Oktober 29, 2008

Analisis Gender dan Ketidakadilan

I. Pendahuluan

Dalam masyarakat pada umumnya dan Papua (pada khususnya) banyak sekali stereotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread Winer). Karena itu setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai “tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah. Itulah makanya dalam suatu keluarga misal sopir (dianggap pekerjaan laki-laki) sering dibayar lebih tinggi dibanding pembantu rumah tangga (Peran gender perempuan), meski tidak ada yang bisa menjamin bahwa pekerjaan sopir lebih berat dan lebih sulit dibanding memasak dan mencuci. Hak ini disebabkan karena adanya pemikiran bahwa tugas utama dari perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Dengan kata lain tugas perempuan adalah mengelola, menjaga dan memelihara tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarAkat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sedangkan bagaimana kaum laki-laki tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan di banyak tradisi secara adat laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Inilah yang menyebabkan beban kerja tersebut menjadi 2 kali lipat bagi kaum perempuan yang bekerja di luar rumah. Sebab selain bekerja di luar rumah, mereka juga masih harus bertanggung jawab atas pekerjaan domestik (rumah tangga). Jadi intinya perempuan layak untuk bekerja.


II. Perbedaan Peran dan Kebutuhan Gender

A. Tipe Pekerjaan/Peran
Pekerjaan dapat dibagi dalam tiga kategori utama. Peran-peran perempuan dalam pekerjaan tercakup dalam tiga tipe pekerjaan tersebut. Peran-peran dalam pekerjaan tersebut sering disebut sebagai “triple peran perempuan”

A.1. Pekerjaan Produktif
Pekerjaan produktif mencakup penghasilan barang dan jasa untuk konsumsi dan perdagangan (pertanian, perikanan, pekerjaan yang dilakukan manusia dalam mencari nafkah). Jika seseorang ditanya “apa pekerjaannya” mereka, jawaban yang paling sering diberikan, selalu berhubungan dengan pekerjaan yang menghasilkan upah atau income. Baik perempuan maupun laki-laki terlibat dalam pekerjaan produktif ini, tetapi sering kali tugas dan tanggung jawab akan berbeda berdasarkan pembagian kerja menurut gender. Kerja produktif perempuan seringkali kurang tampak dan kurang dihargai daripada pekerjaan laki-laki..

A.2. Pekerjaan Reproduksi
Pekerjaan reproduktif berhubungan dengan menjaga dan memelihara keluarga dan para anggotanya, termasuk hamil, melahirkan dan memelihara anak, menyiapkan makanan, mencari air dan bahan bakar (pada masyarkat agraris), berbelanja, menata rumah dan kesehatan keluarga. Pekerjaan reproduktif ini sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, akan tetapi pekerjaan ini jarang dianggap sebagai “pekerjaan nyata”. Di dalam masyarakat miskin atau di negara-negara berkembang, sebagian besar pekerjaan ini dilakukan secara manual dan menyita banyak waktu dan tenaga. Pekerjaan reproduktif ini hampir seluruhnya menjadi tanggung jawab perempuan dan anak-anak perempuan.

A.3 Pekerjaan Kemasyarakatan
Pekerjaan kemasyarakatan meliputi pengorganisasian peristiwa-peristiwa sosial dan pelayanan secara kolektif, seperti upacara-upacara dan perayaan-perayaan, kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat (misalnya kegiatan gerejawi, arisan, PKK, Posyandu, kerja bakti) serta berpartisipasi dalam kelompok dan organisasi kegiatan yang bersifat politis (misalnya LKMD, RT, RW, dll).
Tipe pekerjaan kemasyarakatan ini jarang diperhitungkan dalam analisis ekonomi masyarakat. Namun kegiatan ini menyita banyak waktu sukarela dan penting untuk perkembangan kultural dan spiritual masyarakat dan sebagai wahana untuk masyarakat berorganisasi dan menentukan diri sendiri. Baik perempuan maupun laki-laki terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan ini, meskipun pembagian kerja menurut gender tetap tampak di sini.
Perempuan, anak perempuan, laki-laki, anak laki-laki tampaknya terlibat dalam tiga bidang pekerjaan di atas. Namun demikian, dibanyak masyarakat, perempuan, mengerjakan hampir semua pekerjaan reproduktif dan banyak pekerjaan produktif. Karena setiap perubahan di satu bidang pekerjaan akan mempengaruhi bidang pekerjaan yang lain, maka beban kerja perempuan akan menghambat mereka untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek pembangunan. Jika mereka berpartisipasi berarti tambahan waktu untuk pekerjaan produktif, dan sebagai konsekwensi akan berkurangnya waktu untuk tugas-tugas lain seperti memelihara anak dan menyiapkan makanan (reproduktif) dan juga pekerjaan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat kaitan di antara keseluruhan bidang pekerjaan ini dan dampaknya terhadap pembagian kerja bagi perempuan maupun laki-laki yang lebih adil. Misalnya kemasyarakatan, maka pekerjaan reproduksi juga hendaklah menjadi tanggung jawab bersama perempuan dan laki-laki.


B. Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender

Analisis pembagian kerja menurut gender memperlihatkan peran dan hubungan antara perempuan dan laki-laki ternyata tidak equal (tidak setara). Hal ini bisa dibuktikan dengan statistik PBB yang memperlihatkan bahwa:
* Perempuan memikul 2/3 beban pekerjaan dunia
* Perempuan menghasilkan 1/10 pemasukan/pendapatan dunia
* 2/3 dari penduduk dunia yang buta aksara adalah perempuan
* Perempuan memiliki kurang dari 1/100 kekayaan dunia.

Berdasarkan fakta di atas, maka apabila diinginkan equalitas dan kemitraan perempuan dan laki-laki dalam semua aspek kehidupan bersama, perlu diberikan perhatian yang lebih besar bagi pemberdayaan (empowerment) perempuan terlebih dahulu.
Untuk dapat menganalisa keadaan perempuan, maka dapat dilakukan dengan mengklasifikasi situasi dan kedudukan perempuan yang dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu dengan melihat kondisi dan posisi perempuan

1. Kondisi Perempuan
Kondisi perempuan menunjuk pada kondisi material dan pengalaman-pengalaman nyata kehidupan perempuan. Misalnya kemiskinan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.


