Agustus 24, 2008

Artikel FNMPP

“OTSUS HARAPAN atau KEMATIAN ?”
Oleh: Zadrak H


Menyikapi dinamika perkembangan situasi dan kondisi yang telah dan sedang terjadi di Tanah Papua sejak diberlakukannya UU. RI. No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hingga memasuki tahun ke 7 (tujuh) 2008. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat bedasarkan aspirasi dan hak-hak masyarakat Papua. Sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat khususnya masyarakat Papua, Pemerintah Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) diberikan hak desentralisasi seluas-luasnya untuk mengatur wilayah tanah Papua seluas 421.981 km persegi yang didiami oleh 312 suku pemilik tanah Papua. Dimana kebijakan Otonomi Khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara.

Dengan berdasarkan bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bahwa system pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewah yang diatur dalam Undang-Undang. Bahwa integrasi bangsa Papua dalam wadah NKRI harus dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan social budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi khusus.

Berdasarkan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia dan dengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR-RI) berdasarkan sila pertama Pancasila telah mempertimbangkan dengan Rahmat TUHAN Yang Maha Esa telah memutuskan dan Menetapkan Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sesuai dengan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Maka pemerintah pusat melalui wakil pemerintahnya baik di tingkat Provinsi (Prov. Papua dan Papua Barat), Pemerintah Daerah maupun kota dan jajaran legislativenya tidak melaksanakan dengan murni dan konsekwen Amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila untuk mewujudkan masyarakat Asli Papua yang adil, makmur dan sejahterah yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara.
Untuk menciptakan masyarakat Papua yang Adil dan Makmur serta sejahtera berdasarkan tujuan UUD 1945 dan Pancasila, maka yang menjadi isi atau substansi dari Undang-Undang ini adalah :

Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri :
a.Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b.Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian linhkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
c.Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.

Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggungjawab yang tegas dan jelas antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representative cultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Sesuai dengan keempat substansi dari UU. RI. No. 21 Tahun 2001 tersebut diatas adalah memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara. Berdasarkan maksud tersebut diatas, maka Pemerintah Republik Indonesia tidak memenuhi kewajibannya memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap jati diri orang asli Papua yang adalah bagian dari warga Negara, serta tidak menegakkan supremasi hukum, memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua, tidak ada demokrasi bagi orang asli Papua untuk menyelenggarakan kewenangan khusus sesuai dengan aspirasi dan prakarsa sendiri untuk membangun dirinya disegala bidang kehidupan, tidak adanya perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak Asasi manusia Papua serta tidak adanya persamaan hak dan kedudukan sebagai warga Negara Indonesia.

Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan. Upaya pemerintah menyelesaikan masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan yang berujung pada konflik structural, konflik kepentingan, konflik nilai, dan konflik human relation atau hubungan antar manusia. Dimana konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (manifest), dan konflik terbuka.

Pertama , Konflik structural yaitu ketika terjadi ketimpangan untuk melakukan akses dan control terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk mengakses dan melakukan control sepihak terhadap pihak lain. Disisi lain factor sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. Misalnya pemerintah pusat atau pemerintah RI yang berkuasa memiliki wewenang formal melalui konstitusinya atau hukumnya untuk menetapkan kebijakan umum lebih memiliki peluang untuk mengakses dan melakukan control sepihak terhadap orang asli Papua walaupun telah diberikan kewenangan khusus kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan jajarannya, namun nilai keadilan, perlindungan dan pernghargaan terhadap jati diri orang asli Papua samasekali tidak berarti bagi pihak penguasa yang memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum karena factor sejarah dan waktu. Faktor sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI 1 Mei 1963, New York Agreement 15 Agustus 1962, serta PEPERA 1969 yang diwakili oleh 1025 orang serta Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) No. 2504 dijadikan dasar hukum untuk mengontrol 312 suku asli Papua dan wilayah seluas 421.981 km persegi.

Kedua, Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentigan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumber daya fisik, waktu dll), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat dll). Misalnya masalah utang luar negeri Indonesia yang harus dibayar secepatnya sesuai dengan jatuh tempo kepada IMF atau World Bank atau pinjaman luar negeri lainnya, atau masalah kekurangan natural resource (SDA) khususnya di Pulau Jawa, kemiskinan yang menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat, tingginya angka penggangguran, tingginya angka kematian ibu dan anak, tingginya angka kriminalitas bermotif kemiskinan, korupsi, dan nepotisme adalah dampak dari factor kepentingan baik kepentingan pribadi ataupun golongan untuk memuaskan kebutuhannya.

Ketiga, Konflik Nilai disebabkan oleh system-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik . Manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan system nilai. Konflik nilai baru muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu system nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu system nilai yang eksklusif dimana didalamnya tidak mungkin adanya percabangan kepercayaan. Misalnya Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai ideology bangsa Indonesia atau falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, ideology bangsa kerapkali rapuh karena ideology sosialisme, atau ideology komunis. Misanya Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa : Seharusnya Negara melindungi, menghargai serta berkewajiban menjaga warga negaranya dan bukan melakukan tindakan kejahatan Negara misalnya pelanggaran HAM karena manusia diciptakan oleh TUHAN Yang Maha Kuasa.

Keempat, Konflik Human relation terjadi karena adanya emosi-emosi negative yang kuat, salah satu persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku negative yang berulang (repetitive). Masalah-masalah ini sering menghasilkan konflik-konflik yang tidak realistic atau tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik, seperti terbatasnya sumberdaya atau tujuan-tujuan bersama yang ekslusif, tidak ada. Masalah hubungan antar manusia seperti yang disebut diatas sering kali memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu. Misalnya konflik antar orang Papua akibat salah satu atau lebih perspektif atau stereotip. Contohnya pemerintah Jakarta memandang secara perspektif bahwa Otonomi khusus adalah satu-satunya solusinya penyelesaian masalah Papua, atau ada sebagian orang Papua yang memandang bahwa OTSUS bukanlah solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah Papua, atau bahkan ada sekelompok orang Papua yang bertikai akibat perbedaan persepsi tentang OTSUS, Pemekaran atau Merdeka. Tetapi ada juga konflik antar etnis Papua dan Non Papua ataukah konflik antar suku dengan suku.
Dari keempat konflik tersebut diatas, konflik pada dasarnya konflik di Papua berwujud menjadi tiga (3) bentuk konflik yaitu konflik tertutup (latent), konflik mencuat (emerging), dan konflik terbuka (manifest). Konflik tersembunyi (latent/tertutup) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak boleh jadi belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensial pun. Misalnya diterbitkannya PP.No.77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah mengingat UUD 1945 Pasal 5 ayat (2), UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pasal 2 ayat (1) : “Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan. Ayat (2), Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan symbol cultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai symbol kedaulatan.
Ayat (3), Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.”
Dalam konteks ini, panji kebesaran dan symbol cultural bagi kemegahan jati diri orang Papua adalah bendera Bintang Fajar dan Lagu Hai Tanahku Papua.

Mengapa kemegahan jati diri orang Papua adalah bendera Bintang Fajar dan Lagu Hai Tanahku Papua?

Alasan mendasarnya adalah sebagai berikut :
1)Bahwa bendera bintang Fajar atau Bintang Kejora dan Lagu Hai Tanahku Papua telah ada dan diputuskan dalam Manifesto Politik Komite Nasional Papua (KNP) pada sidang Nieuw Guinea Raad hari Senin tanggl 30 Oktober 1961 yang pengibarannya dengan resmi pada tanggal 1 Desember 1961 atau 8 (delapan) tahun jauh sebelum UUD 1945 berlaku di tanah Papua dan jauh sebelum pelaksanaan Act of free choise (PEPERA) TAHUN 1969. Sebab didalam naskah asli Piagam Jakarta (Jakarta Charter) atau UUD 1945 wilayah Republik Indonesia hanya dari Sabang sampai Amboina bahkan sewaktu pengakuan kedalautan RIS pada saat Konferensi Meja Bundar (The rountable Conference) di Denhaag Belanda. Delegasi Indonesia yang diwakili oleh Drs. Mohamad Hatta menyatakan bahwa dia mengakui bahwa bangsa Papua Barat pun berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Begitu juga dengan Kerajaan Belanda yang hanya mengakui kedaulatan Indonesia hanya terdiri dari Sabang samapai Amboina.
2)Bahwa berdasarkan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan apirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua, maka pengusulan Bendera Bintang Fajar dan Lagu Hai Tanahku Papua menjadi Lambang Daerah sebagai Panji kebesaran dan symbol cultural bagi kemegahan jati diri orang Papua serta tidak diposisikan sebagai symbol kedaulatan adalah tidak bertentangan dengan semangat Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004;
Dan TAP MPR RI No.III/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; serta TAP MPR RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Sebab Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 21 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dari penyelesaian masalahnya belum berkembang. Misalnya pihak Jakarta atau pemerintah pusat versus pemerintah provinsi Papua yang telah diberikan kewenangan khusus, namun kemudian tidak mau mengakomodir aspirasi masyarakat setempat berdasarkan aspirasi dan prakarsa sendiri. Akibatnya penyelesaian masalah Papua tidak akan mengalami perkembangan kearah positif atau adanya win-win solution dari pemerintah pusat karena pemerintah pusat cenderung tidak melakukan negosiasi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan suatu produk hukum baru bagi orang Papua.

Konflik terbuka (manifest) adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi, dan mungkin menemui jalan buntu. Situasi social, politik dan hukum di Papua saat ini telah dan sedang berkembang menjadi konflik terbuka baik konflik vertical antara pemerintah pusat dan rakyat Papua, tetapi juga konflik horizontal antara manusia Papua dengan manusia Papua dan antara orang Papua dengan orang non Papua. Pemicu konflik ini adalah tidak terpenuhinya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan keadilan social, kemakmuran, kesejahteraan serta perlindungan dan penghargaan terhadap jati diri orang asli Papua, hak-hak dasar dan jaminan hukum bagi orang asli Papua.

Agustus 13, 2008

AKU SEORANG REVOLUSIONER!

Aku Seorang Revolusioner!
Revolusioner berasal dari kata revolusi, yang berarti perubahan mendasar secara spontan, cepat, bersifat structural; dari sisi pengertian seperti ini maka makna yang dapat ditangkap dari kata revolusi adalah sebuah perubahan yang bersifat sporadic, cepat dan strategis. Dalam kurun waktu terdahulu, Nabi Muhammad SAW pernah melakukan revolusi yakni pada saat fathu Mekkah, penaklukan kota Mekkah, Perancis pada tahun yang berbeda mengalami revolusi atau perubahan secara dramatis dalam bidang sosio pembangunan dari agraria ke industri.
Dalam pengertian yang sederhana, revolusi selalu dihubungkan dengan waktu, semakin cepat perubahan yang dilakukan maka setidaknya itulah yang dipahami tentang revolusi. Dengan demikian, dalam perubahan dikenal dua istilah perubahan yang keduanya berkaitan dengan waktu, yaitu revolusi dan evolusi. Kedua istilah perubahan yang diperkenalkan ini memiliki limit waktu yang berbeda, yang pertama bergerak secara cepat sementara yang kedua bergerak lambat.
Hal yang ingin digarisbawahi dari kata revolusi atas seorang revolusioner adalah semangat menghargai waktu. Nah sekarang, coba tanyakan kepada semua orang tentang harga sebuah waktu. Tanyakan kepada pekerja harian pada sebuah perusahaan tentang makna sehari, tanyakan kepada penjaga rel kereta api, betapa bermaknanya satu jam bagi dirinya, tanyakan kepada mereka yang lolos dari sebuah kecelakaan yang merenggut banyak nyawa tentang betapa berharganya satu detik kehidupan mereka, atau tanyakan kepada seorang juara lari 100 m tentang berharganya waktu bagi mereka, seseorang yang mampu mengelola prestasi dalam hitungan detik, dalam hitungan waktu tertentu, maka tentulah mereka adalah seorang revolusioner sejati.
Lantas apa yang menyebabkan seseorang bisa berubah secara cepat ? misalnya dari sisi prilaku, yang tadinya nakal menjadi baik, sopan, dari yang sering menampakkan aurat jadi demikian santun menggunakan jilbab lebarnya, dari yang shalatnya di rumah kemudian berubah dan rajin sehingga shalat di masjid. Komitmen terhadap pilihan pilihan perubahannya. Sejarah Islam mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seseorang itu berubah, dan kemudian bersikap istiqomah atau Bagaimana Bilal Bin Rabah yang masuk Islam dan kemudian bersikukuh mempertahankan ke Islamannya, atau Umar bin Khatab, ra yang masuk Islam dalam waktu yang sebentar hanya karena mendengar adiknya tengah membaca Al Qur’an, atau dalam kurun waktu yang berbeda juga terdapat orang orang yang terbilang sukses dalam melakukan perubahan diri secara signifikan. Di antara banyak pelajaran yang dapat diambil, di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama; Perubahan adalah sebuah pilihan. Jika kita sering mendengar istilah status qua, konservatif, stagnan, kolot; istilah ini tentunya tidak ada dalam kamus berpikir seorang revolusioner.Seorang revolusioner yang hendak melakukan perubahan pada dirinya, menyadari bahwa perubahan perubahan yang berlaku pada dirinya adalah sesuatu hal yang dinamis, terus bergerak ke berbagai sector kehidupan, sekalipun hal hal yang bersifat prinsip tidak dilanggarnya.
Perubahan bagi seorang revolusioner adalah bahwa hari ini harus selalu jauh lebih baik dari hari sebelumnya, di sini lah cirri cirri seorang revolusioner, di mana ia selalu dinamis dalam menghadapi setiap persoalan hidup, baginya perubahan adalah proses bukan sebuah tujuan. Dan semua ini adalah sebuah pilihan sadar, sebuah pilihan yang mengandung banyak resiko diskriminasi social, pemenjaraan bahkan kematian adalah resiko sebuah perubahan bagi dirinya.
Kedua; Perubahan adalah sebuah proses. Dalam catatan berpikir seorang revolusioner, perubahan yang dilakukannya adalah sebuah proses, proses menjadi sesuatu yang jauh lebih baik, tidak penting menjadi apa, namun selama kebaikan menjadi hasil dari proses yang dilakukan maka itu jauh dari cukup.
Seorang revolusioner memandang bahwa perubahan yang dilakukan bukanlah pekerjaan singkat, sehingga ia bersungguh sungguh dalam meng-upgrade diri, berinteraksi dengan aktivitas kebaikan, dan terus menerus melakukan perubahan.
Ketiga, Seorang revolusioner adalah pembelajar sejati. Pembelajar sejati adalah seseorang yang senantiasa berpikir dan berikhtiar dalam melakukan banyak agenda perubahan, baginya menuntut ilmu tidaklah sebatas kebutuhan formal untuk sekedar diakui oleh lingkungan social, Melainkan bahwa pembelajar sejati itu adalah mereka yang berhasil memformat diri secara terus menerus untuk melakukan sebuah proses perubahan. Pembelajar sejati tidaklah selalu dimaknai dengan banyaknya buku bacaan di rumah, melainkan seberapa besar interaksinya dengan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya berinteraksi dengan buku.
Keempat, revolusioner adalah seorang yang paham akan potensinya. Diri seorang revolusioner terlepas dari sisi kemanusiaanya, maka ia adalah manusia yang tegar terhadap setiap ujian atas perubahan yang dilakukannya, tidak berkompromi dengan rasa malas, tidak berteman dengan pengaggum masa lalu, introvert dan sepi dari tradisi berlomba lomba.
Nah apakah saya seorang revolusioner sejati ? pertanyaan ini lah yang mengganjal diri saya, atas semua perubahan yang terjadia pada diri saya dan apa apa saja yang telah saya lakukan terhadap lingkungan saya, apakah saya adalah seorang revolusioner ? Lantas bagaimana dengan anda ?apakah anda termasuk mereka yang sadar akan kehidupannya yang akan senantiasa berubah, dan tidak pernah menunggu sampai kita bisa, tapi berproses menuju sebuah perubahan secara terus menerus, sebab tiada yang abadi di dunia ini selain dari pada perubahan itu sendiri.
Written By Denie

Atlas Pergerakan Mahasiswa Kota Bandung Terkini: QUO VADIS?

