Agustus 11, 2008

SOSIALISME INDONESIA SUATU PERJUANGAN PERMANEN

Dalam Pusaran Globalisasi dan Gelombang Demokratisasi Abad 21

“Demokrasi (Liberal) tersebut ternyata bukan solusi, sebab siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, tidak melibatkan rakyat Indonesia di dalamnya. Kapitalis internasional, elit politik dan pemerintah, birokrat koruptor, elit partai, pengusaha komparadorlah yang mendapatkan aset-aset ekonomi politik, dalam situasi dan kondisi gelombang demokratisasi dan globalisasi/neoliberalisasi masa kini”

PENDAHULUAN

Bahwa Cita-cita Marhaenisme, yaitu Masyarakat Yang adil dan Makmur berdasarkan sosialisme Indonesia belumlah tercapai. Cita-cita luhur dan mulia Marhaenisme masih jauh dari kenyataan di dalam kehidupan Rakyat Indonesia. Peri kehidupan rakyat Indonesia masih penuh ketimpangan, kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan oleh suatu stelsel. Stelsel itu menciptakan suatu exploitation de I’homme par I’homme yang berkelanjutan dalam masyarakat Indonesia, bahkan umat manusia se-dunia.

Stelsel itu telah berumur lebih dari 2 abad. Sekarang stelsel itu “bermetamorfosa” dan menggurita menjadi “raksasa Kapitalisme Global”. Bangsa-bangsa dan umat manusia di seluruh dunia kini tak berdaya melawan “raksasa Globalisme” tersebut. Cengkeramannya semakin luas dan kuat. Yang lemah akan disikat, yang kuat semakin kuat. Inilah filosophi Globalisme kapitalisme dari masa ke masa, strongest of the fittest.

Maka dari pada itulah rakyat Indonesia harus insaf seinsaf-insafnya akan realitas yang dihadapinya itu. Segala konflik internal bangsa Indonesia harus dihentikan. Dan kekuatan rakyat harus dikonsentrasikan untuk menghancurkan stelsel kapitalisme global tersebut. Cita-cita Marhaenisme akan tercapai bila praktik perjuangan kaum marhaen dan marhaenis berkelanjutan, inilah namanya perjuangan permanen. Suatu perjuangan untuk mencapai tujuan Masyarakat Sosialis Indonesia dengan benar-benar memperhatikan ideologi Marhaenisme itu sendiri, seluk-beluk pergaulan rakyat Indonesia masa kini, dan pergaulanan masyarakat dunia.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa merestui Perjuangan Permanen kaum marhaen dan marhaenis se-Nusantara bahkan seluruh dunia.

EMPAT SIFAT PERMANEN KAPITALISME

1. Ekspansi
Sifat kapitalisme Yang pertama adalah Ekspansif, artinya kapitalisme harus terus-menerus memperlebar dan memperluas jangkauan modalnya. Sifat inilah yang menjadikan kapitalisme menyebar ke seluruh dunia. Kapitalisme adalah suatu sistem yang menghisap tenaga buruh dengan sistem nilai lebihnya (surplus value). Nilai lebih yang diperoleh dari penghisapan kaum buruh inilah yang kemudian diputar kembali ke dalam sistem produksi. Dimana kemudian nilai lebih tersebut digunakan oleh pemilik modal untuk berinvestasi kembali. Dan sebagian lainnya digunakan oleh para pemilik modal untuk kesenangan pribadinya (konsumsi individual).Jikalau timbunan modal akibat eksploitasi surplus value tadi tidak diekspansikan, maka timbunan modal itu bisa mengakibatkan; pertama, “mubazirnya” modal akibat tak fungsional, tidak digunakan. Kedua, anarkhi produksi, ketika modal hanya digunakan untuk konsumsi dan saving tetapi bukan untuk produksi. Ketiga, overcapital akan mengakibatkan sistem produksi kapitalisme tak mampu beroperasi lagi akibat kekurangan basis material. Maka dari pada itulah sistem kapitalisme harus secara terus-menerus mengekspansikan modalnya untuk mencari bahan baku (basis material) dan lahan-lahan tempat penanaman modal.

Sifat ekspansif dari kapitalisme ini dapat dengan mudah dipahami dengan melihat realitas di dalam masyarakat. Di jaman Hindia Belanda dulu misalnya, politik pintu terbuka (open the door policy) tahun 1870, menyebabkan masuknya kapital-kapital asing yang bersifat internasional, seperti kapitalnya Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, dsb dalam perkebunan-perkebunan di Jawa dan Sumatera[1]. Ekspansi Kapital itu dilakukan oleh negara-negara tersebut akibat overcapital di dalam negerinya sendiri. Di jaman sekarang ini, ekspansi kapital dilakukan dalam bentuk-bentuk investasi, baik langsung maupun tidak langsung. Jadi, pada dasarnya yang diekspansikan adalah kapital atau overcapital para pemilik modal.

2. Akumulasi
Akumulasi Kapital terjadi dari penghisapan tenaga buruh. Tenaga buruh yang dieksploitasi (nilai lebih) tidak jatuh ke tangan kaum buruh, tapi ke tangan para pemilik modal. Akibatnya kaum buruh menjadi melarat. Namun pada sisi lainnya, kaum kapitalis terus-menerus mengakumulasikan kapital dari penghisapan yang dilakukannya terhadap kaum buruh tersebut. Di Indonesia, upah kaum buruh dipatok dengan sistem UMR (upah minimum regional). Padahal UMR dibanding dengan tenaga buruh yang digunakan tidak sebanding. Standard UMR kemudian menjadi justifikasi oleh para pemilik modal untuk membayar upah buruhnya dengan harga yang rendah sesuai dengan UMR tersebut.

