidak bisa dikerjakan oleh sang majikan, si kapitalis, tapi justru hanya bisa dihasilkan oleh pekerja biasa, hamba-hamba perusahaan yang berupahyang walau dengan keadaan seperti itu pun ternyata mereka berhasil.
Demikian lah, kelas kapitalis tidak dapat lagi mengklaim keuntungan-keuntungannya seolah-oleh sebagai “upah pengawasan”, karena mereka tidak mengawasi apapun. Biarkan lah para pembela modal menggembar-gemborkan bualan itu, namun omongan mereka akan selalu kita ingat-ingat.
Tapi, seperti telah dijelaskan dalam nomor minggu yang lalu, telah kita coba buktikan bahwa kelas kapitalis yang itu juga yang menjadi tak mampu lagi mengelola sistem produktif raksasa negeri ini; bahwa, di satu pihak, mereka telah memperluas produksi sehingga secara berkala membanjiri seluruh pasar dengan produk-produk perusahaannya namun, di lain pihak, menjadi semakin tidak mampu lagi mempertahankan dirinya terhadap persaingan dari luar (negeri). Demikian lah, telah kita buktikan bahwa kita bisa mengelola industri-industri besar negeri dengan sangat baik tanpa campur-tangan kelas kapitalis, karena campur-tangan mereka itu semakin menjadi sangat mengganggu.
Katakan kembali kepada mereka: “Menyingkir lah! Berikan kesempatan kepada kami, kelas pekerja.”

Organisasi sebagai alat perlawanan

Sebelum lebih jauh, baiknya kita mendefenisikan terminologi gerakan, terkadang ketika menyebut nama gerakan, maka arah pikiran kita adalah aksi ekstra parlementer, pemogokan massal, pawai, unjuk massa, dll. Defenisi tersebut tidak tepat, karena hanya didefenisikan dari satu sisi gerakan itu sendiri. Gerakan didefenisikan sebagai usaha-usaha untuk melakukan perubahan kondisi menjadi lebih baik/ kondisi idealitas yang melibatkan keseluruhan potensi actual seseorang atau kelompok seperti intelektualitas, emosional dan kekuatan pisik Organisasi merupakan merupakan sebuah alat dan pilihan strategis untuk melakukan gerakan, dengan demikian gerakan akan lebih booming ketika dilakukan secara berkelompok dan setiap gerakan akan berhasil jika ditopang oleh sebuah wadah organisasi yang rapi, tersistematis dan konsisten menjalankan tujuan-tujuan organisasi. Pada dasarnya tujuan organisasi merupakan sebuah cita ideal yang dirumuskan secara bersama yang melibatkan intelektualitas dan emosional sehingga pengawalan dengan ketat cita-cita itu adalah merupakan sebuah keharusan dan kemuliaan bagi aparatusnya.

Dalam konteks gerakan kemahasiswaan, lembaga intra universiter merupakan salah satu wadah yang strategis dalam melakukan gerakan-gerakan. Ada beberapa hal yang mendasari, kenapa penulis mengatakan demikian, pertama potensi intelektualitas. Intelektualitas merupakan salah satu yang urgen dalam gerakan, karena meyangkut perumusan tujuan, strategi dan taktik gerakan secara makro. Kedua, pola pikir yang kritis. Sebuah pola pikir yang anti establishment merupakan modal gerakan yang paling revolusioner, karena tidak langsung menerima setiap keadaan yang dilihat dan dirasakannya. Sebuah pola pikir-mencantol pikiran Paulo Praire- yang melewati kesadaran magis dan kesadaran naïf. Pola pikir kiritis bukanlah pola pikir budak (baca: mahasiswa apatis) yang ketika melihat dan merasakan penindasan tidak melakukan usaha untuk keluar dari masalah tersebut. Ketiga, radical dalam perubahan. Terminology radical sering mengalami penyempitan makna, yang berasal dari kata radoks, yang berarti akar, jadi radikal itu merupakan sesuatu yang sangat mendalam (pemahaman yang mengakar). Dalam konteks gerakan, maka gerakan radikal adalah gerakan yang sungguh-sungguh memperjuangkan ide-idenya. Kemudian yang ke empat adalah basis massa yang jelas. Kekuatan massa mahasiswa merupakan massa yang relative mudah disentuh melalui pikiran-pikiran sehingga untuk pemobilisasian (dimensi pisik gerakan) relative cepat.
