Februari 15, 2009

Freeport, Akar Separatisme Negara


Banyak kalangan menilai perusahaan asal Amerika yang sudah menguras kekayaan alam di Papua ini tidak hanya menimbulkan kelalaian kontrol tetapi juga memicu semangat perlawanan rakyat akibat ekspansi neoliberal. Puluhan tahun pula selama di Papua, PT Freeport menyumbang belenggu ketidakadilan dan penjarahan hak politik, ekonomi dan kedaulatan negara. Di mana sistem Undang-undang pengontrol investasi jadi amburadul, dan bagi rakyat Papua, sumbangsih PT Freeport terkait integrasi Papua menuai ketidakadilan dan menjemput anarkisme demokrasi.

Pendudukan PT Freeport di Papua meletakkan peradaban baru; status Papua secara politik beralih dalam pangkuan RI pasca-seruan Trikora, tahun 1963. Investasi asing terus membanjiri bumi Indonesia pasca-negosiasi produk hukum lunak (UU PMA satu/1967) bagi pengelolaan aset ekonomi bangsa. Jadilah kenyataan, 80 persen aset tambang di Indonesia dikuasai asing dari segala sektor strategis pengelolaan hasil alam di nusantara ini.

Phobia negara-negara berkembang terus menyatukan globalisasi dengan kesejahteraan rakyat sudah dilakukan pasca isu-isu globalisasi menjamur di dunia. Indonesia menjadi negara berkembang di Asia Tenggara yang punya nilai lebih secara ekonomis dan suprastruktur rakyat sebagai benteng reformis bagi melunaknya keberpihakan negara atau pemerintah mendukung hegemoni imperialis.

Sudah 37 ribu lebih saham milik Perusahaan Trans Nasional (TNC) untuk mata rantai ekonomi dalam negeri dan dunia. Di mana 21 perusahaan negara di dunia pendukung investasi operasi tambang bagi PT Freeport Indonesia. Dan 150 ribu anak perusahaan di dunia yang punya hubungan produksi di bawah payung eksplorasi tambang milik PT Freeport yang berpusat di Amerika. Skala operasi terbesar PT Freeport di dunia adalah di Papua, "Tembagapura" dengan cadangan emas, batubara dan merkuri yang begitu banyak.

Bagaimana keuntungannya bagi kelangsungan hidup bagi negara? Nilai lebih adalah tujuan investasi dalam segala hal. Transparansi keuangan PT Freeport secara rutin dipublikasikan pada dekade tahun 2005 sampai sekarang. Kewajiban PT Freeport di tahun 2007 saja, mencapai Rp. 2,9 Triliun untuk Jakarta, Rp. 33 Milyar buat Timika. Jika rata-rata penghasilan PT Freeport mencapai Rp. 1 trilyun per tahun, maka sudah ada devisa puluhan trilyun rupiah bagi negara.

Dengan stigma kesejahteraan rakyat dari ekonomi bangsa, tatkala sampai sekarang PT Freeport Indonesia, yang beroperasi sejak tahun 1967 – sekarang, dengan luas konsesi sebesar 2,6 juta ha, termasuk 119.435 ha hutan lindung dan 1,7 juta ha kawasan konservasi. Akankah pulau Papua semakin sempit? Tidak, fisik pulau Papua begitu luas, tetapi habitat alam dan mahluk hidup menjadi rentan dari sapuan penanam saham ini. Tatkala gunung Gresberg terus dibuat terowongan dan penggalian lubang besar-besar nyatanya.

Pemerintah Indonesia mewakili ratusan juta penduduk punya utang luar negeri sebesar USD 61.81 Milyar yang harus dikeluarkan dari kas APBN. Angka ini semakin memprihatinkan bagi keberpihakan negara terhadap lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan dan pembangunan ekonomi.

Akankah efisien dengan kekuatan ekonomi negara bagi kebutuhan hidup warga negara di tengah krisis ekonomi dunia suatu masalah krusial sekarang. Inilah fakta, kemandirian bangsa dipertanyakan sejauh mana kemungkinan keberhasilan bagi kesejahteraan rakyat di dalam ruang kepungan globalisasi saat ini.

Pemutusan hubungan kerja ribuan pegawai perusahaan, yang dibarengi dengan pembentukan daerah pemekaran baru, akankah ini solusi bagi penanganan pengangguran? Stimulus eksploitasi tambang sejak masuknya PT Freeport, merambat ke dalam keberpihakan ruang negara begitu besar bagi keberlangsungan investasi ketimbang negara memberi ruang bagi kemandirian bangsa dalam segala hal. Undang-undang tata ruang melegitimasi penggusuran di mana-mana dan keyakinan bagi PT Freeport untuk menerapkan sistem security di areal penambangannya. Anehnya, pihak security PT Freeport (memproteksi) untuk tidak berada di areal tambang lebih ketat. Memasuki wilayah PT Freeport harus mengantongi 12 ijin resmi. Memalukan sekali, di mana Undang-undang investasi asing justru memberi kemudahan bagi segenap investasi asing di Indonesia. Terbalik bukan?

Realitas negara tidak berpihak kepada kemandirian bangsa inilah, separatisme negara terus menjarah aset rakyat, dan merombak kedaulatan bangsa. Separatisme negara sangat mungkin merekonstruksi kemiskinan permanen, tetapi keberadaan kelompok separatis negara ini malah dilindungi negara dan negara memenjarakan rakyatnya yang tidak sepakat dengan separatis negara.

Papua titik penting dalam sejarah keterpurukan bangsa Indonesia. Ia, gara-gara PT Freeport masuk di Papua, UU PMA diteken penguasa di Jakarta sebagai fondasi utama bagi meningginya kelompok separatis negara. Dan gara-gara tuntutan Papua merdeka juga, Otonomi Khusus dan Otonomi daerah diberlakukan dengan stimulus di era reformasi. Belumlah kemajuan didapat, demokrasi tidak begitu utama, hak asasi manusia dan ekologi bukanlah ideologi utama bagi para penyelenggaraan negara yang saya sebut "Separatisme Negara", di mana PT Freeport adalah otak di balik bertumbuhnya benih-benih penghianatan terhadap kedaulatan rakyat Indonesia, khususnya rakyat di Papua Bagian Barat, dari Sorong sampai Samarai.

*) Mantan Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua Internasional (AMP – I), Periode 2005 – 2008 dan Jurubicara Nasional Front PEPERA PB, Periode 2006 – 2008.


Keterangan Foto:
Suasana demonstrasi massa Front PEPERA PB yang menuntut penutupan PT Freeport.

Sumber:ALDP

Februari 03, 2009

Mahitala Unpar Capai Puncak Idenburg


BANDUNG, SENIN - Tim Ekspedisi Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Mahitala Universitas Katolik Parahyangan berhasil mencapai salah satu puncak Gunung Idenburg di Pegunungan Sudirman, Papua.

Dilansir dari situs resmi Unpar, salah satu tim, yaitu Tim Engea-1, telah meraih Puncak Idenburg (4.626 meter di atas permukaan laut) pada 30 Januari 2009. Puncak itu kemudian dinamai Puncak Merah Putih .

Saat ini, tim ekspedisi juga dalam perjalanan untuk menaklukkan puncak lainnya. Gunung Idenburg adalah salah satu puncak di Pegunungan Sudirman, Papua, yang selama berpuluh-puluh tahun gagal ditaklukkan pendaki Indonesia.

Selama ekspedisi, mereka akan mendokumentasikan keanekaragaman flora dan fauna di tempat itu, termasuk suku-suku pedalamannya.


Yulvianus Harjono

Tiga Napi Kasus Mile 62, Enggan ke Papua


JAYAPURA-Tiga Narapidana (Napi) kasus penembakan di Mile 62-63, Distrik Tembagapura, Kabupaten Timika yang saat ini menjalani masa tahanan di Lapas Cipinang, Jakarta Timur, ternyata menolak dipulangkan ke Papua (Lapas Abepura). Ketiganya, masing-masing Yerius Kiwak alias Kibak, Esau Onawame dan Izak Onawame
Alasan penolakan, karena para tahanan ini menginginkan rekan mereka (sesama tahanan lainnya) yang terlibat dalam kasus yang sama, ikut dipulangkan. Mereka yang dimaksud adalah Yulianus Deikme, Anton Wanmang, dan Agustinus Anggaibak.
Penolakan tiga tahanan ini disampaikan Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Papua, Nazarudin Bunas, SH,MH saat dikonfirmasi, Senin (2/2) kemarin. "Mereka menolak dipulangkan, karena menginginkan rekan-rekan lainnya ikut dipulangkan," singkat Kakanwil Hukum dan HAM setelah menerima laporan dari Kepala Divisi Pemasyarakatan Hukum dan HAM.
Dari penolakan ini ketiganya meminta agar ada pembebasan bersyarat (PB) dan kini sedang dalam proses. "Sudah diputuskan oleh pertimbangan pemasyarakatan dan dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan HAM melalui Dirjen Pemasyarakatan atas nama Kanwil Hukum dan HAM, kini sudah ada SK- nya jadi diharapkan dalam 4 atau 5 hari ini sudah bisa bebas bersyarat," katanya.
Pembebasan bersyarat ini dikabulkan setelah melihat perilaku dan sikap 3 tahanan tadi yang dianggap baik sehingga bisa diberikan. "Mereka dinilai baik selama dalam tahanan," jelasnya.
Hanya ke tiga rekannya lagi belum bisa mendapatkan PB mengingat ada yang mendapatkan hukuman lebih berat. Bahkan ada juga yang dihukum seumur hidup. Nazarudin juga menjelaskan, dari salah satu anggota Komisi F DPRP sempat menanyakan tentang pembebasan bersyarat ini dan rencananya akan berangkat ke Jakarta untuk melihat perkembangannya.
"Saya sarankan ke beliau agar ada surat pernyataan tertulis yang dibuat ketiga napi ini yang isinya menolak untuk dipulangkan," papar Nazarudin menambahkan agar tidak ditafsirkan lain oleh keluarga mereka yang menunggu di Papua.
"Kesimpulannya keluarga mereka sedang menunggu, tetapi mereka sendiri yang tidak mau kembali," sambung Kakanwil. Dari PB ini ketiga tahanan tersebut bisa memilih untuk tetap di Jakarta dengan catatan berkelakuan baik untuk menghabiskan masa tahanan yang tersisa. Sekedar diingatkan kembali para narapidana ini dihukum karena terlibat kasus penembakan staf pengajar sekolah internasional Tembagapura di Mile 62-63 Distrik Tembagapura tahun 2003 silam. (ade)


Sumber : Cendrawasih Pos

Pemukulan Buchtar Tabuni, Bukti Buruknya Penegakan Hukum di Indonesia


Minggu ini, kami dikagetkan dengan banyaknya pertanyaan yang mencari kebenaran terhadap informasi pemukulan saudara Buchtar Tabuni, oleh salah seorang oknum anggota kepolisian di Polda Papua. Para penelephon tidak hanya mewakili pribadi, melainkan juga dari beberapa lembaga internasional, seperti Amnesty Internasional. Informasi ini memang membuat Amnesty Internasional kaget, karena seminggu sebelumnya Amnesty Internasional telah membuat siaran pers yang berisi tuntutan untuk membebaskan para pengibar bendera Papua.

Pada hari Senin, 19 Januari 2009, Iwan K Niode, SH, salah seorang pengacara Buchtar Tabuni, sempat mengeluarkan statement di salah satu harian lokal di Jayapura, bahwa dirinya selaku penasihat hukum Buchtar Tabuni tidak diizinkan untuk menemui kliennya. “Kenapa Polda Papua tidak mengizinkan saya untuk menemui dia? Pasti pihak Polda menyembunyikan sesuatu terhadap kami”, demikian ujarnya dengan nada Tanya yang tinggi. Padahal hari itu, menurut pengakuannya, dia hendak mengunjungi Buchtar Tabuni untuk mengkonfirmasi mengenai pemukulan terhadap kliennya, sekalian membawakan makanan ringan buat Buchtar Tabuni dan Sebi Sambom. Meski sudah melakukan protes keras kepada petugas jaga di ruang tahanan, tapi tetap saja tidak diizinkan untuk menemui Buchtar Tabuni.

Mengetahui hal ini, Iwan K. Niode, SH kemudian mendatangi Kasat I Pidana Umum Ditreskrim Polda Papua, AKBP Silitonga. Pada dasarnya, pihak penyidik sendiri tidak keberatan atas keinginannya untuk menemui Buchtar Tabuni. Oleh Silitonga, pengacara dari ALDP tersebut kemudian diminta untuk kembali lagi ke tahanan dengan ditemani salah seorang anggota penyidik, Raymond. Sampai di pintu ruang tahanan, petugas jaga ketika itu, Briptu Hamzah, dengan mengatasnamakan Direktur Samapta Polda Papua, menyampaikan bahwa Buchtar Tabuni tidak boleh ditemui oleh siapa pun juga. “Maaf, saya hanya menjalankan perintah atasan saya”, demikian kilahnya ketika itu.

Apa sebenarnya yang terjadi? Direskrim Polda Papua,Drs. Kombes Paulus Waterpauw dalam satu kesempatan mengatakan bahwa “tidak ada pemukulan, hanya mendorong, main-main, seperti seorang teman”. Namun dari berbagai informasi yang dihimpun, rupanya hal ini bermula dari kondisi ruang tahanan Polda Papua yang sangat tidak memenuhi standar. Diketahui, bahwa selama ini rupanya tahanan di Polda Papua, termasuk Buchtar Tabuni dan Sebi Sambom, hanya diberikan jatah makanan 2 kali sehari, siang dan malam dalam bentuk nasi bungkus, tapi tidak disediakan air minum oleh Polda Papua. Sehingga untuk menyiasati hal tersebut, para tahanan mengumpulkan uang untuk membeli teko elektrik yang akan digunakan merebus air buat minum. Airnya dapat dari mana? Untuk para tahanan disiapkan satu buah kamar mandi, jadi dari bak air di kamar mandi tahanan Polda Papua itulah mereka bisa mendapatkan air untuk direbus buat minum.