3. Konsentrasi
Akumulasi kapital dari surplus value tersebut kemudian dikonsentrasikan oleh pemilik modal ke dalam perusahaannya. Kapital kecil-kecil menjadi satu kapital besar.

4. Sentralisasi
Kapital besar-besar tersebut kemudian akan digabungkan menjadi kapital maha besar. Kapital maha besar inilah yang kemudian tersentralisasi ke dalam Multi National Corporatians (MNCs) dan Trans National Corporations (TNCs). Kedua jenis perusahaan inilah yang pada masa sekarang ini mendominasi ekonomi politik dunia, bahkan yang mengkonstruksi pola kehidupan umat manusia di dunia.


EMPAT TESIS BUNG KARNO TENTANG KAPITALISME DI INDONESIA
1. Pengambilan bekal hidup (Levensmiddelen)
Tesis pertama Bung Karno tentang Kapitalisme, terutama kapitalisme Belanda di Indonesia adalah bahwa Indonesia menjadi tempat pengambilan bekal hidup (Levensmiddelen).Pada awal mulanya Belanda datang ke Nusantara untuk mencari bahan-bahan untuk bekal kehidupan mereka. Orang-orang Belanda tersebut mencari rempah-rempah dan bahan-bahan untuk keperluan hidup sehari-hari mereka. Namun, lama-kelamaan Belanda tergiur dengan kekayaan alam Nusantara. Kemudian satu persatu daerah di Nusantara dikuasai oleh Belanda. Dari cara-cara perdagangan lunak, Belanda kemudian tampil dengan cara-cara Imperialis untuk memonopoli penguasaan bahan-bahan bekal hidup yang dibutuhkan oleh negerinya.

2. Pengambilan bekal industri (Grondstofgebieden)
Akibat revolusi Industri yang semula berkembang di Inggris kemudian menyebar ke benua Eropa, negeri Belanda pun terkena imbasnya. Belanda kemudian mengadakan industrialisasi kedalam cara-cara produksinya. Perkembangan Industrialisasi tersebut membutuhkan bahan baku Industri (Grondstofgebieden).Akan tetapi, negeri Belanda miskin dalam hal bahan baku industri tersebut. Oleh sebab itulah kemudian pihak Belanda mencari bekal industri itu dari kekayaan alam bangsa Indonesia. Kemudian Belanda mengubah cara imperialismenya, dari imperialisme kuno ke imperialisme modern. Perubahan dari tata cara imperialisme kuno ke imperialisme modern adalah akibat dari perkembangan kapitalisme di negeri Belanda sendiri. Perkembangan kapitalisme mendorong Belanda mengubah sarana-sarana dan cara produksinya.

3. Menjadi Pasar (Afzetgebieden)
Tesis ketiga Bung Karno adalah Indonesia menjadi pasar penjualan produk-produk kapitalisme. Pada masa Bung Karno sendiri, secara keseluruhan masyarakat Indonesia sangat miskin, daya beli rendah, kaum borjuis pribumi dimatikan (hampir tidak ada), yang mengakibatkan rakyat Indonesia tidak mampu membeli barang-barang produksi kapitalisme tersebut. Bagaimana mungkin si marhaen yang pendapatannya sebenggol sehari dapat membeli barang-barang buatan kapitalisme jika untuk makan saja sudah tidak cukup? Walaupun begitu, masih ada sebagian kecil masyarakat yang tinggal di Indonesia yang memiliki daya beli cukup. Misalnya kaum Cina pedagang di perkotaan, mereka berperan sebagai pembeli sekaligus middenstand terhadap masyarakat lainnya, masyarakat timur jauh, kaum Indo-Belanda, kaum priyayi, kaum feodal, para birokrat, dan warga asing lainnya.

Pada masa itu boleh jadi tesis Bung Karno tersebut kurang “mengena”. Akan tetapi pada masa kini, bukankah Indonesia menjadi pasar dari penjualan produk-produk kapitalisme, baik yang bersifat nasional maupun internasional?! 220 juta jumlah masyarakat Indonesia, ini adalah kawasan pasar yang sangat besar!

4. Tempat menggerakkan kelebihan kapital (exploitatiegebieden) dari surplus kapital

Akibat dari perkembangan kapitalisme tersebut, Indonesia baik pada masa Hindia Belanda dahulu, maupun kini, tetap menjadi tempat penanaman modal kapitalisme Internasional. Atau istilah ekonomi modernnya adalah sebagai tempat investasi. Dari tahun ke tahun pada masa Hindia Belanda dulu, jumlah kapital yang masuk ke Indonesia semakin besar. Akibat Indonesia menjadi tempat penanaman modal internasional itu, timbullah penghisapan tenaga kaum buruh, timbullah eksploitasi kekayaan alam, dan ketergantungan ekonomi bangsa Indonesia terhadap kapitalisme Belanda dan internasional.

PERDEBATAN TEORI EKONOMI DUNIA

Dua Aliran Teori Ekonomi:

I. Ekonomi Liberal
Bung Karno tidak terlalu banyak mengupas teori-teori ekonomi liberal ini. Sebab mainstream berpikir ekonom liberal tersebut cenderung sebagai justifikasi terhadap apa yang dilakukan oleh sistem kapitalisme sendiri. Tokoh-tokoh teorisasi ekonomi liberal misalnya Adam Smith (bapak kapitaslime klasik), David Ricardo, John Stuart Mill, dsb. Pada intinya para ekonom liberal tersebut menjustifikasi sistem kapitalisme dan imperialisme. Teori ekonom liberal kemudian berkembang menjadi teori ekonomi neo-liberal (misal, Milton Friedmen Dkk) seperti yang dipraktikkan pada masa kini dengan jargon globalisasinya.