2. Posisi Perempuan
Posisi Perempuan menunjuk pada posisi sosial, politik, ekonomi, hukum dan kultural perempuan yang di dalamnya posisi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan posisi laki-laki (Perempuan subordinat). Misalnya, ketidakadilan dalam upah untuk pekerjaan yang sama, kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, partisipasi dalam lembaga politik/pemerintahan, akses terhadap sumber daya, kekerasan terhadap perempuan dan sebagainya.
Oleh karena itu, dalam upaya-upaya untuk melakukan pemberdayaan terhadap perempuan, perlu diperhatikan secara keseluruhan kondisi dan juga posisi perempuan. Pada umumnya digunakan dua konsep analitis untuk menjawab persoalan yang menyangkut kondisi dan posisi perempuan, yaitu analisis kebutuhan praktis adalah upaya meningkatkan kondisi perempuan dan strategis gender adalah yang berkaitan dengan upaya meningkatkan posisi perempuan (practical and strategic gender need).



B.1. Kebutuhan Praktis Gender

· Dipusatkan pada Perempuan
· Kebutuhan dasar yang langsung dibutuhkan, misalnya makanan, pakaian, kesehatan dan lain sebagainya.
· Muncul dari kondisi konkret.
· Berupaya memenuhi kebutuhan konkret/praktis.
· Memperhatikan pada keadaan kelompok khusus perempuan dan pembagian kerja menurut gender.
· Tidak membahas posisi subordinasi Perempuan
· Muncul dari peran produktif dan reproduktif perempuan dan semakin memperkuat peran tersebut
Misalnya: Perbaikan sarana air minum, kesehatan perempuan dan anak, program-program peningkatan kesejahteraan lainnya (income generating).
Walaupun kebutuhan tersebut diperlukan oleh seluruh anggota keluarga, tetapi karena kebutuhan-kebutuhan tersebut sering diidentifikasikan hanya sebagai kebutuhan perempuan saja, maka dianggap pemenuhan tersebut menjadi tanggung jawab perempuan saja.

B.2. Kebutuhan Strategis Gender
· Dipusatkan pada hubungan gender perempuan dan laki-laki.
· Menganjurkan perubahan jangka panjang dalam struktur dan sistem nilai
· Memperbaiki kedudukan/posisi kedudukan perempuan sebagai suatu kelompok dalam kaitannya dengan laki-laki
· Upaya pemberdayaan (Empowering)
· Untuk mengakhiri subordinasi perempuan.
1. Misalnya:- Menghapuskan pembagian kerja secara seksual.
- Perempuan dan laki-laki secara bersama membagi beban kerja domestik dan pemeliharaan anak.
- Penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi yang telah diinstitusikan, seperti hak atas tanah atau kepemilikan.
- Mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya yang ada.
- Kebebasan memilih dan melahirkan anak.
- Tindakan melawan kekerasan dan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.

C. Ketidakadilan Gender
Di dalam negara, masyarakat dan gereja di Indonesia dan Papua pada khususnya, issu gender dan pembangunan menjadi satu hal penting dan mendapat perhatian serius. Berkaitan dengan diskursus tersebut di atas di Indonesia kemudian persoalan perempuan lebih mendapat perhatian. Dalam upaya untuk melihat akar ketidakadilan tersebut dipakai suatu konsep yang dikenal dengan gender. Gender menjadi perhatian sekaligus pergumulan berbagai pihak karena adanya persoalan dan keprihatinan menyangkut relasi anatara perempuan dan laki-laki yang serba timpang. Analisis gender memberi perhatian terhadap asumsi-asumsi dasar yang turut serta mencipatakan ketimpangan relasi tersebut dan berupaya menunjukkan adanya konstruksi sosial yang membentuknya.

C.1. Konsep Gender
Pembahasan mengenai ketidakadilan terhadap perempuan tersebut seringkali digunakan dengan istilah gender. Tetapi pengertian tentang gender masih sering salah dimengerti, sehingga masih ada kebingungan dalam pemakaian konsep ini. Oleh karena itu disini perlu diperjelas mengenai apa yang dimaksudkan dengan konsep gender.
Gender adalah satu kategori analitis yang muncul dalam diskursus feminis kira-kira 30 tahun yang lalu. Pada dasarnya konsep gender terfokuskan pada akar ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan yang didasarkan pada jenis kelamin mereka.
Gender sebagaimana dituturkan oleh Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah Kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang, berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas. Sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Jadi secara biologis (kodrat) kaumm perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak. Dan sebenarnya tidak ada masalah terhadap tenaga kerja perempuan karena manusia semua diperbolehkan untuk bekerja. Sedangkan yang perlu digugat adalah struktur “ketidakadilan” yang ditimbulkan di pelbagai manifestasi ketidakadilan seperti;
1.Marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan.
(Misalnya: Karena Petani itu identik dengan laki-laki)
2.Subordinasi pada satu jenis kelamin, umumnya pada kaum perempuan.
(Misalnya: Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya akan ke dapur)
3.Pelabelan negatif (stereotipe)
(Misalnya: Laki-laki sebagai pencari nafkah maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai tambahan sehingga dianggap rendah).
4.Kekerasan (Violence)
(Misalnya: Pemukulan dan pemerkosaan terhadap perempuan)
5.Beban kerja lebih panjang atau lebih banyak
(Misalnya: Peran ganda Perempuan di sektor Publik dan domestik)
6.Sosialisasi ideologi dalam berbagai kesempatan
(Misalnya: Ide-ide)

