Agustus 24, 2008

Artikel FNMPP

“OTSUS HARAPAN atau KEMATIAN ?”
Oleh: Zadrak H


Menyikapi dinamika perkembangan situasi dan kondisi yang telah dan sedang terjadi di Tanah Papua sejak diberlakukannya UU. RI. No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hingga memasuki tahun ke 7 (tujuh) 2008. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat bedasarkan aspirasi dan hak-hak masyarakat Papua. Sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat khususnya masyarakat Papua, Pemerintah Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) diberikan hak desentralisasi seluas-luasnya untuk mengatur wilayah tanah Papua seluas 421.981 km persegi yang didiami oleh 312 suku pemilik tanah Papua. Dimana kebijakan Otonomi Khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara.

Dengan berdasarkan bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bahwa system pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewah yang diatur dalam Undang-Undang. Bahwa integrasi bangsa Papua dalam wadah NKRI harus dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan social budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi khusus.

Berdasarkan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia dan dengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR-RI) berdasarkan sila pertama Pancasila telah mempertimbangkan dengan Rahmat TUHAN Yang Maha Esa telah memutuskan dan Menetapkan Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sesuai dengan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Maka pemerintah pusat melalui wakil pemerintahnya baik di tingkat Provinsi (Prov. Papua dan Papua Barat), Pemerintah Daerah maupun kota dan jajaran legislativenya tidak melaksanakan dengan murni dan konsekwen Amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila untuk mewujudkan masyarakat Asli Papua yang adil, makmur dan sejahterah yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara.
Untuk menciptakan masyarakat Papua yang Adil dan Makmur serta sejahtera berdasarkan tujuan UUD 1945 dan Pancasila, maka yang menjadi isi atau substansi dari Undang-Undang ini adalah :

Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri :
a.Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b.Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian linhkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
c.Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.

Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggungjawab yang tegas dan jelas antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representative cultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Sesuai dengan keempat substansi dari UU. RI. No. 21 Tahun 2001 tersebut diatas adalah memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara. Berdasarkan maksud tersebut diatas, maka Pemerintah Republik Indonesia tidak memenuhi kewajibannya memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap jati diri orang asli Papua yang adalah bagian dari warga Negara, serta tidak menegakkan supremasi hukum, memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua, tidak ada demokrasi bagi orang asli Papua untuk menyelenggarakan kewenangan khusus sesuai dengan aspirasi dan prakarsa sendiri untuk membangun dirinya disegala bidang kehidupan, tidak adanya perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak Asasi manusia Papua serta tidak adanya persamaan hak dan kedudukan sebagai warga Negara Indonesia.

Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan. Upaya pemerintah menyelesaikan masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan yang berujung pada konflik structural, konflik kepentingan, konflik nilai, dan konflik human relation atau hubungan antar manusia. Dimana konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (manifest), dan konflik terbuka.

Pertama , Konflik structural yaitu ketika terjadi ketimpangan untuk melakukan akses dan control terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk mengakses dan melakukan control sepihak terhadap pihak lain. Disisi lain factor sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. Misalnya pemerintah pusat atau pemerintah RI yang berkuasa memiliki wewenang formal melalui konstitusinya atau hukumnya untuk menetapkan kebijakan umum lebih memiliki peluang untuk mengakses dan melakukan control sepihak terhadap orang asli Papua walaupun telah diberikan kewenangan khusus kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan jajarannya, namun nilai keadilan, perlindungan dan pernghargaan terhadap jati diri orang asli Papua samasekali tidak berarti bagi pihak penguasa yang memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum karena factor sejarah dan waktu. Faktor sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI 1 Mei 1963, New York Agreement 15 Agustus 1962, serta PEPERA 1969 yang diwakili oleh 1025 orang serta Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) No. 2504 dijadikan dasar hukum untuk mengontrol 312 suku asli Papua dan wilayah seluas 421.981 km persegi.

Kedua, Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentigan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumber daya fisik, waktu dll), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat dll). Misalnya masalah utang luar negeri Indonesia yang harus dibayar secepatnya sesuai dengan jatuh tempo kepada IMF atau World Bank atau pinjaman luar negeri lainnya, atau masalah kekurangan natural resource (SDA) khususnya di Pulau Jawa, kemiskinan yang menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat, tingginya angka penggangguran, tingginya angka kematian ibu dan anak, tingginya angka kriminalitas bermotif kemiskinan, korupsi, dan nepotisme adalah dampak dari factor kepentingan baik kepentingan pribadi ataupun golongan untuk memuaskan kebutuhannya.

Ketiga, Konflik Nilai disebabkan oleh system-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik . Manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan system nilai. Konflik nilai baru muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu system nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu system nilai yang eksklusif dimana didalamnya tidak mungkin adanya percabangan kepercayaan. Misalnya Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai ideology bangsa Indonesia atau falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, ideology bangsa kerapkali rapuh karena ideology sosialisme, atau ideology komunis. Misanya Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa : Seharusnya Negara melindungi, menghargai serta berkewajiban menjaga warga negaranya dan bukan melakukan tindakan kejahatan Negara misalnya pelanggaran HAM karena manusia diciptakan oleh TUHAN Yang Maha Kuasa.