II. Ekonomi Marxis,

para teorisasi ekonomi marxis ini dapat dibagi atas dua jenis:

1.a. Aliran Keharusan ekonomi (Economische noodwendogheid), aliran
objektifisme, berdasarkan isme. Antara Lain;

a. Rudolf Hilferding:
“imperialisme adalah ismenya finanzkapital yang mencari belegging (Imperialisme belegging).

“Ketika kapitalisme telah matang (Overrijp), bank concentratie sudah maximum doorgevuld, maka kapital tersebut harus diekpansikan, diekpansikan ke dalam industri. Kapital bukan lagi direntekan dengan cara utang piutang, akan tetapi kapital ikut campur tangan dalam industri, mendireksi industri”.

FINANZ KAPITAL --IMPERIALISME

b. Karl Kautsky:

“Imperialisme adalah suatu keharusan ekonomi, sebab tanpa imperialisme maka kapitalisme akan mati. Keharusan ekonomi menciptakan senjata perang. Imperialisme ismenya industri kapital yang mencari afzet (pasar); imperialisme dagang”.

KAPITALISME INDUSTRI ---IMPERIALISME


c. Rosa Luxemburg:

“suatu negeri kapitalis memiliki dua macam perusahaan, yaitu perusahaan yang membuat alat-alat produksi, dan perusahaan yang membuat barang- barang kebutuhan manusia sehari-hari. Pada mulanya kedua macam perusahaan itu ‘berjalan bersama’, akan tetapi kemudian timbul anarkhi produksi dan over produksi akibat dari tidak mendapat afzet (pasar). Maka diciptakanlah imperialisme”.

1.b. Bukan keharusan ekonomi, aliran subjektifisme, berdasarkan isten, Aliran Subjektif


a. Anton Pannekoek:

“ imperialisme bukan keharusan sistem produksi, keharusan ekonomi”

“ imperialisme adalah kemauan kaum kapitalis guna mendapatkan untung yang lebih tinggi”

“ Di dalam suatu masyarakat, kaum kapitalis mempunyai kekuasaan, maka kemauannya niscaya terlaksana, imperialisme niscaya terjadi”

“imperialisme adalah ‘keharusan’ di dalam suatu dunia yang kapitalistis”

b. Dr. Otto Bauer:

“bahwa kapitalisme, kerena senantiasa tambahnya penduduk di suatu negeri, tidak usah mati tanpa imperialisme”

“ imperialisme hanyalah terjadi karena nafsu angkara murka daripada kelas kapitalis, yang haus kepada untung yang lebih tinggi”

“rubuhnya kapitalisme bukanlah karena ia tertutup nafas, tetapi karena dikalahkan oleh kekuatan kekuasaan kelas proletar”
Dari berbagai perdebatan teoritik tersebut, Bung Karno di dalam tulisannya “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia” berkesimpulan, bahwa teori Hilferding adalah teori yang paling tepat dalam menjelaskan sistem imperialisme di Indonesia pada konteks dulu. Dengan angka-angka data statistik yang valid dan akurat serta kondisi objektif masyarakat, bung Karno membuktikan keakuratan teori Hilferding dalam menganalisa perkembangan kapitalisme di Indonesia pada masa itu. Indonesia menjadi tempat penanaman modal Belanda dan pihak internasional. Investasi atau penanaman modal kemudian mendireksi jalannya proses industrialisasi. Inilah yang dinamakan dengan imperialisme Kapital, atau Finance capitalism.

KONDISI OBJEKTIF: NUSANTARA dalam DUNIA, DUNIA dalam NUSANTARA

Tesis Perang Pasifik dan Benturan Peradaban Kapitalisme
Di dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial Belanda, Bung Karno mengajukan tesis tentang pecahnya perang di lautan teduh, yaitu perang pasifik. Dengan mengacu pada berbagai ahli-ahli teori ekonomi, ahli teori perang, maupun ahli politik internasional, maupun keadaan-keadaan yang nyata di dalam pergaulan masyarakat internasional, berkesimpulan bahwa akan pecahnya perang Pasifik. Antara kekuatan Amerika Cs versus Jepang Cs.

Dalam perspektif materialisme historisnya, Bung Karno mengalisa sebab-sebab dan akibat dari akan terjadinya perang pasifik tersebut. Bung Karno berkesimpulan bahwa negara-negara kapitalis, baik yang berbentuk fasisme, maupun liberal, sama-sama ingin merebut tanah jajahan seluas-luasnya. Perebutan tanah-tanah jajahan itu adalah akibat perkembangan kapitalisme di masing-masing negara yang akan berperang. Ini adalah seperti apa yang dikatakan oleh Marx sendiri, bahwa Kapitalisme memiliki kontradiksi si dalam stelselnya itu sendiri. Yaitu, pertama, krisis basis material. Basis material ini berfungsi sebagai bahan dasar utama bagi produksi kapitaslime. Kedua, krisis over produksi. Bahwa kapitalisme senantiasa mencari pasar tempat penjualan kelebihan barang produksinya. Ketiga, krisis overcapital. Bahwa akibat akumulasi dan konsentrasi kapital yang berlebihan maka banyaklah timbunan kapital yang menganggur. Modal itu harus segera dioperasikan atau diekspansikan agar berfungsi. Kapital itu berfungsi untuk penanaman modal bagi pencarian bahan baku produksi. Jika krisis-krisis ini (salah satu krisis ini) tidak dapat dicari jalan penyelesaiannya, maka perang pun tak dapat dihindarkan. Inilah keharusan sejarah akibat sistem kapitalisme tersebut. Selama dunia masih didominasi oleh sistem kapitaslisme, maka perang akan datang cepat atau lambat sebagai keharusan ekonomi dan sejarah[11].