C.2. Setiap Manusia Harus Bekerja
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bekerja. Bekerja tidak dibatasi jenis kelamin. Sistem tubuh manusia terdiri dari banyak bagian yang harus senantiasa digerakkan dan dilatih. Dengan bekerja, tubuh manusia memperoleh kesehatan tertentu. Kedua manusia tidak hanya terdiri dari tubuh saja, melainkan juga jiwa. Jiwa ini membutuhkan kepuasan batin yang juga diperoleh dari suatu pekerjaan tubuhnya. Melalui bekerja manusia dapat menyalurkan dan mendapatkan hasratnya demi kepuasan jiwanya. Ketiga Allah juga memerintahkan manusia untuk bekerja pada permulaan ciptaan manusia haruslah mengusahakan dan memelihara. Keempat manusia membutuhkan makan. Makannya tidak tersedia untuk secara otomatis tetapi harus diperoleh melalui kerja agar mendapat uang untuk memperoleh makanan dengan usahanya sendiri. Bila tidak bekerja maka dia akan menjadi beban bagi orang lain. Seperti disebut dalam surat II Tesalonika 3:10b, “Orang yang tidak mau bekerja, tidak boleh makan”. Ungkapan inilah yang patut menjadi kaidah emas kerja orang Kristen.
Dari pemaparan empat hal tersebut di atas menyiratkan aspek ekonomi. Manusia harus bekerja karena kebutuhan/desakan ekonomi. Inti dari hal-hal di atas adalah bahwa kaum Perempuan juga memiliki kodrat untuk bekerja. Jadi bekerja tidaklah dibatasi/diperuntukkan hanya kamu laki-laki saja. Kaum perempuan adalah bagian dari keluarga dimana mereka harus ikut bertanggung jawab atas kebutuhan keluarganya. Kaum perempuan harus menopang rumah tangganya dan kehidupan pribadi dengan segenap kemampuannya. Dari pandangan tradisional (adat) menganggap perempuan merupakan kaum lemah yang pada dasarnya mereka hanya mampu bekerja di dalam rumah untuk mengurus keluarga. Jadi supaya mereka mampu bekerja di luar daripada tugas komersilnya sebagai perempuan. Mereka (Perempuan) harus mampu merombak pandangan masyarakat tersebut. Untuk bekerja dan menghasilkan secara ekonomis mereka pun harus mampu meyakinkan lingkungannya bahwa disamping juga mampu menghasilkan uang dengan bekerja layaknya Laki-laki.


Ditulis : Oleh Methi Ronsumbre
Afiliasi dalam Solidaritas Mahasiswa Peduli Papua - Salatiga
Jabatan : Ketua

Solidaritas Buat Rakyat Papua ( PPRM - DIY-JATENG)

09 Oktober 2008

Solidaritas Buat Rakyat Papua

PERSATUAN POLITIK RAKYAT MISKIN DIY-JATENG(PPRM DIY-JATENG)
Sekretariat : Jl Cantel, Gg IV/354, Baciro-Yogyakarta.
Email: prm.diyjateng@gmail.com

Pernyataan Solidaritas

HENTIKAN WABAH DIARE-KOLERA DI NABIRE, PANIAI dan DOGIYAI SERTA BERIKAN KESEHATAN GRATIS-BERKUALITAS SEKARANG JUGA!

Pada bulan Juni 2008 yang lalu, Menteri Dalam Negeri meresmikan 6 kabupaten baru dan melantik 6 pejabat caretaker bupati di pedalaman Papua dan tepat pada waktu yang sama wabah muntaber menghantam masyarakat Desa Pugatadi I, Desa Denemani dan Desa Dogimani Lembah Kammu Dogiyai Nabire.
Ironis, di tengah puluhan bahkan ratusan rakyat Papua di Lembah Kammu Moanemani, Kabupaten Nabire mati perlahan disebabkan wabah muntaber yang begitu hebat, namun “lebih hebat” lagi pemerintah pusat-daerah lebih memilih sibuk menyiapkan ceremonial pemekaran kabupaten ketimbang terjun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi rakyatnya.
Dapat kita lihat bersama dari data yang dirilis Biro Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kemah Injili Gereja Masehi Indonesia dan Sinode Gereja Kristen Injili, serta Serikat Keadilan Perdamaian Keuskupan Jayapura dan Timika memperlihatkan sejak 6 April 2008, 147 warga Lembah Kamuu Dogiyai mati yang penyebabnya diduga adalah kolera dan muntaber. Jumlah perempuan meninggal 90 orang dan laki-laki berjumlah 57 orang, dengan rincian anak-anak berjumlah 38 orang, remaja 18 orang, pemuda 22 orang, dan dewasa berjumlah 68 orang. Itupun terus bertambah secara signifikan menjadi 156 korban.
Mulai tanggal 6 April 2006 muncul wabah muntaber dan kematian di Ekemanida dan Idakotu Desa yang dekat dengan ibu Kota Distrik Kamu Moanemani sampai tanggal 8 Juli 2008. Sejak tanggal 29 Mei 2008 kematian akibat muntaber sudah berhenti namun pada tanggal 2 Juli 2008 timbul kembali di desa Ekemanida. Dan kematian wabah muntaber ini masih lanjut hingga saat ini menjadi 355 orang desa dan anak-anak. Di tengah jumlah korban yang makin banyak berjatuhan, namun jumlah kematian ini dibantah mati-matian oleh YOSINA MANUWARON M.KES Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire.
Di bidang kesehatan pun tidak ada suatu penanganan yang intensif untuk diberikan pada masyarakat Lembah Kamu karena tidak didukung dengan fasilitas yang memadai dan obat-obatan sehingga untuk itu harus turun ke Kabupaten Nabire. Serta minimnya tim medis yang memantau perkembangan situasi kesehatan di Lembah Kamu. Hal ini juga diikuti dengan minimnya tenaga-tenaga medis yang berperspektif atau berorientasi pada kemanusiaan.
Riil hari ini, harkat dan martabat rakyat Papua sudah diinjak-injak. Pemerintah Indonesia tidak sayang Manusia Papua tetapi sayang pada kekayaan alam Papua. Dapat kita lihat, gunung emas yang dimiliki rakyat Papua yang seharusnya bisa menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan ini dan persoalan sosial lainnya justru dikuasai oleh pihak asing, Freeport. Dan dalam hal ini pula Negara belum mampu menyelesaikan persoalan kesejahteraan rakyat Papua hari ini, khususnya masyarakat Lembah Kamu.

