Agustus 13, 2008

Atlas Pergerakan Mahasiswa Kota Bandung Terkini: QUO VADIS?

MAHASISWA itu agen perubahan. Setidaknya telah terbukti dalam perjalanan negeri ini. Kiprah para mahasiswa ini telah membawa negeri kepulauan ini tiba di depan pintu gerbang kemerdekaan pada tahun 1945. Kiprah penerusnya juga telah membawa pada perubahan rezim ketika tiba pada kemelut tahun 1965-1966. Dan terakhir, di era reformasi tahun 1998. Sedikit banyak, tekanan dari para mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR mampu menjatuhkan kekuasaan yang membelenggu selama tiga puluh tahun.
Kini apa kabar mereka? liputan di surat kabar hingga kini masih tetap memberitakan aktivitas mahasiswa. Hanya sebagian kecil yang bercerita tentang kisah kisah sukses: jadi sarjana termuda atau menemukan inovasi teknologi. Sisanya, tidak jauh dari berita itu itu juga. Aksi, demonstrasi dan unjuk rasa. Sisanya lagi lebih parah: berita narkoba, sex bebas dan kriminalitas yang melibatkan para intelektual muda ini.
Jika tujuh tahun lalu, para mahasiswa mampu bersama-sama, hampir di setiap tempat juga pada waktu yang bersamaan, mengusung satu isu: Reformasi dan mengganti rejim. Kini isu yang berkembang, cenderung menyempit dan melokal.
Lihat saja, di kampus UPI misalnya. Aktivis mahasiswanya berdemo soal pemilihan rektor yang dianggap tidak sesuai aturan. Atau di Kampus Fikom Unpad yang menuntut kejelasan dan praktikum dan kualitas dosen. Atau juga di ITB. Di sini mahasiswa Papua menyampaikan aspirasi kejadian di tanah leluhurnya. Intinya menyuarakan aspirasi sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Salahkah, tidak juga. Yang dapat ditangkap adalah para mahasiswa itu melihat ada persoalan dan persoalan itu harus diselesaikan.
Sedangkan isu lokal misalnya pembangunan pasar, judi dan korupsi. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) misalnya sangat bersemangat mengusung aksi yang minta dituntaskan kasus-kasus korupsi di provinsi jabar, pemkot dan juga di kab. Bandung seperti kasus Stadion Jalak Harupat. Sementara isu nasional, adalah soal BBM dan juga masih kasus-kasus korupsi.
Kenyataan yang tampak adalah, dalam aksi-aksi itu, mereka berjalan sendiri-sendiri. Betulkan mereka kini telah tercerai berai kembali?
Dalam diskusi yang dilaksanakan BIGS dengan tema Atlas Pergerakan Mahasiswa Kota Bandung Terkini dan dihadiri oleh sejumlah organisasi mahasiswa di Bandung, satu benang merah tersimpulkan: apapun kondisi yang terjadi, bagaimanapun situasi yang terkini, mahasiswa tetap bergerak untuk menyuarakan kebenaran versi mereka. Dan untuk bergerak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Hadir dalam acara yang digelar pada Selasa, 19 Juli 2005 di Kantor BIGS, perwakilan dari 12 organisasi mahasiswa di Kota Bandung. Mereka itu adalah dari GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Cabang Bandung, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Bandung, KAMMI (Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia) Daerah Bandung, PMII (Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), FMN (Front Mahasiswa Nasional) Cabang Bandung, HMR (Himpunan Mahasiswa Revolusioner) Universitas Pasundan dan, KPMB (Kesatuan Pergerakan Mahasiswa Bandung).
Sentral dalam perubahan
Hampir semua peserta diskusi sepakat, bahwa mahasiswa punya peranan yang besar dalam perubahan politik perjalanan bangsa ini. Termasuk gerakan mahasiswa yang berada di Bandung. Meskipun soal apakah mereka itu agent of change atau bukan masih perlu pembahasan lagi.
Didi Rahmad Suhardi Nazar dari KAMMI mengatakan hingga saat ini pihaknya masih sepakat dengan anggapan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Bahkan lebih dari itu, ia memandang mahasiswa juga sebagai stok masa depan bangsa. “Khusus KAMMI, kita juga menganggap gerakan mahasiswa sebagai dai dalam konteks keislaman,” katanya.
Senada, Apriyanto Wijaya dari GMNI. Katanya, bagaimanapun tidak bisa dinafikan bahwa kelompok mahasiswa merupakan komunitas yang sangat penting dalam proses perjalanan bangsa ini. “Dalam setiap babak perubahan bangsa, mahasiswa selalu menjadi pelopornya.
Apri kemudian memaparkan pandangan sejarahnya. Pada tahun 1908, kebangkitan nasional muncul melalui motor mahasiswa STOVIA. Tahun 1966 dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menumbangkan kekuasaaan Soekarno. Dan terakhir pada tahun 1998, perlawanan mahasiswa berhasil menumbangkan Soeharto dan menggulirkan reformasi. Dari situlah bisa disebut bahwa gerakan mahasiswa memang selalu memiliki semangat pembaharu.