Menurut pendapat Lenin, imperialisme atau perang terjadi ketika kapitalisme sedang menurun atau sakit. Kapitalisme berubah bentuk menjadi imperialisme. Misalnya, kapitalisme Jerman pada masa NAZI berkuasa, fasisme Jepang dalam perang pasifik. Akibat kontradiksi kapitalisme pada suatu negara tersebut tak terpecahkan lagi, maka cara apapun akan dilakukan agar tidak mati. Cara terakhir itu adalah dengan menciptakan perang. Jadi, ada hubungan yang erat sekali antara kapitalisme dengan perang di dalam sistem kapitaslime itu sendiri.

Kemudian menurut pendapat Bung Karno, ketika kapitalisme menaik atau meningkat (subur), Kapitaslime menerapkan sistem politik yang liberal di dalam negerinya. Baik pendapat Bung Karno maupun Lenin tersebut sama-sama menjelaskan seluk-beluk atau karakter kapitalisme di dalam proses perkembangannya.
Perang Irak Vs Amerika Cs: krisis Kapitalisme Global, bukan Benturan antar Peradaban

Apa apa dengan perang Irak Vs Amerika Cs?! Pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem perekonomian Amerika sendiri. Sebab Amerika adalah Aktor utama yang paling berkepentingan dalam menggempur Irak-Saddam. Aktor manakah yang bermain dibalik Amerika sendiri? Aktor-aktor itu adalah perusahaan-perusahaan raksasa minyak AS. Dari informasi yang diungkapkan oleh majalah tempo (Desember 2003), upaya rekonstruksi Irak melibatkan perusahaan-perusahaan tersebut. Ini adalah bukti bahwa Amerika telah mempersiapkan basis material minyak untuk mencegah terjadinya krisis basis material/bahan bakar bagi sistem produksi dan industrialisasinya.

Jargon Perang Amerika yang ingin membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Saddam dan hendak membawa demokrasi adalah kosong belaka[12]. Semuanya dilakukan oleh Amerika untuk Minyak. War for oil. Sebegitu pentingnya basis material minyak itu bagi kelangsungan produksi dan kehidupan ekonomi Amerika, sehingga Amerika pun menggunakan perang sebagai sarana dan instrumennya. Krisis bahan bakar minyak belumlah ada alternatif penggantinya, walaupun tenaga nuklir telah digunakan.

Sebagai kongklusi, Perang Amerika terhadap Irak adalah salah satu standar ganda ekonomi politik luar negeri AS di bidang internasional (khususnya negara dunia ketiga). Pandangan dan kebijakan AS terhadap Irak boleh jadi sangat berbeda terhadap negara lainnya, misalnya Indonesia sendiri. Hal ini tergantung dari relasi kapitalisme AS terhadap kapitalisme di negeri lain.
Gelombang Globalisasi Abad 21:

Globalisasi Kapitaslime dan Imperialisme Global

Awal milenium atau abad 21 ditandai dengan suatu peristiwa yang seharusnya membuat masyarakat dunia, dan masyarakat Indonesia khususnya lebih insaf dan cermat dalam mengamati perkembangan dunia. Perang Amerika Cs terhadap Irak-Saddam adalah suatu tanda bahwa rezim imperialisme global sedang memperlihatkan keperkasaannya. Barang siapa yang tidak tunduk, apalagi melawan terhadap rezim imperialisme global ini, akan diporak-porandakan, dihancur-leburkan. Irak adalah korban sadis imperialisme global tersebut. Sebelumnya tanah Afganistan pun juga telah dibombardir oleh Amerika. Who can stop war!?

Ketika tanda-tanda akan terjadinya perang Irak Vs Amerika semakin jelas, jutaan rakyat diseluruh dunia serentak menentang invasi AS tersebut. Hati nurani umat manusia sedunia tidak bisa berdiam diri. Aksi-aksi dan demostrasi penentangan terhadap invasi tersebut terjadi di berbagai negara, bahkan di negara-negara yang akan menyerbu Irak sendiri. Akan tetapi, rezim imperialisme global tak dapat dihentikan. Raksasa itu begitu perkasanya. Umat manusia se-dunia tak dapat menghentikannya. Invasi pun dilakukan, Irak pun jadi korban keganasan, kebrutalan, barbarianisme, dan keperkasaan raksasa itu.

Globalisasi kapitalisme berlangsung sangat cepat. Namun pada dasarnya kapitalisme tak akan meninggalkan sifat-sifat dasarnya yang harus dimilikinya. Pertama, constant capital, yang berfungsi mendukung proses produksi. Ini dinamakan dengan basis material atau perlengkapan untuk diproduksi. Kedua, Variabel capital, tenaga buruh yang digunakan sebagai tenaga produksi. Ketiga, surplus value, yaitu nilai lebih dari eksploitasi tenaga buruh. Keempat, pasar, adalah tempat perjualan barang-barang hasil produksi sistem kapitalisme. Kelima, tempat investasi, yaitu tempat penanaman overcapital. Kelima sifat dasar sistem kapitalisme tersebut harus dimiliki oleh kapitalisme, jikalau ia tak mau hancur. Dalam kasus perang Irak misalnya, Irak adalah korban dari keharusan sistem kapitalisme AS Cs untuk memenuhi kebutuhan basis material, yaitu minyak.

Gelombang globalisasi kapitalisme memaksa negara-negara di dunia untuk membuka negaranya bagi masuknya kapitalisme global/internasional. Dari segi basis material, kapitalisme AS Cs menggempur kedaulatan Irak untuk mencukupi kebutuhannya tersebut. AS Cs menggunakan cara imperialisme (hard policy) untuk menjebol Irak.

Namun di bagian dunia lain, Kapitalisme global memaksa negara-negara, khususnya negara dunia ketiga untuk membuka negaranya sebagai: pasar, tempat penanaman modal, pengambilan bahan baku, persediaan tenaga buruh. Globalisasi tampil dengan cara-cara yang ‘halus’ dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi politik dalam negeri negara dunia ketiga, yaitu melalui structural and adjusment policy (SAP)[15] atau semacam glasnost dan perestorika (liberalisasi ekonomi).

