Januari 15, 2009

Menakar Bawah Sadar Kolektif

Sosiologi menemukan bahwa manusia tak bisa mengelakkan dirinya dari sebagai mahluk sosial dan mahluk individu. Cerita Robinson Croezo dan Tarzan hanyalah semacam kerinduan individu tentang dunia utopia yang memungkinkan individu hidup tanpa orang lain. Namun dalam cerita fiksi itu juga telah terjadi komunikasi diri manusia praktis tak kurang dari masyarakat manusia dalam bentuk lain, yang tidak memungkinkan individu benar-benar bisa murni sendirian.

Masyarakat yang menjadi tempurung hidup manusia sebagai mahluk sosial, tidak semata-mata hanya memberikan batasan, tekanan dan rongrongan pada kebutuhan individu, tetapi juga service yang lumayan mahal. Antara lain misalnya: perlindungan, pelayanan dan solidaritas emosional yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan individu dalam mengejar kesempurnaan hidupnya sehingga ia merasa puas, bangga dan bahagia. Hanya saja berapa besar yang harus dibayar oleh individu tersebut, sebagai imbalannya, memang berbeda-beda, sehingga selalu muncul 2 kecendrungan. Di satu pihak individu merasa aman dan nyaman hidup sebagai anggota masyarakat, di pihak lain individu memberontrak bahkan memusuhi masyarakat yang cenderung memberangusnya.

Dalam kehidupan sehari-hari hidup seseorang dikelilingi oleh balok-balok pembatasan sosial seperti: tata-krama, ethika, hukum, norma, kelayakan, kepatutan, kebenaran, keadilan, kebersamaan, persatuan, perdamaian, tepo sliro, tenggang rasa, gotong-royong, tolong-menolong, pengertian, solidaritas, simpati dan lain sebagainya. Kecuali hukum yang jelas ada datanya secara tertulis dengan negara sebagai pemberi sanksi apabila dilanggar, yang lain-lain lebih merupakan kesepakatan yang tidak tertulis. Sejarah sudah membentuk, menimbun dan kemudian otomatis mendistribusikannya dalam kehidupan sehari-hari kepada individu untuk menjaga agar lalu-lintas hidup bermasyarakat teratur.

Individu yang terlalu berbeda nasibnya dengan rata-rata anggota masyarakat umumnya, mungkin merasakan aturan-aturan itu lebih banyak merugikan, karena cendrung membatasi. Kalau ia memiliki kekuatan, katakanlah uang, ia masih sanggup menerima semua itu dengan lapang dada. Tapi kalau ia dalam posisi “papa” yang tak berdaya, sementara negara masih belum sanggup melindunginya secara adil, ia akan menjadi pecundang. Namun karena ia mahluk yang memiliki akal, ia akan berusaha sedemikian rupa untuk menghilang, sehingga tidak kelihatan oleh segala aturan itu dan pada saat yang sama kemudian mencuri kesempatan untuk memanfaatkannya. Walhasil sebenarnya sudah terjadi berbagai permainan yang bervariasi dalam praktek kehidupan,sehingga hubungan antara manusia dengan rambu-rambu sosial dalam masyarakat memiliki berbagai bentuknya.

Yang menarik adalah bahwa ketika manusia memiliki kesempatan untuk menghindar dari rambu-rambu hidup bermasyarakat itu, ia tak benar-benar tercabut. Ada saja celah-celah yang dipeliharanya agar hubungan tetap terjalin. Di dalam kehidupan kota metropolitan, ketika hubungan keluarga, tetangga, bahkan mungkin pekerjaan tak mampu lagi menjamah ke dalam kotak-kotak kehidupan individu, individu sendiri kemudian menghidupkan balik hubungan itu dengan berbagai upaya sosialisasi. Bar, rumah makan, bioskop, tempat-tempat olahraga, dikotek, café bahkan tempat judi, lokalisasi pelacuran dan kemudian berbagai jenis perkumpulan bermunculan sebagai komununitas menampung keinginan untuk dengan sukarela menundukkan diri pada kehidupan berkelompok yang lebih eksklusif.