Wadah kemahasiswaan merupakan “salah satu” untuk media gerakan untuk perjuangan hak-hak sipil/rakyat seperti keadilan (politik, hukum, ekonomi), kemanusiaan dan demokrasi dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai dari sisi ekonomi, politik, social, kebudayaan sampai apek ketahanan/ kekuatan negara. Sengaja saya memblok, memiringkan dan memberi tanda petik, agar diperhatikan dan dilakukan upaya penghayatan terhadap kondisi gerakan kemahasiswaan kekinian, agar tidak terjadi fasisme dan disorientasi dalam tubuh gerakan mahasiswa itu sendiri. Menurut aku, wadah lembaga kemahasiswaan tidak boleh terlepas dari terminology gerakan. Sehingga segala potensi lembaga-lembaga kemahasiswaan intra (maupun ekstra) diarahkan untuk upaya perbaikan kondisi kekinian yang dialami bangsa ini yang sudah jatuh dari keterpurukan, keambrukan, patologi atau kemabukan social. Dengan demikian karakter diperlukan dalam tubuh lembaga kemahasiswaan. Ngomong masalah karakter, maka berbicara tentang identitas yang suci yang melekat pada organ atau tubuh manusia. Karakter merupakan suasuatu yang inheren pada kedirian manusia. Dalam terminology Bugis-Makassar (maaf bukan karena primordialisme) kata manusia identik dengan tau. Tau merupakan predikat nilai/karakter pada makhluk yang berakal. Tau mempunyai arti antara niat, ucapan dan tindakan harus sama. Dan sepenjang pengetahuan aku, antara tau dan tai (baca: tinja) itu beda. Karena lembaga kemahasiswaan bukan disi oleh binatang maka lembaga kemahasiswaan diisi oleh karakter-karakter manusia seperti; sikap dan perilaku independensi, intelektual-kritis-solutif, moralitas-spritual. Atau setidaknya pilihan independensi sesuatu yang mutlak pada gerakan. Independensi merupakan terma yang berasal dari kata independent yang berarti merdeka, atau bebas. Jadi independensi adalah suatu sikap yang tidak tergantung pada siapapun (baca : selain Dia). Dalam wilayah gerakan kemahasiswaan berarti bahwa gerakan mahasiswa, termasuk individu mahasiswa merupakan makhluk yang tidak tertikat atau tergantung pada donor/uang, pulsa seseorang atau sekelompok barisan tertentu yang mempunyai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Modal yang kedua adalah gerakan mahasiswa tentunya intelektualitas. Intelektual dalam terminology Ali Syariati adalah insan-insan rausyan fikr atau dalam bahasa Antonio Gramski, intelectual organic yakni intelektual yang berpihak pada kepentingan-kepentingan rakyat. Intelektualitas adalah merupakan milik rakyat yang harus diabdikan kepadanya. Intelektualitas yang mempunyai arah untuk upaya-upaya solutif terhadap perbaikan kondisi yang jauh dari konsepsi idealitas. Yang ketiga adalah sebagai kekuatan atau benteng moralitas. Ketika moralitas para pengambil kebijakan mayoritas bobrok, maka mahasiswa yang diidentifikasi sebuah makhluk yang relative bersih dan terlepas dari kepentingan politik tertentu maka berkewajiban untuk melakukan peringatan terhadap mereka yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pasar (kapitalisme-neoliberal) dan kepentingan golongan.

