Maret 22, 2009

Kapitalisme Menggusur Papua


Oleh: Lamadi de Lamato (*)
JUBI—Ekonomi kapitalisme disebut-sebut telah mati dengan krisis dunia yang terjadi di Amerika Serikat (AS) saat ini. Runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) pada tanggal 11/9/99 merupakan awal mula symbol kapitalisme tersebut sebenarnya mulai tumbang. Jika dihitung terpaut 8 tahun antara krisis ekonomi di AS dan runtuhnya WTC. Betulkah kapitalisme akan mati? Pertanyaan tersebut masih debatable.Namun bagi bangsa Indonesia terutama yang pro pada ekonomi alternatif, kapitalisme memang harus segera diganti biar kita tidak kalang kabut seperti sekarang. Amerika yang terkena krisis tapi dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh Negara di dunia termasuk Indonesia. Biar kita terbebas dari dampak yang timbul dari resesi yang sama, bangsa kita harus merumuskan model perekonomian alternatif yang aman. Trauma krisis tahun 1996 bisa menjadi contoh, betapa bangsa kita sempat anjlok luar biasa saat diterpa dampak krisis regional. Kurs rupiah dari Rp 2500 naik menjadi Rp 11000 per dolar AS, sebuah angka yang sempat membuat perekonomian negara kita kolaps dalam waktu yang cukup lama. Dashyat benar krisis saat itu, bukan bank-bank saja yang harus dilikuidasi tapi di sektor yang lain pun saat itu mengalami kekacauan yang teramat luar biasa. Politik berjalan dengan abnormal, orang miskin karena PHK bergelimang dan masih banyak lagi. Membayangkan hari-hari saat krisis memang teramat pilu dan menggetirkan. Tidak perlu jauh-jauh, di Papua efek ekonomi kapitalisme yang terjadi di luar sana bisa juga kita lihat di sini. Kapitalisme dipersoalkan karena wataknya yang tidak sesuai dengan semangat hidup bangsa kita yang pada dasarnya bersifat komunal. Individualism, jurang antara yang kaya dan miskin dalam memperoleh kekayaan begitu sangat lebar adalah sedikit dari watak buruk ekonomi impor tersebut. Kapitalisme juga berwatak tega terhadap ekonomi kecil. Bukti otentik kapitalisme memang teramat menggetirkan. Seolah dalam sekejap wajah Papua yang 10 tahun silam masih begitu ‘ramah’ tapi sekarang ini ekonomi di Papua menjadi sangat ‘angkuh’. Di sepanjang jalan terlihat ada yang kontras, ekonomi kapitalisme berdiri dengan angkuhnya dengan memperlihatkan kemewahannya, sementara di depannya berjejer para penjual pinang, sayur-sayuran, kerajinan yang saya simbolkan dengan kesederhanaan. Memang sepintas ekonomi kota berjalan dengan simbiosis-mutualisme tapi tahukah implikasi dari fenomena model tersebut? Menggetirkan dan menghawatirkan!. Dua kalimat itu memang tidak cukup mewakili kecemasan kita. Tapi fakta bahwa Papua sedang mengalami proses aliaenasi pelan-pelan dengan watak kapitalisme adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari lagi. Nafri, Abepantai, Skyline, Yoka dan Pulau Koso adalah beberapa kampung yang bisa kita jadikan contoh dari implikasi dari kapitalisme yang menggusur tadi. Kampung pertama (Nafri) penduduknya mayoritas orang asli Papua. Beberapa dasawarsa yang lalu, mereka dikenal sebagai pemilik tanah di sebagian kota Jayapura. Tapi tahukah Anda sekarang, tanah mereka yang banyak tadi sudah terjual demi proyek yang bernama pembangunan. Sejahterakah mereka setelah mereka memperoleh uang dari penjualan tanah tersebut? Hemat penulis tidak! Kampung Nafri perlahan menjadi kampung yang kumuh dan paling ditakuti karena sangat rawan dengan tindakan kriminalitas. Tentu, mudah-mudahan ini bukan pertanda kalau pembangunan perlahan-lahan mulai menggusur mereka seperti fenomena masyarakat Betawi di Jakarta. Abepantai adalah kampung yang konon sebagai kampung paling ramai di kota Jayapura dahulu kala. Penghuni kampung ini rata-rata adalah pendatang yaitu orang Buton, Fak-Fak dan lain-lain. Keramaian kampung ini sama seperti daerah kunjungan wisata para perantau dari Buton. Dimanapun orang Buton bertebaran di kota Jayapura, pasti mereka sangat mengenal kampung ini. Keunikan kampung ini terletak pada pesta Kadayo dan cewek-ceweknya. Sudah pasti daya tarik inilah yang membuat kampung ini begitu ramai pada saat itu. Tentu selain itu, kampung ini terkenal dengan lumbung pertanian yang mensejahterakan masyarakat setempat. Tapi apa yang terjadi setelah pembangunan digalakan? Realitas kampung ini lagi-lagi menggetirkan, kampung ini sekarang menjadi kampung yang kumuh dan gelap di malam hari karena masyarakatnya enggan menyalakan lampu. Lapangan pekerjaan pertanian yang menjadi tumpuan hidup mereka selama ini perlahan mulai hilang karena geliat pembangunan yang luar biasa. Banyak diantara mereka kini mulai beralih profesi, sebagai pemungut sampah, kuli bangunan, tukang ojek dan lain-lain. Lagi-lagi dalam sekejap pula, kampung ini menjadi kampung yang tidak menarik. Identitas kampung Buton yang “wah” di masa lalu, kini berubah 180 derajat menjadi kampung Buton yang kumuh dan terpinggir.Pelajaran apa yang bisa kita peroleh dari realitas tersebut? Pertama, pembangunan dipercaya dapat mempercepat kemajuan suatu daerah memang tidak bisa dibantah. Tapi tahukah dimanapun pembangunan, pasti melahirkan efek negatif. Arif Budiman dalam bukunya Pembangunan Dunia Ketiga (Gramedia;1991) tercengang dengan model ekonomi kapitalisme yang begitu cepat menggusur dan mengalienasi masyarakat yang tidak siap. Kedua, tahukah juga bahwa alianasi tersebut terjadi karena penguasaan sektor-sektor vital dimiliki oleh beberapa gelintir orang. Kasus penguasaan tanah oleh sebuah perusahaan terhadap tanah-tanah yang ada di kota Jayapura dan sekitarnya telah menyebabkan kebingungan baru bagi sebagian masyarakat kita. Mereka dilarang berkebun dan akhirnya terjadi pengangguran baru karena tanah-tanah yang tadinya menjadi lahan pertanian kini telah dipatok oleh pemiliknya. Kasus ini bisa ditemukan pada masyarakat petani di Skyline. Begitupula dengan motif pembangunan yang ingin menggusur masyarakat pulau Koso, Jayapura Selatan. Para penghuninya yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan itu ingin ditertibkan karena di anggap merusak pemandangan pembangunan. Teralienasinya masyarakat dari proses pembangunan akan semakin banyak terjadi. Kasus daerah-daerah itu hanya sedikit dari contoh kapitalisme yang menggusur. Lalu apa yang harus diperbuat agar pembangunan bisa lebih ramah pada kelompok yang rentan di atas? Program pemberdayaan dengan model piramida terbalik sebenarnya sangat tepat dalam menjawab problem tersebut – porsi anggaran lebih besar ke kampung-kampung daripada untuk pemerintah. Tapi fakta di lapangan, program itu ternyata tidak berjalan dengan baik karena perilaku elit kita sendiri. Jika ditarik, perilaku elit yang tidak konsisten itu sesungguhnya adalah bagian dari ekses kapitalisme juga. Jadi, impian bahwa pembangunan yang bernama berkeadilan sebenarnya tidak ada dalam logika kapitalisme. Jika banyak Negara yang sudah terjebak dan sudah melawan kapitalisme seperti Bolivia, Venezuela dan beberapa Negara di Asia. Mengapa bangsa ini belum juga merumuskan sesuatu yang baru dan dapat menyelamatkan ekses negatif dari ekonomi kapitalisme tersebut?Keinginan itu pastinya ada tapi tanpa pemerintah yang kuat, berani dan konsisten maka bangsa ini akan tetap berkutat di situ saja. Kita bagai negara yang berada dalam lingkaran setan kapitalisme. Kendati kita sadar bahwa ini salah tapi kita tidak punya keberanian untuk mengambil keputusan secara cepat dan berani. Sebelum kita terjerambab dalam krisis sosial karena geliat pembangunan, khususnya di Papua maka patut kiranya kita bisa membaca tanda-tanda ekses kapitalisme tadi dengan bijak. Siapa lagi yang harus berpikir dan mengantisipasi efek-efek kapitalisme di sekeliling kita kalau bukan generasi sekarang. Jika kita terbuai dengan model sekarang maka sesungguhnya kita tidak ada bedanya dengan keledai. Contoh kota-kota besar yang mengagung-agungkan kemajuan fisik dalam waktu 32 tahun hanya menghasilkan beberapa gelintir orang kaya tapi melahirkan puluhan juta rakyat yang kehilangan masa depan yang bertebaran di kolong-kolong jembatan. Kita tinggal memilih, maukah kita seperti keledai yang jatuh di lubang yang sama? Tentu kita berharap apa yang terjadi di kota besar lain, tidak akan sampai terjadi di Papua. Kalau itu impian kita, maka saatnya kita berbenah bila kita masih ingin otensitas budaya, alam dan masyarakat kita bisa terjaga baik dari generasi ke generasi. Semoga.

(*) Direktur La-KEDA Institute Papua dan Penulis Buku Bola Liar Kegagalan Otsus

sumber :