MAHASISWA itu agen perubahan. Setidaknya telah terbukti dalam perjalanan negeri ini. Kiprah para mahasiswa ini telah membawa negeri kepulauan ini tiba di depan pintu gerbang kemerdekaan pada tahun 1945. Kiprah penerusnya juga telah membawa pada perubahan rezim ketika tiba pada kemelut tahun 1965-1966. Dan terakhir, di era reformasi tahun 1998. Sedikit banyak, tekanan dari para mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR mampu menjatuhkan kekuasaan yang membelenggu selama tiga puluh tahun.
Kini apa kabar mereka? liputan di surat kabar hingga kini masih tetap memberitakan aktivitas mahasiswa. Hanya sebagian kecil yang bercerita tentang kisah kisah sukses: jadi sarjana termuda atau menemukan inovasi teknologi. Sisanya, tidak jauh dari berita itu itu juga. Aksi, demonstrasi dan unjuk rasa. Sisanya lagi lebih parah: berita narkoba, sex bebas dan kriminalitas yang melibatkan para intelektual muda ini.
Jika tujuh tahun lalu, para mahasiswa mampu bersama-sama, hampir di setiap tempat juga pada waktu yang bersamaan, mengusung satu isu: Reformasi dan mengganti rejim. Kini isu yang berkembang, cenderung menyempit dan melokal.
Lihat saja, di kampus UPI misalnya. Aktivis mahasiswanya berdemo soal pemilihan rektor yang dianggap tidak sesuai aturan. Atau di Kampus Fikom Unpad yang menuntut kejelasan dan praktikum dan kualitas dosen. Atau juga di ITB. Di sini mahasiswa Papua menyampaikan aspirasi kejadian di tanah leluhurnya. Intinya menyuarakan aspirasi sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Salahkah, tidak juga. Yang dapat ditangkap adalah para mahasiswa itu melihat ada persoalan dan persoalan itu harus diselesaikan.
Sedangkan isu lokal misalnya pembangunan pasar, judi dan korupsi. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) misalnya sangat bersemangat mengusung aksi yang minta dituntaskan kasus-kasus korupsi di provinsi jabar, pemkot dan juga di kab. Bandung seperti kasus Stadion Jalak Harupat. Sementara isu nasional, adalah soal BBM dan juga masih kasus-kasus korupsi.
Kenyataan yang tampak adalah, dalam aksi-aksi itu, mereka berjalan sendiri-sendiri. Betulkan mereka kini telah tercerai berai kembali?
Dalam diskusi yang dilaksanakan BIGS dengan tema Atlas Pergerakan Mahasiswa Kota Bandung Terkini dan dihadiri oleh sejumlah organisasi mahasiswa di Bandung, satu benang merah tersimpulkan: apapun kondisi yang terjadi, bagaimanapun situasi yang terkini, mahasiswa tetap bergerak untuk menyuarakan kebenaran versi mereka. Dan untuk bergerak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Hadir dalam acara yang digelar pada Selasa, 19 Juli 2005 di Kantor BIGS, perwakilan dari 12 organisasi mahasiswa di Kota Bandung. Mereka itu adalah dari GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Cabang Bandung, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Bandung, KAMMI (Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia) Daerah Bandung, PMII (Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), FMN (Front Mahasiswa Nasional) Cabang Bandung, HMR (Himpunan Mahasiswa Revolusioner) Universitas Pasundan dan, KPMB (Kesatuan Pergerakan Mahasiswa Bandung).
Sentral dalam perubahan
Hampir semua peserta diskusi sepakat, bahwa mahasiswa punya peranan yang besar dalam perubahan politik perjalanan bangsa ini. Termasuk gerakan mahasiswa yang berada di Bandung. Meskipun soal apakah mereka itu agent of change atau bukan masih perlu pembahasan lagi.
Didi Rahmad Suhardi Nazar dari KAMMI mengatakan hingga saat ini pihaknya masih sepakat dengan anggapan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Bahkan lebih dari itu, ia memandang mahasiswa juga sebagai stok masa depan bangsa. “Khusus KAMMI, kita juga menganggap gerakan mahasiswa sebagai dai dalam konteks keislaman,” katanya.
Senada, Apriyanto Wijaya dari GMNI. Katanya, bagaimanapun tidak bisa dinafikan bahwa kelompok mahasiswa merupakan komunitas yang sangat penting dalam proses perjalanan bangsa ini. “Dalam setiap babak perubahan bangsa, mahasiswa selalu menjadi pelopornya.
Apri kemudian memaparkan pandangan sejarahnya. Pada tahun 1908, kebangkitan nasional muncul melalui motor mahasiswa STOVIA. Tahun 1966 dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menumbangkan kekuasaaan Soekarno. Dan terakhir pada tahun 1998, perlawanan mahasiswa berhasil menumbangkan Soeharto dan menggulirkan reformasi. Dari situlah bisa disebut bahwa gerakan mahasiswa memang selalu memiliki semangat pembaharu.
Dan memang hampir semua sepakat soal ini. Dari ruang diskusi, hanya seorang yang menolak anggapan bahwa mahasiswa adalah agent of change. Syarif Aripin dari FMN mengatakan, sejatinya mahasiswa itu bukan siapa-siapa. Mahasiswa itu hanya orang muda yang punya kesempatan kuliah. “Dalam kegiatan pun, di luar kuliah, kalau tidak pacaran, nongkrong, kalau tidak nongkrong main ke pub. Itulah realitas yang terjadi kini,” katanya.
Meskipun demikian, Aripin tidak menolak bahwa mahasiswa bisa melakukan aksi untuk perbaikan. Dan itu tidak terbatas pada satu isu besar. Isu bisa lokal yang sejatinya terkait dengan isu nasional. Dan cara pun tidak perlu selalu dalam bentuk aksi. “Advokasi bisa berdampingan dengan aksi,” katanya.
Gerakan Politik
Hal lain yang muncul dalam diskusi itu adalah bahwa gerakan mahasiswa sekarang bukan hanya gerakan moral, tapi sudah menjadi gerakan politik. Alasannya aksi dan pengusungan isu tidak lepas dari soal kekuasaan dan kental muatan politisnya.
Maka dari itu dugaannya ada kolaborasi erat antara gerakan mahasiswa dengan elit partai menjadi sebuah keniscayaan. Setidaknya hal ini diungkapkan oleh mantan aktivis gerakan mahasiswa kota Bandung, Eko Arief Nugroho.
Eko mencontohkan aktivitas KAMMI, misalnya. Saat sebelum pelantikan kabinet presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), mereka habis-habisan menolak menteri yang neoliberalisme. “Tapi berikutnya berhenti aksinya karena PKS dapat tiga menteri. Itu fakta yang orang bisa lihat,” katanya.
Atau GMNI. Pada saat Megawati jadi presiden, mereka sangat sulit untuk aksi. Tidak pernah mau dan tidak pernah ikut-ikutan. Tapi hari ini GMNI merupakan salah satu pelopor oposisi terhadap SBY. “Salah satu contohnya salah satu presidiumnya tertangkap karena menginjak-injak gambar SBY,” katanya lagi.
Namun meskipun membenarkan Syaiful Huda, anggota DPRD Jabar yang mantan aktivis mahasiswa dari PMII tidak mengambil pusing soal ini.
Menurut dia dikotomi seperti ini tidak perlu diributkan. Yang penting itu, kata dia, apakah gerakan mahasiswa menjadi faktor yang membawa perubahan atau tidak. “Apakah moral atau politik itu hanya dinamika internal diantara mereka.
Menurut dia, pergeseran orientasi memang bisa menyisakan persoalan, namun tidak boleh dianggap sebagai suatu yang salah. “Bagaimanapun ini adalah proses dinamika,” kata fungsionaris PKB Jabar ini.
Bagi aktivis gerakan mahasiswa, tudingan aksi mereka menjadi bagian dari kolaborasi, atau kepanjangan elit parpol dibantah dengan keras. Semua menyatakan bahwa mereka tetap independen dalam menggalang aksi. Kalau ada kesamaan isu, itu faktor ‘kebetulan”.
Eko mengatakan tentu saja sah bagi aktivis menolak tudingan itu. Dalam struktur organisasi pun memang tidak ada dalam struktur parpol misalnya.
“Gerakan mahasiswa ‘ormas’ itu jelas pendukung rejim semua. Bisa ditunjukan siapa yang melawan rejim saat Orde Baru? tidak ada!” katanya.
Menurut dia, yang menarik adalah gerakan kecil tapi tetap vokal sejak jaman Soeharto sampai sekarang. Contohnya seperti FAMU di Unisba, HMR di UNPAS, KAU di Unpad. Untuk tingkat Bandung ada FKMB, FMN KPMB. Organisasi-organisasi itu terbentuk terlepas dari ormas.
“Tapi beda dengan sekarang. Sekarang ini arus sudah tidak terbatas. Semua berafiliasi. Termasuk juga gerakan informal di kampus tadi. Tapi bedanya dengan gerakan mahasiswa ‘ormas’, yang informal kampus ini tidak punya chanel yang lebih jelas. Jadi ke mana-mana.,” katanya.
Bagaimana pun Eko masih berpendirian, sejatinya gerakan mahasiswa itu mestinya gerakan moral yang steril dari kepentingan politik. Mereka itu menyuarakan apa yang tidak benar di hadapan mereka. “Biaya Praktikum yang tidak benar dilawan, walikota yang tidak benar dilawan, tidak perlu menunggu order dari elit politik,” katanya.
Kategorisasi
Kalau boleh disebut, sebetulnya penilaian ‘kuatnya’ orientasi politik ini muncul karena ada kategorisasi gerakan mahasiswa. Eko menyebut setidaknya ada dua arus besar dalam gerakan mahasiswa. Yakni ‘organisasi massa’ (Ormas) dan organisasi kampus. Kampus pun terbagi dua, formal yang diwakili Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan organisasi informal.
Organisasi informal ini yang disebut Eko di atas. Yakni FAMU di Unisba, HMR di UNPAS, KAU di Unpad. Untuk tingkat Bandung ada FKMB, FMN KPMB. Sedangkan yang disebut ormas antara lain HMI, GMNI, PMKRI dan PMII.
Menurut mantan juru bicara FMB pada saat reformasi tahun 1998 ini, GMNI itu jelas ada kaitannya dengan PDIP, HMI dengan Golkar, PMII dengan PKB meskipun sebagian ada yang ke PPP, dan yang baru, KAMMI itu jelas ke PKS.
Hampir senada, Tatang Mutaqqin mantan Koordinator Presidium Senat Mahasiswa Unpad. Hanya Tatang mengkategorikannya dalam tiga elemen gerakan, yakni gerakan mahasiswa berbasis agama, gerakan mahasiswa tidak berbasis agama dan gerakan mahasiswa berbasis di kampus.
Gerakan mahasiswa yang berbasis agama, seperti HMI, PMII, PMKRI, PMKI dan terbaru KAMMI memang sering dikaitkan dengan alumninya yang sudah tersebar di pusat-pusat kekuasaan. Bahkan ini sering jadi stigma negatif. Misalnya dengan adanya istilah HMI-connections. “Namun kadangkala hal ini juga bisa bernilai positif untuk menarik kader baru,” katanya.
Kondisi terkini
Kondisi saat ini jelas telah berubah dengan masa ketika reformasi. Bahwa gerakan mahasiswa masih ada adalah betul. Bahwa mereka bercerai berai?
“Adalah naif dan sadis kalau disebut gerakan mahasiswa sekarang sudah tercerai berai. Orang yang bilang begitu adalah lulusan cum laude universitas orde baru fakultas intrik,” tandas Aprianto dari GMNI.
Tapi kenyataan memang bicara begitu. Hampir setiap organisasi mahasiswa, entah itu dari kampus, formal maupun informal, juga gerakan mahasiswa ‘ormas’ seolah berjalan sendiri-sendiri, termasuk dalam mengusung isu.
Ini pula yang dilihat oleh Syaiful Huda. Bahkan Huda bukan hanya melihat perpecahan, atau dalam istilahnya terfragmentasi, tapi juga terjadi stagnasi di tubuh gerakan mahasiswa. Dan akibatnya, kondisi ini telah menjadi salah faktor penghambat dalam lingkup yang lebih luas. “Kita jadi terhambat melampaui transisi demokrasi,” katanya.
Sementara Tatang Mutaqqin melihat bahwa gerakan mahasiswa saat ini menunjukan kecenderungan kompetisi yang komplikatif dan tidak sehat. “Alih-alih bersinergi melawan ketidakadilan, korupsi dan kejahatan kemanusiaan yang sering dilakukan oleh para penguasa, aktivis gerakan mahasiswa sibuk membuat strategi berkompetisi di antara mereka sendiri sehingga arah gerakan mahasiswa menjadi involutif dan kontradiktif,” katanya.
Lantas perlukah bersatu? Menurut Eko bersatu itu terlalu berlebihan. Bahkan sejatinya kalaupun pernah bersatu, itu adalah semu. Pada tahun 1998 misalnya, mahasiswa bisa bersatu bukan lantaran mahasiswanya tapi karena elitnya bersatu.
Menurut Eko, saat itu sebagai aktivis merasa sok jagoan bisa mengorganisir ribuan orang. “Saya baru mengerti sekarang. Ada invisible hand di luar mahasiswa yang beroperasi terus menerus. Tiba tiba ada reformasi dan tiba-tiba saja Soeharto jatuh. Artinya ada konspirasi dari luar, dan mahasiswa menjadi bagian dari alat konspirasi itu,” katanya.
Kondisi sekarang tidak jauh berbeda. Kampus pun tidak lepas dari ajang konspirasi. Ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa hampir semua BEM di Bandung dikuasai KAMMI, artinya agenda PKS pun sudah masuk ke sana.
Karena itu, hal paling penting, kata Eko, mahasiswa perlu menyadari bahwa mereka itu sering dijadikan alat konspirasi. Maka dari itu setiap elemen perlu mengadakan kontempelasi. “Apa esensi sebuah gerakan perlu terus menerus didiskusikan. Dan ini yang jarang terjadi sekarang,” katanya.
Sementara itu, Syaiful Huda melihat penyatuan gerakan mahasiswa memang tidak perlu dalam kerangka diunifikasi. Banyak pengalaman pahit yang terjadi dalam proses unifikasi ini.
“Mungkin lebih tepat mensinerjikan.
Ada
kesadaran pada saat tertentu harus bersatu dengan agenda dan isu yang sama. Tapi ada pada saat tertentu kita tidak harus bersama sesuai dengan agenda dan keunikan masing-masing. Sinerji berbasis keunikan itu yang saya kira ke depan menjadi kekuatan politik yang bisa mengawal transisi demokrasi saat ini,” katanya