Abad 21 adalah abad imperium dunia, perusahaan-perusahaan multi nasional dan trans nasional yang beroperasi diseluruh dunia mengontrol jalannya perekonomiaan dunia. Perusahaan-perusahaan ini adalah aktor yang memaksa negara-negara dunia ketiga untuk membuka negaranya bagi masuknya cengkeraman-cengkeraman perusahaan itu. Bung Karno dalam sarinah mengatakan bahwa;

”tatkala produksi di masing-masing negara telah menaik, tatkala produksi itu membangunkan eksport dan import yang membumbung tinggi, terbangunlah satu perlalu-lintasan dan perdagangan internasional yang amat giat, terlahirlah satu ekonomi yang bukan lagi ekonomi nasional tetapi ekonomi dunia, terhapuslah pagar-pagar yang seram memisahkan negara yang satu dari negara yang lain”[16].

Negara Indonesia pun mau tak mau mengalami hal ini. Namun persoalannya, bangsa Indonesia menjadi korban dari ketamakan dan ketimpangan perdagangan internasional dan global.
Gelombang Demokratisasi (ketiga) dunia dan kemenangan Kapitalisme Global

Sebagai mainstream dalam diskursus politik dunia, gelombang demokratisasi dan kemenangan kapitalisme global harus benar-benar dicermati. Diskursus ini tidak hanya bersifat teoritis belaka, tapi menjadi diskursus yang bersifat hegemonik yang akan mempengaruhi pemikiran politik banyak negara di dunia, bahkan dalam relasi internasional. Seakan-akan dunia telah berakhir dengan kapitalisme tampil sebagai the winner dan demokrasi liberal sebagai the only one solution atas politik dunia.
Yang perlu dikritisi adalah, hal apa dibalik diskursus tersebut? Mengapa gelombang demokratisasi ketiga itu gencar dikampanyekan pihak barat (Amerika Cs)? Apa dampak gelombang demokratisasi liberalisme tersebut bagi negara-negara dunia ketiga? Mengapa globalisasi menjadi arus wacana dominan? Apa dampak globalisasi tersebut bagi negara-negara berkembang dan terbelakang? Pertanyaan ini haruslah dijawab untuk memformulasikan wacana counter hegemonic dan praksis counter hegemonik.

Kampanye masif atas kemenangan kapitalisme dengan jargon globalisasi dan kampanye kemenangan demokrasi liberal dengan jargon gelombang demokratisasinya adalah upaya Amerika (pihak negara-negara kapitalis) untuk menjustifikasi dan mengkonstruksi pola pikir masyarakat dunia bahwa ideologinya tersebutlah yang paling benar dan satu-satunya kebenaran di dunia. Negara-negara berkembang sendiri tak berdaya melawan arus globalisasi yang dasyat tersebut. Berbagai krisis ekonomi seperti di kawasan Asia Tenggara, Korea Selatan, Mexico, Brasil, Argentina, adalah bukti bahwa globalisasi kapital tak segan-segan memporak-porandakan bangunan ekonomi suatu negara jikalau negara itu menghambat atau menghalangi ekspansi kapitalisme tersebut. Instrumen-instrumen kapitalis internasional, seperti IMF, World Bank, WTO, memaksa negara-negara berkembang untuk menuruti berbagai kebijakan yang dirancang oleh kaum kapitalis internasional. Kebijakan privatisasi, deregulasi, denasionalisasi, liberalisasi dipaksakan untuk diterapkan bagi seluruh negara di dunia. Terjadi apa yang dinamakan penindasan global atas bangsa-bangsa, atas umat manusia di seluruh dunia.
Di sisi lainnya, gelombang demokratisasi menyapu rezim-rezim otoriter dunia ketiga. Seperti yang terjadi di Taiwan, Mexico, Brasil, Turki, Peru, Nigeria, Filipina, Korea, Argentina, Indonesia, dsb. Rezim-rezim otoriter tumbang. Namun setelah itu, masuklah liberalisasi dan globalisasi kapitalisme atas negara-negara tersebut. Dalam pandangan Petras dan Meyer, Demokrasi (liberal) itu cenderung bersifat instrumentalis. Menurut Pertras dan Meyer;

“Para kapitalis itu sendiri cenderung memiliki pandangan instrumentalis tentang demokrasi di mana kebenaran-kebenaran atau kesalahan-kesalahannya didefinisikan dalam pengertian kepentingan-kepentingan kepemilikan. Pemahaman ini menyebabkan kita bisa melihat pergeseran hubungan antara demokrasi dan kapitalisme di waktu dan tempat yang berbeda. Ketika sebuah negara demokrasi diperintah oleh kelas kapitalis atau, lebih mungkin, dijalankan dengan kepentingan-kepentingannya, demokrasi dianggap sebagai sesuatu ‘yang baik di dalam dirinya sendiri’. Namun demikian, ketika negara tersebut menyediakan platform untuk mengubah hubungan-hubungan sosial dan kepemilikan, maka negera cenderung melihat demokrasi sebagai barang ‘mewah’, yang bisa ditelan habis dan secara tepat diganti dengan sistem otoriter yang lebih baik dalam melindungi hubungan-hubungan kepemilikan dan kekayaan”.

Petras dan Meyer ingin menegaskan bahwa apapun bentuk sistem politik suatu negara, baik itu otoriter maupun demokrasi asal itu menguntungkan bagi kaum kapitalis, maka sistem itu akan didukung. Demikianlah dari kasus-kasus yang pernah terjadi, ketika suatu rezim otoriter tidak lagi mengntungkan bagi kaum kapitalis internasional, maka rezim itu akan ditumbangkan (misal dalam kasus penggulingan rezim otoriter Suharto di Indonesia). Namun ketika rezim otoriter itu masih bermamfaat bagi kaum kapitalis, maka rezim itu masih tetap dipertahankan.