Kapitalisme Menggusur Papua

Oleh: Lamadi de Lamato (*)
JUBI—Ekonomi kapitalisme disebut-sebut telah mati dengan krisis dunia yang terjadi di Amerika Serikat (AS) saat ini. Runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) pada tanggal 11/9/99 merupakan awal mula symbol kapitalisme tersebut sebenarnya mulai tumbang. Jika dihitung terpaut 8 tahun antara krisis ekonomi di AS dan runtuhnya WTC. Betulkah kapitalisme akan mati? Pertanyaan tersebut masih debatable.Namun bagi bangsa Indonesia terutama yang pro pada ekonomi alternatif, kapitalisme memang harus segera diganti biar kita tidak kalang kabut seperti sekarang. Amerika yang terkena krisis tapi dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh Negara di dunia termasuk Indonesia. Biar kita terbebas dari dampak yang timbul dari resesi yang sama, bangsa kita harus merumuskan model perekonomian alternatif yang aman. Trauma krisis tahun 1996 bisa menjadi contoh, betapa bangsa kita sempat anjlok luar biasa saat diterpa dampak krisis regional. Kurs rupiah dari Rp 2500 naik menjadi Rp 11000 per dolar AS, sebuah angka yang sempat membuat perekonomian negara kita kolaps dalam waktu yang cukup lama. Dashyat benar krisis saat itu, bukan bank-bank saja yang harus dilikuidasi tapi di sektor yang lain pun saat itu mengalami kekacauan yang teramat luar biasa. Politik berjalan dengan abnormal, orang miskin karena PHK bergelimang dan masih banyak lagi. Membayangkan hari-hari saat krisis memang teramat pilu dan menggetirkan. Tidak perlu jauh-jauh, di Papua efek ekonomi kapitalisme yang terjadi di luar sana bisa juga kita lihat di sini. Kapitalisme dipersoalkan karena wataknya yang tidak sesuai dengan semangat hidup bangsa kita yang pada dasarnya bersifat komunal. Individualism, jurang antara yang kaya dan miskin dalam memperoleh kekayaan begitu sangat lebar adalah sedikit dari watak buruk ekonomi impor tersebut. Kapitalisme juga berwatak tega terhadap ekonomi kecil. Bukti otentik kapitalisme memang teramat menggetirkan. Seolah dalam sekejap wajah Papua yang 10 tahun silam masih begitu ‘ramah’ tapi sekarang ini ekonomi di Papua menjadi sangat ‘angkuh’. Di sepanjang jalan terlihat ada yang kontras, ekonomi kapitalisme berdiri dengan angkuhnya dengan memperlihatkan kemewahannya, sementara di depannya berjejer para penjual pinang, sayur-sayuran, kerajinan yang saya simbolkan dengan kesederhanaan. Memang sepintas ekonomi kota berjalan dengan simbiosis-mutualisme tapi tahukah implikasi dari fenomena model tersebut? Menggetirkan dan menghawatirkan!. Dua kalimat itu memang tidak cukup mewakili kecemasan kita. Tapi fakta bahwa Papua sedang mengalami proses aliaenasi pelan-pelan dengan watak kapitalisme adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari lagi. Nafri, Abepantai, Skyline, Yoka dan Pulau Koso adalah beberapa kampung yang bisa kita jadikan contoh dari implikasi dari kapitalisme yang menggusur tadi. Kampung pertama (Nafri) penduduknya mayoritas orang asli Papua. Beberapa dasawarsa yang lalu, mereka dikenal sebagai pemilik tanah di sebagian kota Jayapura. Tapi tahukah Anda sekarang, tanah mereka yang banyak tadi sudah terjual demi proyek yang bernama pembangunan. Sejahterakah mereka setelah mereka memperoleh uang dari penjualan tanah tersebut? Hemat penulis tidak! Kampung Nafri perlahan menjadi kampung yang kumuh dan paling ditakuti karena sangat rawan dengan tindakan kriminalitas. Tentu, mudah-mudahan ini bukan pertanda kalau pembangunan perlahan-lahan mulai menggusur mereka seperti fenomena masyarakat Betawi di Jakarta. Abepantai adalah kampung yang konon sebagai kampung paling ramai di kota Jayapura dahulu kala. Penghuni kampung ini rata-rata adalah pendatang yaitu orang Buton, Fak-Fak dan lain-lain. Keramaian kampung ini sama seperti daerah kunjungan wisata para perantau dari Buton. Dimanapun orang Buton bertebaran di kota Jayapura, pasti mereka sangat mengenal kampung ini. Keunikan kampung ini terletak pada pesta Kadayo dan cewek-ceweknya. Sudah pasti daya tarik inilah yang membuat kampung ini begitu ramai pada saat itu. Tentu selain itu, kampung ini terkenal dengan lumbung pertanian yang mensejahterakan masyarakat setempat. Tapi apa yang terjadi setelah pembangunan digalakan? Realitas kampung ini lagi-lagi menggetirkan, kampung ini sekarang menjadi kampung yang kumuh dan gelap di malam hari karena masyarakatnya enggan menyalakan lampu. Lapangan pekerjaan pertanian yang menjadi tumpuan hidup mereka selama ini perlahan mulai hilang karena geliat pembangunan yang luar biasa. Banyak diantara mereka kini mulai beralih profesi, sebagai pemungut sampah, kuli bangunan, tukang ojek dan lain-lain. Lagi-lagi dalam sekejap pula, kampung ini menjadi kampung yang tidak menarik. Identitas kampung Buton yang “wah” di masa lalu, kini berubah 180 derajat menjadi kampung Buton yang kumuh dan terpinggir.Pelajaran apa yang bisa kita peroleh dari realitas tersebut? Pertama, pembangunan dipercaya dapat mempercepat kemajuan suatu daerah memang tidak bisa dibantah. Tapi tahukah dimanapun pembangunan, pasti melahirkan efek negatif. Arif Budiman dalam bukunya Pembangunan Dunia Ketiga (Gramedia;1991) tercengang dengan model ekonomi kapitalisme yang begitu cepat menggusur dan mengalienasi masyarakat yang tidak siap. Kedua, tahukah juga bahwa alianasi tersebut terjadi karena penguasaan sektor-sektor vital dimiliki oleh beberapa gelintir orang. Kasus penguasaan tanah oleh sebuah perusahaan terhadap tanah-tanah yang ada di kota Jayapura dan sekitarnya telah menyebabkan kebingungan baru bagi sebagian masyarakat kita. Mereka dilarang berkebun dan akhirnya terjadi pengangguran baru karena tanah-tanah yang tadinya menjadi lahan pertanian kini telah dipatok oleh pemiliknya. Kasus ini bisa ditemukan pada masyarakat petani di Skyline. Begitupula dengan motif pembangunan yang ingin menggusur masyarakat pulau Koso, Jayapura Selatan. Para penghuninya yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan itu ingin ditertibkan karena di anggap merusak pemandangan pembangunan. Teralienasinya masyarakat dari proses pembangunan akan semakin banyak terjadi. Kasus daerah-daerah itu hanya sedikit dari contoh kapitalisme yang menggusur. Lalu apa yang harus diperbuat agar pembangunan bisa lebih ramah pada kelompok yang rentan di atas? Program pemberdayaan dengan model piramida terbalik sebenarnya sangat tepat dalam menjawab problem tersebut – porsi anggaran lebih besar ke kampung-kampung daripada untuk pemerintah. Tapi fakta di lapangan, program itu ternyata tidak berjalan dengan baik karena perilaku elit kita sendiri. Jika ditarik, perilaku elit yang tidak konsisten itu sesungguhnya adalah bagian dari ekses kapitalisme juga. Jadi, impian bahwa pembangunan yang bernama berkeadilan sebenarnya tidak ada dalam logika kapitalisme. Jika banyak Negara yang sudah terjebak dan sudah melawan kapitalisme seperti Bolivia, Venezuela dan beberapa Negara di Asia. Mengapa bangsa ini belum juga merumuskan sesuatu yang baru dan dapat menyelamatkan ekses negatif dari ekonomi kapitalisme tersebut?Keinginan itu pastinya ada tapi tanpa pemerintah yang kuat, berani dan konsisten maka bangsa ini akan tetap berkutat di situ saja. Kita bagai negara yang berada dalam lingkaran setan kapitalisme. Kendati kita sadar bahwa ini salah tapi kita tidak punya keberanian untuk mengambil keputusan secara cepat dan berani. Sebelum kita terjerambab dalam krisis sosial karena geliat pembangunan, khususnya di Papua maka patut kiranya kita bisa membaca tanda-tanda ekses kapitalisme tadi dengan bijak. Siapa lagi yang harus berpikir dan mengantisipasi efek-efek kapitalisme di sekeliling kita kalau bukan generasi sekarang. Jika kita terbuai dengan model sekarang maka sesungguhnya kita tidak ada bedanya dengan keledai. Contoh kota-kota besar yang mengagung-agungkan kemajuan fisik dalam waktu 32 tahun hanya menghasilkan beberapa gelintir orang kaya tapi melahirkan puluhan juta rakyat yang kehilangan masa depan yang bertebaran di kolong-kolong jembatan. Kita tinggal memilih, maukah kita seperti keledai yang jatuh di lubang yang sama? Tentu kita berharap apa yang terjadi di kota besar lain, tidak akan sampai terjadi di Papua. Kalau itu impian kita, maka saatnya kita berbenah bila kita masih ingin otensitas budaya, alam dan masyarakat kita bisa terjaga baik dari generasi ke generasi. Semoga.

(*) Direktur La-KEDA Institute Papua dan Penulis Buku Bola Liar Kegagalan Otsus

sumber :