Organisasi Mahasiswa Cenderung Terjuni Politik Praktis

Manokwari - Syahruddin Makki, mantan aktivis mahasiswa UNIPA diawal 90-an yang kini tercatat sebagai anggota DPRD Papua Barat mengakui, telah terjadi pergeseran orientasi politik mahasiswa dari politik moral ke politik praktis.
Baginya hal ini berlaku tak hanya disentra pergerakan mahasiswa di Jakarta, Bandung, Makassar, namun orientasi politik semacam itu juga mulai merambah aktivis mahasiswa di Manokwari. ”Seharusnya mahasiswa hanya memainkan fungsi kontrol sosial. Jadi tak ideal jika ada organisasi atau aktivis mahasiswa yang baik secara langsung maupun tidak berafliasi ke kepentingan politik tertentu,” kata Makki saat di temui Cahaya Papua, Sabtu (17/11)
Dalam konteks politik lanjut Makki, mahasiswa seharusnya berperan sebagai kekuatan moral (Moral Force), bukan malah berorientasi pada kekuasaan politik praktis. Makanya ia menegaskan, ukuran organisasi mahasiswa dan pergerakan mahasiswa dalam bingkai gerakan moral hanya ditentukan oleh independensinya. ”Kalau berafliasi ke parpol tertentu, jelas tak bisa disebut independen. Kalau tidak independen jelas bukan kekuatan moral,” tandas pengusaha ini.
Faktanya, tak dapat dipungkiri jika hal yang dibahasakan Makki tersebut terjadi di Manokwari, banyak kali kegiatan parpol tertentu dihadiri mahasiswa dari organisasi mahasiswa tertentu, misalnya PKS yang selalu setali tiga uang dengan KAMMI. ”Kalaupun aktivisnya mengelak itu hanya alasan pembenar saja, tapi faktanya memang seperti itu,” tandas Dina, M.L, Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) Manokwari.
Dina menafsirkan independensi mahasiswa menjadi 2 bagian, pertama independensi etis dan kedua independensi organisatoris. “Independensi etis maksudnya mahasiswa hanya berorientasi pada kebenaran, ini turunan dari watak mahasiswa yang merdeka dan radikal, dan hanya tunduk pada hati nuraninya. Sementara independensi organisatoris maksudnya organ mahasiswa tidak boleh menjadi underbouw dari partai atau kepentingan politik manapun, ini turunan dari independensi etis,” sebutnya. Ia menyebut lembaga yang ia pimpin tunduk pada dua doktrin ini.
Menjelang pemilu 2009, tarikan politik terhadap organisasi kemahasiswaan memang besar, bukan hanya karena mereka memiliki massa yang riil. Namun di satu sisi memiliki sumber daya yang mumpuni dalam menggerakkan masyarakat.
Mestinya Jadi Cermin
Idealkah ? ‘Forum Kota’, organisasi paling revolusioner di Jakarta di masa – masa reformasi, akhirnya “habis” setelah partai yang mereka sokong (PRD) keok di pemilu 1999. CGMI organisasi mahasiswa PKI di era 60-an juga keok setelah PKI rontok pasca tumbangnya rezim orde lama.
Menurut Dina, pengalaman tersebut mestinya menjadi cermin bagi organisasi dan aktivis mahasiswa yang berafliasi ke parpol bahwa interdependensi justru menjadi bumerang bagi eksistensi lembaga (organisasi ) kemahasiswaan.
Sayangnya, menjelang pemilu 2009 beberapa partai politik bahkan melembagakan kepentingan politiknya hingga ke kampus, sebut saja Partai Bintang Reformasi (PBR) yang sekarang membentuk Kesatuan Aksi lintas Mahasiswa (KALAM). ”Organisasi semacam itu tidak akan bertahan lama,” tandas Dina, Sabtu (17/11).
Menurut wanita ini, banyak juga pihak yang menafsirkan jika independensi bukan berarti tidak berpihak. ”Justru independensi mahasiswa berarti keberpihakan total pada kebenaran, atau misalnya bagi rakyat yang tertindas,” katanya. Ia juga menyerukan pentinganya menolak politisasi kampus.

Pengibaran Bintang Kejora Buktikan Separatisme Masih Ada

Selasa, 12 Agustus 2008 - 08:45 AM

Jakarta, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso menyatakan, pengibaran bendera Bintang Kejora di Wamena, bukti masih adanya kegiatan separatisme di Papua.

"Pengibaran bendera selain ’Merah Putih’ di Republik ini, jelas bentuk separatisme," katanya usai menghadiri seminar "Strategi Keamanan Menjelang Pemilu 2009" di Jakarta, Selasa.

Terkait insiden Wamena, Djoko menegaskan, TNI belum akan mengirimkan pasukan tambahan ke Papua. "Insiden itu lebih pada persoalan hukum, jadi kita serahkan saja penanganannya pada kewenganan hukum," ujarnya.

Sabtu (9/8), peringatan Hari Penduduk Pribumi Sedunia di Wamena, Papua, yang digelar kelompok Dewan Adat Papua (DAP) yang semula berlangsung tertib berakhir rusuh menyusul pengibaran tiga bendera, Merah Putih, bendera PBB, dan bendera Bintang Kejora.

Ketika akan diturunkan oleh anggota (polisi), tiba-tiba ada sekelompok orang yang melempar anggota dengan batu. Bahkan, Kepala Kepolisian Resor Wamena Ajun Komisaris Besar Azis terkena panah di sepatunya.

Situasi makin memanas, hingga Anthonius Tabuni (40), warga asli Papua, tewas. Terkait itu, Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Mabes Polri, Senin (11/8), menyelidiki penyebab tewasnya Anthonius dengan mengirimkan tim khusus yang terdiri atas bagian reserse, intel, serta tim laboratorium dan forensik.

(sumber: kompas)

Agustus 11, 2008

PRESS KAMPUS

ORGANISASI yang baik, organisasi yang berisikan orang atau sumber daya manusia (SDM) yang mempunyai tujuan
sama. Adanya kesatuan tekad dan suatu komponen yang saling mendukung satu sama lain, sehingga menciptakan
suasana kerja yang harmonis di dalam tataran yang dinamis. Pers kampus, sebagai bentuk organisasi mandiri
idealnya harus lembaga yang mampu memberikan informasi yang jernih dan akurat. Tanpa ada manipulasi sedikit pun,
sekaligus menghapus bayang-bayang kediktatoran penguasa yang selama ini mengintervensi segala bentuk kekritisan.
Baik di dalam tataran universitas maupun di lingkungan masyarakat luas umumnya.
Permasalahan signifikan yang dihadapi pers kampus dalam perjuangannya, tidak bisa dipungkiri masalah modal dan
ruang. Adanya modal, akan tercipta ruang untuk berkreasi. Modal adalah unsur sentral di dalam perjalanan sebuah
media penerbitan, di manapun. Modal berkaitan dengan uang (money), dan uang adalah suatu bentuk kekuasaan.
Tidak dapat dipungkiri, uang telah menjadi titik penentu sebuah kekuasaan dewasa ini, dibuktikan dengan sebuah realita
di masyarakat yang menjadikan uang sebagai jangkar untuk menyambung kehidupan. Alhasil, semuanya tidak ada
yang tidak mungkin kalau sudah berbicara tentang uang, kecuali masalah kasih sayang dan kebahagiaan. Orang bijak
berkata, uang bukan segalanya, tapi tidak bisa dibohongi juga bahwa segalanya membutuhkan uang, minimal untuk
sebuah tahta dan jabatan. Kembali ke permasalahan pers kampus yang merupakan basic social di masyarakat. Kinerja
pers kampus sedikit banyak melibatkan uang di dalamnya (modal), mulai dari biaya administrasi, liputan sampai ke
ongkos percetakan. Selebihnya idelogi dan kerja keras yang menjadi harga mati dari sebuah pers kampus. Modalnya
tidak lain kucuran dana segar dari pihak rektorat, sebagai birokrat tertinggi di kampus. Bila dihitung secara matematis,
umumnya dana yang diperoleh dari pihak universitas tidak sesuai beban yang harus ditanggung. Sebagai jantung
informasi dan wadah aspirasi mahasiswa, pers kampus harus tetap eksis dan selalu hadir tepat waktu, dalam
memberikan informasinya dengan dana yang pas-pasan. Sehingga para pengurusnya harus memutar otak, kiri-kanan
mencari solusi terbaik untuk tetap bertahan. Pers kampus harus membakar lidahnya sendiri ketika pemodal (rektorat)
membatasi kinerja. Demi kelangsungan hidupnya sebuah pers kampus banyak yang menodai ideologinya sendiri, sangat
disayangkan. Tidak ada uang, maka ruang pun terancam. Mempertahankan ideologi Sebagai organisasi yang bisa
dikatakan independen, modal utama sebenarnya bukan uang semata, tapi sebuah pemikiran yang logis dan kritis, kerja
keras menuju sebuah perubahan ke depan. Sebuah pergerakan yang dinamis dan keinginan yang kuat, itulah modal
utama yang sebenarnya. Dan dari situ pers kampus dapat mengembangkan dirinya sesuai kreativitasnya, untuk keluar
dari bayang-bayang penguasa kampus. Masuk ke dalam dunia bisnis media, adalah salah satu jalannya, jelasnya
dengan memperbanyak iklan dan sponsor. Namun, permasalahan utamanya akan kehilangan identitas dan jati dirinya
sebagai pers mahasiswa menjadi pers komersial. Ini umumnya yang selalu menjadi pertimbangan dari kawan-kawan
pers kampus, yang ingin mencoba terjun ke dunia bisnis media. Sekali terjebak dalam dunia bisnis, ideologi akan
dipertaruhkan. Ideologi yang menekankan, pers kampus adalah sebuah media mahasiswa alternatif dan pergerakan
yang menjauhkan diri dari segala bentuk interpensi, terutama pihak pemodal dan kaum kapitalis. Solusinya, sebagian
tidak bisa menutup diri terhadap dunia bisnis. Namun penetapan batasan yang jelas menjadi kuncinya, selama tidak
mengubah dan merusak tatanan dalam pers kampus itu sendiri. Ini sudah semestinya dijalankan. Media pergerakan
Pergerakan mahasiswa tidak bisa dipungkiri, telah melibatkan pers kampus di dalamnya. Sebab, sebagai wadah aspirasi
mahasiswa, pers kampus merupakan perwujudan dari sikap mahasiswa yang ingin menata sebuah sitem dinamis, dan
bebas dari bentuk interfensi apapun. Setiap pergerakan mahasiswa mempunyai jalur dan bentuk yang berbeda.
Sebuah forum pergerakan mahasiswa tentunya menjadikan ajang demonstrasi sebagai media untuk melakukan
pergerakannya. Namun, pers kampus mempunyai jalur dan bentuk tersendiri, bukan melalui demonstrasi lapangan, tapi
pemberitaan dan penelusuran . Meski sering disebut bermain di balik layar dari sebuah pergerakan mahasiswa, namun
kerja pers kampus sama beratnya dengan pergerakan dan aksi lapangan semacam demonstrasi. Apalagi, dengan
tuntutan harus menyampaikan informasi sejernih dan seakurat mungkin, pers kampus harus peka dan lebih berani
daripada semua elemen pergerakan mahasiswa umumnya. Seperti kata pepatah, mata pena lebih tajam dari mata
pedang, mungkin itulah yang menjadi kelebihan pers kampus. Sejalan dengan perkembangan zaman, selain menjadi
mediator informasi dalam tataran kampus, keberadaan pers kampus sudah diklaim sebagai pers alternatif yang
menyokong keberadaan pers umum yang lebih dulu mewahana di tengah masyarakat. Untuk itu, kinerja dan kualitas
pers kampus harus tetap mencerminkan kenetralan dalam menghadapi setiap permasalahan dan fenomena yang terjadi
di lingkungannya, baik di dalam dunia kampus maupun kondisi real di masyarakat luas, tanpa terkontaminasi
kepentingan pihak manapun. Pemikiran jernih dari mahasiswa, dalam hal ini komponen pembentuk pers kampus, modal
utama yang harus dipertahankan. Selain semangat yang menggelora untuk menuju perubahan yang lebih baik.
Sebagai organisasi dengan sistem kepengurusan estafet dan pengkaderan, penanaman ideologi merupakan langkah
utama yang harus ditempuh untuk tetap mempertahankan kinerja pers kampus, dan tentunya dengan peningkatan skill
dan kualitas. Dengan begitu, pers kampus akan tetap menjadi pers alternatif dan media pergerakan mahasiswa yang
selalu menyuarakan perubahan ke arah yang lebih baik. Semua itu sebuah tantangan yang sulit bagi pers kampus di
tengah keruhnya peta politik dalam maupun luar kampus. Namun, selama mahasiswa menyadari fungsinya, pers
kampus akan terjamin untuk tetap eksis dan lebih baik dari masa ke masa. Sebab, mahasiswa itu sendiri bukanlah
sekelompok orang yang hanya mendengarkan kuliah dari dosennya di kelas, dan membanggakan seberapa banyak
buku yang telah dibaca. Namun mahasiswa perwujudan dari orang-orang yang melihat dengan berbagai arah mata
angin kepada setiap permasalahan di lingkungannya. Sekaligus mencari solusi dari permasalahan itu. Pers kampus
adalah bentuk dan wadah dari perwujudan itu.

Tentang Penilaian Revolusi Rusia

V.I. Lenin (1908)

Sumber: W.I.Lenin, Kumpulan Karya Edisi Rusia Keempat, jilid 15, hal. 35-47

Penerjemah: Diketik kembali untuk Situs Indo-Marxist dari buku Yayasan ”Pembaruan” Jakarta 1960 dengan sedikit perubahan ejaan.

Tidak seorangpun di Rusia kini kiranya akan memimpikan sesuatu revolusi menurut ajaran Marx. Ini, atau kira-kira begini, tidak lama berselang dinyatakan oleh suatu suratkabar liberal – bahkan yang hampir demokratis – malahan yang hampir Sosial-Demokratis – (Mensyewik), Stolicnaya Pocta. Dan untuk secara adil menilai para penulis pernyataan ini, orang harus mengatakan bahwa mereka dengan tepat telah menangkap hakekat dari kecenderungan dalam politik dewasa ini dan dari sikap terhadap pelajaran-pelajaran revolusi kita, yang tak disangsikan merajalela di kalangan lingkungan-lingkungan paling luas dari kaum intelek, kaun filistin yang berpendidikan separo-separo dan barangkali juga di banyak lapisan burjuasi kecil yang samasekali tidak berpendidikan.

Dalam pernyataan ini diperlihatkan tidak hanya kebencian terhadap Marxisme pada umumnya, dengan keyakinannya yang tak menyimpang tentang misi revolusioner proletariat dan kesiapannya sepenuh hati untuk mendukung sebarang gerakan revolusioner massa luas, untuk mempertajam perjuangan dan untuk membawanya sampai selesai. Tidak itu saja. Di dalam pernyataan itu diperlihatkan pula kebencian terhadap cara-cara perjuangan, bentuk-bentuk aksi, dan taktik yang baru-baru saja betul-betul teruji dalam praktek sesungguhnya dari revolusi Rusia. Semua kemenangan – atau lebih tepat setengahkemenangan-setengah kemenangan, seperempatkemenangan-seperempatkemenangan – yang revolusi kita peroleh itu, telah dicapai seluruhnya dan semata-mata berkat desakan revolusioner langsung dari proletariat yang sedang berbaris memimpin elemen-elemen non-proletar dari Rakyat pekerja. Semua kekalahan disebabkan oleh melemahnya desakan seperti itu, oleh taktik mengelakkannya, taktik yang didasarkan atas tidak adanya desakan ini, dan kadang-kadang (di kalangan kaum Kadet) atas usaha meniadakannya secara langsung.

Dan kini, dalam periode mengamuknya represi kontra-revolusioner, kaum filistin sedang menyesuaikan diri dengan cara pengecut kepada raja-raja baru dari kehidupan, dengan menjilat pantat pada khalif-khalif baru buat sejam, dengan membuang yang sudah-sudah, dengan mencoba melupakannya, dengan meyakinkan diri dan orang-orang lain bahwa tidak seorangpun di Rusia kini memimpikan untuk membuat suatu revolusi menurut ajaran Marx, tidak seorangpun memimpikan “diktatur proletariat” dan seterusnya.