Dan memang hampir semua sepakat soal ini. Dari ruang diskusi, hanya seorang yang menolak anggapan bahwa mahasiswa adalah agent of change. Syarif Aripin dari FMN mengatakan, sejatinya mahasiswa itu bukan siapa-siapa. Mahasiswa itu hanya orang muda yang punya kesempatan kuliah. “Dalam kegiatan pun, di luar kuliah, kalau tidak pacaran, nongkrong, kalau tidak nongkrong main ke pub. Itulah realitas yang terjadi kini,” katanya.
Meskipun demikian, Aripin tidak menolak bahwa mahasiswa bisa melakukan aksi untuk perbaikan. Dan itu tidak terbatas pada satu isu besar. Isu bisa lokal yang sejatinya terkait dengan isu nasional. Dan cara pun tidak perlu selalu dalam bentuk aksi. “Advokasi bisa berdampingan dengan aksi,” katanya.
Gerakan Politik
Hal lain yang muncul dalam diskusi itu adalah bahwa gerakan mahasiswa sekarang bukan hanya gerakan moral, tapi sudah menjadi gerakan politik. Alasannya aksi dan pengusungan isu tidak lepas dari soal kekuasaan dan kental muatan politisnya.
Maka dari itu dugaannya ada kolaborasi erat antara gerakan mahasiswa dengan elit partai menjadi sebuah keniscayaan. Setidaknya hal ini diungkapkan oleh mantan aktivis gerakan mahasiswa kota Bandung, Eko Arief Nugroho.
Eko mencontohkan aktivitas KAMMI, misalnya. Saat sebelum pelantikan kabinet presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), mereka habis-habisan menolak menteri yang neoliberalisme. “Tapi berikutnya berhenti aksinya karena PKS dapat tiga menteri. Itu fakta yang orang bisa lihat,” katanya.
Atau GMNI. Pada saat Megawati jadi presiden, mereka sangat sulit untuk aksi. Tidak pernah mau dan tidak pernah ikut-ikutan. Tapi hari ini GMNI merupakan salah satu pelopor oposisi terhadap SBY. “Salah satu contohnya salah satu presidiumnya tertangkap karena menginjak-injak gambar SBY,” katanya lagi.
Namun meskipun membenarkan Syaiful Huda, anggota DPRD Jabar yang mantan aktivis mahasiswa dari PMII tidak mengambil pusing soal ini.
Menurut dia dikotomi seperti ini tidak perlu diributkan. Yang penting itu, kata dia, apakah gerakan mahasiswa menjadi faktor yang membawa perubahan atau tidak. “Apakah moral atau politik itu hanya dinamika internal diantara mereka.
Menurut dia, pergeseran orientasi memang bisa menyisakan persoalan, namun tidak boleh dianggap sebagai suatu yang salah. “Bagaimanapun ini adalah proses dinamika,” kata fungsionaris PKB Jabar ini.
Bagi aktivis gerakan mahasiswa, tudingan aksi mereka menjadi bagian dari kolaborasi, atau kepanjangan elit parpol dibantah dengan keras. Semua menyatakan bahwa mereka tetap independen dalam menggalang aksi. Kalau ada kesamaan isu, itu faktor ‘kebetulan”.
Eko mengatakan tentu saja sah bagi aktivis menolak tudingan itu. Dalam struktur organisasi pun memang tidak ada dalam struktur parpol misalnya.
“Gerakan mahasiswa ‘ormas’ itu jelas pendukung rejim semua. Bisa ditunjukan siapa yang melawan rejim saat Orde Baru? tidak ada!” katanya.
Menurut dia, yang menarik adalah gerakan kecil tapi tetap vokal sejak jaman Soeharto sampai sekarang. Contohnya seperti FAMU di Unisba, HMR di UNPAS, KAU di Unpad. Untuk tingkat Bandung ada FKMB, FMN KPMB. Organisasi-organisasi itu terbentuk terlepas dari ormas.
“Tapi beda dengan sekarang. Sekarang ini arus sudah tidak terbatas. Semua berafiliasi. Termasuk juga gerakan informal di kampus tadi. Tapi bedanya dengan gerakan mahasiswa ‘ormas’, yang informal kampus ini tidak punya chanel yang lebih jelas. Jadi ke mana-mana.,” katanya.
Bagaimana pun Eko masih berpendirian, sejatinya gerakan mahasiswa itu mestinya gerakan moral yang steril dari kepentingan politik. Mereka itu menyuarakan apa yang tidak benar di hadapan mereka. “Biaya Praktikum yang tidak benar dilawan, walikota yang tidak benar dilawan, tidak perlu menunggu order dari elit politik,” katanya.
Kategorisasi
Kalau boleh disebut, sebetulnya penilaian ‘kuatnya’ orientasi politik ini muncul karena ada kategorisasi gerakan mahasiswa. Eko menyebut setidaknya ada dua arus besar dalam gerakan mahasiswa. Yakni ‘organisasi massa’ (Ormas) dan organisasi kampus. Kampus pun terbagi dua, formal yang diwakili Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan organisasi informal.