Kapitalisme-neoliberal (globalisasi)adalah mitos
Perbincangan mengenai neoliberalisme (globalisasi) merupakan bukanlah wacana baru. Pro dan kontra terhadap kebijakan ini pun bermunculan. Diberbagai media dan ucapan kaum globalis internasional dan domestik dengan berbagai argumentasi menganggap bahwa hanya sistem inilah satu-satunya cara untuk kesejahteraan dunia dan ummat manusia. Tetapi disisi yang lain para aktivis penentang globalisasi ini menganggap bahwa sistem ini tidak lebih dari bentuk baru dari penindasan/penjajahan (neo-kolonialisme). Sejak awal kemunculan globalisasi –dibidang sosial ekonomi--dipandang sebagai keniscayaan untuk kesejahteraan ummat manusia. Tetapi pertanyaan ekonomi-politik yang mesti dijawab adalah “Apakah globalisasi menguntungkan? Kalau ya, menguntungkan siapa dan apakah ada yang menanggung rugi atau membayar biaya globalisasi tersebut? Apakah globalisasi menjamin bahwa satu kelompok negara diuntungkan dan yang lainnya tidak dirugikan?”, “Apakah globalisasi itu memang persaingan bebas, tanpa intervensi negara? Dan yang teakhir adalah bagaimana kita harus memahami sosok globalisasi itu ?
Dalam menjalankan agenda neolib, para globalis dengan sangat yakin bahwa pemenuhan kesejahteraan dunia dan ummat manusia hanyalah dengan tatanan ekonomi-neoliberal, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi harus dipacu, kita tumbuh dahulu, kue menjadi sangat besar, baru dibagikan secara merata. Dengan asumsi demikian maka kita perlu utang luar negeri, perlu modal dengan penanaman modal asing, perlu investasi, dll. Dan dengan keyakinan adaya mekanisme nenetes kebawah (trickle down effec), bahwa setelah para pelaku-pelaku aktif dari eknomi ini telah berhasil baru kekayaan tersebut didistribusi kerakyat. Dan perlu diingat bahwa utang tersebut adalah milik rakyat, jadi harus rakyat yang bayar. Alhasil, sangat sedikit yang dinikmati oleh rakyat pada masa Orde Baru dan penderitaan rakyat yang dialami hingga sekarang (Awalil Rizky, Agenda Neoliberalisme di Indonesia: 2006). Tetapi yang diuntungkan dalam dalam proses pasar ini adalah hanya bagi para pemilik modal raksasa itu sendiri dan para cukong-cukong kapitalis domestik .
Proses globalisasi ekonomi dan keuangan menggiring semua elemen kehidupan dan pranata-pranata untuk masuk secara langsung atau tidak langsung didalamnya. Acuan seluruh perkembangan institusi dan batasan bidang-bidang sosial ekonomi nasional adalah arah proses globalisasi itu sendiri. Dengan demikian kelihatannya proses globalisasi ini tidak terhindarkan bagi individu, masyarakat dan negara untuk secara mandiri menentukan arah dan strategi pembangunan nasionalnya.
Tetapi proses ini sesungguhnya bukanlah tanpa kendali (Didik J. Rahbini: 2001), karena aktor-aktor global yang menguasai modal seperti TNCs, TMNCs yang mengatur segala aktivitas ekonomi mulai dari prodak-prodak komsumsi, rumah tangga, barang elektronik sampai otomotif. Integrasi kedalam pasar yang semakin dalam dilakukan dengan dominasi lembaga-lembaga keuangan, investasi dana, dan pialang dibursa dalam sistem ekonomi dan mempengaruhi sistem keuangan suatu negara. Pada dimensi inilah globalisasi menyentuh sistem dan istitusi negara, dan dapat mensubordinasi sistem sosial politik suatu negara, institusi parlemen, kepresidenan, dll yang dengan mudahnya dipengaruhi oleh proses globalisasi.