Dalam revolusi-revolusi lain dari burjuasi, kemenangan fisik dari kekuasaan lama atas Rakyat yang memberontak selamanya juga membangkitkan kesabaran hati dan demoralisasi di antara lingkungan-lingkungan luas masyarakat “terpelajar”. Akan tetapi di antara partai-partai burjuis yang telah berjuang sesungguhnya untuk kebebasan, yang telah memainkan peranan yang sedikit banyaknya esensiil dalam peristiwa-peristiwa revolusioner sejati, selamanya ternyata timbul ilusi-ilusi kebalikan dari apa yang kini merajalela di tengah-tengah kaum filistin intelek di Rusia.Itu adalah ilusi tentang kemenangan yang tak dapat tidak, segera dan lengkap dari “kebebasan, persamaan dan persaudaraan”, ilusi-ilusi tentang sesuatu republik bukan dari burjuasi melainkan dari seluruh umatmanusia, suatu republik yang akan melaksanakan perdamaian di dunia dan kemauan baik di kalangan manusia. Itu adalah ilusi-ilusi tentang tak adanya perbedaan-perbedaan klas pada Rakyat yang tertindas oleh monarki dan tata-aturan abad pertengahan, tentang tak mungkinnya mengalahkan suatu “ide” dengan cara-cara kekerasan, mengenai pertentangan mutlak dari feodalisme yang telah usang dengan sistim republik demokratis bebas yang baru, yang watak burjuisnya samasekali tidak diinsyafi, atau diinsyafi hanya secara sangat samar-samar.

Oleh karena itu dalam periode-periode kontra-revolusi wakil-wakil proletariat yang dalam kreasinya telah sampai pada pendirian Sosialisme ilmiah, terpaksa bertempur (seperti, misalnya, Marx dan Engels bertempur dalam tahun 1850) melawan ilusi-ilusi kaum republiken burjuis, melawan difahaminya tradisi-tradisi revolusi dan hahekatnya secara idealis, melawan frase-frase dangkal yang menggantikan kerja tabah dan serius di dalam klas tertentu. Di negeri kita persoalannya adalah sebaliknya. Kita tidak melihat ilusui-ilusi republikenisme primitif yang menghalang-halangi urusan vital dari diteruskannya kegiatan revolusioner dalam syarat-syarat yang baru dan yang telah berubah. Kita tidak melihat usaha melebih-lebihkan arti suatu republik, usaha mengubah semboyan yang perlu ini dari perjuangan melawan feodalisme serta monarki menjadi semboyan setiap dan segala macam perjuangan untuk kebebasan bagi semua mereka yang bekerja dan dihisap pada umumnya. Kaum Sosialis-Revolusioner dan grup-grup sesaudaranya, yang memelihara ide-ide seperti itu, tinggal segenggam saja, dan periode tiga tahun topan revolusioner (1905-1907) telah memberikan mereka – sebagai ganti kegemaran yang tersebar luas terhadap republikenisme – suatu partai baru dari kaum flistin yang oportunis, kaum Enes [31], suatu peningkatan baru dalam perdurhakaan dan anarkisme anti-politik.

Di Jerman filistin, pada keesokan harinya sesudah desakan pertama revolusi dalam tahun 1848, ilusi-ilusi kaum demokrat republiken burjuis-kecil memperlihatkan diri secara menyolok. Di Rusia filistin, pada keesokan harinya sesudah desakan revolusi tahun 1905, memperlihatkan diri dengan menyolok, dan masih terus memperlihatkan diri ilusi-ilusi oportunisme burjuis kecil, yang berharap akan mencapai suatu kompromi tanpa perjuangan dan sesudah kekalahan pertama bergegas menanggalkan masa silam mereka sendiri, meracuni suasana kemasyarakatan dengan kecabaran, kekecilan hati dan keregatan.

Teranglah bahwa perbedaan ini timbul dari perbedaan dalam sistim sosial dan dalam keadaan-keadaan historis dari kedua revolusi itu. Akan tetapi persoalannya bukanlah supaya massa penduduk burjuis-kecil di Rusia berada dalam keadaan pertentangan yang kurang tajam dengan orde lama. Justru sebaliknya. Kaum tani kita sudah dalam tingkat permulaan sekali dari revolusi Rusia melahirkan suatu gerakan agraria yang tak terbandingkan lebih perkasa, tegas, dan sadar politik daripada gerakan-gerakan yang lahir dalam revolusi-revolusi burjuis sebelumnya dari abad XIX. Persoalannya yalah bahwa lapisan sosial yang merupakan inti dari kaum demokrat revolusioner di Eropa – ahli-ahli pekerjaan tangan di kota-kota, burjuasi kota dan burjuasi kecil – di Rusia pasti harus membelok pada liberalisme kontra-revolusioner. Kesadaran politik proletariat Sosialis, yang bergerak berpegangan tangan dengan tentara revolusi Sosialis internasional di Eropa, semangat revolusioner yang ekstrim dari si-muzyik, yang didorong oleh penindasan berabad-abad dari tuantanah-tuantanah pemilik hamba keadaan putus-asa samasekali dan kepenuntutan konfiskasi terhadap tanah-tanah milik tuantanah – inilah sebab-sebab yang melemparkan kaum liberal Rusia ke dalam pelukan kontra-revolusi jauh lebih kuat daripada yang terjadi dengan kaum liberal Eropa. Dan olehkarenanya kepada klas buruh Rusia telah berpindah dengan kekuatan istimewa tugas memelihara tradisi-tradisi perjuangan revolusioner yang kaum intelekt dan kaum filistin sedang bergegas untuk melepaskannya, tugas mengembangkan dan memperkuat tradisi-tradisi ini, memasukannya ke dalam kandungan kesadaran massa luas Rakyat, dan memindahkannya ke pasang naik berikutnya dari gerakan demokratis yang takterelakkan.

Kaum buruh itu sendiri secara spontan sedang melaksanakan justru garis ini. Terlalu bersemangat mereka sudah hidup mengalami perjuangan besar dalam bulan-bulan Oktober dan Desember. Terlalu jelas mereka telah lihat perubahan dalam keadaan hidup mereka hanya berhubung dengan perjuangan revolusioner yang langsung itu. Kini mereka berbicara, atau, setidak-tidaknya, mereka merasa, seperti tukang tenun yang menulis dalam sebuah surat kepada majalah serikatburuhnya it u: “Pemilik-pemilik pabrik telah merampas apa yang kita menangkan, mandur-mandur sekali lagi seperti dulunya menghina kita, tunggu saja, tahun 1905 akan datang lagi”.

Tunggu saja, tahun 1905 akan datang lagi. Begitulah kaum buruh melihat soal-soal. Bagi mereka tahun perjuangan itu memberi satu teladan dari apa yang harus dilakukan. Bagi kaum intelek dan kaum filistin yang suka akan kerenegatan tahun itu adalah “tahun edan”, suatu contoh dari apa yang tak boleh dilakukan. Bagi proletariat pengolahan kembali dan usaha dicernakkannya secara kritis pengalaman revolusi itu harus terletak dalam hal supaya belajar bagaimana mentrapkan cara-cara perjuangan waktu itu dengan lebih berhasil, sehingga membuat perjuangan pemogokan Oktober yang sama dan perjuangan bersenjata Desember yang sama itu lebih luas, lebih terpusat dan lebih sadar. Bagi kaum liberal kontra-revolusi, yang menyeret kaum intelek renegat pada tali, usaha mencernakkan pengalaman revolusi itu harus berupa usaha meniadakan untuk selama-lamanya sifat impulsif “yang naif” dari perjuangan massa yang “liar”, dan menggantinya dengan pekerjaan konstitusionil yang “berekebudayaan dan beradab”, di atas dasar “konstitusionalisme” Stolipin.

Hari ini semua dan segenap orang sedang berbicara tentang dicernakan dan dinilainya secara kritis pengalaman revolusi. Tentang itu berbicara kaum Sosialis dan liberal. Tentang itu berbicara kaum oportunis dan kaum Sosial-Demokrat revolusioner. Akan tetapi tidak semua memahami bahwa justru antara kedua lawan yang disebut di atas itulah berayun-ayun segala resep yang beraneka ragam dari usaha mencernakkan pengalaman revolusi itu. Tidak semua mengajukan dengan jelas persoalan: pengalaman perjuangan revolusionerkah yang mesti kita cernakkan, dan membantu massa untuk mengcernakkannya, demi perjuangan yang lebih sabar, lebih tabah dan lebih tegas, atau “pengalaman” perngkhianatan Kadet terhadap revolusikah yang harus kita cernakkan dan teruskan kepada massa?

Karl Kautsky mendekati persoalan ini dalam aspek teoritisnya yang fundamental. Dalam edisi kedua dari karangannya yang terkenal, “Revolusi Sosialis”, yang telah diterjemahkan ke dalam semua bahasa Eropa yang penting, ia membuat sejumlah tambahan dan amandemen yang menyinggung pengalaman revolusi Rusia. Kata pendahuluan untuk edisi ke dua tertanggal Oktober 1906; jadinya penulis itu sudah mempunyai bahan-bahan untuk menyatakan konsepsi bukan saja mengenai “topan dan desakan” tahun 1905, melainkan juga mengenai peristiwa-peristiwa utama dalam “periode Kadet” dari revolusi kita, mengenai zaman antusiasme umum (hampir umum) berhubung dengan kemenangan-kemenangan pemilihan kaum Kadet dan dengan Duma Pertama.

Persoalan-persoalan apa dalam revolusi Rusia, jadinya, yang dianggap Kautsky cukup besar dan pokok, atau sekurang-kurangnya cukup penting utnuk memberikan bahan-bahan baru bagi seorang Marxis yang pada umumnya mempelajari “bentuk-bentuk dan senjata-senjata revolusi sosial” (sebagaimana bunyi judul dari pasal 7 dalam karangan Kautsky, yaitu justru dari pasal yang dilengkapi sesuai dengan pengalaman tahun 1905-1906)?

Penulis itu mengambil dua persoalan.

Pertama, persoalan susunan klas dari kekuatan-kekuatan yang mampu mencapai kemenangan dalam revolusi Rusia, dengan membuatnya suatu revolusi yang jaya sesungguhnya.

Kedua, persoalan artipenting dari bentuk-bentuk paling tinggi dari perjuangan massa itu – paling tinggi menurut enersi revolusioner dan menurut watak militansinya – yang dilahirkan oleh revolusi Rusia, yaitu perjuangan dalam bulan Desember, yakni pemberontakan bersenjata.

Sebarang Sosialis (dan teristimewa seorang Marxis) yang bersikap sedikit-banyaknya memikir-mikirkan terhadap peristiwa-peristiwa revolusi Rusia pasti harus mengakui bahwa ini sesungguhnyalah merupakan persoalan –persoalan pokok dan fundamentil dalam menilai revolusi Rusia, dan juga dalam menilai garis taktik yang diharuskan kepada suatu partai buruh oleh duduknya persoalan dewasa ini. Kalau kita tidak dengan sepenuhnya dan jelas memahami klas-klas mana yang mampu, berkat syarat-syarat ekonomi obyektif, membuat revolusi burjuis Rusia jaya, maka segala kata-kata kita tentang berusaha membuat revolusi itu jaya akan merupakan frase-frase kosong, deklamasi demokratis melulu, dan taktik kita di dalam revolusi burjuis akan takterelakkan menjadi tidak berprinsip dan goyang.

Di pihak lain, untuk secara konkrit menetapkan taktik suatu partai revolusioner pada saat-saat yang paling membadai dari krisis nasional umum yang sedang dialami negeri, adalah jelas tidak cukup semata-mata menunjuk pada klas-klas yang mampu bertindak dalam semangat penyelesaian revolusi dengan jaya. Periode-periode revolusioner berbeda dari apa yang disebut perkembangan damai, dari periode-periode ketika syarat-syarat ekonomi tidak menimbulkan krisis-krisis mendalam, dan tidak melahirkan gerakan-gerakan massa yang perkasa, justru dengan hal, bahwa bentuk-bentuk perjuangan dalam periode-periode tipe pertama tak terelakkan adalah jauh lebih beraneka ragam, dan perjuangan revolusioner langsung dari massa lebih berdominasi dari kegiatan-kegiatan propaganda serta agitasi yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin di dalam parlemen, di dalam pers, dst.

Oleh karenanya kalau, dalam menilai periode-periode revolusioner, kita membatasi diri dalam mendefinisi garis aktivitas berbagai-bagai klas, tanpa menganalisa bentuk-bentuk perjuangannya, maka pertimbangan kita dalam arti ilmiah akan menjadi tidak lengkap dan tidak dialektis, sedangkan dari sudut pendirian politik praktis ia akan merosot menjadi pertimbangan panjang-lebar yang mengandung ajaran-ajaran susila yang membosankan, yang mati (dengan mana, kami boleh berkata dalam tanda kurung, kawan Plekhanov terus berpuas diri untuk sembilan persepuluh bagian dalam tulisan-tulisannya tentang taktik-taktik Sosial-Demokrasi dalam revolusi Rusia).

Untuk menilai revolusi betul-betul secara marxis sejati, dari sudut pendirian materialisme dialektik, orang harus menilainya sebagai perjuangan dari kekuatan-kekuatan sosial yang hidup, yang ditempatkan dalam syarat-syarat obyektif yang tertentu, yang bertindak dengan cara tertentu dan banyak atau sedikit berhasil mentrapkan bentuk-bentuk perjuangan yang tertentu. Di atas dasar analisa seperti itulah, dan, sudah barang tentu, hanya di atas dasar itu, adalah samasekali wajar, lebih-lebih, mutlak perlu bagi seorang Marxis untuk menilai juga segi teknik dari perjuangan, persoalan-persoalan tekniknya.Mengakui sesuatu bentuk tertentu dari perjuangan dan tidak mengakui keharusan mempelajari segi tekniknya, adalah laksana kita mengakui keharusan ikut serta dalam pemilihan-pemilihan khusus, dengan mengabaikan undang-undang yang menetapkan teknik dari pemilihan-pemilihan ini.

Mari kita terus kini kepada jawaban yang diberikan Kautsky kepada kedua persoalan yang disebut di atas, yang, seperti kita ketahui, menimbulkan perdebatan yang sangat berkepanjangan serta hangat di antara kaum Sosial-Demokrat Rusia selama seluruh masa revolusi, mulai dengan musim semi tahun 1905, ketika Kongres Bolsyewik Ketiga dari PBSDR di London dan Konperensi Mensyewik pada waktu itu juga di Jenewa meletakkan prinsip-prinsip dasar dari taktik-taktiknya di dalam rsolusi-resolusi yang saksama, dan berakhir dengan Kongres Fusi PBSDR di London pada musim semi tahun 1907.

Terhadap persoalan pertama Kautsky memberi jawaban berikut. Di Eropa Barat, katanya, proletariat merupakan massa luas penduduk. Oleh karenanya kemenangan demokrasi di Eropa dewasa ini berarti kekuasaan politik dari proletariat. “Di Rusia dengan penduduk taninya yang berdominasi, ini tak dapat diharapkan. Tentu saja, kemenangan Sosial-Demokrasi di hari depan yang dekat-dekat” (dalam bahasa Jermannya, absehbar, yaitu, yang dapat ditinjau, dapat dilihat sebelumnya) “tidak dikecualikan di Rusia juga: akan tetapi kemenangan itu hanya dapat berupa hasil dari suatu persekutuan (Koalition) dari proletariat dankaum tani”. Dan Kautsky bahkan menyatakan pendapat bahwa kemenangan seperti itu kiranya akan dengan takterelakkan memberikan dorongan hebat ke arah revolusi proletar di Eropa Barat.

