Agustus 11, 2008

Menakar Pergerakan Mahasiswa Aceh

Sejak masa sebelum kemerdekaan, masa orde lama, orde baru hingga zaman reformasi, pergerakan mahasiswa memang menjadi topik kajian yang menarik, khususnya bagi peneliti yang bergelut dalam ranah ilmu-ilmu sosial. Tak jarang dari beberapa pergerakan mahasiswa yang terjadi di negeri ini telah melahirkan sosok – sosok pemuda baru yang “berkarakter kuat�. Soe Hok Gie misalnya adalah seorang aktivis negeri ini yang berhasil menjadi figur/idola pada masanya. Begitu fenomenalnya sosok Soe Hok Gie sampai–sampai seorang sineas muda negeri ini berinisiatif menghidupkan kembali sosoknya dalam film layar lebar yang berjudul Gie.

Saya jadi teringat salah seorang teman wanita saya yang juga mantan aktivis mahasiswa yang sekarang berprofesi sebagai Staf Pengajar pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Aceh. Suatu ketika dalam sebuah acara seremonial dia menceritakan buku biografi Gie. Rupanya diam – diam dia termasuk salah satu pengagum Gie. Tapi yang menarik bagi saya bukanlah cerita tentang Soe Hok Gie, melainkan tentang model–model pergerakan mahasiswa dari masa Gie sampai sekarang. Teman saya itu menyimpulkan bahwa sesungguhnya pergerakan mahasiswa yang terjadi pada masa Gie saat ini kembali terulang di Indonesia dan khususnya di Aceh. Lalu sayapun berkata bahwa; “Pergerakan mahasiswa sama dengan fashion (model pakaian) yang temanya dapat berputar dari masa lalu walaupun ada sedikit pernak–pernik dan potongan yang sedikit bervariasi�. Teman saya ternyata setuju.

Apa dan bagaimana sesungguhnya gerakan mahasiswa Aceh saat ini hingga penulis terdahulu mengangkat kasus mahasiswa IAIN yang mendemo Rektor sebagai gejala anomali gerakan mahasiswa?.

Ada beberapa hal dalam tulisan Sahlan Hanafiah tersebut yang ingin saya kritisi. Saya dapat memahami apa maksud tersirat dan tersurat dari tulisan tersebut, namun karena sudut pandang yang berbeda sesuai dari latar belakang keilmuan saya dan Sahlan menyebabkan saya tergelitik untuk mengkritisinya.

Pertama, Sahlan mengatakan bahwa mahasiswa telah kehilangan rasa percaya diri dengan kehadiran lembaga–lembaga yang lebih “mentereng� di Aceh. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, karena jika itu yang terjadi semestinya sampai hari ini kita tidak lagi melihat sejumlah spanduk kegiatan yang dilaksanakan oleh sejumlah lembaga mahasiswa. Kegiatan–kegiatan tersebut walaupun tidak bersifat radikal, namun namun cukup memberi petunjuk bahwa gerakan mahasiswa belum mati.

Fenomena yang terjadi sekarang justru lembaga–lembaga mahasiswa belum memperoleh perhatian maksimal dari sejumlah lembaga asing dan juga BRR. Pengalaman Penulis ketika mengikuti salah satu forum yang diselenggarakan salah satu LSM lokal di Aceh bahwa ada seorang mahasiswa wakil dari lembaga UKM pencinta lingkungan Unsyiah yang menceritakan sejumlah kegiatan yang berfokus pada lingkungan yang telah mereka lakukan secara mandiri--semula mereka sempat mengajukan proposal ke lembaga asing namun hasilnya ditolak.

Fakta yang lain, ketika suatu proyek sudah menang tender, maka lembaga mahasiswa juga kerap ditinggalkan oleh lembaga diluar kampus yang mengajak mereka untuk berkolaborasi dalam suatu proyek, padahal pada saat melakukan proses need dan assessment mahasiswa justru dilibatkan. Selanjutnya ketika Penulis menghadiri kegiatan seminar yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga mahasiswa namun anehnya semua narasumber plus keynote speakernya berhalangan hadir dan semuanya diwakilkan. Selain itu juga tak ada satupun wakil dari lembaga asing yang diundang oleh panitia untuk menghadiri acara tersebut. Fakta ini membuat Penulis kembali membatin, apakah semua ini terjadi karena yang menyelenggarakan kegiatan adalah lembaga mahasiswa yang notabene kurang mentereng atau karena sebab lain. Fenomena ini sangat jarang penulis temui sebelum tsunami melanda Aceh. Artinya, masih ada sejumlah faktor lain yang perlu kita kaji.

Kedua, pendapat bahwa saat ini aktivis mahasiswa terbagi dalam dua kelompok, satu berhaluan kanan dan yang lainnya berhaluan kiri, dimana kelompok yang berhaluan kanan tidak mampu membaca realitas sosial, seakan–akan gerakan mereka hanya sebatas gerakan dalam taraf “aman� dalam pandangan 'pihak-pihak tertentu'. Sedangkan kelompok yang berhaluan kiri yang dikatakan mampu membaca realitas sosial menjadi kelompok yang bersifat oposan dan bercitra “negatif� dalam pandangan pihak–pihak tertentu pula. Dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa memang benar ada kelompok–kelompok mahasiswa atau organisasi mahasiswa yang belum memiliki 'keterampilan' membaca realitas sosial dan sebaliknya.