http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1687&Itemid=66

Pendidikan Lingkungan Bernuansa Papua Masuk Mata Pelajaran Muatan Lokal


Bapedalda Kota Jayapura menyelenggarakan sosialisasi pendidikan lingkungan bernuansa Papua kepada para guru dari tingkat TK-SMP-SMA. Sosialisasi ini untuk menerapkan pendidikan lingkungan menjadi salah satu mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) Salah satu guru mata pelajaran Geografi di SMA YPPK Asisi Sentani Yemima Laly kepada Jubi mengatakan lingkungan adalah paru-paru dunia atau paru-paru manusia. Jika lingkungan tak sedap atau tak ada pohon maka manusia merasa tak segar. Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) yang selama ini diajarkan kepada siswa adalah Mulok tentang sagu yakni para siswa diajarkan mengenai bagaimana menanam sagu, diolah menjadi makanan begizi sampai menjadi kue sagu (kusago).Namun, Mulok ini dianggap belum pas dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada karena lingkungan di Sekitar Kota Sentani selalu terjadi banjir bila turun hujan. Yemima menuturkan bahwa setelah dirinya mengikuti beberapa kegiatan tentang lingkungan masing-masing dari Badan Pegendali dan Pengelola Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Papua di Jayapura dan Foker LSM Papua yang di selenggarakan belum lama ini, ia mendapat pemahaman tentang lingkungan dan dampaknya. Kemudian ia bandingkan dengan kondisi Daerah Sentani, dimana sering terjadi banjir akibat kotoran dan banyak sampah.Untuk itu, Jemima mengungkapkan bahwa mata pelajaran Mulok ini perlu diberikan kepada para siswa agar mereka mengetahui alasan-alasan mengapa terjadi banjir, tanah longsor dan lain-lain.Mulok tentang lingkungan ini sudah dirapatkan bersama dan rencana akan diajarkan pada tahun ajaran baru nanti pada bulan depan setelah ujian semester. Mulok tentang lingkungan ini masih belum terfokus tetapi masih secara umum. Namun pihaknya berharap ada fokus pembelajaran dalam pemberian Mulok tentang lingkungan ini kepada para siswa. Agar Mudah Dimasukan Dalam Silabus Untuk itu, pemerintah lewat Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P) Provinsi Papua dapat memberikan kurikulum kepada masing-masing sekolah dan sekaligus menentukannya dalam bentuk kurikulum. Agar para guru mudah memasukannya dalam silabus sebab biasanya yang menjadi kendala dalam penentuan mata pelajaran adalah Silabus. Selain itu, mudah diajarkan oleh para guru di masing-masing sekolah kepada para siswa karena kalau Mulok tentang lingkungan saja jelas pengertiannya luas.“Saya sebagai Guru Geografi menganggap Mulok tentang lingkungan ini bagus karena anak-anak sekarang mengetahui tentang lingkungan,” ujar Yemima.Yemima berharap Mulok tentang lingkungan ini jangan hanya diajarkan di Kabupaten Jayapura saja tetapi di Kota Jayapura juga diajarkan. Karena saat ini banyak orang tak mencintai lingkungan seperti membuang sampah tak pada tempatnya, menebang pohon atau illegal logging dan lain-lain.Sementara itu, Guru Mata Pelajaran Biologi SMA YPPK Asisi Sentani Yohana Rumayom, yang diberi tanggung jawab untuk mengajar mata pelajaran Mulok mengatakan, Mulok yang selama ini diajarkan adalah Mulok tentang Kue Sagu (Kusagu) namun Mulok tentang lingkungan ini belum diajarkan kepada para siswa. Mulok tentang lingkungan akan dimasukan dalam kurikulum untuk diajarkan di semua kelas yakni kelas X–XII pada semester baru nanti.Yohana menuturkan, Mulok tentang lingkungan ini dititikberatkan pada kondisi lingkungan Sekitar Kota Sentani, Kabupaten Jayapura. Selain itu juga dapat dikaitkan dengan Mulok di lingkungan tempat tinggal masing-masing.“Mengapa Mulok bisa diambil dan diajarkan kepada siswa? karena lingkungan di Sekitar Kota Sentani sering terjadi banjir yang mengakibatkan sejumlah infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang hancur pada tahun 2006 lalu.“Saya anjurkan agar siswa setelah mengikuti mata pelajaran Mulok dapat mempraktekan seperti memelihara pohon karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktifitas manusia. Seadainya tak ada pohon maka manusia akan merasa tak nyaman,” ujar Yohana. Selain itu, menurut Kepala Sekolah SMA YPPK Asisi Sentani Dra. Kasnah Napitu mengatakan bahwa Mulok sangat bagus jika diajarkan kepada siswa. Agar para siswa mengetahui tentang lingkungan. “Kita harus ciptakan lingkungan yang bersih,” ujarnya seraya menambahkan mata pelajaran itu sangat relevan dengan lingkungan hidup juga dapat melatih para siswa mengetahui suasana asli dari lingkungan itu agar tetap hijau. Sekalipun pengetahuan sedikit tetapi setidaknya siswa dapat tau mengetahui pentingnya lingkungan,” tukasnya.Kemudian Deby Herawati Yoku, salah seorang siswa menandaskan, hutan adalah paru-paru dunia. Tanpa hutan manusia merasa hampa seperti tanpa pohon di pinggiran jalan saat panas maka jelas akan berlindung. Hujan juga bisa dikatakan tempat perlindungan bagi manusia.Deby menuturkan bahwa bagi dia Mulok tentang lingkungan itu sangat bagus jika diajarkan kepada mereka karena dengan begitu pemahaman dan pengertian mereka terutama bagi generasi penerus mempunyai pengetahuan tentang lingkungan. Waktu sangat sedikit untuk mendapatkan Mulok tentang lingkungan di sekolah, untuk itu dalam pemberian mata pelajaran Mulok ini bisa langsung dipraktekkan dengan lingkungan dimana ia berada.“Pemanfaatan hutan saat ini sangat kurang sekali. Hal ini dapat dilihat seperti pada Lingkungan Cagar Alam Cycloop yang telah mengalami kekeringan. Sedangkan kita berharap pemerintah seharusnya dapat melestarikannya” ujar Deby.Deby juga mengutarakan bahwa dirinya pernah beberapa kali mengikuti klub pecinta alam dari CPA Hirosi yang digelar oleh Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup (YPLHC) Cycloop Papua. Selain itu, ia juga mengaku ikut lintas alam penanaman pohon dan pembersihan hutan di Jalan Toladan sampai Kantor Bupati Kabupaten Jayapura.Kegiatan seperti ini sangat bagus bagi pemuda-pemudi terutama untuk Orang Papua. Kerusakan hutan yang bisa dilihat adalah penebangan kayu/pembalakan liar dan lain-lain. Deby mengaku dirinya bersama teman-temannya sangat sulit melestarikan hutan yang ada.Selain, cara lain yang harus dilakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan. Dirinya juga berharap jika ada kegiatan dari LSM maupun instansi lain mereka berharap dapat dilibatkan bersama rekan-rekannya. Menunjang Sistem KompetensiWakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMK Negeri 3 Jayapura, Nur Achmadi kepada Jubi menjelaskan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). “Mulok, intinya kurikulum seperti apa yang menunjang kira-kira di daerah ini apa yang menonjol. Kalau di SMK Negeri 3 Jayapura khususnya Mulok adalah kurikulum yang sifatnya menunjang sistem kompetensi yang ada di jurusan masing-masing. Di Jurusan Bangunan misalnya, untuk muatan KTSP di luar Mulok itu belum ada bangunan anti gempa, kita bikin Mulok bangunan anti gempa. Jurusan Permesinan, Mulok las dan kelistrikan. “Minimal siswa sedikit memahami tentang kelistrikan,” ujarnya. Sementara itu, Staf Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Cykloop (YPLHC) Papua Siprianus Guntur S.Si mengatakan kepada Jubi Mulok seharusnya sudah ada di semua mata pelajaran. Pendidikan lingkungan hidup bukan hanya mempelajari hutan dan sampah tetapi sebenaranya mempelajari tiga dimensi mencakup ekonomi, sosial dan ekologi.Memang sangat bagus lingkungan hidup masuk dalam Mulok dan dijadikan mata pelajarang namun yang jadi kendala adalah semua bidang studi sudah masuk dalam kurikulum nasional. Sehingga sebaiknya lingkungan hidup dijadikan mata pelajaran Mulok. “Di Pulau Jawa lingkungan hidup dimasukan ke dalam Mulok. Untuk itu kita di Papua, Mulok harus dimasukkan ke dalam mata pelajaran,” katanya. (Musa Abubar/Carol Ayomi)
Sumber: Tabloid Jubi
Bapedalda Kota Jayapura menyelenggarakan sosialisasi pendidikan lingkungan bernuansa Papua kepada para guru dari tingkat TK-SMP-SMA. Sosialisasi ini untuk menerapkan pendidikan lingkungan menjadi salah satu mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) Salah satu guru mata pelajaran Geografi di SMA YPPK Asisi Sentani Yemima Laly kepada Jubi mengatakan lingkungan adalah paru-paru dunia atau paru-paru manusia. Jika lingkungan tak sedap atau tak ada pohon maka manusia merasa tak segar. Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) yang selama ini diajarkan kepada siswa adalah Mulok tentang sagu yakni para siswa diajarkan mengenai bagaimana menanam sagu, diolah menjadi makanan begizi sampai menjadi kue sagu (kusago).Namun, Mulok ini dianggap belum pas dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada karena lingkungan di Sekitar Kota Sentani selalu terjadi banjir bila turun hujan. Yemima menuturkan bahwa setelah dirinya mengikuti beberapa kegiatan tentang lingkungan masing-masing dari Badan Pegendali dan Pengelola Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Papua di Jayapura dan Foker LSM Papua yang di selenggarakan belum lama ini, ia mendapat pemahaman tentang lingkungan dan dampaknya. Kemudian ia bandingkan dengan kondisi Daerah Sentani, dimana sering terjadi banjir akibat kotoran dan banyak sampah.Untuk itu, Jemima mengungkapkan bahwa mata pelajaran Mulok ini perlu diberikan kepada para siswa agar mereka mengetahui alasan-alasan mengapa terjadi banjir, tanah longsor dan lain-lain.Mulok tentang lingkungan ini sudah dirapatkan bersama dan rencana akan diajarkan pada tahun ajaran baru nanti pada bulan depan setelah ujian semester. Mulok tentang lingkungan ini masih belum terfokus tetapi masih secara umum. Namun pihaknya berharap ada fokus pembelajaran dalam pemberian Mulok tentang lingkungan ini kepada para siswa. Agar Mudah Dimasukan Dalam Silabus Untuk itu, pemerintah lewat Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P) Provinsi Papua dapat memberikan kurikulum kepada masing-masing sekolah dan sekaligus menentukannya dalam bentuk kurikulum. Agar para guru mudah memasukannya dalam silabus sebab biasanya yang menjadi kendala dalam penentuan mata pelajaran adalah Silabus. Selain itu, mudah diajarkan oleh para guru di masing-masing sekolah kepada para siswa karena kalau Mulok tentang lingkungan saja jelas pengertiannya luas.“Saya sebagai Guru Geografi menganggap Mulok tentang lingkungan ini bagus karena anak-anak sekarang mengetahui tentang lingkungan,” ujar Yemima.Yemima berharap Mulok tentang lingkungan ini jangan hanya diajarkan di Kabupaten Jayapura saja tetapi di Kota Jayapura juga diajarkan. Karena saat ini banyak orang tak mencintai lingkungan seperti membuang sampah tak pada tempatnya, menebang pohon atau illegal logging dan lain-lain.Sementara itu, Guru Mata Pelajaran Biologi SMA YPPK Asisi Sentani Yohana Rumayom, yang diberi tanggung jawab untuk mengajar mata pelajaran Mulok mengatakan, Mulok yang selama ini diajarkan adalah Mulok tentang Kue Sagu (Kusagu) namun Mulok tentang lingkungan ini belum diajarkan kepada para siswa. Mulok tentang lingkungan akan dimasukan dalam kurikulum untuk diajarkan di semua kelas yakni kelas X–XII pada semester baru nanti.Yohana menuturkan, Mulok tentang lingkungan ini dititikberatkan pada kondisi lingkungan Sekitar Kota Sentani, Kabupaten Jayapura. Selain itu juga dapat dikaitkan dengan Mulok di lingkungan tempat tinggal masing-masing.“Mengapa Mulok bisa diambil dan diajarkan kepada siswa? karena lingkungan di Sekitar Kota Sentani sering terjadi banjir yang mengakibatkan sejumlah infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang hancur pada tahun 2006 lalu.“Saya anjurkan agar siswa setelah mengikuti mata pelajaran Mulok dapat mempraktekan seperti memelihara pohon karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktifitas manusia. Seadainya tak ada pohon maka manusia akan merasa tak nyaman,” ujar Yohana. Selain itu, menurut Kepala Sekolah SMA YPPK Asisi Sentani Dra. Kasnah Napitu mengatakan bahwa Mulok sangat bagus jika diajarkan kepada siswa. Agar para siswa mengetahui tentang lingkungan. “Kita harus ciptakan lingkungan yang bersih,” ujarnya seraya menambahkan mata pelajaran itu sangat relevan dengan lingkungan hidup juga dapat melatih para siswa mengetahui suasana asli dari lingkungan itu agar tetap hijau. Sekalipun pengetahuan sedikit tetapi setidaknya siswa dapat tau mengetahui pentingnya lingkungan,” tukasnya.Kemudian Deby Herawati Yoku, salah seorang siswa menandaskan, hutan adalah paru-paru dunia. Tanpa hutan manusia merasa hampa seperti tanpa pohon di pinggiran jalan saat panas maka jelas akan berlindung. Hujan juga bisa dikatakan tempat perlindungan bagi manusia.Deby menuturkan bahwa bagi dia Mulok tentang lingkungan itu sangat bagus jika diajarkan kepada mereka karena dengan begitu pemahaman dan pengertian mereka terutama bagi generasi penerus mempunyai pengetahuan tentang lingkungan. Waktu sangat sedikit untuk mendapatkan Mulok tentang lingkungan di sekolah, untuk itu dalam pemberian mata pelajaran Mulok ini bisa langsung dipraktekkan dengan lingkungan dimana ia berada.“Pemanfaatan hutan saat ini sangat kurang sekali. Hal ini dapat dilihat seperti pada Lingkungan Cagar Alam Cycloop yang telah mengalami kekeringan. Sedangkan kita berharap pemerintah seharusnya dapat melestarikannya” ujar Deby.Deby juga mengutarakan bahwa dirinya pernah beberapa kali mengikuti klub pecinta alam dari CPA Hirosi yang digelar oleh Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup (YPLHC) Cycloop Papua. Selain itu, ia juga mengaku ikut lintas alam penanaman pohon dan pembersihan hutan di Jalan Toladan sampai Kantor Bupati Kabupaten Jayapura.Kegiatan seperti ini sangat bagus bagi pemuda-pemudi terutama untuk Orang Papua. Kerusakan hutan yang bisa dilihat adalah penebangan kayu/pembalakan liar dan lain-lain. Deby mengaku dirinya bersama teman-temannya sangat sulit melestarikan hutan yang ada.Selain, cara lain yang harus dilakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan. Dirinya juga berharap jika ada kegiatan dari LSM maupun instansi lain mereka berharap dapat dilibatkan bersama rekan-rekannya. Menunjang Sistem KompetensiWakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMK Negeri 3 Jayapura, Nur Achmadi kepada Jubi menjelaskan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). “Mulok, intinya kurikulum seperti apa yang menunjang kira-kira di daerah ini apa yang menonjol. Kalau di SMK Negeri 3 Jayapura khususnya Mulok adalah kurikulum yang sifatnya menunjang sistem kompetensi yang ada di jurusan masing-masing. Di Jurusan Bangunan misalnya, untuk muatan KTSP di luar Mulok itu belum ada bangunan anti gempa, kita bikin Mulok bangunan anti gempa. Jurusan Permesinan, Mulok las dan kelistrikan. “Minimal siswa sedikit memahami tentang kelistrikan,” ujarnya. Sementara itu, Staf Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Cykloop (YPLHC) Papua Siprianus Guntur S.Si mengatakan kepada Jubi Mulok seharusnya sudah ada di semua mata pelajaran. Pendidikan lingkungan hidup bukan hanya mempelajari hutan dan sampah tetapi sebenaranya mempelajari tiga dimensi mencakup ekonomi, sosial dan ekologi.Memang sangat bagus lingkungan hidup masuk dalam Mulok dan dijadikan mata pelajarang namun yang jadi kendala adalah semua bidang studi sudah masuk dalam kurikulum nasional. Sehingga sebaiknya lingkungan hidup dijadikan mata pelajaran Mulok. “Di Pulau Jawa lingkungan hidup dimasukan ke dalam Mulok. Untuk itu kita di Papua, Mulok harus dimasukkan ke dalam mata pelajaran,” katanya. (Musa Abubar/Carol Ayomi)



Sumber :

http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1683&Itemid=54

Maret 15, 2009

Rakyat Menghadapi Pemilu 2009

34 partai dinyatakan lolos verifikasi dan berhak menjadi peserta pemilu 2009. Kampanye pun sudah dimulai minggu ini. Memang diakui penyelenggaraan pemilu kali inipun belum bisa memenuhi hasrat demokratik yang membolehkan seluruh rakyat ambil bagian dalam pemilu atau membuat lega seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilu 2009.

Kecurigaan pada ideologi tertentu masih dipertahankan. Akibatnya yang tampak tetap masih usaha partai-partai status quo untuk mendominasi pemilu 2009 dengan berbagai cara dan menghalangi munculnya partai alternatif pilihan rakyat. Karenanya syarat-syarat peserta pemilu 2009 pun disesuaikan dengan kepentingan partai-partai besar di parlemen yang selama ini juga terbukti tak sanggup membawa bangsa ini keluar dari berbagai keterpurukan. Itulah mengapa ketidakadilan dalam soal kepesertaan pemilu 2009 menyeruak ke atas bahkan pasca KPU mengumumkan partai peserta pemilu 2009. Dalam situasi seperti ini apa yang bisa diharapkan rakyat pada pemilu 2009? Atau tak ada lagi yang bisa diharapkan atau memang tak ada lagi kemampuan untuk berharap?
Pemilu 2009 adalah pemilu ketiga pasca kejatuhan otoritarianisme Orde Baru. Hitungan ketiga seakan berarti juga peringatan terakhir dari rakyat untuk konsistensi dan komitmen partai-partai dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat, entah apapun aliran ideologi dan bendera yang dikibarkan. Dari dua kali pemilu, 1999 dan 2004, rakyat sepertinya tak menemukan buah yang manis dari penjatuhan otoritarianisme Orde Baru. Buahnya justru semakin pahit bahkan sebagian rakyat merasa: pemerintahan Soeharto dirasa cukup sandang, pangan dan papan, aman tak ada keributan. Pemerintahan reformasi yang sudah berganti beberapa presiden diterjemahkan sebagai pemerintahan repotnasi, ribut tanpa arah pembangunan yang jelas di tengah keterpurukan bangsa yang semakin nyata: krisis pangan dan krisis energi.

Karena itu sebagai hajatan demokratik pasca terpasungnya demokrasi selama 32 tahun, pemilu 2009 menjadi peristiwa penting untuk menandai kemajuan dan kemunduran perjuangan demokrasi di Indonesia. Lebih dari itu, pemilu 2009 dilaksanakan dalam naungan usaha-usaha membangkitkan bangsa dari berbagai keterpurukan: ekonomi, sosial dan budaya akibat cengkraman nyata kekuatan asing, neoliberalisme, yang kini semakin menuntut diliberalkannya semua jaminan sosial yang sudah didapatkan rakyat: subsidi pendidikan, kesehatan, termasuk subsidi BBM agar menjadi barang dagangan pasar belaka tanpa dilandasi tugas luhur negara dalam memajukan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat proklamasi kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian Rakyat hendak dibiarkan berjuang sendirian di tengah lautan pasar yang merupakan dunia komersiil dan dunia para petualang pencari laba yang seringkali tak peduli pada nilai-nilai gotong-royong yang merupakan nilai pergaulan sekaligus landasan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.



Dengan membaca perjalanan sejarah bangsa, Pemilu kali ini sebisa mungkin diharapkan mewarisi semangat para pejuang dan perintis kemerdekaan Republik Indonesia 100 tahun yang lalu. Pun semangat keberanian dari para pemimpin yang menyatakan kemerdekaan dari kolonialisme, hampir 63 tahun yang lalu, demi pemerintahan yang mandiri dan bermartabat sebagaimana dimiliki bangsa-bangsa berdaulat lainnya. Pemilu kali ini juga disemangati gelora pemuda, 80 tahun yang lalu ketika memandang keindonesiaan yang berarti persatuan nusantara menjadi satu bangsa adalah jalan satu-satunya mengusir penjajah yang telah bercokol ratusan tahun di bumi nusantara. Pun semangat mahasiswa dan rakyat, 10 tahun yang lalu, yang dengan berani menghadapi mesin kekerasan Orde Baru yang sudah buta dan tuli pada penderitaan rakyat dan justru semakin sewenang-wenang pada rakyat kecil.