Berbeda dengan Petras dan Meyer seperti yang dikutip dalam buku mereka, menurut para teorisasi pro kapitalisme (Schumpeter, 1941; Friedmen dan Friedmen, 1980), berpendapat bahwa pertumbuhan kapitalisme dan demokrasi saling terkait. Disini pasar bebas dan pemilu yang bebas dipandang sebagai proses-proses yang saling memperkuat, atau yang satu dianggap sebagai penciptaan prakondisi-prakondisi untuk lainnya: liberalisasi ekonomi yang membebaskan kekuatan-kekuatan perkembangan ekonomi untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi demokrasi atau, sebaliknya, liberalisasi politik dan demokrasi yang menciptakan kondisi-kondisi bagi pembangunan ekonomi (Diamond, 1992; Inkeles, 1990; Landes, 1969; Lindblom, 1977; Rostow, 1960). Menurut alur pemikiran ini, pasar bebas memperbanyak pilihan, menumbuhkembangkan individualisme dan memajukan pluralisme sosial, semua bumbu yang penting bagi demokrasi. Alternatifnya, sebuah sistem politik yang demokratis dianggap sebagai sarana yang sangat diperlukan untuk menyelamatkan kondisi-kondisi kapitalisme yang optimal atau sangat diperlukan, yang dipandang sebagai bentuk paling efektif dan efisien dari pembangunan ekonomi.[21] Jadi, menurut pandangan para teorisasi liberal tersebut, kapitalisme mendukung suatu sistem politik yang demokratis bagi beroperasinya sistem kapitalisme itu sendiri.

Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, kapitalisme mendorong terciptanya negara-negara otoritarian di dunia ketiga. Argumentasi pokok mereka adalah, bahwa kapitalisme membutuhkan rezim yang otoritarian untuk mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sistem kapitalisme tersebut. Rezim otritarian diperlukan oleh kapitalisme untuk menghentikan gerakan-gerakan reaksioner dari rakyat yang menentang sistem kapitalisme tersebut.

Dari ketiga pemikiran di atas, pandangan Petras dan Meyer memiliki nilai teoritik da praksis yang kuat. Terbukti dari berbagai studi kasus yang dilakukan oleh mereka menjelaskan bahwa, Baik pada rezim otoriter ataupun demokrasi (liberal), kapitalisme akan tetap tumbuh subur, apabila masing-masing bentuk rezim itu menguntungkan bagi pasar. Tapi jika sebaliknya, maka rezim itu akan digulingkan dan digantikan oleh rezim yang lebih menguntungkan bagi kapitalisme internasional.
Indonesia dalam pusaran Gelombang Demokratisasi Ketiga, Euforia, konflik internal, dan Neoliberalisasi: who get what when and who?
Jatuhnya rezim otoriter Suharto disambut dengan gegap-gempita oleh mahasiswa, barisan kelas menengah oposan, kelompok intelektual kontra Suharto, dan masyarakat luas. Di sana-sini terdengar teriakan dan hujatan terhadap sang dikatator tersebut. Gambar-gambar dan foto-foto Suharto dibakar dan dikoyak-koyak. Kelompok Militer dan Golkar digugat dengan berbagai skandal, persoalan, dan kasus-kasus KKN. Seluruh masyarakat menyambut dengan gembira turunnya Suharto dan mengharapkan angin demokratisasi segera berhembus.
Namun sebelum tata cara dan sistem demokrasi itu dibangun, IMF telah menyusup masuk ke Indonesia dengan topeng sebagai “dokter” yang membawa resep penyelesaian krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebelum pemilu tahun 1999 dibangun infrastruktur dan mekanisme sistemnya, paket Structural and adjusment (SAP) IMF telah mempersiapkan tata cata, aturan main, kebijakan, dan sistem liberalisasi ekonomi di Indonesia. 51 butir Letter of intern (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF adalah bentuk intervensi agen kapitalis internasional itu untuk menguasai perekonomian bangsa Indonesia. Kebijakan privatisasi, perjualan aset-aset negara yang vital, liberalisasi dan deregulasi ekonomi adalah manifestasi usaha IMF dan kaum kapitalis internasional untuk “merampok” aset-aset ekonomi Indonesia. Inilah Imperialisme Kapitalisme Internasional yang hendak menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain[22]. Ia adalah wujudnya politik ekonomi kapitalis internasional di era globalisasi abad 21 ini.

Dari kejadian-kejadian di atas, dapat ditarik kongklusi, bahwa rezim otoriter Suharto sudah tidak lagi menguntungkan bagi kapitalis internasional, oleh karena itu hancurkan. Rezim otoriter Suharto hanya menuntungkan bagi keluarga cendana, kroni-kroninya, para teknokrat, konglomerat nasional, dan bisnis militer, sedangkan kapitalis internasional tidak kebagian banyak. Gelombang demokratisasi dihembuskan di Indonesia digunakan sebagai sarana dan instrumen untuk memukul Rezim otoriter Suharto.

Pasca jatuhnya Suharto, bangsa Indonesia mengalami euforia pasca rezim otoriter. Euforia demokrasi itu menimbulkan persoalan konflik-konflik internal bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sibuk dengan euforia demokrasi tersebut, sedang agenda-agenda imperialis IMF dan kapitalis internasional terus berjalan. Bangsa Indonesia masing-masing sibuk dalam pertarungan politik untuk mendapatkan kekuasaan dan “jatah” perebutan aset-aset ekonomi yang masih bisa untuk diambil. Sekarang euforia dan harapan akan demokrasi membawa perubahan dan kemajuan semakin menurun, rakyat Indonesia bosan dan lelah dalam kondisi transisi yang tidak pasti seperti ini. Demokrasi (liberal) tersebut ternyata bukan solusi, sebab siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, tidak melibatkan rakyat Indonesia di dalamnya. Kapitalis internasional, elit politik dan pemerintah, birokrat koruptor, elit partai, pengusaha komparadorlah yang mendapatkan aset-aset ekonomi politik, dalam situasi dan kondisi gelombang demokratisasi dan globalisasi/neoliberalisasi.