Seorang Jawa/Bali/Batak atau Padang misalnya bahkan juga tak terkecuali etnis Tionghwa, Arab, India, kulit putih yang lari dari tradisinya dan memilih hidup di kota besar di mana tidak lagi ada hubungan bebrayatan (paguyuban), ketika menjadi orang kaya-raya, tiba-tiba selalu punya kerinduan untuk mengundang saudara-saudaranya. Ia juga akan menyelenggarakan upacara pernikahan anaknya secara besar-besaran menurut tradisi komplit di kampungnya. Tak jarang ia akan mengadakan kunjungan mudik secara berkala. Dan kalau ia pulang, ia tidak hanya mengunjungi saudara-saudara dan familinya, tetapi seluruh komunitas di masa lalunya. Untuk itu ia kadang harus mengeluarkan biaya yang tak kecil, sehingga bukan rahasia lagi, ritual mudik sudah menjadi sebuah upacara yang mahal dan tak bisa dicegah kemudian “menyiksa” individu tapi tok dijalani dengan senang hati.

Dalam banyak hal bawah sadar kolektif, memang bisa menimbulkan kerugian. Bukan hanya kerugian materiil tetapi juga psikis. Dalam keadaan tak bebas mengekspresikan kehendaknya, individu tumbuh dalam tekanan. Seseorang tak pernah benar-benar punya kesempatan menghadapi kehidupan sendirian. Selalu ada saudara, tetangga, famili. Lingkungan RT, RW, kampung, desa, kemudian kota dan bangsa serta negara yang ikut menjadi bagian dirinya. Beban dan sekaligus solidaritas kelompok itu menyebabkan individu kadang tak maksimal berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Mereka berusaha secukupnya saja. Malah cenderung tidak terlalu maju supaya/sehingga tidak terlalu terpisah dari kelompoknya. Sementara di sebaliknya, banyak sekali individu menganggap nasibnya adalah bagian dari tanggungjawab kelompok, sehingga ia merasa bodoh kalau mesti banting tulang mati-matian kendati untuk nasibnya sendiri. Dengan kata lain kesadaran kolektif itu cenderung membuat individu menjadi malas.

Ada seorang tukang asinan yang bertahun-tahun hidup sebagai penjual asinan. Dagangannya bersih dan laku keras. Tapi rumahnya yang terjepit oleh rumah lain di se buah gang kecil tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Ia menjual asinan secukupnya saja untuk biaya sehari-hari, kalau hasilnya sudah cukup banyak ditabung, ia pulang kampung, bergabung dengan saudarap-saudaranya bertani. Bukan untuk menambah penghasilan, tetapi karena berkumpul adalah semacam ritual kebahagiaan.Setelah uangnya habis, ia kembali ke kota dan mulai lagi jualan asinan. Nanti sesudah terkumpul lagi jumlah yang cukup, ia kembali ke desa dan mengulang seluruh ritual mudik itu. Hal-hal seperti itu mungkin yang mengawali atau justru mendorong pemeo: “Mangan ora mangan pokoke kumpul” (Jawa: Makan tidak makan asal kumpul).

Pemeo itu sendiri kalau diresapi dengan curiga, mengandung rahasia. Seakan-akan itu sudah diciptakan oleh komunitas yang sudah ditinggalkan oleh individu yang membelot. Pemeo itu dengan setia menunggu, kalau tidak bisa dikatakan dengan halus mengganggu individu yang melakukan disersi tersebut. Ketika individu tersebut sudah dalam keadaan siap “ditembak” (karena kondisi sosialnya sudah bagus), pemeo itu muncul dan individu dengan mudahnya terjaring, karena sebagaimana juga komunitas itu sendiri, ia juga merindukan berkumpul kembali. Kini tidak lagi menyikapi komunitasnya sebagai bencana tetapi kelebihan.

Tapi dengan demikian kesadaran kolektif seperti membuat seorang individu tak pernah benar-benar lepas dari kelompok. Ia adalah anggota yang setia. Tak hanya karena secara berkala selalu kembali ingin bergabung, tetapi dalam rentang waktu yang panjang nasibnya tetap relatif sama. Tidak berbeda secara sosial dengan lingkungan awalnya, sehingga ia masih selalu dapat diidentivikasi sebagai bagian dari keutuhan – justru karena keterbatasannya (baca: kegagalannya) mengembangkan diri. Ketidakberhasilan individu untuk mencapai puncak kapasitasnya, membuat kelompok menjadi tetap memiliki wibawa. Solidaritas kelompok tak pernah kendor. Rasa satu pun terus bisa dipertahankan, karena tidak ada perbedaan antara individu yang boleh mendatangkan konflik. Walhasil kegagalan individu menjadi penting sebagai pelestari kehidupan bersama. Kesama-rataan tidak didapatkan melalui pemerataan yang adil, tetapi usaha setiap individu untuk membatasi potensinya hanya sampai sebatas yang “diperbolehkan” oleh kebersamaan. Dalam masyarakat yang individunya seperti itu, masyarakat cenderung terus terkebelakang.