Pada pemilu 1999, dengan antusias rakyat memberikan suara perubahan pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Namun, harapan itu tampak sia-sia sehingga pada pemilu 2004, rakyat meninggalkan PDI Perjuangan. Dengan situasi ini, semoga antusiasme rakyat yang masih ada dalam menghadapi pemilu 2009 untuk menuju kotak-kotak suara perubahan yang diharapkan, dapat menemukan pahlawan-pahlawannya. Dengan demikian, tak lagi dikecewakan. Pemilu 2009 harus mengambil bentuk yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, tidak bisa lagi rakyat sekedar menjadi mesin suara, termasuk mengambil bentuk golput jika tidak berhasil menghentinkan hegemoni politik dan ekonomi neoliberal. Politik yang menindas, menghisap, dan melahirkan kemiskinan, hanya akan mungkin ditinggalkan jikalau mesin-mesin politik yang menjalankannya juga ditinggalkan oleh rakyat. Bangsa Indonesia akan bisa melangkah ke depan jikalau seluruh rantai-rantai penjajahan yang mengikat kakinya, berupa campur tangan asing dalam lapangan ekonomi, politik, hukum dan budaya, benar-benar sudah diputus dan dihancurkan. Untuk melakukan itu, diharuskan sebuah politik persatuan anti imperialis yang kuat, sebuah program perjuangan yang pro -kemandirian nasional, dan dukungan seluruh rakyat Indonesia. Kami tegaskan, perjuangan memutar kendali atas masa depan bangsa ini harus berupa "gerakan banting setir; dengan membangun Haluan Ekonomi Baru, Presiden Baru dan Pemerintahan Baru dengan Tri Panji Persatuan Nasional.


AJ Susmana :
Wasekjend Bidang Kaderisasi dan Komunikasi Massa (KAKOMAS) DPP PAPERNAS.

sumber : www.papernas.org

Pemilu 2009: Pertempuran Yang Menentukan!

Oleh: RUDI HARTONO

Kita tetap harus melangkah kedepan. Pemilu 2009 yang merupakan persimpangan jalan sedang menunggu didepan mata; kearah mana republik ini akan bergerak? Akan sangat ditentukan oleh pertentangan dan perimbangan kekuatan politik di dalam pemilu 2009; antara unsur progressif dan kekuatan lama. Unsur progressif mengacu pada kelompok-kelompok social yang menghendaki perubahan; bukan saja perubahan kepemimpinan nasional, tetapi menghendaki perubahan haluan ekonomi, politik dan kebudayaan. Sedangkan kekuatan lama meliputi perentangan antara kekuatan politik orde baru, Golkar, dan Demokrat, beserta politisi-politisi konservatif yang tetap mempertahankan jalan lama; neoliberalisme, dan menafikan penderitaan yang dialami oleh ratusan juta rakyat.
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Dan tak bisa dihindarkan, pertentangan ini akan mewarnai situasi politik pemilu 2009, dan semakin memanas menjadi isu utama dalam pemanasan menuju 2009, serta menjadi bahan bakar politik paska pemilu itu sendiri. Tinggi dan rendahnya intensitas pertentangan ini sangat dipengaruhi beberapa factor; pertama, pertikaian politik ditingkatan elit, yang memaksa mereka melompat menggunakan tema-tema kritik anti pemerintah yang pernah digunakan kaum oposisi; partai, gerakan mahasiswa, gerakan buruh, LSM, dan lain-lain. Kedua, tingkat kesadaran massa; terutama untuk memahami konteks persoalan sekarang dan jalan keluarnya, sehingga manifest menjadi tuntutan-tuntutan politik yang akan disodorkan pada calon legislatif dan calon presiden. Ketiga, keberadaan grup anti imperialis yang bekerja dalam syarat-syarat parlementer; semakin mereka menemukan ruang yang agak leluasa, akan semakin memperbesar kesempatan menumpahkan amunisi perjuangan anti-imperialisnya. Setidaknya, factor-faktor tersebut akan menjadi variable-variabel yang saling mempengaruhi antara segi-segi politik dalam pemilu.

Posisi Strategis Pemilu 2009
Pemilu 2009 mempunyai derajat berbeda dibanding pemilu sebelumnya (1999 dan 2004), baik dalam kandungan demokratisnya, maupun makna-makna strategisnya bagi perjuangan anti -imperialis. Pemilu 2009 merupakan perhelatan ketiga rejim -rejim paska reformasi. Angka tiga menunjukkan batas-batas tolerasi dan kesabaran rakyat untuk menunggu perubahan dari janji para elit politik. gejala ketikpuasan, keresahan, protes, perlawanan, demonstrasi, sudah hadir dimana-mana dan menaikkan kekhawatiran pemerintah berkuasa, dan pengusung neoliberalisme.

Seberapa strategis pemilu 2009 bagi kaum Imperialis? Hal ini akan mudah dijelaskan dengan pendekatan ekonomi dan politik; pertama, Indonesia sampai saat ini adalah penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia, Indonesia merupakan penghasil gas terbesar di dunia, juga sebagai penghasil batubara terbesar setelah Australia, dan masih juga memproduksi minyak bumi. belum lagi jumlah penduduk yang mencapai 230 jiwa, betul-betul merupakan pangsa pasar yang sangat menggiurkan. Hal ini akan menjadi alasan ekonomis bagi imperialis untuk tidak melepaskan Indonesia dalam peta dominasi dan pengerukannya. Kedua, secara politik, proses pemaksaan dominasi atas bangsa Indonesia agak berlangsung mudah karena dikondisikan oleh keberadaan jajaran elit politik didalam negeri yang sudah pasti mendukungnya. Kolonialisme menguasai Indonesia sekitar 300 -an tahun, sebuah hitungan waktu yang panjang, menyebabkan ikatan-ikatan ekonomi dan politik yang berbau kolonialisme masih bertahan. Jika ada fraksi politik yang siap dibina dan dipelihara untuk menjaga tujuan-tujuan imperialism di Indonesia, maka adalah tindakan bodoh melepas begitu saja pertentangan politik di tahun 2009. ketiga, Indonesia adalah Negara besar, bukan saja penduduknya yang besar, tetapi juga wilayahnya, posisi strategisnya, dan kekayaan alamnya. Besarnya pengaruh Indonesia dalam konteks politik internasional dibutuhkan imperialis sebagai sekutu tambahan guna menghadapi pembangkang-pembangkang di Amerika Latin; Venezuela, Bolivia, Cuba, Paraguay, dan Ekuador, atapun untuk mengatasi pesaing-pesaingnya, seperti China, India, dan Rusia.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah, tidak mencerminkan kondisi rakyatnya. Indonesia merupakan penyumbang orang miskin terbesar dikawasan Asia tenggara, yang mencapai 60%. Besarnya kekayaan alam tidak sebanding dengan anggaran yang disusun pemerintah guna membiayai pembangunan. Sebagian besar kekayaan alam itu dirampok, sedangkan sisanya menjadi pendapatan negara yang sebagian besarnya untuk membiayai kepentingan oligarki dan multinasional. Orang miskin tidak pernah mendapatkan separuh dari pendapatan itu. Gambaran yang kontras ini, telah berkontribusi pada kesenjangan luar biasa. Menurut ekonom UGM Mudrajad Kuncoro, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2000 hanya dinikmati oleh 40% golongan menengah dan 20% golongan terkaya. Sisanya, sebanyak 40% kelompok penduduk berpendapatan terendah makin tersisih. Kelompok penduduk ini hanya menikmati porsi pertumbuhan ekonomi 19,2% pada 2006, makin kecil dibanding tahun 2000 sebesar 20,92%. Sebaliknya, 20% kelompok penduduk terkaya makin menikmati pertumbuhan ekonomi, dari 42,19% menjadi 45,72%.

Gambaran ini melahirkan ketidakpuasan yang tak dapat dibendung, bahkan dengan tidak malu-malu pemerintah berkuasa memanipulasi angka kemiskinan, seperti yang jelas-jelas dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Dalam konteks pemilu, suara ini akan menjadi lahan perebutan bagi partai-partai yang menawarkan perang atas kemiskinan. Ketidakpuasan yang mencakup mayoritas dari kalangan menengah dan kalangan bawah akan memberikan ruang yang sempit bagi para oligarki dan partai -partai pengusung neoliberal, utamanya Golkar dan Demokrat. Tapi ini bukan kesimpulan yang begitu saja benar, dan mengurangi inisiatif perjuangan kolektif. Karena pengaruh social masyarakat yang masih mengikuti pilihan politik tradisionalnya (patron-klien, primordial, dan ketokohan).

Pengelompokan Politik
Begitu rumit mendapatkan pengelompokan baku dan permanent dalam konfigurasi politik di Indonesia. Hal itu dikarenakan beberapa faktor, diantaranya; tidak adanya ideology yang jelas dari masing2 partai, orientasi partai yang sangat pragmatis, dan lemahnya jangkauan oposisi ekstra-parlemen terhadap dinamika politik diparlemen, dan politik klientalisme. Faktor-faktor tersebut mengaburkan garis demarkasi antara oposisi dan partai berkuasa. Jalan paling memungkinkan untuk menemukan pengelompokan politik dari berbagai kekuatan politik yang ada adalah sikap politik mereka dan orientasi politiknya menjelang 2009.

Ukuran tersebut berjalan berdasarkan beberapa faktor-faktor pula yang begitu mempengaruhi; seperti, pertama, perimbangan kekuatan politik antara yang pro-pada pemerintah dan yang berposisi oposisi terhadap pemerintah; Kedua, sejauh mana ungkapan-ungkapan keresahan dan ketidakpuasan terhadap neoliberalisme, dominasi asing, dan kemiskinan mengambil tempat dalam tema-tema politik. Inipun dipengaruhi oleh keterlibatan dan keberpihakan media massa, dalam mengelola isu ini; apakah memunculkannya sebagai konsumsi umum, atau menutupi, memanipulasi dan membelokkannya. Ketiga, manuver politik dari kekuatan lama untuk menawarkan "jalan damai" kepada oposisi, yang dibungkus dengan retorika "kepentingan bangsa". Golkar kelihatannya akan memanfaatkan metode ini. Sadar bahwa dukungannya bakal menurun dalam pemilu mendatang, dari pada terlempar sama sekali dari kekuasaan, akan mencoba menjajaki skenario koalisi longgar dengan PDIP. Jika ini terjadi, akan segera merubah semua peta politik yang ada dan menjinakkan kubu nasionalis dalam pemilu 2009 mendatang.

Proyeksi pemilu 2009 sebagai agenda penting, baik pejuang anti imperialis dan blok pendukungnya, maupun imperialis dan sekutunya. Hal itu akan memelihara pertentangan diantara keduanya. Sehingga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kusinggung tadi, maka pengelompokannya tidak melulu berdasarkan partai atau organisasi social, karena sikap individu terkadang tidak mencerminkan sikap partai; demikian pula sebaliknya. Berikut pengelompokannya;

Pertama, adalah kubu kekuatan lama yaitu kekuatan politik yang mengekspresikan kelanjutan tipe pemerintahan sekarang, dan selain mendukung neoliberalisme juga mau mengintensifkan dan memperluasnya. Yang sangat menonjol adalah Golkar dan Demokrat. Pada kubu ini sokongan imperialis diberikan, termasuk dukungan dana dan infrastruktur kampanye.

Kedua, kubu fundamentalis. Kubu ini dalam beberapa momentum politik paska reformasi memainkan politik oportunistik dan reaksioner, seperti yang diperlihatkan dalam kasus poros tengah yang menaikkan gusdur dan kemudian kembali membangun blok politik guna menjatuhkannya. Kekuatan ini meliputi PPP, Partai Bintang Bulan (PBB), dan juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka seringkali mempromosikan ideologi dan syariat islam sebagai topengnya, tapi mengadaptasikan diri dengan proyek neoliberal dalam praktek politik. Mereka membuat front-front ekstra-parlementer guna memupuk "suara pemilih islam", dengan memamfaatkan isu-isu agama, yahudi, dan lain-lain. Jadi meski mengaku islam, tapi pada kenyataannya dapat dimanfaatkan guna membelah kubu pertama.

Ketiga, kubu kekuatan baru. Kelompok yang mencerminkan kehendak menuju perubahan; menghendaki haluan ekonomi baru, pemerintahan baru, dan kebudayaan progressif, pendek kata, mewujudkan Indonesia baru. Hanya saja, cara pandang terhadap Indonesia baru masih begitu beraneka ragam (heterogen), spectrum ideologinya luas, dan kepentingan politik dibalik itu juga macam-macam. PDIP dan PKB misalnya, merepresentasikan kekuatan oposisi terhadap pemerintahan dan berposisi kritis terhadap kebijakan neoliberal pemerintah. Selain itu ada PBR, yang merangkum beberapa aktifis pergerakan juga memperlihatkan tujuan anti neoliberal. Di luar itu, ada pula beberapa tokoh seperti Drajat Wibowo dan Amien Rais (PAN), Rizal Ramli yang mempelopori Komite Indonesia Bangkit (KIB), dan beberapa tokoh mudah seperti Fajroel Rahman, Budiman Sujatmiko, dan lain-lain.

Pertempuran Sengit dan Menentukan
Menghadapi pemilu 2009, seluruh energi dari kedua kubu akan dikerahkan. Pengerahan kekuatan sebagai jalan memenangkan "peperangan", akan mendorong partai-partai guna memobilisasi dukungan dari rakyat. Kekosongan ideology yang nampak umum dalam tradisi partai politik kita, akan mendorong penggunaan cara-cara "menipu dan manipulatif" sebagai pendekatan utama. Kekosongan ideology membuat partai tidak punya pegangan dalam berpolitik, sekaligus arah perjuangan yang menunjukkan kehendak kolektif rakyat Indonesia. Bagaimana dengan kecenderungan Golput? Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat, penyebab paling dominant dari golput adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Akibatnya, kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow, data fiktif masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena data dasarnya saja sudah kacau. Maka, tidak heran kalau angka orang yang tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi. Bahkan di hampir setiap tempat pemungutan suara (TPS), jumlah angka fiktif itu mencapai 50 persen. (suara pembaruan, 31/8/2008)

Kecenderungan golput dan kekosongan ideology akan dimanfaatkan oleh partai yang secara ideology lebih konkret, dan lebih "rapi" dalam pengorganisasian massanya, yakni PKS. Kendati untuk pemilu 2009, PKS tidak menawarkan solusi programatik dan konkret kepada rakyat, dan terbukti PKS sebelumnya adalah pendukung setia pemerintahan SBY-JK. Akan tetapi, kampanye golput yang disuarakan sejumlah organisasi social-kerakyatan perlu dicermati ulang efektifitasnya; bukankah akan berpengaruh jika memberikan dukungan suara terhadap perimbangan kekuatan kubu anti neoliberal dan pro-neoliberal nanti. Perlu difikirkan ulang lagi oleh kawan-kawan gerakan, bukankah seruan golput akan mengamankan dukungan suara PKS.