Pelanggaran yang sebenarnya sangat serius ini masih dianggap sebagai hal yang wajar bagi para tahanan dan tidak ada yang pernah mempermasalahkan soal air minum yang tidak pernah diberikan.

Cerita pemukulan terhadap Buchtar Tabuni berawal ketika pada tanggal 15 Januari 2009, air di kamar mandi tidak lagi mengalir. Kondisi ini berarti celaka buat para pesakitan ini, mereka tidak saja mengalami kesulitan ketika hendak berurusan dengan hal-hal yang terkait dengan kamar mandi, tapi juga sudah tidak mempunyai pasokan untuk kebutuhan yang paling fital: minum.

Karena itu, para tahanan, termasuk Buchtar Tabuni, kemudian mengeluhkan hal tersebut kepada pihak kepolisian yang kemudian berjanji untuk memperbaikinya. Janji yang belum juga ditepati pihak kepolisian kemudian membuat Buchtar Tabuni berbicara agak kasar setelah sampai pada tanggal 17 Januari 2009, air belum juga mengalir. Tidak terima dengan tindakan Buchtar Tabuni, Briptu B. Siagian, petugas piket saat itu, marah dan sempat melakukan pemukulan terhadap Buchtar Tabuni di bagian dada.

Apa tanggapan pihak Polda Papua? Iwan Niode yang sempat mencari keterangan dari pihak Polda terkait hal tersebut, diberitahukan bahwa pada saat kejadian itu, pihak petugas kepolisian tengah melakukan razia handphone terhadap para tahanan. Buchtar Tabuni yang menolak untuk diperiksa ketika itu, dan bahkan sempat mengeluarkan kalimat (yang dianggap) kasar dengan mengatakan bahwa dirinya adalah tahanan politik, tidak bisa disamakan dengan tahanan kriminal lain. Tidak terima dengan hal ini, Briptu B. Siagian lalu mendorong Buchtar Tabuni.

Berangkat dari penjelasan di atas, dan berpijak pada pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diadopsi oleh pemerintah Indonesia, pasal 69 dan pasal 70 KUHAP dan beberapa aturan lainnya, setidaknya ada 4 catatan penting yang mesti digarisbawahi di sini. Pertama, minimnya (tidak ada) fasilitas kebutuhan primer yang disediakan untuk para tahanan dan keengganan pihak Polda Papua menyediakan air minum bersih untuk para tahanan adalah jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak para tahanan. Ingat, bahwa para tersangka ini belum dinyatakan bersalah sebelum vonis majelis hakim dijatuhkan kepada mereka, sekalipun narapidana kebutuhan primer mereka wajib disediakan oleh pemerintah. “Kalau tidak mampu menyediakan hal itu, titip saja mereka di rumah tahanan negara. Atau kalau tidak, kasih penangguhan penahanan”, kata Iwan Niode ketika itu.

Perlu ditambahkan juga, bahwa para tahanan tidur tanpa kasur, mereka hanya menggunakan kain seadanya untuk melapisi dinginnya lantai di dalam ruang tahanan pada malam hari. Sebenarnya hari pertama Buktar ditahan, para penasehat hukum menyediakan kasur untuknya, namun pihak penjaga tidak mengijinkan untuk digunakan. Sehingga tidak mengherankan jika di bulan pertama Buchtar Tabuni berada dalam ruangan tersebut, sempat dinyatakan sakit. Meski demikian, penangguhan penahanan yang telah diupayakan para pengacara terhadapnya tidak diberikan oleh pihak Polda Papua.

Catatan kedua, adanya (dugaan) pemukulan terhadap Buchtar Tabuni adalah jelas-jelas pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. Apalagi jika hal tersebut terjadi ketika Buchtar Tabuni menuntut hak untuk memperoleh kebutuhan dasar hidupnya di dalam tahanan yang tidak dipenuhi oleh pihak Polda Papua. “Jika benar dia mendapatkan pemukulan dari polisi, maka saya akan melakukan penuntutan secara hukum terhadap oknum anggota polisi yang melakukan pemukulan terhadap klien saya. Karena dia ini ditahan bukan untuk dipukuli”, ancam Iwan Niode.

Catatan ketiga, pembatasan atas akses penasihat hukum terhadap kliennya juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka untuk bertemu dengan penasihat hukumnya tanpa dibatasi oleh waktu berkunjung, dan itu dijamin secara tegas di dalam KUHAP. Selain itu, “ini adalah kewajiban saya sebagai penasihat hukumnya untuk menemui dan melakukan konsultasi hukum dengan klien saya”, tegas Iwan Niode.

Catatan keempat, tidak adanya pemisahan terhadap semua tahanan berdasarkan kategori dan jenis pelanggaran hukum yang telah disangkakan kepada mereka adalah pelanggaran terhadap Standar Minimum Aturan untuk Perlakuan Terhadap Narapidana dan Tahanan yang telah disetujui oleh Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, melalui Resolusi 633C (XXIV) pada tanggal 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) pada tanggal 13 Mei 1977. Perlu diketahui juga, bahwa Kovenan Hak EKOSOB tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Catatan-catatan lain mungkin saja masih bisa berkembang dan lebih banyak jika kita meneliti lebih dalam. Karena ada cerita yang berkembang bahwa Buchtar Tabuni adalah seorang tahanan yang begitu banyak mendapatkan kecaman dan mengundang kemarahan terutama dari pihak penyidik. Buktar patut dijuluki, “tersangka dengan BAP di halaman pertama”. Sebab dia tidak pernah bersedia memberikan keterangan ketika proses pemeriksaan dilakukan sehingga pemeriksaannya selalu ditutup pada halaman pertama catatan penyidik. Sebenarnya, dari sisi hak-hak tersangka, pilihan ini dibolehkan oleh KUHAP, Direskrim Polda Papua juga pernah mengatakan “keterangan tersangka tidak wajib”. Selain itu Buchtar selalu menolak menandatangani surat apa pun yang diberikan penyidik tanpa diinformasikan atau didampingi Penasehat Hukum, sikap Buchar tersebut bisa dinilai tidak kooperatif.

Tanggal 20 Januari 2009, pihak Penasehat Hukum Buktar Tabuni telah melayangkan surat protes dan keberatan atas perlakukan terhadap Buktar Tabuni dan pembatasan akses yang dilakukan terhadap penasehat hukum kepada Kapolda Papua. Namun sampai hari ini, Sabtu, 24 Januari 2009, belum mendapatkan jawaban resmi dari pihak Polda Papua. Artinya, hingga hari ke 7 pascainsiden pemukulan tersebut, kondisi yang menimpa Buchtar Tabuni belum diketahui secara pasti, karena akses untuk itu sama sekali masih tertutup.

Di sisi yang lain, membaca tingginya perhatian lembaga-lembaga internasional terhadap kasus ini, dikhawatirkan akan berdampak pada semakin memburuknya wajah penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Meski demikian, lepas dari itu semua, pemerintah kita bisa belajar dari kasus-kasus seperti ini untuk segera membenahi diri dalam hal penegakan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya memperhatikan kondisi dan fasilitas tempat-tempat penahanan.
Hal ini hendaknya menjadi perhatian serius bagi upaya pencegahan praktek-praktek penyiksaan bagi para tahanan akibat keterbatasan fasilitas serta masih kuatnya dominasi kekuasaan atas hukum yang seharusnya berkeadilan dan bermartabat bagi setiap orang.

Sumber : Aliansi Demokrasi untuk Papua

Buchtar Tabuni Tahanan Jaksa, Dipindahkan ke LP Abepura


Hari Rabu, 28 Januari 2009, Buctar Tabuni diserahkan oleh pihak Polda Papua ke Kejaksaan Tinggi di Papua. Pada saat Penyidik Polda Papua memberitahukan rencana tersebut, Buchtar Tabuni sedang tidur karena kondisi fisiknya beberapa hari ini terus terganggu, terutama akibat sakit maag. Setelah mandi, Buchtar Tabuni sempat merapikan barang-barang miliknya dan kemudian dibawa ke ruang penyidik guna menunggu penyelesaian administrasi sebelum diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Papua.

Buchtar Tabuni dibawa keluar Polda berdasarkan Surat Perintah Pengeluaran Tahanan No. Pol: SPP-HAN/37.L/I/2009/DITRESKRIM, tertanggal 28 Januari 2009, yang ditandatangani oleh Drs. AKBP DIDI S. YASMIN, selaku Wakil DIRESKRIM Polda Papua, dengan pertimbangan bahwa penyidikan terhadap tersangka telah selesai dan lengkap serta harus segera diserahkan kepada pihak Penuntut Umum untuk dilaksanakan pemeriksaan di sidang Pengadilan. Ini berarti masa penahanan Buchtar di Polda Papua selama 56 hari, terhitung sejak tanggal 3 Desember 2008 lalu oleh penyidik di bawah pimpinan AKP Yudhi Pinem, SIK, bersama AIPTU Abdul Kuddus, BRIPKA Ramli, S.Sos, dan BRIPTU Sofyan L. Paerong. Selama itu pula, Buchtar didampingi Tim PH.

Tersangka dan barang bukti diserahkan langsung oleh AKP Yudhi Pinem Sik kepada Penuntut Umum, Maskel Rambolangi, SH, dengan disaksikan oleh jaksa Kuo Baratakusuma, SH, dan BRIPKA Ramli, S.Sos. Nampak berbagai barang bukti juga diperlihatkan yang terdiri dari dokumen surat-surat yang digunakan pada saat korespondensi dengan pihak Polda Papua menyangkut rencana demonstrasi 16 Oktober 2008. Ada juga spanduk dan beberapa selebaran yang hampir sebagian besar ditandatangani oleh pimpinan Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut. Selain itu, terdapat 3 keping CD. Salah satunya bertuliskan ‘inventaris Polresta Jayapura’, sedangkan 2 keping CD lainnya terlihat jelas gambar wajah Buchtar Tabuni, Ketua DAP dan bendera Bintang Kejora, yang memuat rekaman demonstrasi tanggal 16 Oktober 2008.

“Berkas sudah P21 pada Selasa (27 Januari 2009) kemarin. Karena berkasnya sudah tidak ada masalah lagi, sehingga kami serahkan Tersangka dan barang buktinya ke jaksa”, demikian penjelasan Direskrim Polda Papua, Paulus Waterpauw. Setelah serah terima Tersangka dan barang bukti, dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan oleh Tim Penuntut Umum. Hal ini dilakukan biasanya untuk mengecek kembali kelengkapan formal berkaitan dengan identitas, pasal-pasal yang disangkakan, barang bukti dan lain-lain. Persiapan serah terima yang berlangsung cukup lama memberikan kesempatan kepada Buchtar Tabuni untuk beristirahat sejenak, santai bersama para wartawan yang ikut mengawal sejak dari Polda Papua. Tim PH juga mengambil kesempatan untuk menjelaskan dan mendiskusikan langkah hukum yang akan dilalui oleh Buchtar, termasuk mengingatkannya agar menjaga kesehatan dan memberikan informasi yang dibutuhkan demi kepentingan hukumnya.

Prinsipinya, Buchtar Tabuni siap menjalani proses hukum mesti dari segi psikis dia merasa agak terganggu selama di Polda dan berharap ada perubahan perlakukan di LP Abepura. Setelah diperiksa, Buchtar Tabuni kemudian dibawa ke Kejaksaan Negeri Jayapura untuk melengkapi berkas guna menjalani status sebagai tahanan Kejaksaan. Menurut Penuntut Umum, untuk perpanjangan penahanan Penuntut Umum, dia akan dititip di LP Abepura. Selain itu, mereka akan berusaha mempersiapkan berkasnya dengan cepat agar persidangan bisa segera digelar.

Di hari yang sama, penyidik Polda Papua merencanakan akan melakukan pemeriksaan tambahan terhadap Sebi Sambom. Jika hal ini dilaksanakan, maka ini adalah pemeriksaan tambahan yang ketiga kalinya. Sayangnya, ketika ditemui PH di dalam kamar tahanannya, Sebi tampak lemah. Sebi mengaku sudah tiga hari ini tidak makan dan hanya minum air saja. Karena itu, dia minta dibelikan makanan. Memang sejak awal ditahan, Sebi tidak mau makan makanan yang disediakan oleh pihak Polda, biasanya ada keluarga dan kerabat yang datang membawa makanan untuknya. Tetapi entah kenapa sudah tiga hari keluarganya tidak datang membawakan makanan untuknya.

Secara psikis, Sebi terlihat lebih kuat dibanding dengan Buchtar Tabuni dalam menjalani masa penahanan di Polda. Hal ini bisa dimengerti, karena sejak awal Buchtar Tabuni telah mendapat tekanan yang cukup banyak, bahkan sebelum ditangkap dan ditahan. Buchtar Tabuni bersama sekitar 14 orang aktifis mahasiswa sempat dipukuli dan dipaksa naik ke mobil tahanan polisi untuk selanjutnya dibawa ke Polresta pada waktu demo 20 Oktober 2008 lalu. Pada saat ditahan pun, dia tidak bersedia memberikan keterangan, hingga tekanan buatnya makin meningkat, apalagi setelah peristiwa pemukulan yang dialaminya pada 17 Januari 2009 lalu.