Bawah sadar kolektif membuat individu jadi berdesiplin. Tak ada anggota yang melakukan penyimpangan atau usaha yang mungkin menyulut perbedaan. Masyarakat dengan demikian menjadi terjamin tenteram/statis dalam waktu yang lama. Tidak ada perubahan. Ini cocok dengan adat dan tradisi yang membutuhkan lahan yang tak bergerak, agar bisa tetap tegak kukuh. Artinya keteguhan adat dan tradisi, sebaliknya juga adalah indikasi yang menandakan bahwa sebuah masyarakat memiliki bawah sadar kolektif yang kuat. Dalam masyarakat itu hukum yang tidak tertulis, kebiasaan norma dan tata-krama menjadi sangat kuat.

Bila aturan-aturan tidak tertulis memiliki kekuatan sedemikian rupa, dapat disimpulkan bahwa kesadaran kolektif tebal. Apakah itu karena kesadaran atau tekanan, itu soal yang lain lagi. Yang jelas sebagai out putnya ada ketertiban dan ketenangan. Yang pantas diupayakan adalah agar ketertiban itu tercipta oleh kesadaran bukan tekanan. Dan kesadaran itu, seperti yang sudah kita bincangkan di atas, hanya bisa terjadi, apabila individu-indvidu memperoleh kepuasan dalam kehidupan pribadinya. Karenanya kesadaran kolektif itu tidak bisa dipaksakan. Begitu dihimbaukan atau hanya sekedar disarankan, ia sudah mulai merupakan gangguan yang membuat individu merasa terancam. Kekuasaan harus tetap di tangan individu yang kemudian dengan sukarela mendelegasikan kekuasaannya itu pada komunitas untuk mengaturnya, dengan catatan sewaktu-waktu bisa dicabut. Bila itu terlaksana, tak akan ada individu yang ingin mencabutnya, karena ia pasti berhadapan dengan individu yang lain, kalau melakukan penyimpangan.

Bawah sadar kolektif adalah salah satu ciri yang mendasar dalam masyarakat Timur. Inilah yang sudah dianggap membedakan budaya Timur dengan Barat. Tetapi tidak sepenuhnya benar. Barat juga memiliki bawah sadar kolektif dan sama tebal kadarnya dengan Timur. Hanya saja untuk menghidupkan itu, Barat tidak mau melukai atau menodai kebebasan individu. Barat melakukannya melalui jalan formal, dengan aturan, kesepakatan yang tertulis dengan sanksi-sanksi yang jelas. Sementara Timur meskipun nampaknya menempuh kedaulatan kesadaran keloktif itu dengan merugikan individu, namun pada hakekatnya akhirnya tidak seperti yang dilihat oleh Barat. Timur juga sangat menghargai kedaulatan individu, tidak lewat individu itu sendiri tetapi lewat individu yang lain.

Barat sangat menjaga keselarasan hak dan kewajiban. Sedangkan Timur lebih memulyakan kewajiban, sementara hak individu dijaga oleh individu lain sehingga tak tak perlu merepotkan kepentingan individu itu sendiri. Barat mengejar kebenaran secara formal sedangkan Timur memakai rasa. Barat ingin mengakkan hukum, sementara Timur memilih harmoni. Dalam bentuk dan jalan yang ditempuh itu ada perbedaan, namun pada ujung-ujungnya bertemu. Hanya karena gaya hidup sudah bercampur-baur, maka kedua bentuk pencapaian kebahagiaan hidup itu jadi saling bertumpang tindih, hingga dalam memecahkan masalah harus diteliti per kasus. Karenanya reinterpretasi setiap saat diperlukan untuk menemukan pencerahan.

Pada tahun 1987, saya mendengarkan ceramah Mulya Lubis di Madison, Amerika Serikat. Ia mengungkapkan bahwa keadilan seperti sulit dikejar di masyarakat Timur, karena anggota masyarakat cenderung tidak suka ke pengadilan untuk menyelesaikan perkara. Kesadaran kolektif yang memujikan harmoni seperti menganggap berperkara adalah berkelahi. Itu berarti menodai harmoni. Karenanya penegakan hukum menjadi seret.