Organisasi informal ini yang disebut Eko di atas. Yakni FAMU di Unisba, HMR di UNPAS, KAU di Unpad. Untuk tingkat Bandung ada FKMB, FMN KPMB. Sedangkan yang disebut ormas antara lain HMI, GMNI, PMKRI dan PMII.
Menurut mantan juru bicara FMB pada saat reformasi tahun 1998 ini, GMNI itu jelas ada kaitannya dengan PDIP, HMI dengan Golkar, PMII dengan PKB meskipun sebagian ada yang ke PPP, dan yang baru, KAMMI itu jelas ke PKS.
Hampir senada, Tatang Mutaqqin mantan Koordinator Presidium Senat Mahasiswa Unpad. Hanya Tatang mengkategorikannya dalam tiga elemen gerakan, yakni gerakan mahasiswa berbasis agama, gerakan mahasiswa tidak berbasis agama dan gerakan mahasiswa berbasis di kampus.
Gerakan mahasiswa yang berbasis agama, seperti HMI, PMII, PMKRI, PMKI dan terbaru KAMMI memang sering dikaitkan dengan alumninya yang sudah tersebar di pusat-pusat kekuasaan. Bahkan ini sering jadi stigma negatif. Misalnya dengan adanya istilah HMI-connections. “Namun kadangkala hal ini juga bisa bernilai positif untuk menarik kader baru,” katanya.
Kondisi terkini
Kondisi saat ini jelas telah berubah dengan masa ketika reformasi. Bahwa gerakan mahasiswa masih ada adalah betul. Bahwa mereka bercerai berai?
“Adalah naif dan sadis kalau disebut gerakan mahasiswa sekarang sudah tercerai berai. Orang yang bilang begitu adalah lulusan cum laude universitas orde baru fakultas intrik,” tandas Aprianto dari GMNI.
Tapi kenyataan memang bicara begitu. Hampir setiap organisasi mahasiswa, entah itu dari kampus, formal maupun informal, juga gerakan mahasiswa ‘ormas’ seolah berjalan sendiri-sendiri, termasuk dalam mengusung isu.
Ini pula yang dilihat oleh Syaiful Huda. Bahkan Huda bukan hanya melihat perpecahan, atau dalam istilahnya terfragmentasi, tapi juga terjadi stagnasi di tubuh gerakan mahasiswa. Dan akibatnya, kondisi ini telah menjadi salah faktor penghambat dalam lingkup yang lebih luas. “Kita jadi terhambat melampaui transisi demokrasi,” katanya.
Sementara Tatang Mutaqqin melihat bahwa gerakan mahasiswa saat ini menunjukan kecenderungan kompetisi yang komplikatif dan tidak sehat. “Alih-alih bersinergi melawan ketidakadilan, korupsi dan kejahatan kemanusiaan yang sering dilakukan oleh para penguasa, aktivis gerakan mahasiswa sibuk membuat strategi berkompetisi di antara mereka sendiri sehingga arah gerakan mahasiswa menjadi involutif dan kontradiktif,” katanya.
Lantas perlukah bersatu? Menurut Eko bersatu itu terlalu berlebihan. Bahkan sejatinya kalaupun pernah bersatu, itu adalah semu. Pada tahun 1998 misalnya, mahasiswa bisa bersatu bukan lantaran mahasiswanya tapi karena elitnya bersatu.
Menurut Eko, saat itu sebagai aktivis merasa sok jagoan bisa mengorganisir ribuan orang. “Saya baru mengerti sekarang. Ada invisible hand di luar mahasiswa yang beroperasi terus menerus. Tiba tiba ada reformasi dan tiba-tiba saja Soeharto jatuh. Artinya ada konspirasi dari luar, dan mahasiswa menjadi bagian dari alat konspirasi itu,” katanya.
Kondisi sekarang tidak jauh berbeda. Kampus pun tidak lepas dari ajang konspirasi. Ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa hampir semua BEM di Bandung dikuasai KAMMI, artinya agenda PKS pun sudah masuk ke sana.
Karena itu, hal paling penting, kata Eko, mahasiswa perlu menyadari bahwa mereka itu sering dijadikan alat konspirasi. Maka dari itu setiap elemen perlu mengadakan kontempelasi. “Apa esensi sebuah gerakan perlu terus menerus didiskusikan. Dan ini yang jarang terjadi sekarang,” katanya.
Sementara itu, Syaiful Huda melihat penyatuan gerakan mahasiswa memang tidak perlu dalam kerangka diunifikasi. Banyak pengalaman pahit yang terjadi dalam proses unifikasi ini.
“Mungkin lebih tepat mensinerjikan.
Ada
kesadaran pada saat tertentu harus bersatu dengan agenda dan isu yang sama. Tapi ada pada saat tertentu kita tidak harus bersama sesuai dengan agenda dan keunikan masing-masing. Sinerji berbasis keunikan itu yang saya kira ke depan menjadi kekuatan politik yang bisa mengawal transisi demokrasi saat ini,” katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...