Jelas sudah bahwa sampai hari ini pemerintah baik dari tingkat pusat dan daerah Kabupaten Nabire tidak punya niatan yang serius dalam menyelesaikan persoalan wabah diare-kolera dan persoalan rakyat lainnya di Papua. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Indonesia hanya sayang uang, ,jabatan dan pemekaran Kabupaten Dogiyai. Pilihan untuk menutup mata dan terus menjadi kepanjangan tangan dari pemodal asing yang terus giat dilancarkan hari ini. Terbukti, pemerintah Indonesia mengatakan Pemberian Otsus bagi Propinsi Papua akan mensejahterakan masyarakat Papua Namun Pelaksanaannya NOL, karena Uang OTONOMI KHUSUS dimakan habis oleh Pejabat Jakarta dan Pejabat Papua, sehingga sampai saat ini korban meninggal dunia tidak dapat bantuan dana dan Obat-obatan apa-apa.
Melihat persoalan rakyat Papua hari ini, maka kami dari PERSATUAN POLITIK RAKYAT MISKIN DIY-JATENG (PPRM DIY-JATENG) mendukung terus perjuangan rakyat Papua, khususnya masyarakat Lembah Kamu menuntut haknya untuk bebas dari wabah diare-kolera dan menuntut kesejahteraannya. Serta menuntut kepada kepada Bupati Nabire, Bupati Paniai, Bupati Dogiyai, Gubernur Propinsi Papua, serta Pemerintah Pusat agar:
1.Segera mengambil langkah darurat penanganan wabah dengan mengirimkan tim medis ke lapangan untuk melakukan pengobatan gratis bagi masyarakat yang menderita di TKP wabah tersebut dan tindakan-tindakan penghentian penyebaran wabah;
2.Segera membangun infrastruktur kesehatan baru di daerah-daerah terpencil di Papua lengkap dengan tambahan tenaga medis, bukan hanya untuk mengatasi penyakit yang sudah ada, tapi juga bersifat pencegahan dengan memberikan pendidikan-pendidikan pola hidup sehat;
3.Tidak menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata, melainkan memberikan pelayanan kesehatan bermutu seperti diperintahkan pasal 59 UU No.21/2001 tentang Otsus dan sistem kesehatan pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik;
4.Mengkaji/menyelidiki mendalam tentang penyebab sesungguhnya dari wabah diare-kolera ini dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang.
5.Berikan kesehatan gratis serta berkualitas untuk rakyat Papua, tidak hanya pada waktu bencana tetapi juga pasca bencana dengan cara menasionalisasikan aset tambang yang dimiliki asing (Freeport, British Petroleum dll).

Kami juga menyerukan kepada rakyat Papua dan rakyat Indonesia lainnya untuk bersolidaritas dengan tidak henti-hentinya berbicara mengenai persoalan rakyat hari ini dan segera membentuk wadah-wadah organisasi baik di sektor petani, buruh, kaum miskin kota, mahasiswa dan pemuda serta termasuk perempuan di dalamnya untuk terus menyuarakan hak-hak kesejahteraan kita baik itu hak untuk sehat dan hak untuk pintar!

BERIKAN LAYANAN KESEHATAN GRATIS DAN BERKUALITAS UNTUK RAKYAT PAPUA!
Yogyakarta, 6 Oktober 2008
Christina Yulita
Sekretaris Wilayah
PPRM DIY-JATENG

Oktober 01, 2008

Materi Perempuan : FEMINISME

Buku Feminisme dan sosialisme merupakan resolusi yang dikeluarkan pada konferensi nasional Partai Sosialis Demokratik pada bulan Januari 1992. Ini merupakan resolusi terakhir dari serangkaian resolusi yang dikeluarkan oleh Partai Sosialis Demokratik sejak berdirinya di tahun 1972, dalam menganalisa penindasan terhadap perempuan, dan pentingnya menghapuskan penindasan ini sebagai bagian dari perjuangan untuk mencapai masa depan yang lebih berkeadilan sosial, demokratis dan berkelanjutan
Partai Sosialis Demokratik dan organisasi pemuda yang bernaung di bawahnya yaitu Resistance, bersama-sama memperjuangkan kebangkitan gerakan pembebasan perempuan sejak awal 1970-an. Pembebasan perempuan telah menjadi komitmen dalam kerja-kerja partai selama lebih dari 20 tahun
Partai Sosialis Demokratik dan Resistance turut dalam perjuangan dan kampanye gerakan ini-sejak konferensi pembebasan perempuan yang pertama di Sydney pada bulan Januari 1971 dan perayaan hari perempuan internasional yang pertama dan terbesar di Melbourne pada tahun 1972 hingga berbagai kampanye dan peringatan hari perempuan internasional pada saat ini
Selama lebih dari dua dekade kami terlibat dalam sebagian besar kampanye untuk hak-hak perempuan-perjuangan untuk hak perempuan dalam mengontrol reproduksi dan kesuburan yang diorganisir oleh Aksi Kampanye Perempuan untuk Aborsi; memperjuangkan agar gerakan serikat pekerja mengangkat isu dan tuntutan perempuan melalui Kampanye Piagam Pekerja Perempuan; dan dalam perjuangan untuk menghapuskan pemisahan dan diskriminasi jenis kelamin dalam industri-sebagai contoh, melalui kampanye pekerjaan untuk perempuan telah memaksa BHP untuk mempekerjakan perempuan di industri baja miliknya di Port Kembla dan Newcastle dan membayar kompensasi atas praktek diskriminasi dalam pengupahan. Kampanye ini berhasil menjadi aksi kelas (class action) yang pertama di Australia
Kami memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pendidikan, pekerjaan dan di masyarakat; upah dan kondisi kerja yang lebih baik bagi perempuan; melawan kekerasan dan perkosaan, pelayanan yang lebih bagus untuk perempuan di masyarakat; menentang praktek diskriminasi di segala sektor
Kami juga melebur dalam perjuangan untuk menolak definisi sempit tentang peran sosial perempuan yang dibatasi hanya sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Bagian dari perjuangan ini adalah untuk mempertegas kembali definisi positif tentang perempuan oleh perempuan, dengan adanya stereotype atas perempuan yang dibangun oleh media massa dan iklan melalui dampak negatifnya terhadap kesehatan perempuan, yang menyentuh kehidupan pribadi mereka. Selain perjuangan untuk melawan sensorship sehingga kaum perempuan dapat menguasai tubuh mereka sendiri, juga kesehatan, kesuburan dan seksualitas mereka tanpa mengalami tuduhan berbuat cabul dan berbagai tindakan menindas lainnya
Saat ini feminisme dan hak-hak perempuan mengalami tekanan terberat sejak kurun waktu 40 tahun terakhir sebagai usaha untuk menghancurkan hak-hak yang berhasil dimenangkan oleh gerakan perempuan pada tahun 1970-an
Serangan ditujukan pada kontrol perempuan atas kesuburan dan tubuh mereka, pemotongan subsidi terhadap pelayanan penitipan anak, Rumah penampungan untuk korban perkosaan dan pengungsi perempuan, dan beberapa program seperti, anti diskriminasi sex dan kesempatan yang sama merupakan sebagian dari kerja bersama kapitalisme Australia untuk keluar dari kemacetan ekonomi dan meningkatkan pendapatan dengan cara memotong anggaran publik dan ongkos produksi.
Kaum feminis sendiri terbagi dalam perbedaan metode perjuangan yang mereka pilih-apakah memilih untuk bertahan atau melindungi diri-atau mungkin dengan mengorbankan kepentingan mayoritas perempuan untuk mendapatkan hak-hak istimewa mereka
Menuntut sensorship untuk melarang pornografi, sebagai tekanan terhadap teknologi reproduksi yang merupakan ‘hasil rancangan laki-laki’ untuk menghilangkan fungsi kreatif dan unik atas perempuan, hal ini merupakan sebagian contoh yang mengakomodir kaum feminis untuk berpihak pada sayap kanan ‘backlash’. Dengan berpijak pada pandangan ini beberapa kaum feminis melakukan pembelaan bersama kelompok reaksioner yang bersifat moralis atas peran tradisional perempuan sebagai istri dan ibu, misalnya dengan mereka yang menjadi oponen terbesar dari gerakan pembebasan perempuan.
Resolusi ini melakukan pembelaan dengan strategi yang berbeda. Analisa pada penindasan perempuan berpijak pada pandangan Marxist, evaluasi dilakukan untuk menjaga tujuan saat ini dan membangun gerakan pembebasan perempuan hingga memenangkan pertarungan. Evaluasi diarahkan pada penempatan hak-hak perempuan dan gerakan feminisme di seluruh dunia-di negara-negara industrialisasi barat, di dunia ketiga, di negara-negara bentukan blok Sovyet seperti Cuba dan Amerika Tengah
Pandangan dasar dari resolusi ini sederhana dan jelas. Perjuangan melawan penindasan atas perempuan adalah perjuangan untuk melawan penindasan dan penghisapan dari kelas masyarakat, bukan perjuangan melawan laki-laki karena penindasan perempuan merupakan produk dari kelas masyarakat. Perempuan tidak akan terbebaskan sebelum menghancurkan sisa-sisa kelas masyarakat, sehingga perjuangan kelas dan perjuangan untuk perempuan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
Resolusi ini menegaskan bahwa jika gerakan feminisme tidak mengembangkan strategi untuk membangun alansi dengan sektor tertindas lainnya maka mustahil dasar penindasan perempuan dapat dihancurkan