Berarti rakyat harus didorong untuk memobilisasi dukungannya. Tapi, memobilisasi dukungan untuk siapa? Saat ini, pada momen yang menentukan ini, berbagai bentuk ketidakpuasan, protes, dan perlawanan terbuka, sudah mengambil bentuknya dalam skala lebih luas, lebih sporadis, dan tanpa jedah. Adalah lahan besar bagi kekuatan politik yang lebih solid, punya program yang tepat, dan punya kemampuan untuk memupuk suara dari kalangan tersebut. Kerusakan-kerusakan politik dan ketidakmampuan partai pendukung neoliberalisme mengatasai keadaan, merupakan alasan utama kalangan menengah dan bawah untuk mengalihkan dukungan kepada partai yang punya program yang bersentuhan dengan kebutuhan mereka. Dan tentunya, pengusaha nasional yang dilemahkan, dihilangkan potensi pertumbuhannya, dan dihancurkan oleh capital raksasa multinasional, akan memberikan dukungan kepada kekuatan politik progressif.

Oleh karena itu, bukan sekedar memunculkan figur-figur baru dalam panggung politik, akan tetapi kekuatan politik baru harus mampu menciptakan tradisi berpolitik yang baru; berbeda dengan cara berpolitik oligarkis dan politisi lama. Tradisi berpolitik yang baru ini adalah cara mengorientasikan Negara dan aparatusnya untuk bekerja bersama rakyat; menjaga dan mendistribusikan sumber-sumber ekonomi, mengelola ekonomi dan produksi untuk rakyat, dan memajukan tenaga produktif massa rakyat.

Langkah-langkah menuju hal itu harus dipersiapkan. Beberapa langkah mendesak yang harus dipersiapkan kekuatan politik baru ini adalah; pertama, melakukan konsolidasi yang sifatnya programatik dan strategis, guna mengatasi fragmentasi politik dikalangan unsur maju dan moderat, serta mengucilkan unsur-unsur reaksioner dan kekuatan lama. Kedua, menemukan platform yang tepat dan manjur untuk menyelesaikan krisis neoliberal, yang akan menjadi platform bersama seluruh kekuatan baru dalam sebuah front persatuan nasional, aliansi antar parpol, ataupun semacam kaukus aktifis muda di parlemen. Karena problemnya merupakan perluasan dari pengaruh/efek neoliberalisme, maka platformnya adalah anti-neoliberalisme. Anti neoliberalisme adalah pijakan untuk menentang dominasi asing dan multinasional, serta menggagas Indonesia baru. Dengan sendirinya, akan menjadi ukuran bagi kekuatan politik baru yang terbentuk----untuk membedakannya dengan nasionalisme yang chauvinis.

Karena telah menderita kerusakan politik luar biasa, sudah barang tentu, partai-partai pro-asing, dalam hal ini Golkar dan Demokrat, akan memanfaatkan segala macam cara dan manipulasi untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka jelas akan unggul secara finanasial, tetapi belum tentu unggul dalam kekuatan organisasi. Karena dimana-mana mereka terlihat mengalami kekalahan dalam pilkada, belum lagi efek buruk dari kebijakannya yang tidak populer. Kurun waktu 8 bulan kedepan (sampai pemilu), tentu merupakan ukuran waktu yang tak cukup merehabilitasi kerusakan-kerusakan politik partai-partai pemerintah, meskipun pemerintah menggelontorkan sejumlah anggaran untuk program BLT, Askeskin, Raskin, KUR, PNP-M, BOS, dan sebagainya.

Untuk sementara, dan kelihatannya akan terus berlanjut; ketidakpuasan dan keresahan akan berkembang berhimpitan dengan pilihan-pilihan politik rakyat. Beratnya beban ekonomi dan kesulitan memperoleh akses terhadap ekonomi, merupakan gejala yang umum dalam masyarakat kita. Dan dalam konteks pemilu; isu-isu tersebut akan menjadi isu utama dalam pertentangan kekuatan-kekuatan politik untuk berebut pengaruh dan dukungan. Kalau arahnya adalah barbarisme, silahkan melanjutkan politik yang ada sekarang. Tapi jika kehendaknya adalah perubahan, silahkan pilih calon dan partai yang punya program anti neoliberal dan pro kemandirian nasional.

Penulis adalah Pengurus DPP PAPERNAS, Staff Redaksi Berdikari Online

Maret 12, 2009

SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA

1. Masyarakat Feodal Indonesia

Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah.Dalam tahapan masyarakat feodal ini terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak bertanah dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan, merupakan alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, serta seluruh tata nilainya.

Pada perkembangan masyarakat feodal di Eropa, dimana tanah dikuasai oleh baron-baron (tuan2 tanah) dan tersentral. Para feodal atau Baron (pemilik tanah dan kalangan kerabat kerajaan) yang memiliki tanah yang luas mempekerjakan orang yang tidak bertanah dengan jalan diberi hak mengambil dari hasil pengolahan tanah yang merupakan sisa upeti yang harus dibayar kepada para baron. Tanah dan hasilnya dikelola dengan alat-alat pertanian yang kadang disewakan oleh para baron (seperti bajak dan kincir angin). Pengelolaan tersebut diarahkan untuk kepentingan menghasilkan produk pertanian yang akan dijual ke tempat-tempat lain oleh pedagang-pedagang yang dipekerjakan oleh para baron. Di atas tanah kekuasaannya, para baron adalah satu-satunya orang yang berhak mengadakan pengadilan, memutuskan perkawinan, memiliki senjata dan tentara, dan hak-hak lainnya yang sekarang merupakan fungsi negara. Para baron sebenarnya otonom terhadap raja, dan seringkali mereka berkonspirasi menggulingkan raja.

Kondisi pada masa feodalisme di Indonesia bisa diambil contoh pada masa kerajaan-kerajaan kuno macam Mataram kuno, kediri, singasari, majapahit. Dimana tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan Raja dimaknai sebagai titisan dari dewa yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut dan mempunyai wewenang untuk membagi-bagikan berupa petak-petak kepada sikep-sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep-sikep), bujang-bujang dan numpang-numpang (istilahnya beragam di beberapa tempat) dan ada juga tanah perdikan yang diberikan sebagai hadiah kepada orang yang berjasa bagi kerajaan dan dibebaskan dari segala bentuk pajak maupun upeti. Sedangkan bagi rakyat biasa yang tidak mendapatkan hak seperti orng-orang diatas mereka harus bekerja dan diwajibkan menyetorkan sebagian hasil yang didapat sebagai upeti dan disetor kepada sikep-sikep dll untuk kemudian disetorkan kepada raja, Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya.

Pada tahap masyarakat feodal di Indonesia, sebenarnya sudah muncul perlawanan dari kalangan rakyat tak bertanah dan petani. Kita bisa melihat adanya pemberontakan di masa pemerintahan Amangkurat I, pemberontakan Karaeng Galengsong, pemberontakan Untung Suropati, dan lain-lain. Hanya saja, pemberontakan mereka terkalahkan. Tapi kemunculan gerakan-gerakan perlawanan pada setiap jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga-tenaga produktif yang terus berkembang maju (progresif) berhadapan dengan hubungan-hubungan sosial yang dimapankan (konservatif). Walaupun kepemimpinan masih banyak dipegang oleh bangsawan yang merasa terancam karena perebutan aset yang dilakukan oleh rajanya.
Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke-15, melalui merkantilisme Eropa.


2. Masuknya kapitalisme melalui Kolonialisme dan Imperialisme

Di negara-negara yang menganut paham Merkantilisme terjadi perubahan besar terutama setelah Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan semakin memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, dimana mereka mencoba untuk mencari daerah baru yang kemudian diklaim sebagai daerah jajahannya dengan semboyan Gold, Gospel, dan Glory, mereka membenarkan tujuannya dengan alasan penyebaran agama dan dalam bentuk kapitalisme dagang (merkantilisme) dan sejak itu feodalisme di masyarakat pra-Indonesia mempunyai lawan yang sekali tempo bisa diajak bersama memusuhi dan melumpuhkan rakyat. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk industri farmasi di Eropa.

Kolonialisme dan imperialisame merebak di mana-mana, termasuk di tanah Nusantara, Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin raja muda portugis Vasco da Gama. Tujuannya mencari rempah-rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.

Kolonialisme yang masuk pertama di Indonesia merupakan sisa-sisa kapitalisme perdagangan (merkantilisme). Para kapitalis-merkantilis Belanda masuk pertama kali ke Indonesia melalui pedagang-pedagang rempah-rempah bersenjata, yang kemudian diorganisasikan dalam bentuk persekutuan dagang VOC tahun 1602, demikian juga dengan Portugis, dan Spanyol. Para pedagang bersenjata ini, melakukan perdagangan dengan para feodal, yang seringkali sambil melakukan ancaman, kekerasan dan perang (ingat sejarah pelayaran Hongi).

Kekuasaan kolonial Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Sebab dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah) --pajak ini mengharuskan sistem monetar dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistem moneternya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya rentenir dan ijon.

Di sisi yang lain, kalangan kolonialis-kapitalis juga memanfaatkan kalangan feodal untuk menjaga kekuasaannya. Hubungan antara para kolonialis-kapitalis dengan para feodal adalah hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan, sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua belah pihak Kapitalisme yang lahir di Indonesia bukan ditandai dengan dihancurkannya tatanan ekonomi-politik feodalisme, melainkan justru ada usaha revitalisasi dan produksi ulang tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal untuk memperkuat kekuasaan kolonialisme. Karena adanya revolusi industri terjadi kelebihan produksi yang membutuhkan perluasan pasar; membutuhkan sumber bahan mentah dari negeri asalnya; membutuhkan tenaga kerja yang murah -- mulai melakukan kolonialisasi ke negara-negara yang belum maju. terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Hal ini sangat berbeda dengan lahirnya kapitalisme di negara-negara Eropa dan Amerika. Di kedua benua tersebut, kapitalisme lahir sebagai wujud dari dihancurkannya tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal. Contoh kasus yang paling jelas adalah adanya revolusi industri di Inggris yang mendahului terjadinya revolusi borjuasi di Perancis

3. Tumbuhnya Kapitalisme di Indonesia

Pada masa Van den bosch tahun 1830, pemerintah Belanda membangun sebuah sistem ekonomi-politik yang menjadi dasar pola kapitalisme negara di Indonesia. Sistem ini bernama tanam paksa. Ini diberlakukan karena VOC mengalami kebangkrutan.Tanam Paksa merupakan tonggak peralihan dari sistem ekonomi perdagangan (merkantilis) ke sistem ekonomi produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:
1. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
2. Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;
3. Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;
4. Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;
5. Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;
6. Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;
7. Pembebanan berbagai macam pajak.
Sistem ini juga merupakan titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.

Pada pertengahan abad 19 terjadi perubahan di negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta --seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim kapitalisme-- terjadi pula perubahan di Nusantara/ Hindia Belanda. Perubahan kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi, perdagangan dan keuangan. Politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang. Maka pada tahun 1870 tanam paksa di hentikan. Namun borjuasi yang masuk ke jajahan (di Indonesia) menghadapi problem secara fundamental yaitu problem tenaga produktif yang sangat lemah. tenaga kerjanya buta huruf, misalnya. Oleh karena itu untuk mengefisienkan bagi akumulasi kapital, pemerintah belanda menerapkan politik etis. Dengan politik etis pemerintah hindia belanda berharap agar tenaga-tenaga kerja bersentuhan dengan ilmu pengetahuan (meski tidak sepenuhnya) tekhnologi untuk menunjang produktivitas dan untuk perluasan lahan bagi kepentingan akumulasi modal. Mulai munculah sekolah-sekolah walaupun diskriminatif dalam penerimaaan siswanya.

Penerapan politik Etis ternyata menjadi bumerang bagi Belanda sendiri. Politik etis menumbuhkan kesadaran baru bagi rakyat-rakyat dengan tersosialisanya ilmu pengetahuan akhirnya mampu memahami kondisinya yang tertindas. Gerakan-gerakan modern untuk melawan penindasan mulai dikenal: mulailah dikenal organisasi terutama setelah partai-partai revolusioner di Belanda berkomitmen (merasa berkewajiban) membebaskan tanah jajahan. Seiring dengan ini mulailah dikenal mengenai sosialisme, kapitalisme, komunisme, dsb. yang selanjutnya sebagaimana yang kita ketahui dengan baik, rakyat mulai membangun perlawanan (berontak).
Dampak yang paling nyata dari adanya kapitalisme perkebunan dan adanya pendidikan, perlawanan rakyat Indonesia -- yang dulunya hanya bersifat lokal, tidak terorganisir secara modern, dan tidak berideologi -- telah berubah secara kualitatif dan kuantitatif. Di mana-mana muncul secara massif dan menasional perlawanan rakyat yang terorganisasikan secara modern dan memiliki ideologi yang jelas.

Revolusi di Cina dibawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan. Tahun 1908 berdiri sebuah organisasi Pemuda Boedi Oetomo, yang juga ditandai sebagai hari kebangkitan nasional. Pada bulan Juli 1917 mengubah Organisasinya menjadi sebuah partai politik. Hal yang sama terjadi dengan Sarekat Islam (SI). Dari titik ini kepartaian di Indonesia di bagi dua yaitu yang berkoorperasi--masuk dalam sistem kolonial-- dan yang menolak masuk ke dalam sistem kolonial tersebut. Yang masuk dalam ketegori koorporasi ialah BU dan SI sedangkan kelak yang masuk kedalam kategori non-ko ialah PKI dan PNI.