Gagasan-gagasan pokok dari neoliberalisme adalah, pengembangan kebebasan individu untuk bersaing dipasar, pengakuan kepemilikan pribadi terhadap sektor-sektor produksi dan jasa, penertiban agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan beberapa agenda-agendanya seperti liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran belanja negara (pengurangan dan penghapusan subsidi), dan privatisasi BUMN, dll. Jadi disini peranan negara menjadi kerdil/stateless (Eko Prasetyo :2005), negara hanya cukup menjadi wasit yang baik untuk menyaksikan persaingan antara usaha-usaha rakyat dengan para pelaku bisnis internasional yang berkalobarasi dengan pebisnis domestik yang mempunyai modal yang besar. Gagasan dan agenda tersebut agar dapat berjalan dengan lancar, maka mereka melakukan dengan cara yang sangat halus dengan pertama, melaui penjelasan akademis tentang keuntungan-keuntungan yang diperoleh ketika kita berintegrasi dengan pasar sampai pada bantuan teknis termasuk pelatihan-pelatihan sistem ekonomi pasar seperti yang telah dilakukan oleh ekonom barkeley atau mafia poros Washinton (Awalil Rizky: 2006). Kedua, pendiktean kebijakan yang harus dijalankan negara sedang berkembang (NSB) seperti perundang-undangan atau perpres (UU Migas, UU pengelolaan sumber daya Alam, perpres 36/2006, dll), dll yang disepakati melalui perjanjian dengan IMF (Internasional Moneter Fund) yang dikenal dengan LoI (Letter of Intent) dan harus dijalankan sebagai syarat untuk menambah posokan utang untuk pasokan devisa karena akibat krisis keuangan. Dan kesmuanya akan menagrah pada pengecilan peranan negara, sekaligus meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara sebatas menjadi wasit dalam persaingan, penjamin keamanan, pemberlakuan hukum untuk ketertiban dan hanya dalam keadaan terpaksa memberi bantuan darurat. Pasarlah yang kemudian menetukan tentang apa saja: apa yang diproduksi dan berapa banyak, berapa banyak yang bekerja ini berarti berapa banyak yang harus menganggur, berapa upahnya, dan siapa yang menikmati dari pertumbuhan ekonomi. Dan ini berarti bahwa tidak ada jaminan negara terhadap kondisi yang dialami oleh rakyatnya yang bekerja disektor perburuhan. Yang dijanjikan adalah jika dilaksanakan dengan konsisten maka akhirnya semuanya akan sejahtera, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Dan akan bermuara pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat akan diabaikan oleh negara, pendidikan semakin mahal, terjangkau, kebutuhan harga bahan makanan yang melonjak, perumahan yang tidak terjangkau, penggusuran, dll (Eko Prasetyo: 2005).
Gagasan pokok dari kapitalisme-neoliberal berasal dari akar pemikiran tokoh-tokoh filsafat Inggris (Manfred B Stringger, Globalism The New Market Ideologi:2002), seperti Adam Smith (1723-1790) yang mempunyai gagasan tentang homo economicus, berpandangan bahwa masyarakat terdiri dari individu yang bertindak sesuai dengan kepentingan ekonominya dan kegiatan ekonomi dan politik sama sekali terpisah sehingga peranan negara dalam ekonomi akan merusak sistem atau mekanisme pasar. Pasar dengan sendirinya akan mengikuti hukum permintaan dengan penawaran yang disebut mekanisme otomatis (self regulation). David Ricardo (1772-1823) yang berpandangan bahwa perdagangan bebas akan sama-sama menguntungkan, sehingga setiap negara mengkhususkan diri untuk memproduksi barang dan jasa tertentu dan dapat memberi keuntungan komparatif terhadap negara lain yang memproduksi barang dan jasa tertentu yang lain. Ia menambahkan bahwa spesialisasi perdagangan akan tetap meningkat, meskipun suatu negara memiliki keuntungan yang lebih banyak ketika ia dapat memproduksi barang yang beragam. Ini secara politis melahirkan argumen yang sangat kuat untuk membatasi peran negara dalam hal produksi barang dan jasa yang lebih banyak jenisnya, meskipun negara itu mampu secara SDA. Pandangan ketiga dari Herbert Spencer (1820-1903), yang menguatkan teori evolusi seleksi alam Darwin. Ia mengatakan bahwaekonomi pasar merupakan bentuk paling beradab dari persaingan antar manusia secara alamiah dan menempatkan posisi yang palig kuat sebagai pemenang. Ia pula sebagai pendukung kapitalisme awal yang membatasi tugas negfara hanya untuk melindungi individu dari agresi internal dan eksternal ronrongan dari individu lain. Dari ketiga tokoh tersebutlah lahir tentang gagasan-gagasan sebuah sistem ekonomi yang senantiasa berkembang dengan nama yang berbeda-beda, tetapi tetap mengarah pada pengakumulasian modal pada kelompok tertentu.