Selain itu, sikap Sebi yang lebih terbuka tentu membuat pihak penyidik sulit mencari alasan untuk menekannya meski Sebi tetap bersikeras menolak makan makanan yang disediakan pihak Polda. Pada 23 Desember 2008, ketika tim PH meminta ijin agar Sebi diperkenankan menengok istrinya yang baru melahirkan anak pertamanya, tanpa keberatan pihak penyidik mengabulkan permohonan tersebut. “Kalau Buktar, kami sulit memberikan ijin, sebab dia bersikap agak beda”, aku Direksrim Polda Papua ketika kala itu.

Sebi dengan sikapnya yang lebih pendiam, lebih banyak menghabiskan waktunya di tahanan dengan membaca dan menulis. Kamar tahanannya penuh dengan kertas-kertas yang berisi catatan tangannya, ada beberapa buku dan kamus bahasa Inggris. Kebiasaan Sebi ini mengingatkan Tim PH kepada Enos Lokobal, salah satu narapidana kasus penyerangan Gudang Senjata Kodim Wamena tahun 2003. Enos Lokobal menulis perjalanan pemidanaannya mulai dari LP Wamena, LP Gunung Sari Makasar, hingga kini di LP Biak. Setiap dibezuk, yang dimintanya adalah buku dan pena.

Walaupun wajah Sebi tetap semangat jika bercerita, tetapi dia langsung terlihat agak gelisah ketika akan dilakukan pemeriksaan. Maka akhirnya Tim PH meminta ijin kepada penyidik untuk menunda pemeriksaan pada keesokan harinya (29 Januari 2009). Sebi masih akan menjalani masa penahanan di Polda Papua, sebab berkasnya baru P19 (tahap pertama ke kejaksaan dan belum dianggap selesai), sedangkan Buchtar akan bertemu dengan suasana yang berbeda yang semoga lebih baik di LP Abepura.

Salah satu catatan yang dihasilkan Sebi adalah tulisan kecil tentang ‘makar’ yang ada di secarik kertas di kamarnya. Dia menulis begini:

Dear semua… Ada masukan dari kami mengenai kata ‘makar’. Kata ‘makar’ itu, Indonesia salah terjemahkan, sehingga perlu diamandemen atau protes saat demo. Sebenarnya kata ini di dalam bahasa bahasa Inggris berarti 1. Trick: akal, muslihat, memperdayakan, menipu; 2. Tactics: taktik, siasat; 3. Attack: menyerang; 4. Assault: serbuan, serangan. Jika dilihat dari arti kata di atas, maka kami yang telah melakukan demo pada 16 Oktober 2008 belum terkena. Mohon didiskusikan. Terjemahan pemerintah Indonesia yang telah mereka masukan dalam kamus bahasa Indonesia tidak sama dengan versi internasional. Yang dimaksud adalah makar (tipu, muslihat, akal busuk, perbuatan atau usaha untuk menjatuhkan pemerintah yang sah). Kesimpulannya, sebenarnya kata ‘makar’ cocok untuk perlawanan bersenjata. Kelompok masyarakat yang demo damai tidak pantas disebutkan ‘makar’, karena arti ‘makar’ sendiri telah jelas. ‘Wa….’, mohon didiskusikan”.

Begitu catatan akhirnya. “Ini pekerjaan untuk kita semua”, ujarnya tenang.

Sumber : Aliansi Demokrasi untuk Papua

Tenda Mahasiswa dan Makam Theys : Untuk Keindahan atau Menutupi Kesalahan


Sabtu, 30 Januari 2009, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kabupaten Jayapura membongkar tenda-tenda mahasiswa Papua di sekitar lapangan makam Theys Hiyo Eluay. Negosiasi yang dibangun kelompok mahasiswa dengan pihak Satpol PP (yang di-back up petugas keamanan dari Polres Jayapura dan TNI) tidak berhasil menunda eksekusi surat Bupati Jayapura bernomor 469.2/022/SET. Para mahasiswa sempat bertahan di bawah tenda-tenda milik mereka ketika para petugas melakukan pembongkaran, namun tidak lama kemudian mereka memilih untuk membubarkan diri. Provokasi yang dilakukan aparat keamanan terhadap para mahasiswa dengan memasuki areal makam Theys sempat membuat situasi menjadi tegang, namun tidak sampai terjadi bentrok.

Bahwa sejak akhir November 2008, areal lapangan makam Theys H. Eluay telah dipenuhi oleh kalangan mahasiswa Papua yang datang dari berbagai perguruan tinggi di luar Papua. Mobilisasi terjadi menyusul aksi mahasiswa Papua Jawa dan Bali, terutama ketika merespon peluncuran IPWP di London, pertengahan Oktober 2008 lalu. Tenda-tenda pun dipasang di sekitar makam. Malam harinya mereka menggunakan mesin genset untuk penerangan. Sesekali mereka memutar film dengan thema-thema tertentu dengan menggunakan LCD.

Untuk keperluan bahan makanan, mereka peroleh dari beberapa tokoh masyarakat dan anggota masyarakat secara sukarela. Beberapa spanduk berjejal di bagian depan makam, salah satunya bertuliskan, “Demi Hukum dan HAM, Bebaskan Buktar Tanpa Syarat”. Di bagian depan, kiri dan kanan terdapat 2 pondok yang disebut pos penjagaan, tertulis “Tamu Wajib Lapor 1 x 24 jam.

Ada sekitar 70 mahasiswa, sebagian besar berasal dari anak-anak ‘pegunungan’, ditambah beberapa penjaga dusun adat Papua serta Boy Eluay, selaku penerus Ondoafi Sereh. Aktifitas di sekitar makam cukup ramai terutama pada sore dan malam hari. Mereka bahkan sempat melakukan ibadah perayaan 1 Desember 2008 bersama Dewan Adat Papua (DAP). 3 Orang tokoh utama di tempat itu adalah Buctar Tabuni, Sebi Sambom dan Viktor Jaime, ada juga Alfred Wanimbo dan beberapa mahasiswa lainnya. Setelah Buktar dan Sebi ditangkap, Viktor dan Alfred yang lebih sering mengkoordinir kegiatan mereka.

Pada tanggal 10 Desember 2008 lalu, mereka menyelenggarakan pameran dalam rangka memperingati hari HAM International, meski sebelumnya sudah dilakukan pemberitahuan kepada lembaga dan kelompok civil society, namun tidak banyak yang terlibat dalam pameran tersebut. Lokasi di sekitar makam sempat sepi menjelang natal dan tahun baru, sebab banyak yang pulang kampung, akan tetapi di awal Januari 2009, sudah mulai ramai kembali terutama setelah mereka mendengar dan menerima surat rencana pembubaran dan pembersihan tenda-tenda di sekitar makam.

Surat dari bupati Jayapura mengenai pembersihan lokasi makam Theys bernomor 469.2/022/SET, tentang Pembersihan dan Pembongkaran di lokasi sekitar makam Theys Hiyo Eluay, tertanggal 08 Januari 2009, menyebabkan mobilisasi mahasiswa dan penjaga dusun adat meningkat. Tembusan surat tersebut diberikan kepada Gubernur Provinsi Papua, Pangdam XVII Cenderawasih, Kapolda Papua, Kesbang Provinsi Papua, Ketua DPRD Kab Jayapura, Dandim 1701 Jayapura dan Kapolres Jayapura.

Pokok surat menjelaskan bahwa maksud pembongkoran untuk pembenahan Tata Kota Kabupaten Jayapura, agar tercipta Kota Sentani yang bersih, indah, aman dan tertib. Pendirian tenda-tenda di sekitar makam dianggap telah merusak pemandangan dan keindahan kota Sentani. Selain itu lokasi makam tersebut merupakan pintu masuk ke Provinsi Papua lewat jalur udara, sehingga dengan adanya pemasangan tenda-tenda darurat di sekitar lokasi tersebut, akan merusak pemandangan dan keindahan Kota Sentani.

Untuk itu, diminta dukungan dan partisipasi masyarakat melalui koordinator kegiatan di lapangan makam Theys H. Eluay untuk membongkar semua tenda-tenda tersebut selambat-lambatnya hari Selasa, 13 Januari 2008. Surat yang kurang lebih sama juga disampaikan kepada Boy Eluay, anak dari Theys Eluay, yang intinya meminta kesediaan dan bantuan Ondofolo Sereh untuk mengkoordinir melakukan pembongkaran dan pembersihan di sekitar makam Theys Hiyo Eluay tersebut dengan tenggang waktu 1 minggu.

Surat Bupati mendapat reaksi keras dari mahasiswa penghuni tenda-tenda sekitar di makam. Mereka ke DPRD Jayapura untuk menjelaskan kepemilikan makam sekaligus meminta pihak DPRD Jayapura untuk membicarakan hal tersebut dengan pihak Pemda Kabupaten Jayapura. Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut, menyebutkan bahwa tempat tersebut milik ke-Ondoafi-an Sereh, atas nama almarhum Theys H Eluay. Lahan atau pun tanahnya telah diserahkan sepenuhnya kepada Presidium Dewan Papua (PDP) yang kemudian memandatkan kepada DAP untuk dijaga dan dikelola. Untuk itu tidak satu pihak pun, termasuk pemerintah, yang dapat mengganggu masyarakat yang bermukim di sana, karena keberadaan mereka atas perintah Ketua DAP.

Ancaman Pemerintah Daerah Jayapura untuk melakukan pembongkaran paksa, menurut Ketua DAP menggambarkan sikap pemerintah yang tidak pernah menghargai masyarakat adat. Forkorus mengatakan bahwa, pemerintah Indonesia selalu menggangu orang Papua, padahal orang Papua tidak pernah melakukan hal itu, sehingga jangan menyalahkan kalau orang Papua ingin memisahkan diri. Diakuinya, bahwa kurang terawatnya makam tersebut dikarenakan DAP tidak memiliki dana. Namun jika memiliki dana, maka makam tersebut akan dirawat, tetapi persoalan tenda-tenda tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.

Banyak orang menduga bahwa pembubaran tenda-tenda di sekitar makam erat kaitannya dengan persoalan politik, tetapi Bupati mengaku tidak ada maksud politik atau maksud lain dari pembongkaran tersebut. Dia juga menyayangkan adanya tanggapan lain oleh sejumlah pihak. ”Yang jelas, Pemkab Jayapura bisa mengambil langkah tegas jika mereka tetap bertahan”, tandasnya pada acara serah terima jabatan Komandan KODIM 1701, tanggal 14 Januari 2009 lalu.

Tanggapan yang disampaikan oleh bupati dan sikap DAP nampaknya sulit untuk dipertemukan, walaupun mereka sama-sama orang Papua dan pemimpin masyarakat sipil. Apakah ini sudah menjadi pola baru perpecahan di antara orang Papua. Selalu saja pemimpin sipil Papua saling bertentangan satu sama lain. Siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau mungkin yang sedang memainkan skenario ini? Mungkin tenda-tenda tersebut kelihatan tidak terlalu rapi, tetapi lokasi makam masih cukup bersih dan terawat dibanding tempat-tempat kumuh lainnya, termasuk reruntuhan bangunan, bekas kantor penerangan yang berada tepat di depan makam yang kini dipermasalahkan oleh Pemkab Jayapura sendiri. Tapi apakah benar persoalannya hanya masalah ‘tata kota’, bukan persoalan lain di balik itu? Kegelisahan macam apa yang akan dipelihara oleh pemerintah jika melihat ada aktifitas di sekitar makam Theys? Mungkin akan banyak pesan buram tentang Indonesia jika orang berkesempatan menengok makam Theys atau apa saja yang ada di sekitar makam tersebut. Pada satu kesempatan, Bupati Jayapura pernah berkomentar soal tenda-tenda tersebut, “jangan bikin negara di dalam negara, kalau mau bikin jangan di kabupaten Jayapura”. Mungkin ini kekhawatiran yang sesungguhnya.

Perdebatan atas makam Theys hingga kini memang tak pernah selesai. Sebenarnya pertengahan tahun lalu ada rencana pembongkaran makam Theys. Acara ‘bayar kepala’ yang telah dilakukan oleh Ketua DPRD Jayapura ditenggarai sebagai bagian dari rencana pembongkaran dan pemindahan makam Theys. Sebelumnya sudah muncul isu pembelian dan kepemilikan tanah di sekitar makam Theys. Beberapa dokumen pembelian, transaksi serta pemberian mobil dan lain sebagainya, termasuk yang diduga melibatkan Boy Eluay, sempat dipublikasikan. Halaman sekeliling makam sempat dipagari dengan seng, masyarakat menduga skenario pembongkaran makam sedang dijalankan. Maka pagi keesokan harinya, tepatnya dini hari, masyarakat yang dikoordinir oleh DAP melakukan pembongkaran seng-seng tersebut, makam Theys dirapikan, dan lampu-lampu dinyalakan.

Benar kata Bupati, bahwa makam Theys pas berada di gerbang utama masuk Papua, maka keberadaan makam Theys akan memberikan gambaran yang buruk terhadap citra Indonesia di Papua, sebab makam Theys menjadi monument yang mengingatkan luka hati orang Papua dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. OIeh karena itu, pemerintah dengan cara apa saja akan menutupi kesalahan yang pernah mereka buat. Sayangnya, bukan dengan cara memperbaiki kesalahan kemanusiaan yang dibuat, akan tetapi justru terus membuat permusuhan dengan orang Papua.
Sumber : Aliansi Demokrasi Untuk Papua

Greenpeace Temukan Kegiatan Ilegal di Papua Barat

JAKARTA, KAMIS - Greenpeace kemarin mengumumkan bukti kegiatan penebangan ilegal di wilayah pengelolaan hutan (HPH) yang izinnya dibekukan di daerah Kaimana, Papua Barat.