Di dalam kongres SI di Yogyakarta terjadi perpecahan antara faksi revolusioner dengan ulama-ulama kolot feodal yang menolak SI bergabung dengan organisasi-organisasi dunia yang ada hubungannya dengan organisasi komunis internasional. Perpecahan ini mendorong faksi revolusioner untuk membangun sebuah wadah yaitu Partai Komunis -- partai komunis pertama di Asia--dalam sebuah kongres di Bandung, Maret 1923 yang menggariskan perbedaan secara prinsipil dengan SI yaitu partai komunis mengemban dan mengembangkan suatu kebudayaan revolusioner serta mengumandangkan pengertian dan kebebasan. Partai ini lahir ketika imperialisme di tanah jajahannya telah melahirkan kaum buruh dan sekaligus di dalam masyarakat yang masih mempertahankan sisa-sisa feodalisme. Sementara organisasi-organisasi lain tidak mampu membaca dan memanifestasikan kesadaran perlawanan rakyat.

PKI terus menjalankan politik radikalnya yang berujung pada pemberontakan pertama besar-besaran di Indonesia yang dipimpin oleh partai politik, pada akhir tahun 1926 sampai januari 1927, dan menolak penjajahan secara sangat serius.

Serikat buruh yang mula-mula berdiri adalah serikat buruh trem dan kereta api (VSTP) dengan markas di Semarang, berdiri 1918. Juru propaganda pribumi VSTP yang pertama, Semaoen, selain bekerja untuk serikat buruh juga menjadi ketua Sarekat Islam (SI) lokal Semarang. Gerakan ini mencatat beberapa kesuksesan antara lain di bidang perserikatan buruh yang di mulai pada mei 1923.

Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional ini, menunjukkan betapa takutnya pemerintah Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal dan progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidak-mampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Satu pelajaran yang harus kita ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan aparat kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan terhadap segala bentuk perlawanan rakyat. Dengan demikian, kekalahan perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya.
Sejarah perjuangan ternyata bergerak maju. Kekalahan gerakan pembebasan nasional tidak serta merta menyurutkan perjuangan. Posisi PKI di ambil alih oleh PNI yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1927 dibawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan partai massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme.Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Akhirnya, pada tahun 1929 pimpinan PNI mengambil keputusan untuk membubarkan diri. Tapi aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.

Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus menerus. Sementara itu di Eropa, tahun 1939 Perang Dunia II meletus ketika Jerman dibawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang seperti pelabuhan, jalan raya dan lapangan udara tanpa di upah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll. Sebab-sebab dari timbulnya PD II adalah persaingan diantara negara-negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis

4. Revolusi Borjuasi 1945

Pada tanggal 14 dan 16 Agustus 1945, Nagasaki dan Hiroshima di bom atom oleh tentara sekutu yang menyebabakan Jepang mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II, maka terjadi kevakuaman kekuasaan di tanah-tanah jajahan pemerintahan fasis Jepang termasuk Indonesia sementara tentara Sekutu belum datang. Maka pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.

Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional.Tampuk kekuasaan negara repulik Indonesia hanya pindah dari tangan para kolonialis-kapitalis ke tangan sisa-sisa feodalisme yang berhasil mentransformasikan diri menjadi borjuasi nasional (kapitalis local). Kekalahan start kaum radikal oleh borjuasi nasional dalam mengambil kepemimpinan politik untuk membentuk pemerintahan koalisi nasional kerakyatan dikarenakan penetrasi Amerika yang memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. AS dengan dukungan beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya. Hasil dari revolusi borjuasi secara umum adalah pemindahan kekuasaan dari tangan para kolonialis-kapitalis Hindia-Belanda ke tangan para borjuasi baru sipil dan militer.

Program politik untuk menuntaskan revolusi borjuasi nasional yang belum tuntas dan harus dilanjutkan dengan revolusi sosial menjadi pemikiran dan dijalankan oleh banyak kekuatan partai politik. Pada era demokrasi multi partai ini, terjalin sebuah kehidupan berbangsa yang demokratis karena keterlibatan partisipasi politik rakyat sangat besar di sini dan banyak-nya partai yang mempunyai orientasi yang pro-rakyat. Dalam masa damai era demokrasi multi partai ini, militer dan para pendukungnya tidak mampu berbuat banyak. Oleh karena itu, mereka sering melakukan sabotase ekonomi (lewat penyelundupan), ancaman kudeta, dan menciptakan pemberontakan separatisme, dengan tujuan untuk mengacaukan masa damai yang lebih menguntungkan kalangan sipil dan mayoritas rakyat. Kita catat misalnya dikepungnya Istana Merdeka pada tanggal 17 Oktober 1952. Dalam usaha kudeta itu militer bekerja sama dengan bandit-bandit ekonomi-politik dalam negeri, beberapa kekuatan politik kanan, dan agen rahasia luar negeri seperti CIA-Amerika dan MI-6-Inggris.

Militer Indonesia yang di kuasai tentara reguler jebolan KNIL dan PETA hasil dari rasionalisasi dan restrukturisasi yang menyingkirkan laskar-laskar rakyat berhasil memperkuat basis ekonomi-nya melalui program banteng pada tahun 1957. Program in merupakan usaha “penciptaan” kelas borjuasi nasional (kapitalis lokal). Program ini juga berisi nasionalisasi besar-besaran aset swasta asing dan ex perusahaan Belanda dengan melibatkan pengusaha pribumi dan jenderal-jenderal militer (TNI). Program ini juga merupakan tonggak masuknya militer sebagai kapitalis dan munculnya pengusaha-pengusaha dari partai-partai politik. Sistem ekonomi Orde Lama juga masih berada disekitar jalur industrialisasi. Dalam situasi ini masih terdapat ilusi tentang tentara yang konstitu sional dan pro-rakyat. Salah tafsir ini mengingkari bahwa ABRI, yang cikal-bakalnya rakyat, telah dikooptasi oleh kaum reaksioner, ini membuktikan tentara mempunyai tendensi-tendensi akan kekuasaan politik. Tendensi ini makin nampak jelas ketika dimasukannya ABRI sebagai golongan fungsional, jadi dapat dipilih tanpa pemilu. Ini semua merupakan bentuk kongkrit dari penjabaran konsep Jalan Tengah dari Nasution, bahwa ABRI harus menjadi kekuatan sosial-politik. konsep ini yang kemudian dikembangkan oleh Jendral Suharto menjadi Dwi Fungsi ABRI.

Militer yang ingin berkuasa penuh secara politik dengan konsep jalan tengahnya dan mendapat perlawanan yang keras dari kekuatan buruh dan tani lewat PKI. Puncaknya meletuslah peristiwa 65 yang lebih kita kenal dengan G 30 S/PKI. Dan militer akhirnya mengkudeta Soekarno dan membantai massa dan simpatisan PKI dan Soekarno.

5. Orde Baru dan Kapitalis Bersenjata

Konsolidasi kapitalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari scenario lembaga-lembaga sistem kapitalisme dunia seperti IMF dan World Bank. Kapitalisme dengan syarat-syarat kekuatan produktif yang rapuh dibidang teknologi serta kurangnya dana segar untuk modernisasi menjadikan penguasa Orba harus bergantung sepenuh-penuhnya pada kekuatan modal Internasional Jepang, Amerika, Inggris, Jerman, Taiwan, Hongkong, dll. Pengabdian Orba pada modal semakin membuktikan bahwa pada prinsipnya negara Orba dibawah kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Soeharto adalah ALAT KEPENTINGAN-KEPENTINGAN MODAL.

Pada tahapan awal konsolidasi kekuasaannya, Soeharto berhasil memanfaatkan pinjaman hutang luar negeri dan penanaman modal asing. Soeharto melahirkan orang kaya baru (OKB) dan tumbuhnya Kapitalis. Soeharto juga memberikan lisensi penuh kepada sekutu dan kerabatnya untuk monopoli Export-import, penguasaan HPH dan perkebunan-perkebunan kepada yayasan-yayasan Angkatan Darat. Sehingga seluruh aset ekonomi kekayaan negara dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto. Dan Rezim Orba ini juga menggunakan kekuatan militernya untuk merefresif, membungkam dan meredam kekritisan dan protes dari rakyat. Senjatanya yaitu Dwi Fungsi ABRI dengan manifestasinya yaitu kodam, kodim, korem, koramil, babinsa/binmas. Juga badan extra yudisialnya seperti BIA, BAIS,dll.

Pada masa kekuasaan Rezim Orba ada beberapa perlawanan rakyat, tetapi organisasi perlawanannya lemah sehingga dapat dipukul dengan mudah seperti kasus Aceh, Tanjung Priuk, Lampung,dll. Di Gerakan Mahasiswanya sendiri Rezom Orba mengeluarkan kebijakan NKK/BKK yang jelas-jelas sangat meredam kekritisan mahasiswa, dan membuat mahasiswa jadi sulit untuk merespon kondisi masyarakat Indonesia.

Pada tahun 1997 terjadi krisis yang melanda dunia. Krisis ini diakibatkan oleh over produksi yang menyebabkan pengembalian modal mengalami kesulitan. Dampak dari krisis Global ini sangat berpengaruh sekali pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Ditambah lagi dengan jatuh temponya hutang luar negeri. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia awal dari keruntuhan Rezim Orba.

Runtuhnya Orba yang dimulai dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Dampak dari krisis ekonomi tersebut adalah naiknya harga sembako. Sehingga terjadi pergolakan dimana-mana yang menuntut diturunkannya harga sembako. Gerakan Mahasiswa yang selama ini vakum mulai bangkit melawan Rezim otoriter Soeharto. Tuntutan Mahasiswa dan Rakyat yang tadinya mengangkat isu-isu ekonomis meningkat menjadi isu-isu politis.

Pada tahun 1998 Gerakan Mahasiswa dan Rakyat berhasil melengserkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Soeharto digantikan oleh Habibie yang masih anak didiknya. Habibie hanya setahun berkuasa di Indonesia. GusDur naik sebagai Presiden RI dan Mega sebagai wakilnya melalui Pemilu 1999 yang katanya demokratis.

6. Indonesia dalam alam Neo Liberalisme.

Neo liberalisme adalah salah satu bentuk baru kapitalisme. Jurus neolib ini dilahirkan oleh kapitalisme Internasional dikarenakan pada saat itu dunia sedang mengalami krisis global. Persaingan pasar bebas menurut kapitalisme Internasional adalah jawabannya. Sehingga kesepakatan WTO pada November 1999 di Seattle Amerika adalah tahun 2003 sebagai tahun diberlakukannya pasar bebas di Indonesia. Dampak dari pasar bebas di Indonesia ini akan mematikan perekonomian rakyat kecil di Nidonesia. Karena produksi Indonesia belum mampu bersaing dengan produksi luar negeri, karena keterbatasan teknologi.

Rezim Mega-Hamzah yang saat ini memimpin Indonesia ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk menolak Neolib ini. Karena pemerintahan GusDur-Mega masih sangat bergantung pada pinjaman hutang luar negeri terutama IMF dan World Bank.

Sementara rakyat Indonesia menuntut kepada Rezim yang baru naik, yang katanya mendapat legitimasi dari rakyat untuk menuntaskan agenda-agenda Reformasi total, yang beberapa pointnya yaitu pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, cabut dwi Fungsi TNI/Polri(ABRI), Pengadilan Soeharto & kroninya serta sita asset-aset kekayaannya untuk subsidi kebutuhan rakyat. Dan sampai saat ini Rezim Mega-Hamzah belum mampu. Bahkan pemerintahan Mega-Hamzah membuat konsesi dengan sisa kekuatan lama (sisa Orba dan militer). Inilah yang membuat terhambatnya proses demikratisasi di Indonesia. Rezim yang diharapkan rakyat banyak juga menggunakan militer sebagai pendukung kekuasaannya. Ini terbukti bahwa Rezim Mega-Hamzah sama saja dengan rezim Orba. Bahkan militer berkali-kali mencoba ingin berkuasa kembali di Indonesia dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu RUU PKB, dll (terakhir mereka mencoba untuk mengaburkan tuntutan pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri dengan isu TNI/POLRI mempunyai hak untuk memilih dan dipilih lewat Pemilu), dan ini justru didukung oleh Rezim. Ini berarti mereka memberi peluang untuk terjadinya kembali praktek-praktek militerisme di Indonesia.

7. Hal-hal yang harus kita lakukan untuk merubah Indonesia.

Untuk merubah Indoneisa, kembali kepada cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia yang sesungguhnya, yaitu membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur. Kita harus menghancurkan dulu sistem kapitalisme yang sangat menindas tehadap hak-hak kaum pekerja yang menjadi mayoritas dari rakyat Indonesia. Kita harus membangun Organisasi-organisasi perlawanan rakyat untuk menentang segala macam system yang tidak berpihak pada rakyat. Dan kita juga harus mampu mempelopori membentuk system yang berpihak kepada rakyat. Sistem yang berpihak kepada rakyat yaitu system Demokrasi Kerakyatan. Kita harus merebut demokrasi sejati, untuk itu kita harus mentaskan revolusi demokratik di Indonesia. Kita harus menegakkan demokrasi sepenuhnya di Indonesia. Demokrasi Tanpa Penindasan.


Makassar, 14 September 2005

Departemen Pendidikan dan Propaganda
DPP – LMND Wilayah Sulawesi Selatan



Bersama Berjuang Bersatu Melawan!!!
Bangun Dewan Mahasiswa Rebut Demokrasi Sejati!!!