Dengan demikian, cara memahami yang paling dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan mencermati relasinya dalam konteks historis, kemudian melihat bagian apa saja yang dari masing-masing pengertian tersebut yang tidak mengalami perubahan yang berati. Bisa pula ditarik kesimpulan yang bersifat filosofis tentang pandangan-pandangan dasarnya, jika memahaminya sebgai ide. Atau mengidentifikasi dasar-dasar dari struktur sosial ekonominya, jika melihatnya sebagai sebuah sistem ekonomi dan politik.
Gerakan Mahasiswa, GSB dan kapitalisme-neoliberalisme
Ternyata sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal di Indonesia merupakan kelanjutan dari sistem penjajahan yang dijalankan oleh kolonialisme yang dijalankan Belanda dan sistem ekonomi pembangunanisme yang dijalankan oleh Orde Baru. Kenapa kita mesti menolak? Ada beberapa alasan, yang pertama bahwa sistem kapitalisme terbukti menguras kekayaan alam kita, hasil kekayaan alam dilarikan keluar negeri, kedua, pengakumualasian modal/ uang hanya pada segelintir orang atau hanya kelompok kapilalis, ketiga, terjadinya persaingan secara bebas antara rakyat dengan pelaku ekonomi negara-negara maju yang ditopang oleh negaranya, sehingga akan mematikan usaha-usaha dalam negeri, keempat, negara tidak mempuyai kedaulatan penuh terhadap penentuan kebijakan, tentunya akan beribas pada, bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD ’45 yang menginginkan kedaulatan ekonomi harus diarahkan pada sistem ekonomi kerakyatan. Jadi ini berarti tidak ada kemandirian atau kedaulatan ekonomi Indonesia. Perubahan dimensi ekonomi politik suatu negara akan segera mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Konsep ekonomi liberal mendorong pola komsumsi yang sangat menggila pada masyarakat (Makmuralto: 2006), sehingga masyarakat hanya dipandang sebagai lahan untuk menjajakan hasil-hasil produksi.
Dengan analisa sederhana bahwa ada tiga kekuatan (birokrasi pemerintahan, elite politik); kekuatan rakyat, modal dan negara. Dalam konsep neoliberalisme negara hanya berfungsi sebagai wasit pasar, justru akan semakin memarginalkan posisis rakyat disatu sisi dan lainnya akan semakin menguntungka modal. Jadi rakyat posisinya tidak terlindingi, hak-haknya tidak diperhatikan oleh negara akhirnya akan berada pada posisi subordinasi, termarginalkan secara struktur.
Dalam proses globalisasi ini kita dapat memetakan sikap-sikap umum, yang pertama penganut. Meraka adalah orang yang secara sadar menggabungkan diri pada proses tersebut, seperti globalis internasional, cukong kapitalis domestik, para pekerja profesional (para bangkir dan ahli-ahli keuangan), kalangan akademisi, atau ekonom yang secara sadar mengakampanyekan kebaikan dan kemanisan neoliberalisasi. Serta kalangan politisi yang in power yang membutuhkan modal untuk mempertahankan kekuasaannya. Kedua, pendukung yang kurang sadar, yakni masyarakat umum minoritas yang bisa survive, pengusaha-pengusaha menengah, yang mendapatkan sedikit keuntungan. Yang ketiga adalah korban, mereka yang dipaksa secara sistematis untuk mendukung, seperti mayoritas rakyat, para buru, petani, pedagang-pedagang kecil, dll. Yang kelima adalah penentang, yang masih bersifat individu dari berbagai kalangan dan secara terorganisir yang baru dalam tahapan embrio perlawanan yang menyadari adanya kesalahan yang dilakukan oleh sistem pasar ini.