Pat Brewer,
September 1992

Dikutip dari : FEMINISM AND SOCIALISM Putting the Pieces Together
Diterbitkan oleh : Restistance Book 2001, Australia. Terjemahan Ernawati

Materi Perempuan : FEMINISME

Buku Feminisme dan sosialisme merupakan resolusi yang dikeluarkan pada konferensi nasional Partai Sosialis Demokratik pada bulan Januari 1992. Ini merupakan resolusi terakhir dari serangkaian resolusi yang dikeluarkan oleh Partai Sosialis Demokratik sejak berdirinya di tahun 1972, dalam menganalisa penindasan terhadap perempuan, dan pentingnya menghapuskan penindasan ini sebagai bagian dari perjuangan untuk mencapai masa depan yang lebih berkeadilan sosial, demokratis dan berkelanjutan
Partai Sosialis Demokratik dan organisasi pemuda yang bernaung di bawahnya yaitu Resistance, bersama-sama memperjuangkan kebangkitan gerakan pembebasan perempuan sejak awal 1970-an. Pembebasan perempuan telah menjadi komitmen dalam kerja-kerja partai selama lebih dari 20 tahun
Partai Sosialis Demokratik dan Resistance turut dalam perjuangan dan kampanye gerakan ini-sejak konferensi pembebasan perempuan yang pertama di Sydney pada bulan Januari 1971 dan perayaan hari perempuan internasional yang pertama dan terbesar di Melbourne pada tahun 1972 hingga berbagai kampanye dan peringatan hari perempuan internasional pada saat ini
Selama lebih dari dua dekade kami terlibat dalam sebagian besar kampanye untuk hak-hak perempuan-perjuangan untuk hak perempuan dalam mengontrol reproduksi dan kesuburan yang diorganisir oleh Aksi Kampanye Perempuan untuk Aborsi; memperjuangkan agar gerakan serikat pekerja mengangkat isu dan tuntutan perempuan melalui Kampanye Piagam Pekerja Perempuan; dan dalam perjuangan untuk menghapuskan pemisahan dan diskriminasi jenis kelamin dalam industri-sebagai contoh, melalui kampanye pekerjaan untuk perempuan telah memaksa BHP untuk mempekerjakan perempuan di industri baja miliknya di Port Kembla dan Newcastle dan membayar kompensasi atas praktek diskriminasi dalam pengupahan. Kampanye ini berhasil menjadi aksi kelas (class action) yang pertama di Australia
Kami memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pendidikan, pekerjaan dan di masyarakat; upah dan kondisi kerja yang lebih baik bagi perempuan; melawan kekerasan dan perkosaan, pelayanan yang lebih bagus untuk perempuan di masyarakat; menentang praktek diskriminasi di segala sektor
Kami juga melebur dalam perjuangan untuk menolak definisi sempit tentang peran sosial perempuan yang dibatasi hanya sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Bagian dari perjuangan ini adalah untuk mempertegas kembali definisi positif tentang perempuan oleh perempuan, dengan adanya stereotype atas perempuan yang dibangun oleh media massa dan iklan melalui dampak negatifnya terhadap kesehatan perempuan, yang menyentuh kehidupan pribadi mereka. Selain perjuangan untuk melawan sensorship sehingga kaum perempuan dapat menguasai tubuh mereka sendiri, juga kesehatan, kesuburan dan seksualitas mereka tanpa mengalami tuduhan berbuat cabul dan berbagai tindakan menindas lainnya