POLITIK RAKYAT MISKIN

1. Setahap demi setahap kemampuan industri (nasional) hancur, terutama force of production-nya, tidak signifikan lagi untuk membangun kemandirian. Dibandingkan Bangladesh saja, biaya peningkatan force of production-nya bahkan lebih rendah?biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya di atas US$ 1.oo per kapita; sedangkan di Indonesia di bawah US$1.oo. Ekonom borjuis saja memintanya ditingkatkan, terutama dalam hal teknologi. Kemudian, investasi?baik dalam perdagangan, industri, atau pun jasa?semakin mengarah (baik swastanya maupun pemerintah) ke konsep penyaluran kapital asing. Kapital asing tersebut, sebenarnya, sudah tak bisa (baca: tak berkehendak) disalurkan/ditampung/ditanamkan kembali di negerinya sendiri sehingga gelembung modal (asing) tersebut berupaya dimasukkan ke dalam negeri, dan ditampung (baik oleh agen swastanya maupun pemerintah). Alat pendesaknya adalah lembaga-lembaga keuangan, perdagangan dan pembangunan dunia, seperti International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), World Bank (WB), kesepakatan-kesepakatan/lembaga-lembaga bilateral dan multilateral lainnya, dan lain sebagainya. Bahkan, perkembangan terbaru dalam sejarah penanaman modal asing di Indonesia adalah: modal-modal tersebut ditampung oleh berbagai BUMN secara besar-besaran?baik sebagai peserta modal maupun sebagai pembeli langsung BUMN dan bank-bank yang diambil alih pemerintah (yang sudah atau tetap bangkrut walaupun sudah dipasok BLBI). Investasi spekulatif yang sangat berbahaya adalah portofolio, yang tak bisa diinvestasikan di sektor riil tapi diperjudikan lewat lalu-lalang perdagangannya. Itulah juga mengapa lembaga-lembaga keuangan (kredit) asing mulai marak di Indonesia.
2.Dampak dari kebijakan ekonomi seperti itu adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat , terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal?kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dan pengangguran semakin terasa (juga peningkatannya). Itulah mengapa gerakan spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat?peningkatan golput, penjatuhan pimpinan daerah dan sebagainya. (Apapun alasannya, Golput adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif.)
3.Namun, berbeda dengan sebelum tahun 1998, sekarang gerakan spontan (dan tak spontan) terbagi dalam 2 spektrum. Spektrum 1 gerakan: mendekati tahun 1998, kaitan antara gerakan 80an/90an dengan gerakan 98 mulai kelihatan putus (secara organisasional maupun pengaruh ideologis), apalagi beberapa gerakan yang tadinya memiliki pengaruh kuat masih bergerak di bawah tanah sehingga tak bisa terlibat penuh bersama gerakan 98 dan kaitannya dengan gerakan mahasiswa melemah. Dan, setelah tahun 1998, beberapa elemen gerakan 80an, 90an dan 98 mulai dikooptasi oleh elit-elit, kelompok-kelompok, partai-partai kaum reformis gadungan?termasuk, contohnya, semua Ketua Umum PRD masuk ke kubu mereka. Sehingga, kaitan gerakan (spontan)?yang terus menerus berkembang dan meningkat saat ini?dengan gerakan 80an dan 90an semakin menurun.
4.Spektrum lain gerakan (spontan) lainnya, spektrum 2 gerakan, yang kwantitas (dan bahkan kwalitasnya mulai) meningkat secara signifikan di seluruh nasional (kecuali di daerah-daerah terpencil), adalah: gerakan spontan-ekonomisme-fragmentatif, yang tak memiliki atau kecil sekali kaitannya dengan gerakan 80an, 90an dan 1998, atau tak memiliki/kecil sekali kaitannya dengan spektrum 1 gerakan. Statistik aksinya sudah puluhan aksi per bulannya?yang menggembirakan, ketimbang sebelum tahun 1998, gerakan tani juga semakin meningkat, bukan saja dalam hal perebutan/pendudukan (reclaiming) tanah, tapi juga dalam issues yang tak kasat mata seperti soal pupuk, pengairan, harga gabah, impor beras dan lain sebagainya. Itulah kondisi objektif yang memudahkan?namun bisa dilihat sulit atau belum memadai (oleh kaum mayoritas di PRD dan PAPERNAS)?untuk diolah sebagai landasan memajukan gerakan; padahal, bukan kondisi obyektifnya yang menyulitkan atau belum memadai untuk diolah, namun karena kondisi subjektifnya yang tidak jalan. Itulah yang mendemorasilisasi mereka; buruk rupa cermin dibelah.
5.Kemudian, hal yang menggembirakan lainnya adalah: issues kemandiran bangsa, nasionalisasi, kontrak ulang dan sebagainya mulai diangkat oleh sebagian (kecil) kelas menengah dan elit politik?Amien Rais hendak bangkit lagi dengan mengangkat issues tersebut. Terlepas dari motifasi mereka yang sekadar mencari popularitas (menaikan nilai tawarnya) dan hendak meningkatkan harga jual sumber daya alam nasional (baca: harga jual bangsa) kepada imperialis.
6.Hal lain yg menyulitkan (tapi memudahkan kita memahami musuh) yakni, karena kejatuhan Gus Dur, ada 3 kekuatan yang sedang dan akan berusaha terus berkuasa: 1) revitalisasi atau restorasi Orde Baru dalam manifestasi Golkar; 2) kaum reformis gadungan, terutama yang menjadi benalu pada momen reformasi tahun 1998, seperti PKS dan lain sebagainya; 3) Tentara. Kejatuhan Gus Dur adalah cerminan bagaimana tentara mendukung kelompok (1 dan 2 tersebut) untuk menjatuhkan Gus Dur—terutama Ryacudu. Dan sekarang, kecenderungan ekonomi-politik mereka adalah menjadi agen modal (penjajah) asing.
7.Musuh lainnya: penjajah (modal) asing. Mereka sekarang sedang butuh pembuangan modal?bukan di Afrika, tentunya, kecuali di Afrika yang kaya sumberdaya alamnya, terutama yang kaya enerji (karena mereka belum bisa beralih seketika ke enerji lain), pertambangan lainnya, dan mineralnya. Dan, di negeri-negeri berkembang, reinvestasi modal asing dalam bentuk constant capital (dalam konsep force of production) peningkatannya sedikit/lambat. Dinamika modal (dalam konsep force of production) ada di negeri asalnya; sedikit saja keuntungan yang diperoleh di negeri-negeri berkembang, akan dengan segera ditransfer ke negeri asalnya?di Indonesia, tentu saja atas tekanan “moralitas kebijakan-kebijakan” neoliberalis dan alat-alatnya, undang-undang lalu lintas devisa/modal sudah dan akan lebih dipermudah. Walupun telah diaudit, tak ada aturan seberapa porsi yang harus ditanamkan kembali. Itulah yang kemudian menjadi landasan bagi ajang kompetisi industri yang anarkis: masuk satu industri, maka industri (serupa) lainnya hancur?dan industri yang hancur justru industri yang banyak menyerap tenaga kerja, itulah mengapa mereka membutuhkan undang-undang yang menjamin outsourching, apalagi belakangan ini semakin anarkis. Konsekwensi langsungnya adalah: hancurnya produktivitas nasional; meningkatnya penganguran; dan turunnya daya beli mayarakat.
8.Soal budaya. Sekarang sudah mulai meningkat budaya ketidakpercayaan terhadap elit, alat-alatnya dan mekanisme-mekanismenya, dalam bentuk: SBY-JK tak bisa memberi jalan keluar; elit korup; pemilu bukan untuk partai alternatif; partai-partai politik yang ada bukan alternatif yang bisa memberikan jalan keluar. Dengan demikian, seharusnya, saatnyalah untuk mengolah gerakan karena hasilnya akan lebih menggembirakan; kondisi objektif lah yang lebih banyak membantu kita. (Dalam konsep Tiga Serangkai dan Soekarno: ketika rakyat sudah tak percaya lagi pada penjajahnya, walau Belanda menawarkan Volksraad, jawabannya: NON-KOOPERASI. Lawan! Bahkan kompromi dianggap tak akan bisa memberikan jalan keluar.)
9.Kemudian tentang dua taktik. Kaum pelopor sekarang berada dalam lautan kesadaran reformis (itulah mengapa butuh kaum pelopor yang bekerja keras dengan alat-alatnya yang kreatif, tepat dan meluas). Di mana-mana bergejolak tuntutan reformisme. Agar lautan kesadaran reformis tersebut menguntungkan gerakan maka harus dimobilisir menjadi tindakan politik?namun demikian, harus ada kompartemen kesadaran sosialis di lautan reformisme tersebut agar tidak sesat atau berputar-putar pada jalan keluar dan hasil yang reformis; dan agar secara simultan bisa memberikan kesadaran sosialis, tidak menahapkannya. Kita ambil hikmahnya kejadian di Nigeria: buruh pertambangan minyaknya sanggup mogok selam 3 bulan, bahkan merembet kemana-mana sehingga seluruh sektor perekonomian masyarakat lumpuh total, namun kesadarannya bukan kesadaran politik (tidak ada skenario politik melawan tentara) sehingga, ketika dipukul tentara, tak ada kesiapan untuk melawannya, dan kalah. Atau seperti LSM, yang tak menganjurkan untuk mengajarkan politik kepada rakyat?bahkan ada yang beralasan: nanti saja kalau massanya sudah besar. Sebesar apapun massanya, bila tak pernah diberikan acuan politik, maka akan semakin sulit untuk diajak bertindak politik (terlebih-lebih akan banyak dari kalangan pimpinan massanya yang akan menolaknya karena tidak sejak awal pimpinan massa tersebut diajarkan politik). Oleh karena itu, jangan disepakati bila PAPERNAS hendak dimatikan potensinya sebagai partai aternatif, yang akan memasokkan dan meyebarluaskan politik alternatif; lain lagi yang dapat diambil hikmahnya dari gerakan HAMAS yang, awalnya, memberikan kesadaran politis di landasan lautan kesadaran dan alat-alat reformis (koperasi dan advokasi) sehingga, setahap demi setahap, sesuai dengan pembesaran massanya, mereka bisa menjadi organisasi alternatif bagi rakyat: tetap melawan Israel (secara radikal dan militan), serta bisa memenangkan pemilu mengalahkan dominasi FATAH selama puluhan tahun.
10.Bagaimana situasi tersebut diarahkan/diolah dengan strategi-taktik kita?bisa saja dengan pemilu sebagai salah satu variabel politiknya, dan dengan koaliasi-pemilu sebagai salah satu unsur taktisnya (tapi koalisi dengan siapa?). Seharusnya, kesadaran koalisi yang harus dipropagandakan adalah: kita bisa menyerang musuh (obyektif) bersama, yakni: penjajahan (modal) asing; sisa-sisa Orde Baru (terutama GOLKAR), tentara, dan kaum reformis gadungan, sebagai bahaya nyata, bahaya mendesak. Namun, dalam koalisi, tak jadi masalah bila hanya program miminum saja yang bisa diterima oleh sekutu kita, tapi program minimum tersebut tidak boleh kontradiktif atau kontra-produktif terhadap program-program maksimum atau program sejati kita, atau kita dengan bebas, tak terikat, harus (di segala kesempatan) berupaya mempropagandakan program-program sejati kita. Oleh karena itu, koalisi dengan PBR TIDAK BOLEH!
11.Salah satu strategi-taktik mengembangkan partai dan politik alternatif rakyat miskin lihat tulisan Arah Pengorganisasian Massa untuk Revolusi dengan Metode Tiga Bulanan.
12.Sekali lagi, dari fakta yang ada dalam analisa situasi nasional di atas, jelas program yang harus diperjuangkan adalah menghancurkan: 1) sisa-sisa lama (Orde Baru dan Golkar); 2) tentara. Karena mereka terus mengendap-ngendap untuk mencari celah menjarah ranah sispil kembali, bahkan sekarang semakin terbuka bergerak naik. Ilusi yang dibangun adalah bahwa militer masih bisa dikontrol oleh sipil—misalnya dengan adanya kementerian pertahanan dan keamanan, yang menterinya seorang sipil—tak terbukti di lapangan, mereka tetap saja tak bisa dikontrol (kasus penembakan di Pasuruan, misalnya). Bahkan sekarang perluasan pengaruh militer di partai-partai semakin kuat. Artinya masih ada problem tentara, dan Dwi Fungsi harus dituntaskan; 3) reformis Gadungan. Kita harus membongkar ilusi terhadap reformis gadungan, agar rakyat bertambah mengerti. Harus ditunjukkan bahwa program reformasi pun tidak mau mereka tuntaskan, hanya sekadar janji; 4) penjajahan modal asing dan kapitalisme. Bila kita tak berhasil menyelesaikan problem penjajahan modal asing, maka kita telah kehilangan potensi untuk mengembangkan force of production sosialisme.
13.Sebagian aspek yang harus ditekankan dalam agitasi-propaganda adalah: jangan percaya pada neoliberalisme, karena semangatnya adalah semangat penjajahan, semangat penghisapan. Karenanya konsep neoliberalisme harus dirubah menjadi konsep penjajahan; jangan percaya pada sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); jangan percaya pada tentara (penindas rakyat); jangan percaya kaum reformis gadungan; jangan percaya partai-partai lama (yang bukan alternatif); yang lainnya adalah soal budaya: budaya kemandirian (anti penjajahan), budaya non kooperasi, budaya alternatif, budaya berlawan (radikal, militan, dan cerdik), budaya berorganisasi, budaya bersatu/kolektif, budaya membaca/belajar, budaya bekerja, budaya cinta ke-ilmiah-an, budaya sayang rakyat dan sesama, budaya cinta lingkungan, budaya demokratik, budaya anti rasialisme, budaya kesetaraan gender, budaya toleran terhadap orientasi seksual, dan lain sebagainya.
14.Hegemoni kepemimpinan program dan politik partai alternatif rakyat miskin sendiri memang tak bisa berkembang bila dilepaskan dari persatuannya dengan kelompok-kelompok lain. Tapi harus hati-hati memahami kelompok-kelompok tersebut. Bahkan spektrum gerakan lama (80an dan 90an) pun banyak yang sudah tak bersih lagi, sudah terkooptasi, dan campur aduk antara yg radikal dan moderat, sehingga malah bisa memperlambat gerakan. Bahkan, gilanya, yang radikal bisa terkooptasi oleh yang moderat?apalagi, setelah kejatuhan Suharto, bila tak jeli, sulit untuk menilai kadar kwalitas mobilisasi (yang tidak sepenuhnya politis) yang dilancarkan oleh unsur-unsur (terutama LSM) yang, pada masa Suharto, bukan main moderatnya. Misalnya, sebagai contoh, spektrum gerakan 80an dan 90an sudah mulai mencoba mewujudkan proyek persatuan, namun konsolidasinya masih campur aduk, tanpa unsur pelopor (yang bebas dan berkehendak memiliki program serta metode politiknya sendiri). Layaknya proyek mimpi. Karena itu, pengolahannya: harus ada analisa dan penetapan rangking unsur-unsur yang harus dipersatukan sesuai dengan program-program dan metode-metode politiknya, agar lebih cepat berkembang dan meluas. Masing-masing ada wadah persatuannya sendiri, namun kita tidak boleh sektarian dengan menghindarkan diri atau tidak terlibat dalam wadah-wadah persatuan yang program-programnya minimum dan metode-metode politiknya moderat. Bahkan kita harus juga mempelopori wadah-wadah seperti itu, sebagaimana layaknya kerja kaum pelopor di lautan kesadaran dan elemen-elemen reformis. Bila dapat diolah dengan efektif maka memungkinkan adanya perkembangan gerakan yang signifikan, sekaligus memungkinkan dihasilkannya figur-figur [yang, paling tidak, demokrat (sejati) atau populis] yang akan terus bertahan.
15.Isian politik dalam persatuan dengan unsur-unsur reformis, pada tahap awal, minimal ada dalam batas-batas demokrasi dan kesejahteraan. Kemudian, bila ada landasan komitemen kerja?terutama dalam upayanya menghancurkan sektarianisme, dengan melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur reformis [yang, bahkan, ada yang sudah menginginkan “alternatif” (dalam pengertian mereka]?maka wibawa persatuan akan meningkat (apalagi bila massanya meluas), dan kepercayaan terhadap persatuan, dengan demikian, akan meningkat pula. Dan bisa saja, pada satu kondisi yang memadai, wadah persatuan tersebut akan bertransformasi menjadi partai dan mengambil taktik pemilu dengan politiknya sendiri (yang masih reformis). Namun, pergerakan tersebut tidak boleh dilepaskan dari konsep perjuangan kompartemen sosialis di lautan kesadaran dan politik reformis, agar kita bisa mengambil manfaat terhadap perkembangan persatuan tersebut (lihat tulisan: Arah Pengorganisasian massa untuk revolusi dengan Metode Tiga Bulanan). Prosesnya sekarang adalah pembesaran gerakan sendiri dan gerakan persatuan, dengan tanpa membatasi atau menahap-nahapkan agitasi-propaganda sejati?tentu saja, dalam kesepakatan persatuan, kita akan dengan cerdik dan rendah hati bisa berkompromi menyepakati reformasi yang menguntungkan rakyat (yang tidak berkontradiksi dan kontra-produktif terhadap program-program kita). Hasil langsung dari strategi-taktik tersebut adalah: atmosir politik (yang semakin lama semakin meluas tapi mem–fokus) akan tetap terjaga (hidup), walaupun terdapat banyak kekuatan/gerakan (yang sebelumnya sulit untuk disatukan); dan atmosfir politik inilah yang justru akan menjadi landasan lebih mudahnya persatuan semakin meluas dan mem-fokus.
Sumber : lmnd-prm.blogspot.com