Keempat, Konflik Human relation terjadi karena adanya emosi-emosi negative yang kuat, salah satu persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku negative yang berulang (repetitive). Masalah-masalah ini sering menghasilkan konflik-konflik yang tidak realistic atau tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik, seperti terbatasnya sumberdaya atau tujuan-tujuan bersama yang ekslusif, tidak ada. Masalah hubungan antar manusia seperti yang disebut diatas sering kali memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu. Misalnya konflik antar orang Papua akibat salah satu atau lebih perspektif atau stereotip. Contohnya pemerintah Jakarta memandang secara perspektif bahwa Otonomi khusus adalah satu-satunya solusinya penyelesaian masalah Papua, atau ada sebagian orang Papua yang memandang bahwa OTSUS bukanlah solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah Papua, atau bahkan ada sekelompok orang Papua yang bertikai akibat perbedaan persepsi tentang OTSUS, Pemekaran atau Merdeka. Tetapi ada juga konflik antar etnis Papua dan Non Papua ataukah konflik antar suku dengan suku.
Dari keempat konflik tersebut diatas, konflik pada dasarnya konflik di Papua berwujud menjadi tiga (3) bentuk konflik yaitu konflik tertutup (latent), konflik mencuat (emerging), dan konflik terbuka (manifest). Konflik tersembunyi (latent/tertutup) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak boleh jadi belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensial pun. Misalnya diterbitkannya PP.No.77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah mengingat UUD 1945 Pasal 5 ayat (2), UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pasal 2 ayat (1) : “Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan. Ayat (2), Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan symbol cultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai symbol kedaulatan.
Ayat (3), Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.”
Dalam konteks ini, panji kebesaran dan symbol cultural bagi kemegahan jati diri orang Papua adalah bendera Bintang Fajar dan Lagu Hai Tanahku Papua.

Mengapa kemegahan jati diri orang Papua adalah bendera Bintang Fajar dan Lagu Hai Tanahku Papua?

Alasan mendasarnya adalah sebagai berikut :
1)Bahwa bendera bintang Fajar atau Bintang Kejora dan Lagu Hai Tanahku Papua telah ada dan diputuskan dalam Manifesto Politik Komite Nasional Papua (KNP) pada sidang Nieuw Guinea Raad hari Senin tanggl 30 Oktober 1961 yang pengibarannya dengan resmi pada tanggal 1 Desember 1961 atau 8 (delapan) tahun jauh sebelum UUD 1945 berlaku di tanah Papua dan jauh sebelum pelaksanaan Act of free choise (PEPERA) TAHUN 1969. Sebab didalam naskah asli Piagam Jakarta (Jakarta Charter) atau UUD 1945 wilayah Republik Indonesia hanya dari Sabang sampai Amboina bahkan sewaktu pengakuan kedalautan RIS pada saat Konferensi Meja Bundar (The rountable Conference) di Denhaag Belanda. Delegasi Indonesia yang diwakili oleh Drs. Mohamad Hatta menyatakan bahwa dia mengakui bahwa bangsa Papua Barat pun berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Begitu juga dengan Kerajaan Belanda yang hanya mengakui kedaulatan Indonesia hanya terdiri dari Sabang samapai Amboina.
2)Bahwa berdasarkan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan apirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua, maka pengusulan Bendera Bintang Fajar dan Lagu Hai Tanahku Papua menjadi Lambang Daerah sebagai Panji kebesaran dan symbol cultural bagi kemegahan jati diri orang Papua serta tidak diposisikan sebagai symbol kedaulatan adalah tidak bertentangan dengan semangat Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004;
Dan TAP MPR RI No.III/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; serta TAP MPR RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Sebab Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 21 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dari penyelesaian masalahnya belum berkembang. Misalnya pihak Jakarta atau pemerintah pusat versus pemerintah provinsi Papua yang telah diberikan kewenangan khusus, namun kemudian tidak mau mengakomodir aspirasi masyarakat setempat berdasarkan aspirasi dan prakarsa sendiri. Akibatnya penyelesaian masalah Papua tidak akan mengalami perkembangan kearah positif atau adanya win-win solution dari pemerintah pusat karena pemerintah pusat cenderung tidak melakukan negosiasi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan suatu produk hukum baru bagi orang Papua.

Konflik terbuka (manifest) adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi, dan mungkin menemui jalan buntu. Situasi social, politik dan hukum di Papua saat ini telah dan sedang berkembang menjadi konflik terbuka baik konflik vertical antara pemerintah pusat dan rakyat Papua, tetapi juga konflik horizontal antara manusia Papua dengan manusia Papua dan antara orang Papua dengan orang non Papua. Pemicu konflik ini adalah tidak terpenuhinya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan keadilan social, kemakmuran, kesejahteraan serta perlindungan dan penghargaan terhadap jati diri orang asli Papua, hak-hak dasar dan jaminan hukum bagi orang asli Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...