Melalui operasi yang digelar oleh Bareskrim Polri pada bulan Juli lalu dua orang kepala kamp dari PT. Kaltim Hutama dan PT Centrico ditangkap karena melanggar Undang Undang 41/99 tentang Kehutanan, yakni merambah hutan di wilayah terlarang.

"Walaupun izin kedua HPH ini telah dibekukan beberapa bulan yang lalu karena melakukan pelanggaran, kami mendapatkan bukti bahwa operasi masih berlangsung di lapangan. Dengan demikian kegiatan ini merupakan tindakan melawan hukum atau ilegal. Kami menyaksikan pemuatan kayu ke atas tongkang di dua buah penampungan kayu (logpond) besar di sekitar perairan Nabire. Staf BPKH Wilayah X mengkonfirmasi bahwa log pond tersebut adalah milik PT. Kaltim Hutama dan PT Centrico dan kemungkinan besar kayu-kayu tersebut diambil dari wilayah konsesi kedua perusahaan tersebut di wilayah kabupaten Kaimana. Ini artinya mereka melanggar hukum karena melakukan kegiatan saat ijinnya dibekukan," kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara melalui release resmi yang dikirimkan ke KOMPAS.com.

"Awal bulan lalu tersangka kasus PT Centrico ditemui berjalan bebas di Jakarta, saat seharusnya dia berada dalam tahanan Mabes Polri. Dan saat ini kami menemukan masih berlangsungnya kegiatan di wilayah konsesi PT. Kaltim Hutama. Undang-Undang Kehutanan adalah kunci bagi perlindungan hutan alam terakhir di Indonesia dan harus dipatuhi dengan baik. Pihak perusahaan harus paham bahwa mereka tidak kebal hukum," kata Bustar.

Pelayaran kapal Greenpeace MV Esperanza di Indonesia mengawali kampanye bertajuk Hutan untuk Iklim atau Forest for Climate minggu lalu di Jayapura menyoroti dampak penggundulan hutan (deforestasi)di hutan alam terhadap perubahan iklim global, dan penyusutan keanekaragaman hayati dan penghancuran sumber-sumber penghidupan masyarakat pengguna kekayaan hutan.

Greenpeace menyerukan pemberlakuan sesegera mungkin penghentian sementara (moratorium) terhadap semua bentuk konversi hutan di Indonesia guna mengendalikan emisi gas-gas rumah kaca (GRK), menjaga kekayaan keanekaragaman hayati dan melindungi penghidupan masyarakat setempat.

Minggu lalu Greenpeace menemukan pembukaan hutan sagu dan nipah untuk persiapan perkebunan kelapa sawit berskala besar milik grup Sinar Mas. Hutan alam asli Papua saat ini berada di bawah tekanan besar dari industri penebangan dan kelapa sawit.

"Upaya melindungi benteng terakhir hutan alam Indonesia sangat penting untuk menangani dampak perubahan iklim. Ini berarti desakan untuk melakukan moratorium untuk penebangan hutan dan pendanaan internasional melalui PBB untuk melindungi hutan atas nilai karbon yang dimilikinya," kata Bustar.

Kapal Esperanza, yang sekarang dalam perjalanan dari Jayapura menuju Manokwari, di Propinsi Papua Barat, akan berkegiatan di Indonesia hingga 15 November. Greenpeace mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan moratorium terhadap semua bentuk konversi hutan, termasuk perluasan perkebunan kelapa sawit, pembalakan skala industri, serta faktor pendorong lain.

Greenpeace adalah organisasi kampanye global yang independen yang bertindak untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat guna melindungi dan melestarikan lingkungan hidup serta mengusung perdamaian. HO

Vincentius Mekiuw: "Anak Papua Tidak Ketinggalan Dalam Ilmu Eksakta"

Kepala Pendidikan Dasar Kabupaten Merauke, Vincentius Mekiuw,S.Sos mengatakan, anak Papua memiliki kecerdasan dalam ilmu eksakta hanya saja selama ini terjadi pembedaan dalam pemberian perhatian terhadap mereka. Begitu juga dengan praktek les-les tambahan yang diberikan guru, cenderung lebih mengutamakan anak-anak yang berasal dari keluarga mampu sehingga anak-anak Papua menjadi tertinggal dalam kemampuan ilmu eksakta.

Hal ini disampaikan Vincentius Mekiuw, dalam pembukaan lomba kompetisi matematika putra/putri asli Papua se-kota Merauke tingkat sekolah dasar yang diselenggarakan di aula SMP Yapis Merauke selama 3 hari berturut-turut. Kondisi ini, menurut Vincent, diperparah dengan tenaga pengajar yang tidak bekerja dengan baik untuk mencerdaskan anak Papua khususnya yang bertugas di pedalaman.
Menurutnya, dengan banyaknya kucuran dana dari berbagai sumber seperti dana BOS, sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk membuat kegiatan seperti les-les bagi putra/putri Papua, namun sayangnya tidak banyak pihak yang peduli dengan dunia pendidikan sehingga terjadi proses pembiaraan.
Dirinya berharap, dengan semakin banyaknya kucuran dana ke dalam dunia pendidikan maka semakin banyak pihak yang peduli terhadap perkembangan putra/putri Papua. Begitu pula dengan penyediaan anggaran bagi pendidikan yang diajukan, harus direspon oleh birokrasi. “Kadang-kadang banyak program yang tidak jelas namun mendapat kucuran dana, sementara program yang sangat jelas malah tidak mendapatkan dana," tegasnya.
Kepada guru-guru sekolah dasar terutama kepala sekolah di Kabupaten Merauke, Mekiuw mengharapkan dapat memanfaatkan dana yang tersedia untuk berbagai kegiatan agar dapat mempercepat proses peningkatan kemampuan siswa/siswi Papua. (drie/Merauke)

Sumber : Tabloid Jubi

Penggundulan Hutan Terus Berlangsung di Papua





GREENPEACE mengumumkan bukti kegiatan penebangan ilegal di wilayah pengelolaan hutan (HPH) yang izinnya dibekukan di daerah Kaimana, Papua Barat. Foto-foto dikirim secara resmi oleh Greenpeace Southeast Asia kepada KOMPAS images.

Sebelumnya, Greenpeace juga menemukan pembukaan hutan sagu dan nipah untuk persiapan perkebunan kelapa sawit berskala besar milik grup Sinar Mas. Hutan alam asli Papua saat ini berada di bawah tekanan besar dari industri penebangan dan kelapa sawit.

Berbagai temuan ini menyusul pelayaran kapal Greenpeace MV Esperanza di Indonesia mengawali kampanye bertajuk Hutan untuk Iklim atau Forest for Climate di Jayapura, menyoroti dampak penggundulan hutan (deforestasi) di hutan alam terhadap perubahan iklim global, dan penyusutan keanekaragaman hayati dan penghancuran sumber-sumber penghidupan masyarakat pengguna kekayaan hutan. FIA

Sumber : Kompas

Februari 01, 2009

Budaya ‘Epen’ Generasi ‘Epen’


Oleh : Aprila R. A. Wayar (*)
EPENKA?”
Anda pernah mendengar kata-kata ini? Atau anda adalah orang yang juga menggunakan kata-kata ini dalam kehidupan sehari-hari?


Sepenggal kalimat di atas yang terdiri dari dua kata ‘epen’ dan ka bukanlah kata baru dalam bahasa pergaulan di hampir seluruh lapisan Masyarakat Papua saat ini. Kalimat yang berasal dari Bahasa Melayu Papua yaitu Bahasa Indonesia yang mengalami perubahan bunyi berdasarkan dialek Orang Papua.
Kalimat yang sederhana ini digunakan bukan hanya di kalangan anak-anak dan remaja saja tetapi pemuda-pemudi hingga orang tua yang hidup di daerah perkotaan dan di beberapa daerah suburbanpun banyak yang menggunakan kata-kata ini dalam kehidupan sehari-hari mereka.
E… Penting ka?
Kata-kata di atas inilah yang membuat terbentuknya frase kata baru dalam Bahasa Pergaulan Papua: ‘epen’. Kata ini diakhiri dengan tanda tanya. Kata ini bila dimaknai secara sederhana maka dapat berarti ‘pentingkah hal yang anda bicarakan ini, mungkin memang penting bagi anda tapi tidak penting untuk saya karena saya tidak peduli dengan hal yang sedang anda bicarakan.’
Kata ini biasanya digunakan untuk menjawab pembicaraan atau membalas kata-kata yang diucapkan oleh seseorang. Apabila mendengar seseorang membicarakan suatu hal yang serius tetapi kemudian dibalas oleh lawan bicaranya dengan kata ‘epen’. Orang pertama pasti akan menjadi marah, tersinggung atau malah jadi malas untuk melanjutkan lagi pembicaraan yang sebenarnya serius bahkan mungkin sebenarnya penting. Lebih parah lagi bila kata ‘epen’ diucapkan pada orang yang memiliki karakter serius, kata ‘epen’ justru menjadi akar masalah baru.
Seorang pejabat penting di Manokwari juga menggunakan kata ‘epen’ dalam pertemuan resmi dengan warga masyarakat beberapa waktu lalu dimana saat itu seorang anggota masyarakat dari salah satu distrik di Manokwari meminta pada pejabat ini agar ada pengadaan fasilitas alat penyaring air bersih di tempat kediaman mereka tetapi dibalas dengan kata ‘epen’ oleh pejabat tersebut. Hal ini membuktikan bahwa betapa populernya kata ‘epen’ hingga sampai juga ke tingkat para birokrat yang ada di Papua saat ini.
‘Epen’ dapat dimaknai berbeda oleh masing-masing orang yang menggunakan maupun mendengarnya dari orang lain. Tergantung suasana hati seseorang saat mendengar kata itu. ‘Epen’ dapat menjadi mop (cerita lucu versi Orang Papua) yang membuat orang banyak tertawa terpingkal-pingkal tapi ‘epen’ juga dapat membuat orang atau lawan bicara tersinggung atau bahkan kata ‘epen’ dikeluarkan oleh seseorang karena sedang dalam keadaan marah atau bahkan sebaliknya ‘epen’ menjadi sumber masalah. ‘Epen’ kemudian menjadi kata yang sarat makna.
Akhir-akhir ini kata ‘epen’ banyak juga digunakan oleh anak-anak. Hal ini mengundang keprihatinan dikalangan pendidik.
Anak-anak sekarang cenderung untuk menjadi anak yang bandel karena kata ‘epen’. Bila kata ‘epen’ digunakan diantara anak-anak sesama umur saja mungkin masih dapat dimaklumi tetapi ketika ‘epen’ juga dilontarkan pada orang tua, ini mempengaruhi sikap mereka yang juga tidak menghargai orang tuanya sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, sangat jarang seorang anak membantah perintah orang tuanya. Kenakalan anak-anak pada satu dekade lalu sangat berbeda dengan kenakalan anak-anak saat ini. Saat ini dengan menggunakan kata ‘epen’, seorang anak dapat mengekspresikan ketidakpedulian dan rasa tidak menghargai orang tuanya. Kesalahan ini tidak sepenuhnya dapat dilimpahkan pada si anak. Bila ternyata orang tuanya sendiri menggunakan kata ‘epen’ untuk menjawab pernyataan ataupun pertanyaan anaknya tanpa memahami sebab dan akibat dari ucapan itu akan ditiru oleh si anak tersebut maka akan lahir Generasi Papua Baru yang tidak lagi peduli dengan segala macam persoalan yang terjadi di sekitarnya hanya dengan mengucapkan kata ‘epen’.
Budaya ‘epen’ yang secara alamiah kemudian menjadi budaya ‘tidak peduli’ ini akan membuat banyak persoalan-persoalan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Dengan demikian muncul juga Generasi ‘Epen” yang mana tingkat kesadaran dan kepedulian generasi ini terhadap kondisi sosialpun akan semakin berkurang dalam diri si anak pada generasi sekarang.
Lama-kelamaan, kata ‘epen’ jadi lebih cenderung bermakna negatif. Degradasi moral dapat terjadi di tengah-tengah masyarakat bila terus dibiarkan. Nilai-nilai luhur yang mengajarkan penghargaan terhadap sesama manusia terutama pada orang yang lebih tua menjadi luntur hanya karena kata ‘epen’ yang kemudian dapat melahirkan budaya baru yaitu budaya ‘epen’..
Generasi ‘epen’ akan menyaksikan kekayaan alam Papua dikeruk habis-habisan, semua asset diambil alih serta semua jabatan birokrasi pemerintahan di Papua di waktu-waktu yang akan datang dikuasai oleh Orang nonPapua, generasi ini hanya akan jadi penonton karena hanya ada kata ‘epen’ yang dipikirkan atau diucapkan saat melihat kondisi tersebut.
Bukti konkrit lain daripergeseran nilai-nilai ini juga dapat kita lihat saat orang sudah tidak ada lagi orang yang sadar dan peduli dengan Budaya ‘epen’ yang sedang berkembang saat ini.
Bila Budaya ‘epen’ terus berlangsung dan mempengaruhi sikap dan pola hidup bukan hanya mempengaruhi masyarakat Papua tapi juga di kalangan birokrat maka tidak menutup kemungkinan ketidakpedulian ini terjadi saat seseorang menjadi pemimpin tapi ketika ia ditanyai soal kondisi rakyat yang mengalami kesulitan, bila jawaban yang keluar dari mulutnya adalah ‘epen ka?’. Sungguh sebuah jawaban yang memilukan hati bagi rakyat. Contoh lain, ketika seorang birokrat ditanyai tentang bagaimana dengan Otonomi Khusus di Papua? Kata ‘epen’ kembali meluncur dari mulut sang birokrat maka tidak ada lagi yang tersisa dalam tatanan hidup Rakyat Papua.
Terbukanya semua jalur komunikasi di Seluruh Nusantara saat ini akibat arus globalisasi mengakibatkan pasokan informasi yang diterima masyarakat juga beragam tanpa melalui proses penyaringan yang baik oleh pihak-pihak yang terkait. Sekarang televisi bukan lagi benda elektronik yang mahal seperti dulu sehingga masyarakat dapat langsung menyaksikan sinetron yang ditayangkan setiap hari. Kccenderungan sinetron yang Jakarta center dengan logat Betawi yang kental membuat bukan cuma komunikasi di tengah masyarakat Indonesia saja yang rusak tapi Bahasa Indonesia seolah-olah tidak lagi penting dan bukan lagi menjadi bahasa resmi.
Kata ‘epen’ sendiri cenderung memiliki makna yang hampir sama dengan istilah Emang Gue Pikirin (EGP) yang sangat khas Betawi yang populer di kalangan warga ibu kota negara itu.
Kata-kata yang menunjukkan kecuekkan ini seakan menembus batas ruang dan waktu dengan kacanggihan teknologi.
Generasi Indonesiapun mengalami degradasi ini. Apalagi kata-kata EGP sering diucapkan artis-artis sinetron yang setiap malam ditonton hampir oleh sebagian besar Penduduk Indonesia tentu saja akan mempengaruhi pola pikir sekaligus tingkah laku Masyarakat Indonesia yang cenderung ke arah negatif.
Demikian juga dengan penayangan sinetron-sinetron yang tidak mendidik sesegera mungkin harus disensor bahkan bila perlu dicekal. Apalagi sinetron yang menggunakan pemeran anak-anak yang berkarakter jahat. Anak nakal memang ada tetapi anak yang jahat itu tidak ada kecuali karakter jahat pada si anak dibentuk oleh tangan-tangan jahat. Belum lagi ditambah dengan infotaiment yang menyiarkan terus kasus-kasus dalam kehidupan para artis yang banyak keluar dari nilai-nilai susila dan tidak menjadi contoh baik bagi masyarakat tapi disiarkan secara luas dan berulang-ulang. Masyarakat jadi cenderung ikut-ikutan dengan trend ini.
Karakter sebuah bangsa dibentuk oleh tradisi dan budaya yang secara terus-menerus mengalami dialektika di dalam masyarakat seiring dengan berjalannya waktu. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kuatnya rasa bangga pada setiap warga negara tersebut terhadap kewarganegaraannya.
Bangsa Papua yang secara khusus telah shock culture karena lompatan besar dalam sejarah perkembangan masyarakat yang tidak sempurna mengalami guncangan luar biasa yang berdampak pada sikap dan pola hidup sehari-hari. Kaget terhadap dunia luar dan trend akibat arus modernisasi. Tidak banyak Generasi Muda Papua saat ini yang bangga terhadap budayanya. Mereka cenderung menyukai musik dari luar seperti reggae yang dipopulerkan oleh Bob Marley. Memang bagi Orang Jamaica reggae adalah musik pembebasan tetapi Generasi Muda Papua melihat itu hanya dari sisi kesamaan ras yaitu sama-sama berkulit hitam. Image Global yang dibangun di tengah masyarakat global saat ini membuat Orang Papua mengalami krisis identitas diri sekaligus krisis budaya. Dampak dari semua ini lebih banyak ke arah negatif yang mana membuat Orang Papua tidak percaya diri.
Bangsa Indonesia dengan berbagai ragam suku bangsa dan budaya sebenarnya masih dalam proses menuju sebuah nation. Bangsa ini lahir dengan dengan berbagai karakter yang berbeda sehingga negara harus mampu menjaga nilai-nilai budaya sebagai kekayaan bangsa yang tiada taranya. Negara juga bertanggung jawab atas kelestarian berbagai budaya yang berbeda ini karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budaya bangsanya sendiri.
Mari kita coba bersama-sama untuk tidak lagi menggunakan kata ‘epen’ dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat membantu proses mengembalikan moral Generasi Penerus Papua.. Semoga..