Dengan melihat pemaparan diatas, maka posisi gerakan mahasiswa adalah melakukan pembelaan terhadap dominasi kekuatan pasar yang tidak adil dan eksploitatif. Dalam menjalankan agenda perlawanan atau pembelaan mahasiswa terhadap kaum lemah dan terpinggirkan secara sistemik, maka pilihan pilihan strategi dan taktik diperlukan dengan membentuk aliansi-aliansi yang sifatnya ideologis, idealistis, strategis atau taktis dengan berbagai ranah kehidupan dengan bentuk aksi-aksi penetangan terhadap pengurangan atau pencabutan subsidi rakyat, menetang privatisasi BUMN, mengkritisi APBN/ APBD yang pro-pasar, advokasi korban neoliberalis, mengkritisi berbagai peraturan dan perundang-undangan, termasuk rancangannya yang mengarah pada pasar, mempertahankan dan konsisten terhadap pelaksanaan pasal 33 UUD ‘1945, dll.
Maka mau atau tidak ketika mahasiswa sebagai salah satu bagian dari gerakan pembela rakyat, maka dibutuhkan aliansi-aliansi untuk melakukan perlawanan secara massal terhadap neoliberalime. Konsep atau gagasan gerakan sosial baru, bisa menjadi tawaran terhadap perlawanan secara massif tersebut. karena pada dasarnya GSB ini tidak terpatok ideologi, tetapi lebih terbuka terhadap aliansi-aliansi yang sifatnya tidak mengikat dan lintas sektoral geografis, agama, suku, dll yang sepanjang adanya kesadaran bersama bahwa sistem kapitalisme-neolib ini adalah penyebab utama (causa prima) dari kemerosotan sosial, ekonomi dan penderitaan rakyat. Model gerakan GSB yang menekankan pada penguatan cultural dan sesekali melakukan gerakan politik ini berhasil dilakukan dengan baik oleh gerakan rakyat/masyarakat adat Chiapas di Meksiko dan beberapa negara-negar di Amerika Latin, Venezuela, Bolivia, dll yang berhasil mengubah tatanan negara yang sebelumya mengabdi pada Neoliberalisme Sebagai individu gerakan ini meliputi sikap dan cara hidup (life stile) tidak konsumeris dan hedonis atau tidak merasa tergantung pada sesuatu hal yang sifatnya materialis. Kejahatan yang besar dari kapitalisme neoliberal adalah bukan semata-mata karena mereka menindas dan menyengsarakan rakyat tetapi mereka telah memperkenalkan dan mengajarkan cara-cara jahat untuk mengeksploitasi rakyat. Pimpinan tetinggi revolisi gerakan Zapatista, Subcomandante Insurgente Marcos (1994) mengatakan bahwa kami tidak ingin orang lain, entah itu kanan, entah tengah, ataukah kiri yang memutuskan nasib kami. Kami ingin berperan langsung dalam putusan-putusan yang mempengaruhi kami, untuk mengontrol mereka yang memerintah kami, tanpa menghiraukan afiliasi politik mereka dan mewajibkan mereka untuk memerintah dengan patuh. Kami berjuang bukan untuk menggulingkan kekuasaan, kami berjuang untuk demokrasi, kebebasan dan keadilan. Adakah elite negara dinegeri ini yang bisa seberani melakukan perlawanan terhadap dominasi kapitalis neoliberal Amerika Serikat dan sekutunya ? seperti yang dilakukan oleh Subcomandante Marcos (Meksiko), Ahmadidenejad (Iran), Moamar Kadafi(Libya), Evo Morales(Bolivia), Hugo Chavez(Venesuela), Fidel Castro (Kuba).

*) Kabid PTK HMI Cabang Makassar Periode 2005-2006