Orde Marhaenisme dan “orde Reformasi”

“Yang terpenting bahwa penggunakan salah satu cara bukanlah soal pilihan, tapi lebih kepada persoalan kehendak sejarah (situasi dan kondisi)”

Reformasi adalah ibarat suatu “zeitgeist”, suatu semangat zaman yang mengalir begitu deras pada medio tahun 1998. Istilah ini menjadi mainstream yang menenggelamkan model-model pergerakan lainnya pada masa ketika itu. Reformasi adalah salah satu cara atau jalan perubahan yang ditempuh oleh sebagian besar elit dan rakyat untuk menumbangkan Suharto Cs dan melakukan perubahan pasca Suharto. Memang benarlah sabda Heraclitus bahwa tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Menurut Heraclitus perubahan adalah hukum gerak sejarah itu sendiri[24]. Pertanyaannya adalah kemudian adalah bagaimanakah cara yang dilakukan atau digunakan dalam melakukan perubahan itu sendiri?

Di dalam terminologi marhaenisme tidak dikenal term reformasi. Bahkan bung Karno sendiri sejak muda tidak sepakat dengan cara tersebut. Cara perjuangan yang digunakan oleh BK adalah revolusi, suatu cara perjuangan yang dilakukan secara cepat dan radikal. Bukan dengan cara-cara piecemeal social engineering, suatu rekayasa sosial bongkar pasang (tambal sulam) seperti cara reformasi. Terlepas dari perdebatan kedua cara diatas, yang terpenting bahwa penggunakan salah satu cara bukanlah soal pilihan, tapi lebih kepada persoalan kehendak sejarah (situasi dan kondisi). Walaupun ratusan orang teriak.”revolusi!”, tetapi ketika arus sejarah berkata lain, maka sulitlah revolusi itu diwujudkan. Harus ada pararelisme menuju satu titik antara kondisi objektif dan subjektif. Jikalau salah satu syarat saja tidak ada, maka revolusi pun tak mungkin bisa terjadi.

Tatkala Orde Baru berkuasa seluruh kekuatan-kekuatan rakyat diberangus dan ditindas, baik yang bersifat revolusioner dan reformis. Dengan metode-metode represif (state apparatus coersive); pembantaian, pemukulan, penyiksaan, penembakan, pemenjaraan, dan dengan metode-metode hegemonik (state apparatus ideology); de-ideologisasi, de-politisasi, asas tunggal, floating mass, semua kekuatan anti Orde Baru dihancurleburkan. Situasi 30 tahun-an tersebut yang menyebabkan tidak lahirnya kekuatan-kekuatan progresif sebagai syarat bagi perubahan cepat dan radikal. Persatuan nasional/perjuangan gotong royong seluruh rakyat (Sammenbundeling van alle revolutionare krachten) belum bisa diwujudkan. Sebab apa yang mau satukan bila serpihan-serpihan pecahan itu tidak sadar akan bentuknya sendiri akibat proses 30 tahun-an itu.

Di dalam teori negara marhaenisme, negara adalah suatu machtorganisatie yang berfungsi sebagai; alat perjuangan bangsa dan perumahan bangsa. Dalam tahapan perjuangan strategis dikenal istilah revolusi dua tahap, yaitu revolusi nasional terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan revolusi nasional pada fase selanjutnya. Revolusi nasional harus dilakukan terlebih dahulu untuk merebut kekuasaan politik, yaitu dengan mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat. Kemudian setelah itu, dengan adanya negara merdeka dan berdaulat itu, perubahan sosial pun dilakukan. Jadi, negara adalah alat revolusi (perubahan) sosial struktur masyarakat untuk menghilangkan sistem sosial feodalisme dan kapitalisme. Sebagai machtorganisatie sistem kekuasaan itu kedaulatannya berada di tangan massa rakyat. Negara pun bukannya menghilang ketika revolusi sosial telah dilakukan, negara tetap ada sebagai alat perubahan bangsa dan perjuangan bangsa baik secara nasional maupun dalam pergaulan di dunia internasional.

Teori negara marhaenisme berbeda dengan teori negara komunisme yang mengatakan bahwa negara akan menghilang dengan sendirinya ketika revolusi sosial menuju komunisme telah tercapai, yaitu suatu masyarakat tanpa negara (stateless society) dan masyarakat tanpa kelas (classless society). Menurut Marx negara adalah instrumen dominasi kelas borjuasi, tapi dalam teori marhaenisme negara dikonsepkan sebagai instrumen perjuangan bangsa dan perumahtanggaan rakyat.

Setelah revolusi nasional 17 Agustus tahun 1945 negara Indonesia merdeka pun diproklamasikan. Ini berarti pasca 17 agustus 1945 tersebut bangsa Indonesia telah memiliki suatu negara sendiri. Berarti tahapan revolusi nasional telah dilakukan walaupun masih ada agresi I dan II dari pihak Belanda yang ingin kembali merebut dominasi politiknya atas bumi pertiwi. Ini berarti juga pasca berdirinya negara republik Indonesia, persoalannya bukan lagi melakukan revolusi nasional atau persoalan merebut kekuasaan politik dari tangan para penjajah. Tetapi kini, intinya adalah bagaimana agar kekuasaan negara dikembalikan ke tangan rakyat bagi perikehidupan massa rakyat itu sendiri sekaligus mengembalikan negara sebagai alat revolusi (perubahan) sosial, bukan sebagai alat dominasi kelompok-kelompok elit.