(*)Alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Sumber :http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1077&Itemid=66

DKR Harus Tingkatkan Pengawalan Kesehatan Rakyat Papua

DKR tujuannya meningkatkan status derajat kesehatan umum masyarakat Papua secara mandiri dengan mengembangkan kepedulian dan kesiapsiagaan masyarakat kampong dalam mencegah dan mengatasi masalah kesehatan rakyat Papua, namun masih nampak angka gizi buruk semakin tinggi, jumlah penyakit menular` semakin merajalela bahkan angka kematian meningkat terus di Papua.
"Jumlah dana Kesehatan yang dialokasikan di Provinsi Papua dan banyak yang hilang di tangan pengusaha dana pemenang tender nepotisme. Sementara pengalokasian Sumber-sumber dana di Provinsi Papua masih satu pintu,"ujar Ketua MRP, Agus Alua kepada peserta Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Papua di ruang kerja, Jumat (30/1).
Ditegaskan semua dana-dana SKPD-SKPD di Provinsi Papua masih satu pintu,sehingga pengalokasian sejumlah dana penggadaan dan penyaluran obat-obatan di seluruh wilayah Papua dibisniskan pemenang tender pengadaan obat-obatan secara gila-gilaan.
"Keuntungan pemenang tender obat-obatan di Papua, bekerja sama dengan pemilik perusahaan-perusahaan obat-obatan seperti kimia Farma Indonesia, masih menuai keuntungan di atas hak 10 persen masih sangat dimungkinkan. Misalnya harga 5000 rupiah menjadi 25 ribu rupiah dalam laporan proyek sehingga dinilai tidak transparansi,” ujar Alua, seraya mengakui keuntungan pengusaha dimungkinkan bisa melebihi dari hak 10persen penangganan proyek pengadaan barang dan jasa pada umumnya seperti yang diatur dalam UU pengadaan barang dan jasa.
Untuk itu, Alua meminta kepada rakyat yang diwakili DKR yang baru terbentuk agar meningkatkan koordinasi dan memperlebar informasi dalam membangun jaringan kesehatan manusia yang di Papua. “Ke depan kita mewmbangun mitra yang baik (MRP dan DKR) untuk mengawal kesehatan masyarakat dan pengontrolan kebijakan kesehatan di Papua,” jelas Alua kepada pengurus DKR Papua.(Willem Bobi)
Sumber : http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1105&Itemid=9

Bucthar Tabuni Harus Dibebaskan

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut menegaskan bahwa saudara Bucthar Tabuni harus dibebaskan karena tidak melakukan tindakan pelanggaran pidana sehinnga harus tetap bebas sampai ada keputusan yang jelas.

“Bucthar tidak melakukan tindak kekerasan dengan melakukan pemukulan atau mencuri sehingga dia tidak perlu masuk ke dalam tanahan Kejaksaan,”ujar Yaboisembut di sela sela peluncuran buku Memahami Hak hak Dasar Masyarakat Adat Papua di Hotel Mutiara, Sabtu (31/1).

Ditambahkan kalau persoalanan penahanan Buchtar berkaitan dengan masalah politik harus diselesaikan juga secara politik.

“Kalau pun melakukan pelanggaran maker dan tuduhan separatis sebenar tuduhan itu tidak jelas. Karena orang Papua selalu berjuang untuk memperoleh hak hak dasar mereka yang selama ini hilang dan dirampas,”ujar Yaboisembut. Dia mengatakan pihaknya bersama Tom Beanal akan berbicara tentang persoalan Bucthar dengan Kapolda Papua.

Sementara itu menanggapi masalah perkemahan mahasiswa di sekitar makam alm Theys Hiyo Eluay menurut Yaboisembut jangan sampai memakai momentum ini untuk mengadu dombakan sesama orang Papua. “Jangan mengadu dombakan ondoafi dengan kami semua,”tegas Yaboisembut.

Ditegaskan kalau perkemahan itu mengotori keindahan sebaiknya bapak Bupati Jayapura sebagai anak adat memberikan bantuan dana agar Dewan Adat bisa membuat taman taman yang indah di sekitar makam alm Theys H Elluay. Bahkan kalau ada kelebihan dana lokasi itu akan dibangun gedung Dewan Adat. “Secara lisan tanah itu sudah diserahkan kepada dewan adat, jadi secara adat milik adapt,”ujar Yaboisembut. (Dominggus A Mampioper).

sumber : http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1097&Itemid=9

Buctar Tabuni Dikarantina Selama Seminggu di Lembaga Pemasyarakatan Abepura

Ketua International Parlement of West Papua (IPWP) Buctar Tabuni dikarantina di Lembaga Pemasyarakatan Abepura selama seminggu, setelah sebelumnya ditahanan di Ruang Tahanan Kepolisian Daerah (Polda) Papua di Jayapura.

Buctar Tabuni kini dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura setelah sebelumnya mendekam di Ruang Tahanan Kepolisian Daerah (Polda) Papua. Karena baru dipindahkan, maka petugas tak mengijinkan siapapun untuk menjenguknya.
Buctar Tabuni yang dituduh melakukan makar terkait memimpin demonstrasi di Depan Expo Perumnas I, Waena, Jayapura pada 16 Oktober 2008 lalu. Sejak saat itu, ia mendekam di Ruang Tahanan Polda Papua.
Berhubung masa tahannya telah selesai, maka Polda Papua kembali menyerahkan Buctar ke Pengadilan Negeri Jayapura, Kamis (29/1). Dengan tujuan menunggu bukti-bukti yang akan di proses hukum lebih lanjut.
Jelang hari pertama Buctar dipindahkan dari ke LP Abepura, Sabtu (31/1), maka JUBI hendak mengunjungi Buctar. Namun demikian, ketika sampai di ruang tahanan---tak diijinkan.
Petugas LP Abepura berbaju singlet dan tak berseragam itu tak melayani kedatangan bahkan menolak kedatangan dengan alasan Buctar tak bisa dikunjungi oleh keluarga bahkan siapapun, berhubung dia baru dipindahkan dari Ruang Tahanan Polda Papua ke LP Abepura.
Petugas LP Abepura yang tak menyebutkan identitasnya itu mengatakan, saat ini Buctar dikarantina selama seminggu. "Buctar tra bisa dijenguk, nanti hari Jumat baru bisa jenguk," ujar petugas LP tersebut. (Musa Abubar)
sumber : http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1106&Itemid=9

Tenda Di Makam Theys Dibongkar

31 January 2009
JUBI---aktivitas masyarakat yang mendirikan tenda serta pemasangan beberapa spanduk yang bertuliskan "Papua Zona Damai" dimulai sejak 1 Desember 2008 di lokasi Pemakaman Theis Eluway terkait dengan HUT Kemerdekaan Papua Barat akhirnya dibongkar tanpa ada perlawanan dari masyarakat yang selama ini tinggal didalam tenda tersebut

Pembongkaran tenda di lokasi makam Theis Eluway, Sabtu (31/1) dilakukan sesuai dengan instruksi Bupati Jayapura yang dilaksanakan oleh Satuan Pamong Praja dibawah pengawasan Satuan Brimop Polda Papua dan Satuan Polres Jayapura serta Kepala Distrik Sentani Kota Kris Kores Tokoro.
Kris Kores Tokoro kepada wartawan mengatakan, pembongkaran tenda-tenda dan spanduk ini dilakukan lantaran menggangu pemandangan dan keindahan Kota Sentani.
"Posisi lokasi ini persis berada di depan Bandara Sentani yang merupakan pintu gerbang Papua dan sangat menggangu keindahan dan pemandangan Kota Sentani," ujar Tokoro, seraya menambahkan, aktivitas dalam lapangan ini mulai hari ini harus dihentikan.
Pembongkaran yang berlangsung sejak pukul 8.30 hingga 11.30 WIT berlangsung tanpa ada perlawanan, dimana masyarakat yang didalam tenda berpindah ke tenda bagian belakang, namun setelah tenda bagian tengah dibongkar, maka tenda belakang yang masih diduduki masyarakat juga dibongkar.
Pembokaran tersebut cukup menarik perhatian orang sekitarnya dimana tenda-tenda saat dibongkar masyarakat yang ada didalamnya menolak pindah. Namun setelah dibongkar, maka rencana pemerintah daerah Jayapura untuk memindahkan warga dengan mendatangkan satu unit bus namun warga menolak.
"Sesuai hasil negosiasi didalam warga akan pindah sendiri tanpa diantar. Saya percaya mereka akan pindah,"ujar Kapolres Jayapura AKBP Mathius Vakhiri, seraya menambahkan, masyarakat tak ada yang eksodus karena mereka mempunyai rumah. Apabila ada mahasiswa didalam tenda-tenda itu bukan tempatnya, tetapi tempat mahasiswa di Kampus.

Siapkan Bambu Untuk Bangun Kembali Tenda
Sementara itu, setelah pembongkaran selesai dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dibawah pengawasan Satuan Brimop Polda Papua dan Polres Jayapura, para petugas mulai meninggalkan tempat dan hanya beberapa petugas yang memantau keadaan, namun berselang sekitar satu jam lebih warga berencana kembali membangun tenda dan tampak beberapa potongan bambu untuk tiang dan terpal telah disiapkan.
Namun setelah aparat mengetahui Satuan Pamomg Praja kembali menghentikan dan satuan dari dari Brimop Polda dan Polres kembali diturunkan untuk pengamanan.
Kabag Bina Mitra Polres Jayapura AKP V. Emanuel yang bernegosisi dengan masyarakat, tetapi masyarakat tak mau meninggalkan tempat. "Sekarang pukul 13.00 WIT, kita tinggalkan tempat ini namun apabila masyarakat masih melakukan aktivitas di lokasi ini, aparat akan mengambil tindakan tegas," tukas Emanuel.
Akhirnya petugas kembali ke pinggir jalan sambil menunggu masyarakat untuk meninggalkan lokasi makam Theys. Tak lama kemudian masyarakat mulai berkemas dan meninggalkan lokasi tersebut. (Yunus Paelo)
sumber : http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1107&Itemid=9

Akta Lahir untuk 1.000 Anak Perbatasan Papua

Jum'at, 30 Januari 2009 - 09:41 PM

Jayapura, Mendukung rencana strategis 2011 Semua Anak Indonesia Tercatat Kelahirannya, World Vision dan Wahana Visi Indonesia bersama Pemkab Keerom mengadakan Pekan Pencanangan Akta Kelahiran. Kegiatan ditargetkan setidaknya menjaring 1.000 anak di wilayah perbatasan Papua-Papua Nugini ini.