Demikianlah kita lihat, bahwa konsep revolusi burjuis bukanlah suatu defenisi yang mencukupi dari kekuatan-kekuatan yang dapat mencapai kemenangan dalam revolusi seperti itu. Revolusi-revolusi burjuis mungkin,dan telah terjadi, dalam mana burjuasi dagang, ataupun burjuasi dagang-industri, memainkan peranan kekuatan penggerak utama. Kemenangan-kemenangan revolusi seperti itu telah mungkin sebagai kemenangan lapisan yang sesuai dari burjuasi atas musuh-musuhnya (seperti kaum bangsawan yang mempunyai hak-hak istimewa atau monarki absolut). Di Rusia soalnya berlainan. Kemenangan revolusi burjuis tidak mungkin di negeri kita sebagai kemenangan burjuasi. Ini nampaknya sesuatu yang mustahil, tetapi adalah sesuatu kenyataan. Dominasi penduduk tani, penindasannya oleh sistim pemilikan tanah tuantanah besar (semi pemilik-hamba), kekuatan dan kesadaran klas dari proletariat yang telah teroraganisasi dalam suatu partai Sosialis – semua keadaan ini memberi kepada revolusi burjuis kita watak yang khas. Kekhususan ini tidak menghilangkan watak burjuasi dari revolusi (seperti Marlov dan Plekhanov [32] coba menggambarkan soal itu dalam sepakterjang-sepakterjang mereka yang lebih dari timpang terhadap pendirian Kautsky). Hal itu hanya menyebabkan watak kontra-revolusioner dari burjuasi kita dan keharusan suatu diktatur proletariat dan kaum tani untuk kemenangan dalam revolusi seperti itu. Karena “koalisi dari proletariat dan kaum tani” yang akan mencapai kemenangan dalam suatu revolusi burjuis, adalah tidak lain daripada diktatur demokrasi-revolusioner dari proletariat dan kaum tani.

Ketentuan ini merupakan titiktolak dari perselisihan-perselisihan taktis di dalam barisan-barisan kaum Sosial-Demokrat selama waktu revolusi. Hanya kalau hal ini dipertimbangkan, orang dapat memahami semua perbantahan tentang persoalan-persoalan khusus (mengenai masalah dukungan kepada kaum Kadet pada umumnya, mengenai suatu blok Kiri dan wataknya, dst) dan bentrokan-bentrokan dalam kejadian sendiri-sendiri. Hanya perselsihan taktis yang pokok inilah – dan samasekali bukan persoalan “kemilitan-kemilitan" [33] atau “boikotisme”, seperti orang-orang yang tidak mengetahui kadang-kadang berpikir – yang merupakan sumber dari perbedaan pendapat antara kaum Bolsyewik dan Mensyewik dalam periode pertama dari revolusi (1905-1907).

Dan seseorang tak cukup-cukupnya dapat mendesak keharusan menyelidik sumber perbedaan pendapat dengan seluruh perhatian, menganalisa dari sudut pandangan ini pengalaman dari kedua Duma dan dari perjuangan langsung kaum tani, Kalau kita tidak melaksanakan pekerjaan itu kini, maka kita, ketika pasangnaik berikutnya datang, tidak akan mampu mengambil satu langkahpun di lapangan taktik, tanpa merangsang persengketaan-persengketaan atau menciptakan konflik-konflik faksionil dan perselisihan-perselisihan di dalam Partai. Sikap Sosial-Demokrasi terhadap liberalisme dan terhadap demokrasi burjuis tani mesti ditentukan atas dasar pengalaman revolusi Rusia. Jika tidak, kita tidak akan mempunyai taktik yang secara prinsipiil tabah dari proletariat. “Persekutuan proletariat dan kaum tani”, kami catat sambil lalu, dalam keadaan apapun tidak boleh dipahami dalam arti peleburan berbagai-bagai klas, atau partai, dari proletariat dan kaum tani. Bukan saja peleburan, melainkan sebarang persetujuan yang panjang akan bersifat merusak bagi partai Sosialis klas buruh, dan akan melemahkan perjuangan demokratis-revolusioner. Bahwa kaum tani dengan takterelakkan terus goyang antara burjuasi liberal dan proletariat adalah akibat dari kedudukan mereka sebagai klas: dan revolusi kita telah memberikan banyak sekali contoh tentang ini dalam lapangan-lapangan perjuangan yang paling beraneka warna (pemboikotan Duma Witte; pemilihan-pemilihan; kaum Trudowik di dalam Duma Pertama dan Kedua, dst). Hanya menjalankan politik yang pastiberdiri sendiri sebagai pelopor revolusi, proletariat akan mampu memisahkan kaum tani dari kaum liberal, membebaskan dari pengaruh mereka, menghimpun kaum tani di belakangnya dalam jalannya perjuangan dan dengan begitu mewujudkan suatu “persekutuan” dalam kenyataan – suatu persekutuan yang muncul dan menjadi efektif, ketika dan sejauh kaum tani melakukan perjuangan revolusioner. Itu bukanlah bermain mata dengan kaum Trudowik, akan tetapi kritik yang tak kenal ampun terhadap kelemahan-kelemahan serta kegoyangan-kegoyangan mereka, propaganda tentang ide suatu partai tani yang republiken dan revolusioner, yang dapat mewujudkan “persekutuan” proletariat dan kaum tani demi kemenangan atas musuh-musuh bersama mereka, dan bukan untuk bermain blok-blokan dan persetujuan-persetujuan.

Watak khas dari revolusi burjuis Rusia yang telah kita tunjukkan ini membedakannya dari revolusi-revolusi burjuis zaman modern, akan tetapi menyamakannya dengan revolusi-revolusi burjuis besar dari zaman-zaman lampau, ketika kaum tani memainkan peranan revolusioner yang menyolok. Dalam hal ini perhatian paling besar harus diberikan kepada apa yang ditulis Friderich Engels dalam karangan yang sangat kaya dan mendalam mengenai pikiran, “Tentang Materislime Histori” (pengantar bahasa Inggeris dari “Perkembangan Sosialisme dari Utopi ke Ilmu”, diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh Engels sendiri dalam Neue Zeit, 1892-1893, th. Ke XI, jl. 1). “Gejala yang menarik”, kata Engels, “ di dalam ketiga-tiga revolusi burjuis besar” (Reformasi di Jerman dan Perang Tani dalam abad XVI; revoluis Inggeris abad ke XVII; revolusi Perancis abad XVIII) “yalah bahwa kaum tanilah yang merupakan tentara penempur; dan justru kaum tani ternyata menjadi klas yang, sekali kemenangan dicapainya, pasti dibangkrutkan oleh akibat-akibat ekonomis dari kemenangan itu. Seratus tahun sesudha Cromwell, kaum yeomanry (petani) Inggeris hampir hilang samasekali. Sedangkan justru berkat camapurtangan yeomanry dan unsur-unsur Rakyat jelata dari kota, perjuangan itu disampaikan ke akhirnya betul, dan Karel I ke pentas hukuman mati. Supaya burjuasi dapat memperoleh biarpun buah-kemenangan yang pada waktu itu sudah matang untuk dikumpulkan, untuk itu revolusi harus dilaksanakan sangat lebih jauh dari tujuan tadinya. Persis demikianlah halnya dalam tahun 1793 di Perancis dan dalam tahun 1848 di Jerman. Demikianlah tampaknya, dalam kenyataan sungguh-sungguh, salah satu hukum perkembangan masyarakat burjuis”. Dan di bagian lain dari karangan ini Engels menunjukkan bahwa revolusi Perancis adalah “pemberontakan pertama di mana perjuangan telah dilaksanakan sampai akhir, sampai penghancuran satu dari mereka yang bertempur, yaitu aristokrasi, dan kemenangan lengakap dari yang lain, yaitu burjuasi”.

Kedua tinjauan sejarah atau kesimpulan umum oleh Engels ini secara gemilang telah diperkuat dalam beralngsungnya revolusi Rusia. Juga telah diperkuat bahwa hanya campurtangan kaum tani dan proletariat – “unsur-unsur Rakyat jelata dari kota-kota” – mampu secara berarti mendorong ke depan revolusi burjuis. Jika di Jerman abad XVI, Inggeris abad XVII dan di Perancis abad XVIII kaum tani dapat ditempatkan di barisan depan, di Rusia abad XX susunan itu mesti dibalik, karena tanpa inisiatif serta pimpinan proletariat kaum tani tidak berarti apa-apa). Juga telah diperkuat kenyataan bahwa revolusi harus dilaksanakan sangat lebih jauh daripada tujuan-tujuan burjuisnya yang langsung, terdekat dan sudah sepenuhnya matang supaya betul-betul mewujudkan tujuan-tujuan itu, supaya memperkuat dengan pasti dan untuk selama-lamanya kemenangan-kemenangan burjuis yang minimal. Kita dapat menialai oleh karenanya dengan ejekan bagaimana Engels kiranya memperlakukan resep-resep filistin untuk memeras revolusi terlebih dahulu hanya ke dalam rangka burjuis langsung, burjuis sempit “supaya tidak menakut-nakuti burjuasi” seperti yang dikatakan kaum Mensyewik di Kaukasia dalam resolusinya tahun 1905, atau untuk supaya ada “jaminan terhadap restorasi” seperti kata Plekhanov di Stockholm!

Kautsky membicarakan persoalan yang lain, penilaian pemberontakan bulan Desember tahun 1905, di dalam kata pendahuluan untuk edisi kedua dari brosurnya. Dia menulis:”Saya kini tidak lagi dapat menegaskan sepasti yang saya katakan dalam tahun 1902, bahwa pemberontakan-pemberontakan bersenjata dan pertempuran barikade tidak akan memainkan rol menentukan dalam revolisi-revolusi mendatang. Kesaksian yang terlalu jelas tentang kebalikannya telah diberikan oleh pengalaman pertempuran-pertempuran jalanan di Moskwa, ketika segenggam orang menahan seluruh tentara selama satu minggu dalam pertempuran barikade, jika kegagalan gerakan revolusioner di kota-kota lain tidak memungkinkan mengirimkan bala bantuan yang begitu besar kepada tentara, sehingga pada akhirnya untuk melawan kaum pemberontak dipusatkan suatu kekuatan yang menggelikan besarnya dalam mengungguli mereka. Sudah barang tentu sukses yang relatif dari pertempuran barikade ini menjadi mungkin hanya karena penduduk kota secara enersik mendukung kaum revolusioner, sedangkan pasukan-pasukan samasekali runtuh semangatnya. Akan tetapi siapa, yang dapat dengan pasti menegaskan bahwa suatu yang serupa tidak mungkin di Eropa Barat?”

Dan demikianlah, hampir setahun sesudah pemberontakan itu, ketika orang sudah tidak mungkin tertarik oleh tujuan menyokong secara langsung kesegaran semangat para pejuang, penyelidik yang demikian hati-hati seperti Kautsky dengan tegas mengakui bahwa pemberontakan Moskwa merupakan suatu “sukses yang relatif” dari perjuangan barikade-barikade dan menganggap perlu untuk membetulkan kesimpulan umumnya yang dulu, bahwa peranan pertempuran-pertempuran jalanan di dalam revolusi-revolusi yang akan datang tidak dapat memainkan rol yang besar.

Perjuangan bulan Desember 1905 membuktikan bahwa pemberontakan bersenjata dapat menang dalam syarat-syarat modern dari tekhnik militer dan organisasi militer. Sebagai hasil dari perjuangan bulan Desember itu seluruh gerakan buruh internasional sejak kini harus memperhitungkan kemungkinan bentuk-bentuk pertempuran serupa dalam revolusi-revolusi proletar yang terdekat. Inilah kesimpulan-kesimpulan yang sebenarnya timbul dari pengalaman revolusi kita, inilah pelajaran-pelajaran yang massa luas dari Rakyat harus cernakkan. Betapa jauhnya kesimpulan-kesimpulan dan pelajaran-pelajaran ini dari garis pertimbangan yang Plekhanov buka dengan komentar Herostratosnya yang masyur mengenai pemberontakan bulan Desember:”Orang tidak boleh mempergunakan senjata”. Samudra komentar keregatan yang bagaimana yang ditimbulkan oleh penilaian itu! Jumlah tangan-tangan liberal kotor yang betapa tak habis-habisnya yang berpegang padanya untuk membawa demoralisasi dan semangat kompromi filistin ke dalam massa kaum buruh!

Tidak ada satupun kebenaran sejarah yang terdapat dalam penilaian Plekhanov. Karl Marx, yang enam bulan sebelum Komune berkata bahwa suatu pemberontakan akan merupakan keedanan, walaupun demikian, mampu menilai “keedanan” itu sebagai gerakan massa yang maha besar dari proletariat dalam abad ke XIX, maka dengan hak yang seribu kali lebih besar kaum Sosial-Demokrat Rusia kini mesti membawa ke tengah-tengah massa suatu keyakinan, bahwa perjuangan bulan Desember merupakan gerakan yang paling hakiki, paling syah, gerakan proletar terbesar semenjak Komune. Dan klas buruh Rusia justru akan dilatih dalam pandangan-pandangan seperti itu, apapun yang mungkin dikatakan oleh kaum intelek ini atau itu di dalam barisan Sosial-Demokrat, dan bagaimanapun kerasnya mereka meratap.

Di sini suatu catatan barangkali merupakan keharusan, menginagat bahwa karangan ini ditulis untuk kawan-kawan Polandia. Karena, saya sesalkan, tidak mengetahui bahasa Polandia, saya mengetahui keadaan-keadaan Polandia hanya dari kabar angin. Dan barangkali mudah sekali untuk menyangkal saya, bahwa justru di Polandialah seluruh partai mencekik diri dengan peperangan gerilya yang impoten, terorisme dan peletusan-peletusan kembangapi, dan itu justru untuk tradisi-tradisi pemberontakan dan suatu perjuangan bersama dari proletariat dan kaum tani ( apa yang disebut “Sayap Kanan” Partai Sosialis Polandia). Sangat mungkin, bahwa, dilihat dari sudut pendirian ini, keadaan-keadaan Polandia itu memang dalam kenyataan secara radikal berbeda dari keadaan-keadaan di bagian lain dari Imperium Rusia. Saya tidak dapat menimbang ini. Akan tetapi, saya mesti mencatat, bahwa tidak di mana-manapun terkecuali di Polandia kita melihat penyelewengan dari taktik revolusioner yang demikian tak masuk akal, yang telah menimbulkan perlawanan yang syah serta oposisi. Dan di sini dengan sendirinya timbul pikiran: justru di Polandia tidak ada perjuangan bersenjata dalam bulan Desember 1905! Dan tidaklah karena justru sebab ini maka di Polandia, dan hanya di Polandia, taktik yang diputar balikkan dan tak masuk akal dari anarkisme yang “membuat” revolusi itu telah mendapat tanah subur baginya, dan bukanlah karena keadaan-keadaan tidak mengijinkan perkembangan perjuangan massa bersenjata di sana, walaupun hanya untuk waktu yang pendek? Bukankah tradisi justru dari perjuangan seperti itu, tradisi pemberontakan bersenjata bulan Desember, yang kadang-kadang merupakan alat serius satu-satunya untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan anarkis di dalam partai kaum buruh bukan dengan cara mengajarkan kesusilaan burjuis-kecil yang sudah basi, yang filistin, melainkan dengan berbalik dari tindakan-tindakan kekerasan tersendiri-sendiri, yang tak bertujuan, tak masuk akal, menuju ke arah kekerasan massa yang bertujuan, yang dihubungkan dengan gerakan luas serta penajaman perjuangan proletar yang langsung?