Neo-Liberalisme
Saat ini feminisme dan hak-hak perempuan mengalami tekanan terberat sejak kurun waktu 40 tahun terakhir sebagai usaha untuk menghancurkan hak-hak yang berhasil dimenangkan oleh gerakan perempuan pada tahun 1970-an
Tekanan ditujukan pada kontrol perempuan atas kesuburan dan tubuh mereka, pemotongan subsidi terhadap pelayanan penitipan anak, Rumah penampungan untuk korban perkosaan dan pengungsi perempuan, dan beberapa program seperti, anti diskriminasi sex dan kesempatan yang sama merupakan sebagian dari kerja bersama kapitalisme Australia untuk keluar dari kemacetan ekonomi dan meningkatkan pendapatan dengan cara memotong anggaran publik partai Sosialis Demokratik dan organisasi pemuda yang bernaung di bawahnya yaitu Resistance, bersama-sama memperjuangkan kebangkitan gerakan pembebasan perempuan sejak awal 1970-an. Pembebasan perempuan telah menjadi komitmen dalam kerja-kerja partai selama lebih dari 20 tahun Partai Sosialis Demokratik dan Resistance turut dalam perjuangan dan kampanye gerakan ini-sejak konferensi pembebasan perempuan yang pertama di Sydney pada bulan Januari 1971 untuk mempropagandakan bahwa kaum perempuan telah meraih kesetaraan dan tuntutan yang berlebih dianggap ‘melangkah terlalu jauh’. Siapapun yang berani mempersoalkan ketidaksetaraan gender dibungkam dan di cap ‘ mengoreksi pikiran polisi secara politis’
Tuduhan ini didasarkan pada mitos bahwa dalam masyarakat kapitalis kita semua memulai kehidupan yang setara dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Tanpa mengurangi perbedaan dalam kesejahteraan keluarga atau keabsahan sejarah dan terus menjalankan ketidakadilan strata berdasarkan jenis kelamin, ras dan lain-lain, mitos ini menggariskan peran masyarakat sebagai lahan bermain levelisasi. Apabila terdapat usaha untuk menggugat sejarah ketidaksetaraan oleh kelompok tertentu untuk mempertinggi peluang mendapatkan hak yang sama akan dicap sebagai ‘koreksi politis’ dan dicela sebagai perlakuan istimewa
Serangan balik dari kelas penguasa telah memberikan ruang yang lebih besar bagi ekstrim kanan untuk meneruskan serangan ideologis menentang tujuan gerakan gelombang kedua feminisme.
Setelah dua dekade dilakukan penyingkiran secara aktif terhadap gerakan sosial progresif, korban-korban politik bermunculan kembali dan kaum perempuan-yang ‘mengambil kerja-kerja laki-laki’, ‘mengabaikan anak-anak mereka’, ‘memperkaya diri dengan ‘tunjangan’ bekas suami’, ‘membunuh anak-anak yang masih dalam kandungan’, dan seterusnya-berada dalam posisi kritis, bersama dengan penduduk asli, kaum pendatang dan kaum muda. Lebih jauh lagi serangan ini telah mendorong wacana debat politik ke arah kanan, dan memfasilitasi serangan terhadap hak-hak perempuan bahkan dengan lebih cepat dan keras dari yang pernah dilakukan oleh partai yang berkuasa

Liberal Feminisme
Sepanjang tahun 1970-an pertahanan kaum perempuan dalam menghadapai serangan ini semakin melemah
Hal ini bukan berarti bahwa massa perempuan tidak menyadari akan serangan ini atau tidak marah karenanya. Secara luas, kaum muda perempuan berpartisipasii dalam sejumlah kampanye yang tersebar dalam berbagai front untuk menentang serangan ini
Sepanjang tahun 1980-an, kebanyakan para pemimpin menerima uang suap. Beberapa pejabat baru di pemerintahan untuk menunjukkan perhatian pada tuntutan feminis menjalankan lebih banyak program yang didanai oleh pemerintah (Pemerintah Federal menyumbangkan 1,3 trilyun dollar untuk pendanaan program dan organisasi perempuan di tahun 1994/95), para pimpinan gerakan juga ditawari peluang kerja dan membangun karir.
Ketika undang-undang berhasil dimenangkan pada tahun 1980-an, konsesi terhadap gerakan (seperti tindakan diskriminasi seks pada tahun 1984 dan aksi persetujuan pada tahun 1986) seringkali tidak dapat diterapkan dan hukumannya sangat kecil, kalaupun ada, hukuman tersebut tidak benar-benar dilakukan. Namun tanpa disertai pendistribusian kembali rantai ekonomi di masyarakat, tetap saja menimbulkan kesulitan bagi kaum perempuan. Disamping hak-hak formal yang semakin mandul, bagaimanapun, pengakuan mereka secara efektif digunakan oleh beberapa femocrat baru untuk menangkis kritik dan memberikan dukungan mereka untuk ALP. Dalam proses yang ‘dibuat sendiri’ oleh sekelompok kecil perempuan secara individu. Di saat yang bersamaan, ketika jumlah perempuan yang menduduki jajaran posisi eksekutif dalam perusahaan-perusahaan besar dan Bank masih sangat sedikit (penempatan posisi ini sebagian besar masih ditentukan oleh status klas dan gender), jumlah kaum perempuan yang menempati ‘jenjang’ karir di parlemen, birokrat, akademika dan media justru lebih besar dari sebelumnya
Demikian juga dengan aktifis feminis yang dikenal sebagai sayap militan dalam gerakan, banyak yang terjebak dengan kerja-kerja sosial dan tunjangan kesejahteraan untuk perempuan yang berasal dari Pemerintah sehingga seringkali melakukan kompromi politik untuk menghindari berkurangnya tunjangan dana tersebut
Dengan demikian harus di lihat kembali dan digarisbawahi kemandirian politik gerakan dan kesadaran massa seputar pembebasan perempuan. Feminisme Liberal-yang berpandangan bahwa penindasan perempuan tidak lebih dari sebuah bentuk diskriminasi dalam sistem kapitalisme yang hanya bisa dihilangkan dengan cara sederhana yaitu mendapatkan pengakuan kesetaraan secara utuh –semakin menguat, mengasingkan potensi radikal gerakan
Hal ini terjadi baik secara langsung melalui para femokrat dan politisi perempuan yang mendemobilisasi kampanye yang mengancam kekuatan pemilih dari partai buruh (yang menjadi sumber dana dan jenjang karir mereka), maupun secara tidak langsung melalui metode lobi dan perspektif reformis yang didorong oleh para feminis yang bekerja keras untuk mencegah tumbuhnya radikalisme dalam gerakan buruh
Bagaimanapun juga, kemenangan dominan kaum feminis liberal dalam gerakan bukan hanya karena perspektif dan metode mereka yang secara fundamental berjalan harmoni dengan Pemerintah Partai Buruh. Cengkeraman kaum Liberal dalam gerakan juga diperkuat oleh lemahnya seksi sayap sosialis dalam gerakan, yang dipotong oleh Stalinisme dan Eurocommunisme (terutama akibat pengaruh dari Partai Komunis Australia), sehingga tidak tersedia alternatif kepemimpinan dalam gerakan
Hingga saat ini masih banyak kaum perempuan yang tergabung dalam Partai Buruh Australia berdebat tentang hak-hak perempuan-yang pada akhirnya, mereka dapatkan secara tidak seimbang dari keberhasilan gerakan feminis. Tetapi dalam prakteknya, mereka mengabdi pada kepentingan kelas penguasa. Ketika melakukan pembelaan terhadap kesamaan hak dan kepentingan organisasi perempuan, mereka gagal menggalang dukungan publik untuk memenuhi tuntutan feminis atau menggunakan posisi mereka dalam memobilisir massa untuk memperbaiki situasi mayoritas perempuan
Aksi yang mereka lakukan untuk kepentingan mayoritas, hanya dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan mereka secara pribadi untuk tetap berada dalam posisi mereka saat ini
Kaum Feminis Liberal ini telah mengabaikan pembangunan gerakan massa perempuan yang aksi dan tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi kehidupan kaum perempuan secara keseluruhan. Mereka kini bertentangan dengan gerakan yang jika semakin kuat dan sukses akan membahayakan rencana dan kepentingan mereka sendiri (status kelas)
Meskipun terdapat konflik mendasar antara kepentingan kaum Feminis Liberal dan massa perempuan, dekade ‘feminisme’ diakui publik sebagai milik feminisme liberal. Kaum Feminis Liberal memiliki akses yang lebih besar terhadap uang, media dan pembuat kebijakan publik daripada pekerja perempuan dan kaum kiri. Dan media kapitalis serta partai politik terlalu berhasrat untuk melakukan transformasi atas ‘feminisme’ dari sebuah gerakan militan yang berbasis luas menentang penindasan perempuan dan untuk melakukan transformasi kolektif masyarakat-gerakan pembebasan perempuan-pada satu penegasan tentang hak-hak individu, kepentingan individu dan pemecahan masalah individu, sedikit demi sedikit tanpa merubah struktur fundamental, atau pola pemikiran penguasa, akan memungkinkan kaum perempuan untuk meningkatkan peran dan kesempatan karir mereka dalam status quo
Mungkin kaum Feminis Liberal telah mengklaim bahwa dunia feminisme adalah mereka, namun feminisme mereka bukan untuk kepentingan mayoritas perempuan. Bukan juga feminisme yang akan diakui oleh mayoritas perempuan: karena keberhasilan yang mereka capai seperti duduk di parlemen, berprofesi sebagai konsultan, publikasi akademik dan akademisi merupakan kedudukan yang jauh dari realita kehidupan kebanyakan kaum perempuan
Tidak mengherankan jika kemudian dari hasil survey menunjukkan bahwa dukungan generasi muda perempuan dan tuntutan kesamaan hak untuk perempuan tidak diidentifikasi sebagai ‘feminis’