"Kami berharap upaya advokasi ini dapat mendukung target pemerintah, agar pada tahun 2011 nanti seluruh anak Indonesia memiliki akta kelahiran," ujar Roriwo Karetji, Manajer Wahana Visi Indonesia Region Papua.

Pencatatan anak-anak wilayah ujung timur-utara Papua ini dilakukan besok 28 Januari 2009 di Kantor Bupati Keerom di Arso. Di Keerom, hampir seluruh warga (48 persen) tidak memiliki akta kelahiran (data Susenas/Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007). Banyak warga menganggap akta kelahiran kurang penting karena terbatasnya informasi serta biaya pembuatan yang dianggap mahal akibat biaya transportasi yang besar dari kampung ke ibu kota kabupaten.

Masyarakat mengurus akta ketika anak akan masuk sekolah. Padahal, kepemilikan akta kelahiran begitu penting dan merupakan hak mendasar setiap anak. Bagi pemerintah sendiri, pencatatan kelahiran menjadi dasar perencanaan bagi kesejahteraan anak di Kabupaten Keerom.

Dengan semakin optimalnya data anak yang pemerintah miliki, program kesejahteraan anak yang dirancang juga semakin baik. Misalnya terkait dengan perencanaan jumlah guru yang perlu disediakan, sekolah yang perlu dibangun, jumlah bidan dan dokter yang diperlukan, serta vaksin dan layanan pengobatan yang harus disediakan.

Beruntung, Pemkab Keerom sangat mendukung upaya pencanangan akta kelahiran gratis. Bekerja sama dengan World Vision, serangkaian upaya advokasi telah dilakukan jauh sebelumnya. Mulai dari studi banding ke daerah percontohan di Sikka (NTT), pelatihan bagi ratusan petugas Puskesmas, bidan desa, PKK, kepala kampung dan distrik, sampai pembuatan SK Bupati pembebasan biaya akta kelahiran umur 0-17 tahun.

Pada 28 Januari besok, sebagai kegiatan puncak adalah diselenggarakan Gerakan Pencanangan Akta Kelahiran. Kegiatan ini merupakan kerja sama World Vision, Wahana Visi Indonesia serta Pemkab Keerom melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan Tim Penggerak PKK. Wakil Bupati Keerom Waghfir Kosasih akan meresmikan kegiatan ini.

Sehari sesudahnya (29 Januari), pencanangan dilanjutkan Aksi Turun Kampung (mobilisasi sosial) di seluruh desa di Kabupaten Keerom. Secara simbolik kunjungan bupati dilakukan di Kantor Desa Yanamaa, SD Dunomamoi Arso Kota, dan Puskesmas Arso Timur. Diharapkan gerakan ini dapat menjangkau 1.000 anak Keerom yang belum memiliki akta kelahiran.

Dalam kegaitan ini, seluruh anak yang belum memiliki akta kelahiran dapat memproses akta dengan mudah dan gratis. Cukup dengan mendaftarkan diri ke bidan desa, sekolah, dan kantor desa terdekat.

Bagi masyarakat yang memiliki anak berusia 0-5 tahun, bisa mendaftarkan anak-anak di bidan desa. Anak-anak sekolah mendaftar di sekolah. Anak-anak usia 6-17 tahun yang berada di luar sekolah mendaftarkan diri di kepala kampung/kantor desa.

Pemerintah telah memberikan kemudahan bagi masyarakat. Selama tahun 2009-2011, anak-anak usia 0-17 tahun di Keerom bisa memperoleh akte kelahiran gratis, ujar Bupati Keerom Celcius Watae. Setelah tahun 2011, akta kelahiran gratis hanya diberikan bagi anak usia 0 hingga 60 hari.

"Dalam waktu dekat pencanangan akta kelahiran ini akan dilaksanakan di Merauke dan Papua. Menjadi komitmen World Vision untuk ikut membangun sistem pencatatan kelahiran di Papua, khususnya di Merauke, Keerom, Jayawijaya, dan Jayapura," ujar Roriwo.

(sumber: kompas)

Kawasan Padat Penduduk di Jayapura Terbakar

Jum'at, 30 Januari 2009 - 09:37 PM

Jayapura, Kebakaran yang diduga disebabkan ledakan kompor gas, Kamis (29/1) pukul 15.00 terjadi di daerah padat penduduk APO Kota Jayapura Provinsi Papua. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Petugas tidak atau belum menemukan korban tewas dalam kebakaran itu karena api baru dikuasai saat hari telah gelap.

Isak tangis membahana di seantero jalanan yang sempit di kawasan padat itu. Mereka berlarian menyelamatkan barang-barang berharganya. Api menjalar terlalu cepat karena tiupan angin kencang di sore hari itu membuat para petugas pemadam kebakaran kewalahan menjinakkan si jago merah.

Ratusan rumah pun terbakar dan hingga pukul 20.00 masih tampak bara api dari puing-puing bangunan terbakar. Belasan tenda darurat pemberian Dinas Sosial didirikan untuk tempat tinggal sementara bagi keluarga yang kehilangan tempat tinggal. Warga mengharapkan uluran tangan pemerintah dan dermawan untuk meringankan kehidupan mereka.

(sumber kompas)

Warga Papua Tuntut Kesetaraan Kesempatan

Kamis, 22 Januari 2009 - 08:56 AM

Jakarta, Sekitar 100 orang pengunjuk rasa dari Aliansi Peduli Masyarakat Papua menginginkan agar warga Papua diberi kesetaraan kesempatan agar bisa lebih berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah mereka.

Menurut seorang pengunjuk rasa di Jakarta, Selasa, mereka tidak menginginkan adanya dominasi dari kaum pendatang yang mengambil beragam lahan pekerjaan di Papua. Untuk itu, para pendemo berharap agar berbagai instansi pemerintahan dapat mengutamakan untuk merekrut atau melibatkan warga Papua dibandingkan kaum pendatang.

Para pendemo itu sendiri melakukan aksinya di depan Departemen Pekerjaan Umum di Jalan Pattimura, Jakarta Selatan, antara lain karena menurut mereka masih terdapat sejumlah proyek pembangunan di Papua yang kurang mengikutsertakan warga Papua.

Aksi tersebut menyebabkan arus lalu lintas di Jalan Pattimura tampak tersendat, tetapi tidak mengalami kemacetan, antara lain, karena kesigapan petugas kepolisian lalu lintas.

Selain di Departemen PU, terdapat pula aksi yang dilakukan oleh puluhan orang di depan Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Mereka menginginkan agar pihak Mabes Polri menangani dengan sigap sejumlah kasus korupsi tidak hanya yang terjadi di pusat, tetapi juga kasus korupsi yang terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air.

(sumber: kompas)

Anggaran Pendidikan Belum Bisa Gratiskan Biaya Sekolah

Jum'at, 30 Januari 2009 - 09:44 PM

Jayapura, Anggaran pendidikan untuk Papua tahun 2009 belum dapat menggratiskan masyarakat untuk dapat melaksanakan program wajib belajar sembilan tahun. Direktur Eksekutif Institute For Civil Society Strengthening (ICS) Papua, Budi Setyanto dan pihak Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), senada mengungkapkan hal itu, Rabu (28/1).

ICS dan FITRA menyatakan seperti itu didasarkan atas hasil analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua. "UU Sisdiknas mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBD, namun Papua hanya menganggarkan 4,7 persen. Sedangkan jika mengacu pada amanat Perda, anggaran pendidikan harus sebesar 30 persen dari dana Otsus atau Rp 313,18 miliar. Sekarang ini hanya dianggarkan 24,18 persen," ujar Budi.

Sementara itu anggaran pendidikan yang sebesar Rp 171,93 miliar atau 84,51 persen habis dipakai untuk belanja gaji, tunjangan dan honor pegawai serta biaya administrasi kantor dan perjalanan dinas.

Akibatnya, dana pendidikan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan publik hanya Rp 31,52 miliar atau 15,49 persen, dan tidak ada yang dialokasikan untuk program wajib belajar sembilan tahun.

Dengan demikian, kata Budi, anggaran pendidikan tahun ini telah mengabaikan program wajib belajar yang merupakan prioritas dari Gubernur Provinsi Papua dan pemerintah pusat. "Kondisi ini sangat kontradiktif dengan janji Gubernur Papua yang akan memberikan pendidikan gratis SD dan SMP bagi orang asli Papua dari keluarga miskin," ujarnya.

Selain itu, juga terjadi pemangkasan sebesar 86 persen untuk anggaran program pendidikan anak usia dini dari Rp 6,64 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 930 juta pada tahun 2009. Demikian pula pada program pendidikan menengah terjadi pengurangan dana 92 persen, dari Rp 35,01 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 2,83 miliar pada tahun 2009.

Sedangkan untuk program manajemen pelayanan pendidikan justru terjadi kenaikan anggaran dari Rp 8,46 miliar pada tahun 2008, menjadi Rp 28,04 miliar atau naik 230 persen. "Padahal anggaran ini dialokasikan untuk biaya koordinasi, pembinaan, pengawasan dan monitoring yang semuanya untuk kepentingan aparatur birokrasi pendidikan," kata Budi menandaskan.

Terkait hal itu, ICS mendesak Pemprov dan DPRD untuk konsisten mematuhi Perda No.5 Tahun 2006 dengan mengalokasikan anggaran pendidikan paling sedikit 30 persen dari dana Otsus sehingga dapat memenuhi janji yang pernah dilontarkan gubernur, yakni menerapkan pendidikan gratis bagi orang asli Papua dari golongan miskin.

(sumber: kompas)

Pemerintah Anggarkan Dana Otonomi Khusus Rp 8 Triliun

um'at, 22 Agustus 2008 | 11:25 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah berencana mengalokasikan dana transfer ke daerah pada 2009 sebesar Rp 303,9 triliun. Daerah otonomi khusus Aceh, Papua dan Papua Barat akan mendapat anggaran Rp 8,3 triliun.

"Saya berharap dana otonomi khusus ini dimanfaatkan secara optimal," katanya dalam Sidang Paripurna DPD, di Gedung DPR, Jumat (22/08).

Presiden Yudhoyono menilai tranfer dana untuk daerah naik signifikan sejak 2004. Total kenaikan sejak 2004 hingga 2009 sebesar Rp 174,2 triliun. "Naik 134,3 persen, kata Presiden.

Pertambahan anggaran tersebut dinilai akan bermanfaat bagi daerah sebagai stimulus fiskal bagi perekonomian daerah. "Saya minta dilaksanakan pengawasan yang lebih efektif," katanya.

Kebijakan pokok anggaran transfer ke daerah pada 2009 untuk dana alokasi umum direncanakan 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto yang telah memperhitungkan subsidi BBM, listrik, pupuk, sebagai bentuk berbagi beban atara pemerintah dan daerah.

Pemerintah, lanjut Presiden, juga mengalokasikan dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebesar dua persen dari penerimaan cukai hasil tembakau kepada daerah penghasil tembakau. "Untuk pertama kalinya dalam sejarah pusat-daerah," kata Presiden.

Dwi Riyanto Agustiar


sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/08/22/brk,20080822-131874,id.html

Presiden Berharap Otonomi Khusus bawa Kemajuan untuk Papua

Jumat, 23 Januari 2009


Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap dua produk hukum terkait Papua dan Papua Barat yang dikeluarkan selama masa pemerintahannya dapat membawa kemajuan bagi provinsi tersebut.
Dalam pidatonya pada acara penyerahan bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua Barat, Kamis, Presiden Yudhoyono menyebutkan ia telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2007 untuk memajukan pembangunan di Papua.
Inpres itu, menurut Presiden, adalah kebijakan khusus yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Papua dengan lima sasaran khusus, yaitu meningkatkan kecukupan pangan, kesehatan, pendidikan, pembangunan, dan memperbanyak tenaga putra Papua di bidang birokrasi.
Kebijakan itu, lanjut Presiden, kemudian dilengkapi lagi dengan UU No 35 Tahun 2008 tentang pembentukan Provinsi Papua Barat yang mensahkan pelaksanaan otonomi khusus di wilayah tersebut.

Ditambah dengan UU Otonomi Khusus untuk Papua yang dikeluarkan pada 2001, Presiden berharap tiga produk hukum itu dapat membawa kemajuan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat.

"Dengan UU Otonomi Khusus tahun 2001, Inpres No 5 Tahun 2007 dan UU No 35 Tahun 2008, diharapkan pembangunan di wilayah ini makin ke depan makin baik," tutur Presiden.

Dengan kebijakan otonomi khusus, Presiden mengingatkan, keberhasilan pembangunan di Papua berada di tangan orang-orang Papua sendiri.
"Semua terpulang pada saudara-saudara yang memimpin dan menggerakan pembangunan di daerah ini. Karena dengan otonomi, ada dana otonomi khusus, dana bagi hasil, yang jumlahnya tidak sedikit," kata Presiden.