Persoalan penilaian revolusi kita mempunyai arti penting, samasekali bukan hanya secara teori, melainkan arti penting yang paling langsung dan praktis mendesak. Seluruh pekerjaan propaganda, agitasi dan organisasi kita secara terus menerus dihubungkan pada saat dewasa ini dengan proses pencernaan pelajaran-pelajaran dari tiga tahun agung ini oleh massa klas buruh dan penduduk semi-proletar yang paling luas. Kita tidak dapat kini membatasi diri pada pernyataan begitu saja (dalam semangat resolusi-resolusi yang diterima oleh Kongres X “Sayap Kiri” PPS) bahwa keterangan-keterangan yang dapat diperoleh tidak memungkinkan kita pada waktu ini untuk menetapkan apakah jalan peletusan revolusioner atau jalan langkah-langkah kecil yang lama dan lambat yang terletak di depan kita. Sudah barang tentu, tak ada statistik apapun di dunia yang dapat kini menetapkan itu. Sudah barang tentu, kita mesti melaksanakan pekerjaan kita sedemikian rupa sehingga ia seluruhnya akan diserapi dengan semangat dan isi Sosialis umum, dengan tak pandang percobaan-percobaan manapun yang disediakan bagi kita oleh hari depan. Akan tetapi itu bukanlah semuanya. Berhenti pada titik ini berarti tidak memberikan kepemimpinan efektif apapun kepada partai proletar. Kita harus secara jujur mengemukakan dan dengan tegas memjawab pertanyaan, ke arah mana kita kini akan melangkah dalam pekerjaan mencernakkan pengalaman tiga tahun revolusi itu? Kita mesti memproklamasikan secara terus terang dan untuk semua orang dengan maksud memberikan pelajaran kepada mereka yang menjadi renegat dan melarikan diri dari Sosialisme, bahwa Partai kaum buruh melihat dalam perjuangan revolusioner langsung dari massa, dalam perjuangan bulan-bulan Oktober dan Desember tahun 1905, gerakan-gerakan proletariat terbesar semenjak Komune; bahwa hanya dalam perkembangan bentuk-bentuk perjuangan seperti itu terletak janji sukses-sukses yang mendatang dari revolusi; dan bahwa teladan-teladan perjuangan ini harus menjadi mercusuar bagi kita dalam melatih generasi-generasi pejuang yang baru.

Dengan melaksanakan pekerjaan sehari-hari kita ke arah itu dan mengingat bahwa hanya bertahun-tahun kegiatan serius dan tabah yang telah menjamin Partai mempunyai pengaruh sepenuhnya atas proletariat dalam tahun 1905, kita akan mampu mencapai keadaan di mana dengan tak pandang arah perkembangan peristiwa-peristiwa dan kecepatan kehancuran otokrasi, klas buruh akan terus makin kuat dan berkembang menjadi kekuatan Sosial-Demokratis yang sadar klas, yang revolusioner.

* * *

Diterbitkan pada bulan April 1908
dalam majalah Przeglad Sosyaldemokatyczny, No. 2
Ditandatangai: N. Lenin
Diterbitkan dalam bahasa Rusia
pada tanggal 10 (23) Mei dalam Proletari, No. 30

SOSIALISME INDONESIA SUATU PERJUANGAN PERMANEN

Dalam Pusaran Globalisasi dan Gelombang Demokratisasi Abad 21

“Demokrasi (Liberal) tersebut ternyata bukan solusi, sebab siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, tidak melibatkan rakyat Indonesia di dalamnya. Kapitalis internasional, elit politik dan pemerintah, birokrat koruptor, elit partai, pengusaha komparadorlah yang mendapatkan aset-aset ekonomi politik, dalam situasi dan kondisi gelombang demokratisasi dan globalisasi/neoliberalisasi masa kini”

PENDAHULUAN

Bahwa Cita-cita Marhaenisme, yaitu Masyarakat Yang adil dan Makmur berdasarkan sosialisme Indonesia belumlah tercapai. Cita-cita luhur dan mulia Marhaenisme masih jauh dari kenyataan di dalam kehidupan Rakyat Indonesia. Peri kehidupan rakyat Indonesia masih penuh ketimpangan, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan oleh suatu stelsel. Stelsel itu menciptakan suatu exploitation de I’homme par I’homme yang berkelanjutan dalam masyarakat Indonesia, bahkan umat manusia se-dunia.

Stelsel itu telah berumur lebih dari 2 abad. Sekarang stelsel itu “bermetamorfosa” dan menggurita menjadi “raksasa Kapitalisme Global”. Bangsa-bangsa dan umat manusia di seluruh dunia kini tak berdaya melawan “raksasa Globalisme” tersebut. Cengkeramannya semakin luas dan kuat. Yang lemah akan disikat, yang kuat semakin kuat. Inilah filosophi Globalisme kapitalisme dari masa ke masa, strongest of the fittest.

Maka dari pada itulah rakyat Indonesia harus insaf seinsaf-insafnya akan realitas yang dihadapinya itu. Segala konflik internal bangsa Indonesia harus dihentikan. Dan kekuatan rakyat harus dikonsentrasikan untuk menghancurkan stelsel kapitalisme global tersebut. Cita-cita Marhaenisme akan tercapai bila praktik perjuangan kaum marhaen dan marhaenis berkelanjutan, inilah namanya perjuangan permanen. Suatu perjuangan untuk mencapai tujuan Masyarakat Sosialis Indonesia dengan benar-benar memperhatikan ideologi Marhaenisme itu sendiri, seluk-beluk pergaulan rakyat Indonesia masa kini, dan pergaulanan masyarakat dunia.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa merestui Perjuangan Permanen kaum marhaen dan marhaenis se-Nusantara bahkan seluruh dunia.

EMPAT SIFAT PERMANEN KAPITALISME

1. Ekspansi
Sifat kapitalisme Yang pertama adalah Ekspansif, artinya kapitalisme harus terus-menerus memperlebar dan memperluas jangkauan modalnya. Sifat inilah yang menjadikan kapitalisme menyebar ke seluruh dunia. Kapitalisme adalah suatu sistem yang menghisap tenaga buruh dengan sistem nilai lebihnya (surplus value). Nilai lebih yang diperoleh dari penghisapan kaum buruh inilah yang kemudian diputar kembali ke dalam sistem produksi. Dimana kemudian nilai lebih tersebut digunakan oleh pemilik modal untuk berinvestasi kembali. Dan sebagian lainnya digunakan oleh para pemilik modal untuk kesenangan pribadinya (konsumsi individual).Jikalau timbunan modal akibat eksploitasi surplus value tadi tidak diekspansikan, maka timbunan modal itu bisa mengakibatkan; pertama, “mubazirnya” modal akibat tak fungsional, tidak digunakan. Kedua, anarkhi produksi, ketika modal hanya digunakan untuk konsumsi dan saving tetapi bukan untuk produksi. Ketiga, overcapital akan mengakibatkan sistem produksi kapitalisme tak mampu beroperasi lagi akibat kekurangan basis material. Maka dari pada itulah sistem kapitalisme harus secara terus-menerus mengekspansikan modalnya untuk mencari bahan baku (basis material) dan lahan-lahan tempat penanaman modal.

Sifat ekspansif dari kapitalisme ini dapat dengan mudah dipahami dengan melihat realitas di dalam masyarakat. Di jaman Hindia Belanda dulu misalnya, politik pintu terbuka (open the door policy) tahun 1870, menyebabkan masuknya kapital-kapital asing yang bersifat internasional, seperti kapitalnya Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, dsb dalam perkebunan-perkebunan di Jawa dan Sumatera[1]. Ekspansi Kapital itu dilakukan oleh negara-negara tersebut akibat overcapital di dalam negerinya sendiri. Di jaman sekarang ini, ekspansi kapital dilakukan dalam bentuk-bentuk investasi, baik langsung maupun tidak langsung. Jadi, pada dasarnya yang diekspansikan adalah kapital atau overcapital para pemilik modal.

2. Akumulasi
Akumulasi Kapital terjadi dari penghisapan tenaga buruh. Tenaga buruh yang dieksploitasi (nilai lebih) tidak jatuh ke tangan kaum buruh, tapi ke tangan para pemilik modal. Akibatnya kaum buruh menjadi melarat. Namun pada sisi lainnya, kaum kapitalis terus-menerus mengakumulasikan kapital dari penghisapan yang dilakukannya terhadap kaum buruh tersebut. Di Indonesia, upah kaum buruh dipatok dengan sistem UMR (upah minimum regional). Padahal UMR dibanding dengan tenaga buruh yang digunakan tidak sebanding. Standard UMR kemudian menjadi justifikasi oleh para pemilik modal untuk membayar upah buruhnya dengan harga yang rendah sesuai dengan UMR tersebut.

3. Konsentrasi
Akumulasi kapital dari surplus value tersebut kemudian dikonsentrasikan oleh pemilik modal ke dalam perusahaannya. Kapital kecil-kecil menjadi satu kapital besar.

4. Sentralisasi
Kapital besar-besar tersebut kemudian akan digabungkan menjadi kapital maha besar. Kapital maha besar inilah yang kemudian tersentralisasi ke dalam Multi National Corporatians (MNCs) dan Trans National Corporations (TNCs). Kedua jenis perusahaan inilah yang pada masa sekarang ini mendominasi ekonomi politik dunia, bahkan yang mengkonstruksi pola kehidupan umat manusia di dunia.


EMPAT TESIS BUNG KARNO TENTANG KAPITALISME DI INDONESIA
1. Pengambilan bekal hidup (Levensmiddelen)
Tesis pertama Bung Karno tentang Kapitalisme, terutama kapitalisme Belanda di Indonesia adalah bahwa Indonesia menjadi tempat pengambilan bekal hidup (Levensmiddelen).Pada awal mulanya Belanda datang ke Nusantara untuk mencari bahan-bahan untuk bekal kehidupan mereka. Orang-orang Belanda tersebut mencari rempah-rempah dan bahan-bahan untuk keperluan hidup sehari-hari mereka. Namun, lama-kelamaan Belanda tergiur dengan kekayaan alam Nusantara. Kemudian satu persatu daerah di Nusantara dikuasai oleh Belanda. Dari cara-cara perdagangan lunak, Belanda kemudian tampil dengan cara-cara Imperialis untuk memonopoli penguasaan bahan-bahan bekal hidup yang dibutuhkan oleh negerinya.

2. Pengambilan bekal industri (Grondstofgebieden)
Akibat revolusi Industri yang semula berkembang di Inggris kemudian menyebar ke benua Eropa, negeri Belanda pun terkena imbasnya. Belanda kemudian mengadakan industrialisasi kedalam cara-cara produksinya. Perkembangan Industrialisasi tersebut membutuhkan bahan baku Industri (Grondstofgebieden).Akan tetapi, negeri Belanda miskin dalam hal bahan baku industri tersebut. Oleh sebab itulah kemudian pihak Belanda mencari bekal industri itu dari kekayaan alam bangsa Indonesia. Kemudian Belanda mengubah cara imperialismenya, dari imperialisme kuno ke imperialisme modern. Perubahan dari tata cara imperialisme kuno ke imperialisme modern adalah akibat dari perkembangan kapitalisme di negeri Belanda sendiri. Perkembangan kapitalisme mendorong Belanda mengubah sarana-sarana dan cara produksinya.

3. Menjadi Pasar (Afzetgebieden)
Tesis ketiga Bung Karno adalah Indonesia menjadi pasar penjualan produk-produk kapitalisme. Pada masa Bung Karno sendiri, secara keseluruhan masyarakat Indonesia sangat miskin, daya beli rendah, kaum borjuis pribumi dimatikan (hampir tidak ada), yang mengakibatkan rakyat Indonesia tidak mampu membeli barang-barang produksi kapitalisme tersebut. Bagaimana mungkin si marhaen yang pendapatannya sebenggol sehari dapat membeli barang-barang buatan kapitalisme jika untuk makan saja sudah tidak cukup? Walaupun begitu, masih ada sebagian kecil masyarakat yang tinggal di Indonesia yang memiliki daya beli cukup. Misalnya kaum Cina pedagang di perkotaan, mereka berperan sebagai pembeli sekaligus middenstand terhadap masyarakat lainnya, masyarakat timur jauh, kaum Indo-Belanda, kaum priyayi, kaum feodal, para birokrat, dan warga asing lainnya.

Pada masa itu boleh jadi tesis Bung Karno tersebut kurang “mengena”. Akan tetapi pada masa kini, bukankah Indonesia menjadi pasar dari penjualan produk-produk kapitalisme, baik yang bersifat nasional maupun internasional?! 220 juta jumlah masyarakat Indonesia, ini adalah kawasan pasar yang sangat besar!

4. Tempat menggerakkan kelebihan kapital (exploitatiegebieden) dari surplus kapital

Akibat dari perkembangan kapitalisme tersebut, Indonesia baik pada masa Hindia Belanda dahulu, maupun kini, tetap menjadi tempat penanaman modal kapitalisme Internasional. Atau istilah ekonomi modernnya adalah sebagai tempat investasi. Dari tahun ke tahun pada masa Hindia Belanda dulu, jumlah kapital yang masuk ke Indonesia semakin besar. Akibat Indonesia menjadi tempat penanaman modal internasional itu, timbullah penghisapan tenaga kaum buruh, timbullah eksploitasi kekayaan alam, dan ketergantungan ekonomi bangsa Indonesia terhadap kapitalisme Belanda dan internasional.

PERDEBATAN TEORI EKONOMI DUNIA

Dua Aliran Teori Ekonomi:

I. Ekonomi Liberal
Bung Karno tidak terlalu banyak mengupas teori-teori ekonomi liberal ini. Sebab mainstream berpikir ekonom liberal tersebut cenderung sebagai justifikasi terhadap apa yang dilakukan oleh sistem kapitalisme sendiri. Tokoh-tokoh teorisasi ekonomi liberal misalnya Adam Smith (bapak kapitaslime klasik), David Ricardo, John Stuart Mill, dsb. Pada intinya para ekonom liberal tersebut menjustifikasi sistem kapitalisme dan imperialisme. Teori ekonom liberal kemudian berkembang menjadi teori ekonomi neo-liberal (misal, Milton Friedmen Dkk) seperti yang dipraktikkan pada masa kini dengan jargon globalisasinya.

II. Ekonomi Marxis,

para teorisasi ekonomi marxis ini dapat dibagi atas dua jenis:

1.a. Aliran Keharusan ekonomi (Economische noodwendogheid), aliran
objektifisme, berdasarkan isme. Antara Lain;

a. Rudolf Hilferding:
“imperialisme adalah ismenya finanzkapital yang mencari belegging (Imperialisme belegging).

“Ketika kapitalisme telah matang (Overrijp), bank concentratie sudah maximum doorgevuld, maka kapital tersebut harus diekpansikan, diekpansikan ke dalam industri. Kapital bukan lagi direntekan dengan cara utang piutang, akan tetapi kapital ikut campur tangan dalam industri, mendireksi industri”.

FINANZ KAPITAL --IMPERIALISME

b. Karl Kautsky:

“Imperialisme adalah suatu keharusan ekonomi, sebab tanpa imperialisme maka kapitalisme akan mati. Keharusan ekonomi menciptakan senjata perang. Imperialisme ismenya industri kapital yang mencari afzet (pasar); imperialisme dagang”.

KAPITALISME INDUSTRI ---IMPERIALISME


c. Rosa Luxemburg:

“suatu negeri kapitalis memiliki dua macam perusahaan, yaitu perusahaan yang membuat alat-alat produksi, dan perusahaan yang membuat barang- barang kebutuhan manusia sehari-hari. Pada mulanya kedua macam perusahaan itu ‘berjalan bersama’, akan tetapi kemudian timbul anarkhi produksi dan over produksi akibat dari tidak mendapat afzet (pasar). Maka diciptakanlah imperialisme”.