Menggolongkan mereka kedalam dua kelompok sah–sah saja, namun menurut saya perlu adanya peninjauan kembali ketika kelompok mahasiswa/organisasi mahasiswa itu disebut sebagai haluan kanan dan kiri. Karena kata–kata 'kanan' dan 'kiri' kerap mencitrakan arti yang berbeda. "kanan" bisa disebut kelompok yang lurus-lurus saja kendati ada juga yang 'bengkok', sedangkan 'kiri' jelas-jelas menunjuk kelompok yang berimage negatif.

Aliran Freirerian yang merujuk pada sistem pengajaran Paulo Freire, justru menekankan pada pentingnya kemampuan membaca realitas sosial yang disebut Freire sebagai kemampuan membaca tanda–tanda alam. Maknanya, peserta didik yang mampu membaca realitas sosial adalah peserta didik yang berkualitas dan sebaliknya. Dalam hal ini dimanakah sesungguhnya haluan kanan itu berada dan dimanakah posisi haluan kiri? atau jangan–jangan yang terjadi pada aktivis mahasiswa Aceh sekarang adalah sebaliknya haluan kanan yang tidak peka terhadap realitas sosial yang semestinya menjadi haluan kiri (disini kita menjadi apriori). Maka dalam kasus ini penting bagi kita untuk dapat melihat secara objektif, karena pada intinya tak ada seorangpun yang dirinya dicitrakan negatif.

Ketiga, saudara Muhammad Sahlan Hanafiah mengatakan, bahwa ketika mahasiswa mengkritik isu–isu seperti kebijakan rektorat seperti yang terjadi di IAIN ini adalah isu–isu kecil. Bagi saya, mendemo kebijakan rektorat juga termasuk bagian dari isu–isu besar dan berdampak besar walaupun masih dalam tataran internal kampus. Implikasinya bagi rakyat Aceh masih memakan waktu yang lama, konkritnya jika mahasiswa Aceh mampu menjadi transformator bagi kampusnya sendiri maka bukan tidak mungkin suatu saat ketika sang mahasiswa telah bekerja dan menduduki posisi strategis di pemerintahan maupun sebagai tokoh masyarakat diapun sudah terbiasa dan merasa pede untuk melakukan perubahan. Jika saya memflashback pengalaman dulu ketika masih menjadi mahasiswa dan mengkritisi kebijakan akademik fakultas saja sangat sulit, apalagi mental untuk mengkritisi kebijakan rektorat. saya sependapat bahwa mahasiswa Aceh harus kritis terhadap fenomena sosial masyarakat yang sedang terjadi di Aceh saat ini dan dapat meresponnya dalam bentuk aksi nyata di lapangan.

Keempat, saya sepakat dengan Sahlan bahwa mahasiswa kita sekarang kurang memiliki kemampuan membaca dan mengikuti proses perubahan sosial yang drastis di Aceh. Akan tetapi kita juga perlu ingat bahwa mahasiswa kita selama ini cenderung disentuh dengan sistem pengajaran yang bersifat membelenggu ide–ide kreatif. Saya katakan membelenggu karena model pengajaran yang ada di kampus masih bersifat “mendikte� dalam tataran sempit maupun dalam tataran luas. Sehingga tak heran jika mahasiswa Aceh pun menjadi malas membaca. Buat apa membaca banyak buku kalau dosen saja hanya berpatokan pada buku–buku kuno tertentu. Jadi kuasai saja buku itu kemudian nilai A pasti ditangan, celutuk seorang mahasiswa di kantin. Mahasiswa kita masih berorientasi nilai, bukan proses dan bukan pemahaman serta penguasaan konsep.

Mahasiswa kita juga dicap malas mengikuti perubahan, mungkin ada benarnya mungkin juga tidak. Pada suatu hari ketika saya sedang mengajar, beberapa mahasiswa minta agar saya mendikte saja agar konsep dapat diterjemahkan dengan jelas. Usut punya usut ternyata mahasiswa khawatir nanti bagaimana cara menjawab soal ujian kalau tidak dapat menghafal dengan baik (penulis kaget sekali dengan “karakter� mahasiswa seperti ini). Hal ini terjadi karena mahasiswa kita telah terbiasa dan mungkin karena dibiasakan dengan sesuatu yang bersifat praktis dan instan, tak perlu menganalisa, hafal saja!. Sistem pengajaran perlu diperbaiki jika kita ingin menciptakan mahasiswa yang kritis, peka dan mampu membaca realitas sosial yang ada.

PR kita kedepan adalah bukan sekedar anomali gerakan mahasiswa, namun bagaimana mahasiswa mampu menjadi agent of change pada lingkungan kampus dan masyarakat. Untuk ini dibutuhkan perhatian dari para mantan– mantan aktivis mahasiswa untuk mau kembali merangkul adik–adik aktivis yang sesungguhnya haus akan pencerahan dan bimbingan. Jika sejarah dapat terulang kembali, mengapa kita enggan untuk belajar dari sejarah itu sendiri?. (Monalisa | www.acehinstitute.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...