Presiden berharap, dana otonomi tersebut dapat digunakan sebaik-baiknya sehingga keberhasilan pembangunan dapat dirasakan masyarakat Papua.

Dalam pidatonya, Presiden menyatakan dukungan penuh pemerintah pusat untuk pembangunan di Papua dan Papua Barat serta menyatakan kesediaan pemerintah pusat untuk membantu keberhasilan pembangunan di provinsi paling timur Indonesia itu.

Presiden mengingatkan bumi Papua yang kaya sumber daya alam mulai dari perikanan, pertambangan hingga pariwisata sebaiknya digunakan secara bijak untuk kesejahteraan masyarakatnya dan tidak dikelola secara ceroboh.
"Ajak semua pihak, pemerintah dan swasta untuk membangun berbasiskan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya
tanpa menguras secara berlebihan dan merusak lingkungan karena anak cucu Papua di waktu mendatang juga Sekretariat Negara Republik Indonesia
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 2 February, 2009, 12:29
mempunyai hak menggunakan sumber daya ini," tutur Presiden.
Presiden juga mengingatkan agar masyarakat Papua selalu menjaga dan mengembangkan kehidupan harmonis yang penuh kerukunan agar kedamaian sejati selalu terwujud di tanah Papua.

Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/

Tahun 2009, Papua Digelontor 19 Trilyun !!!

Tahun ini, Pemerintah Provinsi Papua digelontor dana Rp19 triliun lebih dari pemerintah pusat yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2009. Terkait hal ini, Kamis (8/1) kemarin telah dilakukan penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2009 di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua. Hadir pada acara ini, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Drs. Agus Alue Alua,M.Th, Ketua DPRP, Drs. John Ibo, MM, para unsur Muspida, para bupati/walikota, para kepala satuan kerja instansi vertikal dan otonom di Provinsi Papua.

Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH dalam sambutannya mengatakan, pada 5 Januari 2009, pihaknya bersama semua gubernur dan para menteri, telah menerima DIPA TA 2009 dari Presiden RI di Istana Negara. "Di dalam arahannya Bapak Presiden memerintahkan agar DIPA Tahun Anggaran 2009 segera diserahkan kepada seluruh satuan kerja agar pelaksanaan anggaran dapat segera dimulai pada awal tahun anggaran ini.

"Itu sebabnya, penyerahan DIPA yang saya lakukan pada hari ini sekaligus merupakan tanda dimulainya secara resmi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2009 secara resmi di Provinsi Papua," ucapnya.Dikatakan, pemerintah sangat menyadari bahwa faktor ketepatan waktu penyerahan DIPA sangat penting agar tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak dapat menjalankan dan menyelesaikan program pembangunan yang telah direncanakan dengan baik dan matang pada tahun anggaran itu juga. "Selain itu, penyerahan DIPA oleh semua gubernur di seluruh Indonesia serentak pada hari ini juga merupakan simbol dari tanggung jawab dan komitmen seluruh jajaran pemerintah se-tanah air Indonesia untuk mengelola anggaran tahun 2009 secara akuntabel, berorientasi pada hasil, profesional, proporsional, dan terbuka atau transparan," paparnya.

"Ketika menyerahkan DIPA beberapa hari lalu, Bapak Presiden menjelaskan pokok-pokok isi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN Tahun Anggaran 2009, yang intinya adalah sebagai berikut: Total APBN tahun 2009 berjumlah Rp 1.037,1 triliun. Tahun anggaran 2009 adalah tahun pertama sepanjang sejarah pemerintahan di Republik Indonesia di mana APBN melampaui angka 1.000 (seribu) triliun," katanya. Adapun rincian APBN 2009 adalah sebagai berikut: Anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 716,4 triliun. Anggaran Transfer untuk Daerah berjumlah Rp 320,7 triliun. Dari total Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, dialokasikan untuk Belanja Pegawai sebesar Rp 143,6 triliun; Belanja Barang sebesar Rp 77,7 triliun; Belanja Modal sebesar Rp 93,8 triliun; Bantuan Sosial sebesar Rp 67,8 triliun; dan Pembayaran Bunga Utang, Subsidi dan Belanja Lain-Lain sebesar Rp 333,5 triliun.

"Amanat Undang Undang Dasar tentang anggaran pendidikan sebesar 20% dari seluruh APBN telah berhasil dipenuhi mulai tahun anggaran 2009 ini. Jumlah anggaran untuk pendidikan sebesar Rp 207,4 triliun yang disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional sebesar Rp 61,5 triliun, Departemen Agama sebesar Rp 23,4 triliun, Kementerian Negara/Lembaga lainnya sebesar Rp 3,0 triliun, Bagian Anggaran 69 sebesar Rp 1,7 triliun, dan melalui Transfer ke Daerah sebesar Rp 117,8 triliun," ungkapnya.

Dikatakan, pada skala nasional, Lembaga Pemerintahan yang tahun ini juga memperoleh alokasi anggaran yang cukup besar adalah Departemen Pertahanan sebesar Rp 33,7 triliun; Departemen Pekerjaan Umum sebesar Rp 34,9 triliun; Kepolisian Negara sebesar Rp 24,8 triliun, Departemen Kesehatan sebesar Rp 20,2 triliun, dan Departemen Perhubungan sebesar Rp 16,9 triliun. "Penyusunan APBN Tahun 2009 dilakukan dengan perencanaan yang matang dan target yang terukur. Hal ini merupukan perwujudan dari keinginan kuat Pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang lebih baik di seluruh tanah air. Pemerintah dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi fiskal di daerah. Oleh sebab itulah, secara nasional terjadi peningkatan dalam hal alokasi dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan penyesuaian pada tahun anggaran ini. Total dana perimbangan mencapai Rp 296,9 triliun, dana otonomi khusus sebesar Rp 8,8 triliun, dan dana penyesuaian sebesar Rp 14,9 triliun," terangnya.

Gubernur menjelaskan, Dana Perimbangan sebesar Rp 296,9 triliun tersebut terdiri dari: Dana Bagi Hasil sebesar Rp 85,7 triliun; Dana Alokasi Umum sebesar Rp 186,4 triliun, dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 24,8 triliun.

"Dalam pada itu, Pemerintah juga menyadari tentang pentingnya upaya untuk terus mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan kesenjangan fiskal antar daerah. Oleh karena itu, sebagaimana penegasan Presiden, Pemerintah akan mengalihkan secara bertahap sebagian anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah ke dalam Dana Alokasi Khusus (DAK)," jelasnya.

Menurutnya, total Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus Papua, dan Dana Infrastruktur Otsus Papua yang dialokasikan dari APBN 2009 bagi Provinsi dan Kabupaten/kota se-Provinsi Papua adalah Rp 19.058.322.297.700, dengan rincian sebagai berikut: DAU Provinsi Papua adalah sebesar Rp 1.058.227.764.000; dan DAU Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua berjumlah Rp 8.066.776.439.900, DAK Provinsi Papua sebesar Rp 81.273.000.000; dan DAK Kabupaten/Kota Se-Provinisi Papua berjumlah Rp 1.523.732.000.000. Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebesar Rp 2.609.797.400.000 dan Dana Infrastruktur Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 800.000.000

"Selain pengalokasian dana ke Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se Papua yang dikelola dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dialokasikan pula Dana dari APBN untuk Satuan Kerja Pusat dan Daerah, Satuan Kerja Dekonsentrasi, dan Satuan Kerja Tugas Pembantuan yang berada di Propinsi Papua adalah sebesar Rp 4,918 triliun," sambungnya.

Dijelaskan, Lembaga Pemerintahan Pusat yang memperoleh alokasi anggaran yang cukup besar untuk pekerjaan di Provinsi Papua pada tahun anggaran 2009 adalah: Departemen Pekerjaan Umum sebesar Rp 0,978 triliun; Departemen Pendidikan Nasional, sebesar Rp 0,781 triliun; Departemen Pertahanan, sebesar Rp 0,628 triliun; Kepolisian Negara RI sebesar Rp 0,514 triliun; Departemen Dalam Negeri sebesar Rp 0,224 triliun, dan Departemen Perhubungan sebesar Rp 0,070 triliun.

Sejalan dengan telah diserahkannya DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Tahun Anggaran 2009 oleh Gubernur kemarin, rupanya disambut sukacita oleh mantan Aktivis Papua Merdeka yang selama ini tinggal di luar Indonesia Nick Messet. "Mari kita sambut berkat ini dengan sukacita, karena itu tandanya ada harapan bagi kita orang Papua untuk hidup lebih sejahterah dimasa depan," katanya kepada Cenderawsih Pos kemarin usai mengikuti penyerahan DIPA di Sasana Krida.

Messet mantan Pilot yang sebelum kembali ke Papua pernah berdomisili di Swedia dan Port Moresby ini menyampaikan terima kasihnya kepada pemerintah pusat (SBY - JK) dan Gubernur Barnabas Suebu, yang sudah memberikan perhatian serius kepada Papua yang tetap konsisten untuk membangun masyarakat Papua. "Terima kasih saya mewakili orang Papua dari PNG, sejalan dengan diserahkannya DIPA oleh Gubernur ini, saya melihat ada berkat yang besar untuk membangun tanah ini yang lebih baik lagi dimasa depan," katanya.

Dengan DIPA yang diserahkan kemarin yang totalnya mencapai Rp 19 Triliun lebih itu, ia menaruh harapan besar bagi pembangunan Papua kedepan melalui Otonomi Khusus, karenanya ia juga agar dana tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh SKPD untuk kesejahteraan masyarakat Papua serta jangan smapai diselewengkan.

"Dengan Otsus pembangunan Papua harus berjalan lebih baik lagi. Jangan kita bicara korupsi atau segala sesatu tetapi kita haru melaksanakan itu dengan baik agar masyarakat Papua itu bisa hidup sejahterah dan yang lebih penting lagi masyarakat Papua tidak lagi meminta hal - hal lain seperti merdeka atau keluar dari NKRI," katanya.

Baginya bersatu membangun Papua dalam kerangka NKRI adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi sehingga penting bagi semua orang Papua untuk turut mendukung pelaksanaan pembangunan Papua secara adil dan bermartabat.

Untuk itu, Messet juga mengajak seluruh warga Papua yang masih berada di Papua New Guinea atau di sejumlah negala di Pasifik atau negara lainnya agar kembali ke Papua, sebab ada harapan baru yang akan menjamin masa depan masarakat Papua. "Saya juga minta supaya masyarakat Papua yang ada di PNG dan negara lain supaya kembali ke Papua karena kita diberikan kesempatan untuk ikut membanggun daerah ini dengan dana yang begitu besar," ajaknya.

Karenanya, Ia meminta pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar mempercepat proses pemulangan repatriasi 708 orang warga negara Republik Indonesia asal Papua dari PNG sehingga mereka bisa merasakan kehidupan yang lebih di tanahnya sendiri. "Kami juga minta repatriasi harus dipercepat supaya saudara - saudara kita cepat pulang, sebab masih banyak warga Papua di PNG," ujarnya.

Diakuinya bahwa memang masih ada puluhan ribu warga negara Indonesia asal Papua yang tinggal di PNG karenanya pihak KBRI sejak sekarang ini diminta untuk melakukan seleksi dan evaluasi maupun pengkajian untuk memulangkan warga yang masih ada di PNG sehingga mereka dapat hidup sejahterah ditanahnya sendiri.(fud/ta/jpnn).


http://www.radartimika.com/index.php?mod=article&cat=Utama&article=16466

Grand Design Otonomi Khusus Papua

Oleh : John J Boekorsjom

[www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Otonomi Khusus (Otsus) telah berjalan tahun ke tujuh, semakin bertambah usia otonomi khusus semakin juga pudar makna otonomi khusus. Roh Otonomi Khusus seakan-akan perlahan-lahan mulai meninggalkan jasadnya yang namanya UU Otonomi Khusus.

Kehadiran Otsus tidak begitu saja diberikan tetapi lahir dengan penuh pergolakan bila diandaikan dengan proses kelahiran maka otsus lahir atas teriakan, air mata dan darah dari rakyat Asli Papua. UU ini merupakan jawaban atas ketidakberdayaan dan keputusasaan rakyat papua terhadap negeri ini selama kurang lebih 35 tahun sebelum UU Otsus ini lahir.

Lahirnya Otsus diantara pro dan kontra namun dibawah kewenangan pemerintah Otsus ini bergulir dan mulai diterima sebagai sebuah solusi tanpa pilihan bagi rakyat Papua yang kontra.Berbagai polemik hadir selalu dalam perjalanan Otonomi Khusus, ketidak jelasan implementasi Otsus terhadap Orang Asli Papua selalu terdengung seturut dengan perjalanan Otonomi Khusus.

Ketidak jelasan semakin tidak jelas dengan pemanfaatan dana otonomi khusus bagi pemberdayaan orang asli Papua. Dana Otonomi Khusus telah diberlakukan secara merata tanpa melihat amanat Otonomi Khusus adalah untuk dipergunakan dalam meningkatkan harkat dan martabat Orang Asli Papua dan mengembalikan rasa kepercayaan orang asli papua terhadap Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ini semua terjadi karena belum adanya Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus. Bila ada Grand Desain Otonomi Khusus maka akan jelas Strategi Percepatan Pembangunan Orang Asli Papua sehingga akan jelas goal 20 tahun Dana Otonomi Khusus bagi Masyarakat Asli Papua. Grand Desain ini harus menjadi blueprint tersendiri namun harus mempunyai benang merah sebagai bagian dari Perencanaan Pembangunan jangka menengah dan panjang.