Postmodernisme
Sebagaimana dalam seluruh gerakan sosial selama dekade terakhir, melemahnya gerakan pembebasan perempuan didorong oleh demoralisasi dan demobilisasi secara luas dalam gerakan kiri
Tekanan dari kelas penguasa dalam negara-negara kapitalis selama tahun 1980-an, kolapnya rejim Stalinis di awal tahun 1990 dan sejumlah propaganda ‘Matinya Sosialisme’ dan ‘Akhir Sejarah’, telah memaksa mundur kelompok kiri tradisional.
Hal ini termanifestasi melalui kemunculan postmodernisme, sebuah bentuk yang ditemukan oleh kaum Liberal untuk dapat bertahan hidup
Postmodernisme menjelaskan penindasan perempuan dan bagaimana mengatasinya melalui departemen study perempuan dan dalam jaringan feminis yang lebih luas di seluruh negara-negara kapitalis maju
Dalam menempatkan awal munculnya gerakan dan memfokuskan pada penindasan yang umumnya dialami kaum perempuan dibawah kapitalisme, feminis postmodernisme menekankan ‘perbedaan’ antara laki-laki dan perempuan, dan pada level individu diantara kaum perempuan itu sendiri, berdasarkan ras, kelas, agama, etnis dan psikologi
Politik perbedaan mengalir dari penolakan kaum postmodernisme untuk mencarii pemahaman tentang masyarakat beserta hukum-hukum yang berlaku yang pada umumnya memangkas perkembangan dan pengalaman individu. Hal ini terbukti karena siapa saja yang bicara atas nama pengetahuan dan kemajuan dalam masyarakat akan dibungkam dan disingkirkan sehingga kelompok tersebut tidak mempunyai kekuatan, akhirnya secara keseluruhan pengetahuan dan kemajuan disingkirkan. Hal ini tampak dalam karakter gerakan feminis yang bersikap sebagai oposisi terhadap pengetahuan yang dianggapnya sebagai ‘wacana kaum laki-laki’, ditentukan seluruhnya oleh ‘sistem nilai kaum laki-laki’. Kaum feminis postmodernisme menyatakan bahwa setiap individu saling berbeda dalam penerimaan, pemahaman dan respon terhadap segala sesuatu dengan begitu mereka menentang pernyataan bahwa ilmu pengetahuan dan pengalaman bersifat ‘universal’. Hal ini diartikan bahwa dalam kehidupannya setiap orang mengerjakan kepentingannya sendiri, mempercayai kepercayaannya sendiri, lebih menghargai pikiran dan pengalamannya sendiri, dan (kemungkinan) menghargai orang lain secara individual. Hal ini menjadi dasar politik bagi gaya hidup dan identitas perseorangan dimana menjalani kehidupan sendiri menjadi gambaran bagi aktivitas politik dan aksi kolektif. Penindasan ekonomi, sosial dan psikologi yang umumnya menimpa kaum perempuan hanya teori belaka tidak benar-benar terjadi
Politik individualisasi feminis yang dijalankan oleh kaum postmodernisme langsung meniupkan hasrat, rasa percaya diri dan kemampuan kaum perempuan untuk berorganisasi dan melakukan perjuangan kolektif untuk perubahan (menjalankan pembebasan penuh dengan cara mereka sendiri). Tekad itu diwujudkan dengan tidak berbicara atas kepentingan lain, untuk tidak menyingkirkan dan menindas sesamanya perempuan dengan cara berbagi pengalaman, sehingga setiap individu perempuan tidak perlu lagi memandang melihat kesamaan antara pengalaman satu pribadi dengan pengalaman orang lain-satu hal yang akan mempersatukan tiap individu untuk melawan penindas, serta mendorong solidaritas terhadap sesamanya
Sebagai sebuah strategi untuk pembebasan, pernyataan ‘kita semua adalah individu’ terdapat dalam ilusi yang memungkinkan untuk melakukan perubahan besar dalam masyarakat untuk menghapus penindasan perempuan secara berangsur-angsur, sektor demi sektor, atau satu demi satu , tanpa membutuhkan aliansi dan perjuangan bersama. Perspektif ini mencuat dan dikuatkan dengan pemikiran bahwa cara paling efektif untuk mendapat kesetaraan gender adalah apabila individu perempuan menempati posisi ‘pembuat keputusan di jajaran status quo
Tetapi bahkan sepintas dalam sejarah radikal, memperlihatkan bahwa setiap langkah signifikan menuju kebebasan hanya dimenangkan oleh sejumlah besar orang yang melakukan perjuangan secara bersama. Hal ini adalah kenyataan baik bagi gerakan pembebasan perempuan maupun yang lainnya