Bagaimana dengan “orde reformasi”? Realitas politik orde reformasi adalah munculnya dominasi kelompok-kelompok elit. Maka proses politik yang terjadipun adalah sirkulasi kekuasaan di tangan kelompok-kelompok elit tersebut. Massa rakyat akibat proses de-politisasi dan floating mass 30 tahun-an Orde Baru teralienasi dari para pemimpinnya (baca: para elit). Pada elit pun juga tercerabut dari massa rakyat tersebut. Jadi, ada dua bentuk hubungan antara elit dengan massa rakyat pada masa kini; pertama, teralienasi (hubungan mengambang); kedua, rakyat menjadi instrumen mobilisasi politik elit. Dalam hubungan itu posisi massa rakyat dengan elit bersifat subordinatif dan inferior. Akibat marginalnya posisi massa rakyat tersebut maka marginal juga perikehidupannya. Tugas kaum Marhaenislah untuk menggorganisir massa marhaen tersebut agar posisi mereka tidak selalu marginal dan tertindas.

“Orde reformasi” memang bukan tujuan kaum Marhenis dan Marhaen Indonesia, tapi ia adalah suatu realitas. Yang terpenting adalah bagaimana menyatukan kekuatan kaum Marhaen yang dipelopori oleh kaum Marhaenis dibawah panji Marhaenisme!!! Barisan Nasionalis Pasti Menang!

“ Kekuasaan harus kita rebut demi penyebaran ideologi Marhaenisme.

Tapi, Mana mungkin Marhaenis & Marhaen dapat Menang kalau tak Bersatu ”

KONGKLUSI-KONGKLUSI

I. Empat Sifat inheren Kapitalisme (Ekspansif, Akumulasi, Konsentrasi, dan Sentralisasi kapital) melahirkan Perusahaan-Perusahaan Raksasa; Multi National Corporation (MNC/perusahaan multi Nasional/PMN) dan Trans National Corporation (TNC/Perusahaan Trans Nasional/PTN) yang mendominasi, beroperasi, dan mengontrol ekonomi politik dunia. Perusahaan Multi Nasional dan Trans Nasional itu dikuasai oleh segelintir kelas kapitalis internasional[25]. Inilah yang disebut dengan “imperialisme Global”.

II. Perusahaan-perusahaan Multi Nasional dan Trans Nasional itulah yang menguasai perekonomian Dunia, termasuk Indonesia sendiri. Misalnya seperti Farallon yang menguasai saham BCA, STT singapura menguasai saham Indosat, Exxon Oil menguasai eksplorasi minyak di Aceh, Freeport menguasai penggalian tembaga dan emas di Papua, Caltex, Uniliver, Toyota Motors, Dsb.

III. Negeri Indonesia menjadi:
Pertama, tempat pengambilan bekal industri (Grondstofgebieden) oleh perusahaan-perusahaan Raksasa kapitalis internasional/global tersebut. Misal, Exxon oil di Aceh, Freeport di Papua, dsb.
Kedua, pasar (Afzetgebieden) penjual produk-produk perusahaan kapitalisme internasional tersebut.
Ketiga, tempat penanaman modal (exploitatiegebieden dari surplus Kapital). Penanaman atau eksploitasi kapital terhadap negeri Indonesia itu dilakukan dalam berbagai cara dan manifestasinya. Misalnya melalui investasi baik yang footloose maupun portofolio. Penanaman kapital itu sendiri menimbulkan eksploitasi tenaga buruh dan kekayaan alam (basis material) Indonesia.
Keempat, Indonesia menjadi tempat penyedia tenaga buruh bagi perusahaan-perusahaan kapitalis internasional tersebut.
Kelima, tempat penjarahan. Aset-aset milik negara (BUMN dan BPPN) dijarah oleh kapitalis internasional akibat krisis ekonomi dan utang luar negeri Indonesia melalui intervensi IMF.
IV. Kapitalisme Global akan melahirkan kontradiksi Global. Kasus Perang Irak (2002) adalah salah satu korban kotradiksi Global di awal milenium ini. Kontradiksi-kontradiksi (krisis basis material, over produksi, over kapital, anakhi produksi) lainnya pasti akan terjadi, atau dalam istilahnya Huntington disebut dengan benturan antar peradaban. Kemudian Kontradiksi Global itu melahirkan Imperialisme/fasisme Global. (Tesis Lenin tentang Perang/imperialisme ketika kapitalisme dalam kondisi krisis)

V. Demokrasi (Liberal) tersebut ternyata bukan solusi, sebab siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, tidak melibatkan rakyat Indonesia di dalamnya. Kapitalis internasional, elit politik dan pemerintah, birokrat koruptor, elit partai, pengusaha komparadorlah yang mendapatkan aset-aset ekonomi politik, dalam situasi dan kondisi gelombang demokratisasi dan globalisasi/neoliberalisasi.

AKIBAT-AKIBAT PERKEMBANGAN KAPITALISME BAGI RAKYAT INDONESIA
I.Rakyat Indonesia menjadi kuli di negeri sendiri, kuli di antara bangsa-bangsa, dan kuli kaum Kapitalis internasional. Jumlah kuantitas dan kualitas barisan tentara buruh dan tentara kaum penganggur (industrielle Reserve-armee) terus meningkat. Terjadi proses verelendung (pemelaratan kaum buruh) dan pauvesering (Pemiskinan masyarakat Indonesia)
II. Rakyat Indonesia menjadi konsumer produk-produk kapitalisme internasional.
III. Rakyat Indonesia hidup dalam sistem exploitation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...