1.b. Bukan keharusan ekonomi, aliran subjektifisme, berdasarkan isten, Aliran Subjektif


a. Anton Pannekoek:

“ imperialisme bukan keharusan sistem produksi, keharusan ekonomi”

“ imperialisme adalah kemauan kaum kapitalis guna mendapatkan untung yang lebih tinggi”

“ Di dalam suatu masyarakat, kaum kapitalis mempunyai kekuasaan, maka kemauannya niscaya terlaksana, imperialisme niscaya terjadi”

“imperialisme adalah ‘keharusan’ di dalam suatu dunia yang kapitalistis”

b. Dr. Otto Bauer:

“bahwa kapitalisme, kerena senantiasa tambahnya penduduk di suatu negeri, tidak usah mati tanpa imperialisme”

“ imperialisme hanyalah terjadi karena nafsu angkara murka daripada kelas kapitalis, yang haus kepada untung yang lebih tinggi”

“rubuhnya kapitalisme bukanlah karena ia tertutup nafas, tetapi karena dikalahkan oleh kekuatan kekuasaan kelas proletar”
Dari berbagai perdebatan teoritik tersebut, Bung Karno di dalam tulisannya “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia” berkesimpulan, bahwa teori Hilferding adalah teori yang paling tepat dalam menjelaskan sistem imperialisme di Indonesia pada konteks dulu. Dengan angka-angka data statistik yang valid dan akurat serta kondisi objektif masyarakat, bung Karno membuktikan keakuratan teori Hilferding dalam menganalisa perkembangan kapitalisme di Indonesia pada masa itu. Indonesia menjadi tempat penanaman modal Belanda dan pihak internasional. Investasi atau penanaman modal kemudian mendireksi jalannya proses industrialisasi. Inilah yang dinamakan dengan imperialisme Kapital, atau Finance capitalism.

KONDISI OBJEKTIF: NUSANTARA dalam DUNIA, DUNIA dalam NUSANTARA

Tesis Perang Pasifik dan Benturan Peradaban Kapitalisme
Di dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial Belanda, Bung Karno mengajukan tesis tentang pecahnya perang di lautan teduh, yaitu perang pasifik. Dengan mengacu pada berbagai ahli-ahli teori ekonomi, ahli teori perang, maupun ahli politik internasional, maupun keadaan-keadaan yang nyata di dalam pergaulan masyarakat internasional, berkesimpulan bahwa akan pecahnya perang Pasifik. Antara kekuatan Amerika Cs versus Jepang Cs.

Dalam perspektif materialisme historisnya, Bung Karno mengalisa sebab-sebab dan akibat dari akan terjadinya perang pasifik tersebut. Bung Karno berkesimpulan bahwa negara-negara kapitalis, baik yang berbentuk fasisme, maupun liberal, sama-sama ingin merebut tanah jajahan seluas-luasnya. Perebutan tanah-tanah jajahan itu adalah akibat perkembangan kapitalisme di masing-masing negara yang akan berperang. Ini adalah seperti apa yang dikatakan oleh Marx sendiri, bahwa Kapitalisme memiliki kontradiksi si dalam stelselnya itu sendiri. Yaitu, pertama, krisis basis material. Basis material ini berfungsi sebagai bahan dasar utama bagi produksi kapitaslime. Kedua, krisis over produksi. Bahwa kapitalisme senantiasa mencari pasar tempat penjualan kelebihan barang produksinya. Ketiga, krisis overcapital. Bahwa akibat akumulasi dan konsentrasi kapital yang berlebihan maka banyaklah timbunan kapital yang menganggur. Modal itu harus segera dioperasikan atau diekspansikan agar berfungsi. Kapital itu berfungsi untuk penanaman modal bagi pencarian bahan baku produksi. Jika krisis-krisis ini (salah satu krisis ini) tidak dapat dicari jalan penyelesaiannya, maka perang pun tak dapat dihindarkan. Inilah keharusan sejarah akibat sistem kapitalisme tersebut. Selama dunia masih didominasi oleh sistem kapitaslisme, maka perang akan datang cepat atau lambat sebagai keharusan ekonomi dan sejarah[11].

Menurut pendapat Lenin, imperialisme atau perang terjadi ketika kapitalisme sedang menurun atau sakit. Kapitalisme berubah bentuk menjadi imperialisme. Misalnya, kapitalisme Jerman pada masa NAZI berkuasa, fasisme Jepang dalam perang pasifik. Akibat kontradiksi kapitalisme pada suatu negara tersebut tak terpecahkan lagi, maka cara apapun akan dilakukan agar tidak mati. Cara terakhir itu adalah dengan menciptakan perang. Jadi, ada hubungan yang erat sekali antara kapitalisme dengan perang di dalam sistem kapitaslime itu sendiri.

Kemudian menurut pendapat Bung Karno, ketika kapitalisme menaik atau meningkat (subur), Kapitaslime menerapkan sistem politik yang liberal di dalam negerinya. Baik pendapat Bung Karno maupun Lenin tersebut sama-sama menjelaskan seluk-beluk atau karakter kapitalisme di dalam proses perkembangannya.
Perang Irak Vs Amerika Cs: krisis Kapitalisme Global, bukan Benturan antar Peradaban

Apa apa dengan perang Irak Vs Amerika Cs?! Pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem perekonomian Amerika sendiri. Sebab Amerika adalah Aktor utama yang paling berkepentingan dalam menggempur Irak-Saddam. Aktor manakah yang bermain dibalik Amerika sendiri? Aktor-aktor itu adalah perusahaan-perusahaan raksasa minyak AS. Dari informasi yang diungkapkan oleh majalah tempo (Desember 2003), upaya rekonstruksi Irak melibatkan perusahaan-perusahaan tersebut. Ini adalah bukti bahwa Amerika telah mempersiapkan basis material minyak untuk mencegah terjadinya krisis basis material/bahan bakar bagi sistem produksi dan industrialisasinya.

Jargon Perang Amerika yang ingin membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Saddam dan hendak membawa demokrasi adalah kosong belaka[12]. Semuanya dilakukan oleh Amerika untuk Minyak. War for oil. Sebegitu pentingnya basis material minyak itu bagi kelangsungan produksi dan kehidupan ekonomi Amerika, sehingga Amerika pun menggunakan perang sebagai sarana dan instrumennya. Krisis bahan bakar minyak belumlah ada alternatif penggantinya, walaupun tenaga nuklir telah digunakan.

Sebagai kongklusi, Perang Amerika terhadap Irak adalah salah satu standar ganda ekonomi politik luar negeri AS di bidang internasional (khususnya negara dunia ketiga). Pandangan dan kebijakan AS terhadap Irak boleh jadi sangat berbeda terhadap negara lainnya, misalnya Indonesia sendiri. Hal ini tergantung dari relasi kapitalisme AS terhadap kapitalisme di negeri lain.
Gelombang Globalisasi Abad 21:

Globalisasi Kapitaslime dan Imperialisme Global

Awal milenium atau abad 21 ditandai dengan suatu peristiwa yang seharusnya membuat masyarakat dunia, dan masyarakat Indonesia khususnya lebih insaf dan cermat dalam mengamati perkembangan dunia. Perang Amerika Cs terhadap Irak-Saddam adalah suatu tanda bahwa rezim imperialisme global sedang memperlihatkan keperkasaannya. Barang siapa yang tidak tunduk, apalagi melawan terhadap rezim imperialisme global ini, akan diporak-porandakan, dihancur-leburkan. Irak adalah korban sadis imperialisme global tersebut. Sebelumnya tanah Afganistan pun juga telah dibombardir oleh Amerika. Who can stop war!?

Ketika tanda-tanda akan terjadinya perang Irak Vs Amerika semakin jelas, jutaan rakyat diseluruh dunia serentak menentang invasi AS tersebut. Hati nurani umat manusia sedunia tidak bisa berdiam diri. Aksi-aksi dan demostrasi penentangan terhadap invasi tersebut terjadi di berbagai negara, bahkan di negara-negara yang akan menyerbu Irak sendiri. Akan tetapi, rezim imperialisme global tak dapat dihentikan. Raksasa itu begitu perkasanya. Umat manusia se-dunia tak dapat menghentikannya. Invasi pun dilakukan, Irak pun jadi korban keganasan, kebrutalan, barbarianisme, dan keperkasaan raksasa itu.

Globalisasi kapitalisme berlangsung sangat cepat. Namun pada dasarnya kapitalisme tak akan meninggalkan sifat-sifat dasarnya yang harus dimilikinya. Pertama, constant capital, yang berfungsi mendukung proses produksi. Ini dinamakan dengan basis material atau perlengkapan untuk diproduksi. Kedua, Variabel capital, tenaga buruh yang digunakan sebagai tenaga produksi. Ketiga, surplus value, yaitu nilai lebih dari eksploitasi tenaga buruh. Keempat, pasar, adalah tempat perjualan barang-barang hasil produksi sistem kapitalisme. Kelima, tempat investasi, yaitu tempat penanaman overcapital. Kelima sifat dasar sistem kapitalisme tersebut harus dimiliki oleh kapitalisme, jikalau ia tak mau hancur. Dalam kasus perang Irak misalnya, Irak adalah korban dari keharusan sistem kapitalisme AS Cs untuk memenuhi kebutuhan basis material, yaitu minyak.

Gelombang globalisasi kapitalisme memaksa negara-negara di dunia untuk membuka negaranya bagi masuknya kapitalisme global/internasional. Dari segi basis material, kapitalisme AS Cs menggempur kedaulatan Irak untuk mencukupi kebutuhannya tersebut. AS Cs menggunakan cara imperialisme (hard policy) untuk menjebol Irak.

Namun di bagian dunia lain, Kapitalisme global memaksa negara-negara, khususnya negara dunia ketiga untuk membuka negaranya sebagai: pasar, tempat penanaman modal, pengambilan bahan baku, persediaan tenaga buruh. Globalisasi tampil dengan cara-cara yang ‘halus’ dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi politik dalam negeri negara dunia ketiga, yaitu melalui structural and adjusment policy (SAP)[15] atau semacam glasnost dan perestorika (liberalisasi ekonomi).

Abad 21 adalah abad imperium dunia, perusahaan-perusahaan multi nasional dan trans nasional yang beroperasi diseluruh dunia mengontrol jalannya perekonomiaan dunia. Perusahaan-perusahaan ini adalah aktor yang memaksa negara-negara dunia ketiga untuk membuka negaranya bagi masuknya cengkeraman-cengkeraman perusahaan itu. Bung Karno dalam sarinah mengatakan bahwa;

”tatkala produksi di masing-masing negara telah menaik, tatkala produksi itu membangunkan eksport dan import yang membumbung tinggi, terbangunlah satu perlalu-lintasan dan perdagangan internasional yang amat giat, terlahirlah satu ekonomi yang bukan lagi ekonomi nasional tetapi ekonomi dunia, terhapuslah pagar-pagar yang seram memisahkan negara yang satu dari negara yang lain”[16].

Negara Indonesia pun mau tak mau mengalami hal ini. Namun persoalannya, bangsa Indonesia menjadi korban dari ketamakan dan ketimpangan perdagangan internasional dan global.
Gelombang Demokratisasi (ketiga) dunia dan kemenangan Kapitalisme Global

Sebagai mainstream dalam diskursus politik dunia, gelombang demokratisasi dan kemenangan kapitalisme global harus benar-benar dicermati. Diskursus ini tidak hanya bersifat teoritis belaka, tapi menjadi diskursus yang bersifat hegemonik yang akan mempengaruhi pemikiran politik banyak negara di dunia, bahkan dalam relasi internasional. Seakan-akan dunia telah berakhir dengan kapitalisme tampil sebagai the winner dan demokrasi liberal sebagai the only one solution atas politik dunia.
Yang perlu dikritisi adalah, hal apa dibalik diskursus tersebut? Mengapa gelombang demokratisasi ketiga itu gencar dikampanyekan pihak barat (Amerika Cs)? Apa dampak gelombang demokratisasi liberalisme tersebut bagi negara-negara dunia ketiga? Mengapa globalisasi menjadi arus wacana dominan? Apa dampak globalisasi tersebut bagi negara-negara berkembang dan terbelakang? Pertanyaan ini haruslah dijawab untuk memformulasikan wacana counter hegemonic dan praksis counter hegemonik.

Kampanye masif atas kemenangan kapitalisme dengan jargon globalisasi dan kampanye kemenangan demokrasi liberal dengan jargon gelombang demokratisasinya adalah upaya Amerika (pihak negara-negara kapitalis) untuk menjustifikasi dan mengkonstruksi pola pikir masyarakat dunia bahwa ideologinya tersebutlah yang paling benar dan satu-satunya kebenaran di dunia. Negara-negara berkembang sendiri tak berdaya melawan arus globalisasi yang dasyat tersebut. Berbagai krisis ekonomi seperti di kawasan Asia Tenggara, Korea Selatan, Mexico, Brasil, Argentina, adalah bukti bahwa globalisasi kapital tak segan-segan memporak-porandakan bangunan ekonomi suatu negara jikalau negara itu menghambat atau menghalangi ekspansi kapitalisme tersebut. Instrumen-instrumen kapitalis internasional, seperti IMF, World Bank, WTO, memaksa negara-negara berkembang untuk menuruti berbagai kebijakan yang dirancang oleh kaum kapitalis internasional. Kebijakan privatisasi, deregulasi, denasionalisasi, liberalisasi dipaksakan untuk diterapkan bagi seluruh negara di dunia. Terjadi apa yang dinamakan penindasan global atas bangsa-bangsa, atas umat manusia di seluruh dunia.
Di sisi lainnya, gelombang demokratisasi menyapu rezim-rezim otoriter dunia ketiga. Seperti yang terjadi di Taiwan, Mexico, Brasil, Turki, Peru, Nigeria, Filipina, Korea, Argentina, Indonesia, dsb. Rezim-rezim otoriter tumbang. Namun setelah itu, masuklah liberalisasi dan globalisasi kapitalisme atas negara-negara tersebut. Dalam pandangan Petras dan Meyer, Demokrasi (liberal) itu cenderung bersifat instrumentalis. Menurut Pertras dan Meyer;

“Para kapitalis itu sendiri cenderung memiliki pandangan instrumentalis tentang demokrasi di mana kebenaran-kebenaran atau kesalahan-kesalahannya didefinisikan dalam pengertian kepentingan-kepentingan kepemilikan. Pemahaman ini menyebabkan kita bisa melihat pergeseran hubungan antara demokrasi dan kapitalisme di waktu dan tempat yang berbeda. Ketika sebuah negara demokrasi diperintah oleh kelas kapitalis atau, lebih mungkin, dijalankan dengan kepentingan-kepentingannya, demokrasi dianggap sebagai sesuatu ‘yang baik di dalam dirinya sendiri’. Namun demikian, ketika negara tersebut menyediakan platform untuk mengubah hubungan-hubungan sosial dan kepemilikan, maka negera cenderung melihat demokrasi sebagai barang ‘mewah’, yang bisa ditelan habis dan secara tepat diganti dengan sistem otoriter yang lebih baik dalam melindungi hubungan-hubungan kepemilikan dan kekayaan”.

Petras dan Meyer ingin menegaskan bahwa apapun bentuk sistem politik suatu negara, baik itu otoriter maupun demokrasi asal itu menguntungkan bagi kaum kapitalis, maka sistem itu akan didukung. Demikianlah dari kasus-kasus yang pernah terjadi, ketika suatu rezim otoriter tidak lagi mengntungkan bagi kaum kapitalis internasional, maka rezim itu akan ditumbangkan (misal dalam kasus penggulingan rezim otoriter Suharto di Indonesia). Namun ketika rezim otoriter itu masih bermamfaat bagi kaum kapitalis, maka rezim itu masih tetap dipertahankan.

Berbeda dengan Petras dan Meyer seperti yang dikutip dalam buku mereka, menurut para teorisasi pro kapitalisme (Schumpeter, 1941; Friedmen dan Friedmen, 1980), berpendapat bahwa pertumbuhan kapitalisme dan demokrasi saling terkait. Disini pasar bebas dan pemilu yang bebas dipandang sebagai proses-proses yang saling memperkuat, atau yang satu dianggap sebagai penciptaan prakondisi-prakondisi untuk lainnya: liberalisasi ekonomi yang membebaskan kekuatan-kekuatan perkembangan ekonomi untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi demokrasi atau, sebaliknya, liberalisasi politik dan demokrasi yang menciptakan kondisi-kondisi bagi pembangunan ekonomi (Diamond, 1992; Inkeles, 1990; Landes, 1969; Lindblom, 1977; Rostow, 1960). Menurut alur pemikiran ini, pasar bebas memperbanyak pilihan, menumbuhkembangkan individualisme dan memajukan pluralisme sosial, semua bumbu yang penting bagi demokrasi. Alternatifnya, sebuah sistem politik yang demokratis dianggap sebagai sarana yang sangat diperlukan untuk menyelamatkan kondisi-kondisi kapitalisme yang optimal atau sangat diperlukan, yang dipandang sebagai bentuk paling efektif dan efisien dari pembangunan ekonomi.[21] Jadi, menurut pandangan para teorisasi liberal tersebut, kapitalisme mendukung suatu sistem politik yang demokratis bagi beroperasinya sistem kapitalisme itu sendiri.

Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, kapitalisme mendorong terciptanya negara-negara otoritarian di dunia ketiga. Argumentasi pokok mereka adalah, bahwa kapitalisme membutuhkan rezim yang otoritarian untuk mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sistem kapitalisme tersebut. Rezim otritarian diperlukan oleh kapitalisme untuk menghentikan gerakan-gerakan reaksioner dari rakyat yang menentang sistem kapitalisme tersebut.

Dari ketiga pemikiran di atas, pandangan Petras dan Meyer memiliki nilai teoritik da praksis yang kuat. Terbukti dari berbagai studi kasus yang dilakukan oleh mereka menjelaskan bahwa, Baik pada rezim otoriter ataupun demokrasi (liberal), kapitalisme akan tetap tumbuh subur, apabila masing-masing bentuk rezim itu menguntungkan bagi pasar. Tapi jika sebaliknya, maka rezim itu akan digulingkan dan digantikan oleh rezim yang lebih menguntungkan bagi kapitalisme internasional.
Indonesia dalam pusaran Gelombang Demokratisasi Ketiga, Euforia, konflik internal, dan Neoliberalisasi: who get what when and who?
Jatuhnya rezim otoriter Suharto disambut dengan gegap-gempita oleh mahasiswa, barisan kelas menengah oposan, kelompok intelektual kontra Suharto, dan masyarakat luas. Di sana-sini terdengar teriakan dan hujatan terhadap sang dikatator tersebut. Gambar-gambar dan foto-foto Suharto dibakar dan dikoyak-koyak. Kelompok Militer dan Golkar digugat dengan berbagai skandal, persoalan, dan kasus-kasus KKN. Seluruh masyarakat menyambut dengan gembira turunnya Suharto dan mengharapkan angin demokratisasi segera berhembus.
Namun sebelum tata cara dan sistem demokrasi itu dibangun, IMF telah menyusup masuk ke Indonesia dengan topeng sebagai “dokter” yang membawa resep penyelesaian krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebelum pemilu tahun 1999 dibangun infrastruktur dan mekanisme sistemnya, paket Structural and adjusment (SAP) IMF telah mempersiapkan tata cata, aturan main, kebijakan, dan sistem liberalisasi ekonomi di Indonesia. 51 butir Letter of intern (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF adalah bentuk intervensi agen kapitalis internasional itu untuk menguasai perekonomian bangsa Indonesia. Kebijakan privatisasi, perjualan aset-aset negara yang vital, liberalisasi dan deregulasi ekonomi adalah manifestasi usaha IMF dan kaum kapitalis internasional untuk “merampok” aset-aset ekonomi Indonesia. Inilah Imperialisme Kapitalisme Internasional yang hendak menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain[22]. Ia adalah wujudnya politik ekonomi kapitalis internasional di era globalisasi abad 21 ini.

Dari kejadian-kejadian di atas, dapat ditarik kongklusi, bahwa rezim otoriter Suharto sudah tidak lagi menguntungkan bagi kapitalis internasional, oleh karena itu hancurkan. Rezim otoriter Suharto hanya menuntungkan bagi keluarga cendana, kroni-kroninya, para teknokrat, konglomerat nasional, dan bisnis militer, sedangkan kapitalis internasional tidak kebagian banyak. Gelombang demokratisasi dihembuskan di Indonesia digunakan sebagai sarana dan instrumen untuk memukul Rezim otoriter Suharto.

Pasca jatuhnya Suharto, bangsa Indonesia mengalami euforia pasca rezim otoriter. Euforia demokrasi itu menimbulkan persoalan konflik-konflik internal bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sibuk dengan euforia demokrasi tersebut, sedang agenda-agenda imperialis IMF dan kapitalis internasional terus berjalan. Bangsa Indonesia masing-masing sibuk dalam pertarungan politik untuk mendapatkan kekuasaan dan “jatah” perebutan aset-aset ekonomi yang masih bisa untuk diambil. Sekarang euforia dan harapan akan demokrasi membawa perubahan dan kemajuan semakin menurun, rakyat Indonesia bosan dan lelah dalam kondisi transisi yang tidak pasti seperti ini. Demokrasi (liberal) tersebut ternyata bukan solusi, sebab siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, tidak melibatkan rakyat Indonesia di dalamnya. Kapitalis internasional, elit politik dan pemerintah, birokrat koruptor, elit partai, pengusaha komparadorlah yang mendapatkan aset-aset ekonomi politik, dalam situasi dan kondisi gelombang demokratisasi dan globalisasi/neoliberalisasi.

Orde Marhaenisme dan “orde Reformasi”

“Yang terpenting bahwa penggunakan salah satu cara bukanlah soal pilihan, tapi lebih kepada persoalan kehendak sejarah (situasi dan kondisi)”

Reformasi adalah ibarat suatu “zeitgeist”, suatu semangat zaman yang mengalir begitu deras pada medio tahun 1998. Istilah ini menjadi mainstream yang menenggelamkan model-model pergerakan lainnya pada masa ketika itu. Reformasi adalah salah satu cara atau jalan perubahan yang ditempuh oleh sebagian besar elit dan rakyat untuk menumbangkan Suharto Cs dan melakukan perubahan pasca Suharto. Memang benarlah sabda Heraclitus bahwa tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Menurut Heraclitus perubahan adalah hukum gerak sejarah itu sendiri[24]. Pertanyaannya adalah kemudian adalah bagaimanakah cara yang dilakukan atau digunakan dalam melakukan perubahan itu sendiri?

Di dalam terminologi marhaenisme tidak dikenal term reformasi. Bahkan bung Karno sendiri sejak muda tidak sepakat dengan cara tersebut. Cara perjuangan yang digunakan oleh BK adalah revolusi, suatu cara perjuangan yang dilakukan secara cepat dan radikal. Bukan dengan cara-cara piecemeal social engineering, suatu rekayasa sosial bongkar pasang (tambal sulam) seperti cara reformasi. Terlepas dari perdebatan kedua cara diatas, yang terpenting bahwa penggunakan salah satu cara bukanlah soal pilihan, tapi lebih kepada persoalan kehendak sejarah (situasi dan kondisi). Walaupun ratusan orang teriak.”revolusi!”, tetapi ketika arus sejarah berkata lain, maka sulitlah revolusi itu diwujudkan. Harus ada pararelisme menuju satu titik antara kondisi objektif dan subjektif. Jikalau salah satu syarat saja tidak ada, maka revolusi pun tak mungkin bisa terjadi.

Tatkala Orde Baru berkuasa seluruh kekuatan-kekuatan rakyat diberangus dan ditindas, baik yang bersifat revolusioner dan reformis. Dengan metode-metode represif (state apparatus coersive); pembantaian, pemukulan, penyiksaan, penembakan, pemenjaraan, dan dengan metode-metode hegemonik (state apparatus ideology); de-ideologisasi, de-politisasi, asas tunggal, floating mass, semua kekuatan anti Orde Baru dihancurleburkan. Situasi 30 tahun-an tersebut yang menyebabkan tidak lahirnya kekuatan-kekuatan progresif sebagai syarat bagi perubahan cepat dan radikal. Persatuan nasional/perjuangan gotong royong seluruh rakyat (Sammenbundeling van alle revolutionare krachten) belum bisa diwujudkan. Sebab apa yang mau satukan bila serpihan-serpihan pecahan itu tidak sadar akan bentuknya sendiri akibat proses 30 tahun-an itu.

Di dalam teori negara marhaenisme, negara adalah suatu machtorganisatie yang berfungsi sebagai; alat perjuangan bangsa dan perumahan bangsa. Dalam tahapan perjuangan strategis dikenal istilah revolusi dua tahap, yaitu revolusi nasional terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan revolusi nasional pada fase selanjutnya. Revolusi nasional harus dilakukan terlebih dahulu untuk merebut kekuasaan politik, yaitu dengan mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat. Kemudian setelah itu, dengan adanya negara merdeka dan berdaulat itu, perubahan sosial pun dilakukan. Jadi, negara adalah alat revolusi (perubahan) sosial struktur masyarakat untuk menghilangkan sistem sosial feodalisme dan kapitalisme. Sebagai machtorganisatie sistem kekuasaan itu kedaulatannya berada di tangan massa rakyat. Negara pun bukannya menghilang ketika revolusi sosial telah dilakukan, negara tetap ada sebagai alat perubahan bangsa dan perjuangan bangsa baik secara nasional maupun dalam pergaulan di dunia internasional.

Teori negara marhaenisme berbeda dengan teori negara komunisme yang mengatakan bahwa negara akan menghilang dengan sendirinya ketika revolusi sosial menuju komunisme telah tercapai, yaitu suatu masyarakat tanpa negara (stateless society) dan masyarakat tanpa kelas (classless society). Menurut Marx negara adalah instrumen dominasi kelas borjuasi, tapi dalam teori marhaenisme negara dikonsepkan sebagai instrumen perjuangan bangsa dan perumahtanggaan rakyat.

Setelah revolusi nasional 17 Agustus tahun 1945 negara Indonesia merdeka pun diproklamasikan. Ini berarti pasca 17 agustus 1945 tersebut bangsa Indonesia telah memiliki suatu negara sendiri. Berarti tahapan revolusi nasional telah dilakukan walaupun masih ada agresi I dan II dari pihak Belanda yang ingin kembali merebut dominasi politiknya atas bumi pertiwi. Ini berarti juga pasca berdirinya negara republik Indonesia, persoalannya bukan lagi melakukan revolusi nasional atau persoalan merebut kekuasaan politik dari tangan para penjajah. Tetapi kini, intinya adalah bagaimana agar kekuasaan negara dikembalikan ke tangan rakyat bagi perikehidupan massa rakyat itu sendiri sekaligus mengembalikan negara sebagai alat revolusi (perubahan) sosial, bukan sebagai alat dominasi kelompok-kelompok elit.

Bagaimana dengan “orde reformasi”? Realitas politik orde reformasi adalah munculnya dominasi kelompok-kelompok elit. Maka proses politik yang terjadipun adalah sirkulasi kekuasaan di tangan kelompok-kelompok elit tersebut. Massa rakyat akibat proses de-politisasi dan floating mass 30 tahun-an Orde Baru teralienasi dari para pemimpinnya (baca: para elit). Pada elit pun juga tercerabut dari massa rakyat tersebut. Jadi, ada dua bentuk hubungan antara elit dengan massa rakyat pada masa kini; pertama, teralienasi (hubungan mengambang); kedua, rakyat menjadi instrumen mobilisasi politik elit. Dalam hubungan itu posisi massa rakyat dengan elit bersifat subordinatif dan inferior. Akibat marginalnya posisi massa rakyat tersebut maka marginal juga perikehidupannya. Tugas kaum Marhaenislah untuk menggorganisir massa marhaen tersebut agar posisi mereka tidak selalu marginal dan tertindas.

“Orde reformasi” memang bukan tujuan kaum Marhenis dan Marhaen Indonesia, tapi ia adalah suatu realitas. Yang terpenting adalah bagaimana menyatukan kekuatan kaum Marhaen yang dipelopori oleh kaum Marhaenis dibawah panji Marhaenisme!!! Barisan Nasionalis Pasti Menang!

“ Kekuasaan harus kita rebut demi penyebaran ideologi Marhaenisme.

Tapi, Mana mungkin Marhaenis & Marhaen dapat Menang kalau tak Bersatu ”

KONGKLUSI-KONGKLUSI

I. Empat Sifat inheren Kapitalisme (Ekspansif, Akumulasi, Konsentrasi, dan Sentralisasi kapital) melahirkan Perusahaan-Perusahaan Raksasa; Multi National Corporation (MNC/perusahaan multi Nasional/PMN) dan Trans National Corporation (TNC/Perusahaan Trans Nasional/PTN) yang mendominasi, beroperasi, dan mengontrol ekonomi politik dunia. Perusahaan Multi Nasional dan Trans Nasional itu dikuasai oleh segelintir kelas kapitalis internasional[25]. Inilah yang disebut dengan “imperialisme Global”.

II. Perusahaan-perusahaan Multi Nasional dan Trans Nasional itulah yang menguasai perekonomian Dunia, termasuk Indonesia sendiri. Misalnya seperti Farallon yang menguasai saham BCA, STT singapura menguasai saham Indosat, Exxon Oil menguasai eksplorasi minyak di Aceh, Freeport menguasai penggalian tembaga dan emas di Papua, Caltex, Uniliver, Toyota Motors, Dsb.

III. Negeri Indonesia menjadi:
Pertama, tempat pengambilan bekal industri (Grondstofgebieden) oleh perusahaan-perusahaan Raksasa kapitalis internasional/global tersebut. Misal, Exxon oil di Aceh, Freeport di Papua, dsb.
Kedua, pasar (Afzetgebieden) penjual produk-produk perusahaan kapitalisme internasional tersebut.
Ketiga, tempat penanaman modal (exploitatiegebieden dari surplus Kapital). Penanaman atau eksploitasi kapital terhadap negeri Indonesia itu dilakukan dalam berbagai cara dan manifestasinya. Misalnya melalui investasi baik yang footloose maupun portofolio. Penanaman kapital itu sendiri menimbulkan eksploitasi tenaga buruh dan kekayaan alam (basis material) Indonesia.
Keempat, Indonesia menjadi tempat penyedia tenaga buruh bagi perusahaan-perusahaan kapitalis internasional tersebut.
Kelima, tempat penjarahan. Aset-aset milik negara (BUMN dan BPPN) dijarah oleh kapitalis internasional akibat krisis ekonomi dan utang luar negeri Indonesia melalui intervensi IMF.
IV. Kapitalisme Global akan melahirkan kontradiksi Global. Kasus Perang Irak (2002) adalah salah satu korban kotradiksi Global di awal milenium ini. Kontradiksi-kontradiksi (krisis basis material, over produksi, over kapital, anakhi produksi) lainnya pasti akan terjadi, atau dalam istilahnya Huntington disebut dengan benturan antar peradaban. Kemudian Kontradiksi Global itu melahirkan Imperialisme/fasisme Global. (Tesis Lenin tentang Perang/imperialisme ketika kapitalisme dalam kondisi krisis)

V. Demokrasi (Liberal) tersebut ternyata bukan solusi, sebab siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, tidak melibatkan rakyat Indonesia di dalamnya. Kapitalis internasional, elit politik dan pemerintah, birokrat koruptor, elit partai, pengusaha komparadorlah yang mendapatkan aset-aset ekonomi politik, dalam situasi dan kondisi gelombang demokratisasi dan globalisasi/neoliberalisasi.

AKIBAT-AKIBAT PERKEMBANGAN KAPITALISME BAGI RAKYAT INDONESIA
I.Rakyat Indonesia menjadi kuli di negeri sendiri, kuli di antara bangsa-bangsa, dan kuli kaum Kapitalis internasional. Jumlah kuantitas dan kualitas barisan tentara buruh dan tentara kaum penganggur (industrielle Reserve-armee) terus meningkat. Terjadi proses verelendung (pemelaratan kaum buruh) dan pauvesering (Pemiskinan masyarakat Indonesia)
II. Rakyat Indonesia menjadi konsumer produk-produk kapitalisme internasional.
III. Rakyat Indonesia hidup dalam sistem exploitation.