Saya berpikir keras oleh pernyataan itu. Batin saya membantah, namun saya tak bisa memberikan argumentasi. Beberapa lama kemudian, saya teringat kejadian yang menimpa diri saya waktu masih di sekolah di SMA Singaraja.. Saya kena serangan malaria sehingga mendekam di Rumah Sakit selama 2 Minggu. Keluarga saya dari Tabanan (80 KM) bergiliran datang menjenguk. Setelah sembuh saya cepat-cepat mau meninggalkan Rumah Sakiit itu, tapi Ibu saya melarang. Alasannya hari itu masih ada satu keluarga lagi yang mau datang menjenguk. Saya dipaksa untuk tetap sakit satu hari lagi, untuk -- menurut logika Ibu saya -- memberikan kesempatan pada keluarga itu mengunjungui saya masih dalam keadaan sakit di Rumah Sakit. Menurut dia saya harus menghargai kedatangannya. Saya harus menghargai haknya menjenguk. Waktu kejadian itu berlangsung, saya yang sudah mulai berpikir individualistis merasa sangat tertekan. Dua puluh tahun kemudian, pengalaman itu muncul kembali dalam bentuk lain, sehingga saya merasa dapat membantah pernyataan bahwa orang Timur tak punya kesadaran hukum. Hanya saja dalam alam pikiran Barat hak setiap orang dipertahankan oleh orangnya sendiri dengan hukum sebagai wasit, hak setiap orang dalam kesadaran Timur dijaga oleh orang lain sesuai dengan rasa.

Masalahnya sekarang, apa yang saya ceritakan di atas, mungkin benar sebagai argumentasi dalam berdiskusi. Dalam kenyataan, karena kehidupan sudah menjadi kompleks dan campur aduk, keadaannya sudah lain. Kesadaran kolektif bisa setiap saat menjadi negatif atau positif tergantung kasusnya. Orang Bali bilang tergantung desa-kala-patra (tempat-waktu-keadaan). Jadi semuanya hanya bisa dijadikan bahan pertimbangan. Apakah kesadaran kolektif itu sebuah potensi atau kelebihan, atau sebuah gangguan yang dapat menghalangi kita memasuki kehidupan modern. Apakah sebuah ciri khas atau identitas, sebutlah kepribadian, harus dipertahankan dan kenapa? Atau sesuai dengan perkembangan, pertumbuhan dan juga perubahan, kita mesti membongkar segala yang lokal yang tidak perlu lagi, agar bisa memasuki pergaulan dunia, khususnya sebagai manusia global dalam era globalisasi ini?

Tetapi seperti yang dikemukakan sosiologi, apa pun yang kita rencanakan, mengubah kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial dan sekaligus mahluk individu nampaknya mustahil. Itu sudah seperti kutukan. Kita manusia memang mendua, punya dua hal yang berbeda di dalam diri kita secara mendasar. Bahkan saya merasa hal itu juga tercermin dalam motto yang dicengkeram oleh kaki Garuda dalam lambang negara Panca Sila: Bhineka Tunggal Ika. Dua hal yang bertentangan datang serentak. Dalam masyarakat yang menjunjung rasa sebagai sesuatu yang luhur, tak akan sulit untuk membuat kedua hal yang kontras itu bersanding. Ana tan ana (ada tidak ada), puyung-maisi (kosong berisi) kata kebijakan lokal dalam filsafat hidup orang Bali yang saya kira di setiap tradisi kita di Indonesia juga ada dengan nama yang lain-lain.

Manusia sebagai subyek segala penemuan budaya (buah budi manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya) adalah pemeran utama, yang memakai dan kemudian mengembangkan seluruh idiom kehidupan itu. Selama manusianya hidup dan senantiasa kritis terhadap segala hal, bawah sadar kelektif akan dapat diarahkan kepada sasaran yang tepat, sehingga ia memiliki arti yang positif. Bagaimana pun, fenomena itu tetap akan menguber kehidupan, bagai bayang-bayang dalam perjalanan hidup manusia, sehingga kita tidak bisa lain kecuali menerima dan kemudian mencegah jangan sampai menjadi korbannya, tetapi justru tuan yang memanfaatkannya.

oleh Putu Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...