Mengapa Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus harus dibuat ? Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus akan menjadi payung bagi pemanfaatan dana Otsus untuk Orang Asli Papua di Pulau Papua. Grand Desain ini yang akan menjadi arah bagi pemanfaatan Dana Otonomi Khusus walaupun pemekaran provinsi di pulau papua akan bertambah dari dua menjadi 5 dan seterusnya. Grand Desain ini harus disepakati secara bersama oleh Masyarakat Asli Papua di Pulau Papua.

Sesuai dengan amanat UU Otsus bahwa otonomi berada di Provinsi maka sudah saatnya pengelolaan dana otonomi khusus berada di provinsi dan bukannya di bagi ke kabupaten/kota se Pulau Papua. Bila tetap dana otonomi khusus dibagi ke kabupaten/kota maka sewajarnya dan logis bila provinsi juga menyerahkan sebagian kewenangan Otsus kepada Kabupaten/Kota pengelola dana Otsus.

Maksudnya kewenangan diserahkan sebagian berarti kewajiban pemerintah kabupaten/kota penerima dana otsus langsung bertanggungjawab keuangan Otsus kepada pemerintah pusat, bila ini dilakukan maka tidak terdengar lagi alasan bahwa keterlambatan penerimaan dana otsus akibat belum bertanggungjawabnya Kabupaten/Kota kepada provinsi.

Sudah saatnya Pemerintah dan Masyarakat Papua menyusun dan membuat Grand Desain Pembangunan Otsus di Pulau Papua serta menyiapkan regulasi mekanisme penggunaan dana otonomi khusus bagi orang asli papua. Ini bukanlah diskriminasi namun semua pihak harus menyadari bahwa inilah insentif penghargaan bagi orang Asli Papua. Dana Otonomi Khusus bukan merupakan satu-satunya sumber pendapatan bagi pembangunan di Papua tetapi merupakan salah satu sumber pendapatan maka sumber sumber pendapatan lainnya yang digunakan dan dimanfaatkan bagi pembangunan seluruh masyarakat di Papua.

Dana Otsus ini adalah dana untuk membangun orang asli papua akibat ketertinggalan selama 35 tahun sebelum Otsus lahir, ini yang harus menjadi pemahaman bersama.Walaupun telah lahir PP Pengganti UU RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua yang antara lain merubah pasal 1 huruf a yang memasukkan Provinsi Papua Barat maka sewajarnya Pemerintah Provinsi Papua mencoba untuk mengajukan Grand Desain Pembangunan Otsus bagi Pulau Papua kepada Pemerintah Pusat untuk disepakati secara bersama baik Provinsi Papua Barat dan Pemerintah Pusat yang kemudian bisa disyahkan melalui Peraturan Pemerintah.

Bila ini tidak dilakukan maka akan terjadi pembagian dana Otsus antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, pembagian ini akan menggunakan rumus apa atau indikator apa dalam membagi dana otsus. Ini akan menjadi konflik yang berkepanjangan bila Pemerintah Provinsi Papua tidak cepat atau peka segera menyampaikan usulan skenario dana Otsus akibat dari PP pengganti UU RI No. 1/2008 tersebut.

Salah satu skenario yang patut dipikirkan adalah Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus Pulau Papua. Ini hanya merupakan opini yang perlu menjadi pemikiran bagi Para elite politik dan pemerintah pusat/Papua serta masyarakat di Pulau Papua. Jangan sampai 20 tahun pemberian dana Otsus hanya berlalu begitu saja bagaikan garam ditebar di laut.

Kehadiran Otsus tidak begitu saja diberikan tetapi lahir dengan penuh pergolakan bila diandaikan dengan proses kelahiran maka otsus lahir atas teriakan, air mata dan darah dari rakyat Asli Papua. UU ini merupakan jawaban atas ketidakberdayaan dan keputusasaan rakyat papua terhadap negeri ini selama kurang lebih 35 tahun sebelum UU Otsus ini lahir.

Lahirnya Otsus diantara pro dan kontra namun dibawah kewenangan pemerintah Otsus ini bergulir dan mulai diterima sebagai sebuah solusi tanpa pilihan bagi rakyat Papua yang kontra.Berbagai polemik hadir selalu dalam perjalanan Otonomi Khusus, ketidak jelasan implementasi Otsus terhadap Orang Asli Papua selalu terdengung seturut dengan perjalanan Otonomi Khusus.

Ketidak jelasan semakin tidak jelas dengan pemanfaatan dana otonomi khusus bagi pemberdayaan orang asli Papua. Dana Otonomi Khusus telah diberlakukan secara merata tanpa melihat amanat Otonomi Khusus adalah untuk dipergunakan dalam meningkatkan harkat dan martabat Orang Asli Papua dan mengembalikan rasa kepercayaan orang asli papua terhadap Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ini semua terjadi karena belum adanya Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus. Bila ada Grand Desain Otonomi Khusus maka akan jelas Strategi Percepatan Pembangunan Orang Asli Papua sehingga akan jelas goal 20 tahun Dana Otonomi Khusus bagi Masyarakat Asli Papua. Grand Desain ini harus menjadi blueprint tersendiri namun harus mempunyai benang merah sebagai bagian dari Perencanaan Pembangunan jangka menengah dan Panjang.Mengapa Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus harus dibuat ?

Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus akan menjadi payung bagi pemanfaatan dana Otsus untuk Orang Asli Papua di Pulau Papua. Grand Desain ini yang akan menjadi arah bagi pemanfaatan Dana Otonomi Khusus walaupun pemekaran provinsi di pulau papua akan bertambah dari dua menjadi 5 dan seterusnya. Grand Desain ini harus disepakati secara bersama oleh Masyarakat Asli Papua di Pulau Papua. Sesuai dengan amanat UU Otsus bahwa otonomi berada di Provinsi maka sudah saatnya pengelolaan dana otonomi khusus berada di provinsi dan bukannya di bagi ke kabupaten/kota se Pulau Papua.

Bila tetap dana otonomi khusus dibagi ke kabupaten/kota maka sewajarnya dan logis bila provinsi juga menyerahkan sebagian kewenangan Otsus kepada Kabupaten/Kota pengelola dana otsus. Maksudnya kewenangan diserahkan sebagian berarti kewajiban pemerintah kabupaten/kota penerima dana Otsus langsung bertanggungjawab keuangan Otsus kepada pemerintah pusat, bila ini dilakukan maka tidak terdengar lagi alasan bahwa keterlambatan penerimaan dana Otsus akibat belum bertanggungjawabnya Kabupaten/Kota kepada provinsi.

Sudah saatnya Pemerintah dan Masyarakat Papua menyusun dan membuat Grand Desain Pembangunan Otsus di Pulau Papua serta menyiapkan regulasi mekanisme penggunaan dana otonomi khusus bagi orang asli papua. Ini bukanlah diskriminasi namun semua pihak harus menyadari bahwa inilah insentif penghargaan bagi orang Asli Papua.

Dana Otonomi Khusus bukan merupakan satu-satunya sumber pendapatan bagi pembangunan di Papua tetapi merupakan salah satu sumber pendapatan maka sumber sumber pendapatan lainnya yang digunakan dan dimanfaatkan bagi pembangunan seluruh masyarakat di Papua.

Dana Otsus ini adalah dana untuk membangun orang asli papua akibat ketertinggalan selama 35 tahun sebelum Otsus lahir, ini yang harus menjadi pemahaman bersama.Walaupun telah lahir PP Pengganti UU RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua yang antara lain merubah pasal 1 huruf a yang memasukkan Provinsi Papua Barat maka sewajarnya Pemerintah Provinsi Papua mencoba untuk mengajukan Grand Desain Pembangunan Otsus bagi Pulau Papua kepada Pemerintah Pusat untuk disepakati secara bersama baik Provinsi Papua Barat dan Pemerintah Pusat yang kemudian bisa disyahkan melalui Peraturan Pemerintah.

Bila ini tidak dilakukan maka akan terjadi pembagian dana Otsus antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, pembagian ini akan menggunakan rumus apa atau indikator apa dalam membagi dana otsus. Ini akan menjadi konflik yang berkepanjangan bila Pemerintah Provinsi Papua tidak cepat atau peka segera menyampaikan usulan skenario dana otsus akibat dari PP pengganti UU RI No. 1/2008 tersebut.

Salah satu skenario yang patut dipikirkan adalah Grand Desain Pembangunan Otonomi Khusus Pulau Papua. Ini hanya merupakan opini yang perlu menjadi pemikiran bagi Para elite politik dan pemerintah pusat/Papua serta masyarakat di Pulau Papua. Jangan sampai 20 tahun pemberian dana otsus hanya berlalu begitu saja bagaikan garam ditebar di laut. (*)

Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=8&dn=20081023084505

Deby Maiaweng, Potret Guru TK yang Gigih Mengajar di Pedalaman Yahukimo

Meski berada di pedalaman Papua, tepatnya di Distrik Silimo, Kabupaten Yahukimo, namun masih ada guru yang mau bertahan untuk mengajar anak-anak sekolah taman kanak-kanak (TK) Letlet, yang didirikan misionaris di bawah naungan Klasis GKII Silimo. Apa yang membuatnya gigih dan bertahan ditengah keterbatasan itu?

Laporan Rambat S Handoyo, Yahukimo

DEBY MAIAWENG terlihat akrab dengan anak-anak yang berada di Distrik Yahukimo, saat mereka menunggu kedatangan rombongan Bupati Yahukimo, Ones Pahabol SE, MM yang melakukan safari Natal di daerah tersebut, akhir Desember 2008 lalu.
Gadis manis asli Kupang, Nusa Tenggara Timur ini, sempat berbincang-bincang lama dengan Cenderawasih Pos, termasuk suka dukanya mengajar dan berada di daerah pedalaman yang serba terbatas tersebut. Apalagi, ia masih belum berkeluarga alias masih nona.

Meski demikian, Deby mengakui sangat berkeinginan untuk mengajar atau melayani di daerah pedalaman tersebut. Bahkan, itu merupakan cita-citanya sejak 13 tahun lalu, dimana saat itu ia sempat membaca buku Anak Perdamaian yang menceritakan kehidupan suku Dani dan suku Asmat dan saat nonton film tentang kerajaan suku Dani dan suku Asmat, membuat keinginannya semakin kuat untuk mengetahui suku-suku di pedalaman Papua tersebut.

Selepas kuliah di STT Jeffry Makassar, kemudian berangkat ke Papua, tepatnya di Wamena melalui Yayasan IFTA dan Yayasan Yabam Jayapura hingga akhirnya ia ditugaskan ke Silimo, dimana banyak didiami suku Ngalik. "Waktu di Silimo, saya ingat saat membaca buku 13 tahun lalu. Ingat buku itu saya menangis, karena bisa hidup di sini," katanya.

Bahkan, saat tiba di Silimo dengan menggunakan pesawat terbang yang berukuran kecil, ia sempat menangis selama tiga hari, apalagi saat itu bertepatan dengan ulang tahunnya ke 25.

Meski demikian, akhirnya Deby berusaha untuk mempelajari adat istiadat masyarakat Silimo di saat mengajar di TK tersebut. Hanya saja, saat datang mengajar di TK tersebut, banyak tantangan diantaranya hampir semua anak didiknya tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia.

"Saat pertama saya ajarkan apa saja, sambil mempelajari bagaimana cara tepat mengajari mereka. Hingga akhirnya, anak-anak mulai ada perubahan dan mulai bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, selain diajari kebersihan dan disiplin baik di kelas maupun di luar sekolah," ujarnya.

Adanya perubahan terhadap anak didiknya ini, menjadikan motivasi tersendiri bagi Deby untuk terus mengajar. Apalagi, dari awal ada 62 anak didiknya, 23 diantaranya sudah diwisuda dan sudah bisa menulis dan membaca dan telah pindah ke sekolah dasar (SD). "Dalam 3 bulan, ada perkembangan luar biasa, anak-anak bisa tulis dan baca, sedangkan anak SD kelas 6 di daerah ini ada yang tidak bisa membaca dan menghitung,"katanya.

Hanya saja, saat itu ia sempat mengalami kesulitan terhadap salah seorang anak didiknya, karena kesulitan menerima pelajaran yang diberikan. Namun, setelah diamati ternyata anak didiknya tersebut ternyata tuli sehingga tidak bisa mengenal huruf. Kemudian ia sempat berkonsultasi dengan yayasan Oikonomos Wamena yang bekerjasama untuk materi dan alat peraga.

Setelah itu, Deby mengaku ada hasilnya. Apalagi, anak didiknya yang memiliki kelainan ini, mulai bisa mengenal huruf. Hanya saja, harus dilatih secara khusus. "Saya ajari anak didik yang satu ini, membaca huruf melalui pernapasan dengan telapak tangan, sehingga saat dilafalkan huruf yang dihembuskan ke telapak tangan itu, bisa mengenali huruf," ungkapnya seraya mengatakan bahwa hal ini merupakan kebanggaan tersendiri baginya.

Ditengah keterisolasian di daerah pedalaman tersebut, selain mengajar di sekolah TK tersebut, untuk menghilangkan kejenuhan ia juga membantu mengajar di sekolah minggu. "Apapun yang bisa saya perbuat disini, akan saya lakukan. Meski tidak digaji dan harus setia ditempat serta hanya mendapatkan berkat dari klasis atau yayasan saja," ujarnya.

Deby yang masih berusia 27 tahun ini, mengaku sangat bersedih ketika mengingat orang tuanya, di samping ia masih muda dan tentu masih memiliki keinginan banyak, apalagi di Silimo tidak sama dengan daerah lain. Namun, Deby menambahkan bahwa hal itu merupakan kewajiban dan pelayanan sehingga membuat dirinya betah bertahan di daerah yang cukup dingin tersebut. (*)
----------------------------------
Sumber: http://cenderawasihpos.com/detail.php?id=23419&ses=