Beberapa Gagasan Tentang Persatuan Gerakan

WilsonKetika bertemu dengan Joel Rocamora beberapa tahun lalu, mantan pimpinan Akbayan dari Filipina, dengan bergurau mengatakan, "gerakan kiri di Filipina suatu saat akan sebesar amuba, sehingga butuh mikroskop untuk melihatnya." Perumpamaan ini merupakan ekspresi dari kegalauannya melihat fragmentasi di kalangan gerakan kiri Filipina, sehingga transisi demokrasi yang mereka pimpin dimasa awal penggulingan Marcos pada 1986, kini hanya mereka nikmati dari pinggiran arena politik.Untunglah ketika bertemu kembali akhir tahun lalu di Praxis, guruaun itu sudah berlalu. Joel dengan bangga menceritakan keberhasilan Akbayan 'menyatukan' berbagai blok kiri di Filipina dan para aktivis 'kaum independen.' Bahkan Akbayan berhasil merebut posisi 50 walikota di Filipina dan mulai menjalankan suatu perencanaan partisipatoris dalam pembangunan di tiap distrik yang dikuasai Akbayan. Proyek ini terinspirasi dari model sukses anggaran partisipatoris di Porto Alegre, Brazil, yang dimotori oleh Partai Buruh Brazil.Di Indonesia, delapan tahun proses transisi demokrasi seperti mengulang kisah lama di Filipina. Fragmentasi di dalam maupun di antara berbagai gerakan kiri sudah merupakan kenyataan. Namun di luar itu, di lingkungan gerakan sosial yang ada, khususnya di perburuhan dan gerakan tani (terutama di wilayah seperti Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Tengah), justru mengalami kemajuan secara kuantitatif dan kualitatif. Proses regrouping juga terjadi di dalam gerakan, seperti yang terjadi dalam pembentukan PRP, KASBI, PI dan PPR .Kemajuan-kemajuan juga tampak nyata dari kemunculan blok-blok politik kiri yang baru, di luar lingkaran tradisi 'kiri' PRD yang lebih awal muncul. Blok-blok kiri ini bermunculan dalam berbagai gerakan sosial sektoral tradisional, seperti serikat buruh, serikat mahasiswa, serikat tani, serikat kaum miskin kota, gerakan budaya maupun gerakan-gerakan sosial baru seperti lingkungan, masyarakat adat , feminisme, gerakan korban pelanggaran ham, gerakan kaum gay dan agama pembebasan. Belum lagi, jika ditambahkan dengan alumnus gerakan kiri yang bertebaran sebagai 'kaum independen' dan memegang posisi penting di LSM, jurnalisme, sastrawan, kampus dan lembaga kajian, pembuat film, programer radio, asosiasi pengacara kerakyatan, bahkan menjadi wiraswasta.Beberapa mantan aktivis gerakan kiri juga masuk ke dalam partai-partai mainstream yang ada seperti, PDIP, PAN, PKB, bahkan yang paling baru ke dalam Partai Bintang Reformasi (PBR). Beberapa jaringan gerakan rakyat progresif di beberapa kota, juga telah mengonsolidasikan dirinya ke dalam Partai Pergerakan Rakyat (PPR).Seluruh penggambaran di atas menunjukkan, orang-orang kiri, baik yang bernaung di bawah payung sebuah organisasi kiri yang lebih ideologis, terlibat dalam gerakan sosial, maupun yang bertebaran 'sebagai kaum independen,' merupakan basis material yang nyata, yang di depan mata kita, yang sebetulnya memberikan harapan baru, bahwa kaum kiri itu sebenarnya tidak semakin mengkerut, tapi semakin tersebar dan masuk ke berbagai 'lini' baik dengan motif 'ideologis' ataupun dalam kerangka mengembangkan profesionalisme dan karir.Pertanyaanya, dengan sedemikian banyak dan tersebarnya 'potensi-potensi' kemajuan gerakan yang ada, bagaimana cara mengikat semua 'bintang-bintang merah yang bertebaran tersebut' menjadi suatu energi dan sinergi gerakan yang meluas, partisipatoris, inklusif, pluralis tapi tetap pada garis komitmen kerakyatan, keadilan sosial dan demokrasi sejati?Tentu saja kemudian kita akan bicara soal organisasi perjuangan macam apa yang cocok ditahap awal untuk dapat mengakomodasi demikian banyak blok, individu dan 'tendensi ideologi kiri ' yang sudah ada tersebut. Saya sendiri berpikir, konsep sebuah organsisi dengan ideologi monolit yang 'formal' seperti organisasi kiri tipe lama, sudah saatnya mulai kita tanggalkan. Organisasi 'kiri tipe baru' yang saya bayangkan adalah sebuah 'koalisi luas' berbentuk PARTAI, tapi dengan otonomi luas kepada setiap blok politik yang terlibat di dalamnya. Jadi, setiap gerakan sosial, individu dan blok politik yang terlibat di dalamnya, tidak perlu kuatir, partai yang mereka bentuk akan membatasi, mengamputasi, mengurangi atau akan mengeliminir apa yang sedang mereka kerjakan.Dengan otonomi luas yang tetap diberikan maka level pimpinan di tingkat pusat partai hanyalah 'mandataris' dari berbagai komponen yang ada. Mandataris ini hanya mempunyai wewenang dalam lingkup 'kepemimpinan ideologis dan politik,' tapi tidak dapat melakukan intervensi pada level organisasi yang mendukung partai, kecuali pada 'common platform' yang telah disepakati menjadi 'progam bersama' atau 'strategi bersama' oleh 'koalisis luas' yang mendukung partai ini.Titik temu atau 'common platform' dari semua 'blok'; atau komponen di dalam partai tersebut adalah pada 'strategi/proyek politik bersama' dalam pertarungan elektoral dan memenangkan program 'anggaran partisipatoris' dengan berbasis pada perebutan kekuasaan politik distrik/kabupaten/walikota dengan memanfaatkan sistem pemilu langsung. Pada level 'common platform,' saya mengusulkan program-program yang lebih menitikberatkan pada 'platform sosial-ekonomis' yang merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat seperti kesehatan, pendidikan, pengupahan, perumahan untuk rakyat miskin, tanah untuk penggarap dll.Pada level 'common strategy' saya mengusulkan agar partai ini mengambil peranan, responsif dan terlibat dalam politik elektoral yang berlangsung atau akan berlangsung. Bila partai yang isinya adalah 'koalisi kerakyatan' ini memang disepakati, maka momentum elektoral 2009 adalah sasaran yang harus dicapai dan direspon. Karena itu strategi elektoral ini harus melibatkan semua komponen yang mendukung pembentukan partai sebagai 'PEKERJAAN POLITIK BERSAMA"Pada level " programatik' saya mengusulkan dibuat sebuah 'PROGRAM ALTERNATIF' yang menunjukkan perbedan antara 'KITA' dengan partai mainstream yang ada. Program alternatif yang saya bayangkan adalah semacam proyek "Anggaran Partisipatoris" semacam di Porto Alegre yang disesuaikan dengan kondisi obyektif dan subyektif di Indonesia.Catatan perlu saya berikan untuk gagasan menfasilitasi 'kaum independen' ini. Kaum independen yang saya maksud adalah para aktivis yang dulunya anggota, pendukung, simpatisan gerakan rakyat/gerakan progresif/gerakan kiri, tapi kemudian karena tuntutan profesional atau karena merasa 'tidak cocok' dengan berbagai organisasi yang ada lantas lebih menyibukkan dirinya pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, yang juga strategis. Kaum independen ini muak melihat rejim yang korup. kemiskinan yang semakin luas, pelanggaran HAM yang meluas dan ketidakbecusan yang terjadi dalam parlemen serta parpol mainstream. Kemuakan ini sayangnya tidak terfasilitasi, karena mereka melihat tidak ada 'gerakan politik alternatif' yang potensial. Gagasan pembentukan Pergerakan Indonesia (PI) sebetulnya sudah mirip dengan ide saya ini. tapi setelah 'komandan-nya' Budiman pergi, juga Martin, JEK dan Reza saya melihat PI kok agak menurun semangatnya. (Gimana ini Martin lu tanggung jawab juga nekh, jangan involutif gitu dong !)Banyak kaum independen ini bekerja di lingkungan jurnalistik, menjadi akademisi, aktif di lembaga kajian/riset, menjadi sastrawan/seniman, pembuat film, aktif di LSM, menjadi pengacara dll., tetapi, masih mempunyai komitmen dan rasa simpati yang dalam pada gerakan kerakyatan. Orang-orang ini menjadi penting karena jaringanya yang luas baik di level lokal, nasional maupun internasional, aksesnya ke berbagai institusi dan sumber informasi, bahkan ke berbagai institusi pengambil kebijakan yang strategis. Kaum independen ini harus mengonsolidasikan dirinya dalam bentuk kaukus di level distrik/kabupaten/kota. Kaukus ini nantinya akan memilih perwakilannya sendiri yang diberi mandat untuk terlibat dalam pekerjaan organisasi.Untuk tahap awal pembentukan partai kerakyatan tipe baru ini, maka partisipasi seluas-luasnya harus diberikan kepada berbagai komponen gerakan untuk memberikan sumbangan, terlibat dan memasukkan pikiran-pikiranya yang konstruktif. Untuk itu sebuah proses sosialisasi yang berkelanjutan, militan, efektif, komunikatif, dan telaten harus dilakukan. Bahkan pada kelompok-kelompok kiri yan 'tidak setuju' sekalipun dengan ide ini patut disosialisasikan.Untuk proses sosialisai ini agar terbuka dan melibatkan banyak pihak, saya berpikir untuk membuat sebuah TERBITAN BERSAMA yang FOKUS berisi pada gagasan dan perdebatan soal pentignya membuat persatuan yang bukan persatean. Terbitan ini didistribusikan oleh tiap komponen yang mendukung gagasan ini, serta berbagai kelompok sosial dan gerakan yang dianggap potensial untuk mendukungnya.