‘Feminis” Gaya Hidup
Dominasi kebebasan individu telah menjadikan gerakan dipenuhi oleh karirisme, konsumerisme dan gaya hidupisme. Di tahun 90-an masyarakat mengkonsumsii pandangan yang diciptakan oleh media tentang ‘feminisme’-penampilan, the venues, literatur, dll-yang kini dilihat sebagai ‘menjadi feminis’. Seluruh industri dikembangkan untuk menyediakan dan menjual produk ‘kesadaran diri feminis’. Kapitalisme meraih keuntungan yang manis dari konsumerisme ‘feminis’
Gaya hidupisme ini bukanlah feminisme. Ini hanya sebuah solusi tipuan atas penindasan perempuan yang tersedia hanya bagi sejumlah kecil perempuan yang mampu ‘menjalani kehidupan’ dengan cara ini. Dengan mengabaikan penindasan kolektif dan perjuangan kolektif untuk melawannya, gaya hidupisme tidak akan memperkuat kaum perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan, dan membiarkan tiap individu untuk berjuang bagi dirinya sendiri
Kenyataannya, ‘feminis’ gaya hidupisme sesungguhnya justru melemahkan kaum perempuan dengan tetap menyimpan ilusi bahwa kaum perempuan secara individu dapat membeli kebebasan mereka, dan meyakinkan pada setiap perempuan bahwa mereka yang gagal adalah karena ketidakmampuan mereka secara individu

Lakukan Feminisme Menurut Caramu Sendiri
Pernyataan terakhir dari feminisme Liberal adalah ‘Lakukan Feminisme Menurut Caramu Sendiri-Do It Yourself (DIY) Feminism’. Sering juga disebut sebagai feminisme ‘gelombang ketiga’, yang terpengaruh oleh postmodernisme, yang lahir sebagai respon seketika para generasi muda perempuan terhadap pengkhianatan para pimpinan dari gerakan tahun 70-an yang kini tenggelam dalam karir ‘feminis’ dan menjalankan feminisme menurut cara mereka sendiri-patronase, eksklusif, birokratis dan kompromis dengan penguasa. Dalam bukunya yang berjudul DIY Feminism yang terbit di tahun 1996 Kathy Bail menyatakan ‘Untuk kaum perempuan muda, daripada satu jenis feminisme, ada sekian banyak feminisme yang baru dan lebih menarik…Perubahan ini sesuai dengan DIY dan merupakan karakter filosofi budaya kaum muda’.
Meskipun telah membuang pandangan sempit dan konservatif dari feminis ‘profesional’ Liberal, namun Feminisme DIY masih belum jauh dari akarnya. Feminisme DIY tidak berusaha terpisah dari itu tetapi cenderung menjadi penerus, bahkan lebih memperdalam, pandangan individualistis feminisme femocratic yang semula akan dibuang
Feminisme DIY membuat beberapa istilah seperti ‘riot girls’, ‘guerrila girls’, ‘net chicks’, ‘geek girls’, ‘deep girls’, ‘action girls’, ‘cyber chix’, dll-serta mendorong kaum perempuan untuk mempergunakan istilah itu dan ‘melakukannya untuk kepentingan mereka sendiri’ hingga meraih keberhasilan. Istilah ini tidak sekedar meniru bahasa yang cenderung seksis yang banyak digunakan di masyarakat untuk melecehkan dan merendahkan perempuan dengan menganggap perempuan sebagai anak masih hijau, belum dewasa ('chicks' and ‘girls'), tapi sebagai asumsi bahwa hambatan yang terstruktur di segala sektor masyarakat atas kesetaraan perempuan sudah tidak ada lagi
Dengan demikian secara implisit, jika tidak eksplisit, Feminisme DIY mengacuhkan bahkan mengutuk kaum perempuan yang tidak ‘Melakukan untuk diri mereka sendiri’ dalam wilayah mereka, atau yang ‘mengeluh’ bahwa seksisme telah menjadi penghalang. Bahkan mereka mengabaikan kenyataan bahwa kaum perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih karir, hobby, kepentingan dan lain-lain karena dihambat oleh seksisme (dan rasisme serta status kelas mereka)
Dasar pemikiran Feminisme DIY yang dengan kesadaran penuh mengabaikan aspek penting dari gelombang kedua yang telah memenangkan beberapa perubahan untuk kaum perempuan, yaitu kolektivitas dan organisasi. Sehingga jelas bahwa Feminisme DIY merupakan satu langkah mundur bagi pembebasan perempuan

Solusi Kami
Resolusi ini menjalankan strategi yang sangat berbeda. Penindasan perempuan yang dianalisa melalui perspektif Marxist, merupakan produk dari masyarakat kelas dan hanya bisa diakhiri apabila kita mampu menghancurkan seluruh tatanan masyarakat kelas
Di saat Feminisme Liberal membuang program untuk melakukan perubahan sosial secara fundamental demi mencari solusi secara individual, masih banyak kaum perempuan yang menjadi korban perkosaan, penghisapan, kelaparan, tidak memiliki hak atas tanah dan dibunuh. Perjuangan untuk kesetaraan, keadilan sejati dan kebebasan masih didepan kita, memberi jarak yang semakin lebar dengan arus yang menyerang hak-hak perempuan
Untuk memenangkan perjuangan tersebut kita harus belajar dari sejarah, yang berhasil dimenangkan oleh gerakan selama bertahun-tahun. Kuncinya adalah bahwa kita harus membangun sebuah gerakan Pembebasan Perempuan yang luas, inklusif, kreatif, aktif dan tidak kompromis untuk meraih kesetaraan dan keadilan untuk perempuan
Perjuangan untuk meraih kesetaraan bukanlah perjuangan antara perempuan melawan laki-laki yang dianggap sebagai penindas mereka, melainkan sebuah perjuangan melawan penindasan masyarakat kelas. Dengan begitu Feminisme harus merancang strategi untuk membangun aliansi dengan kelompok tertindas lainnya-saling belajar tentang perbedaan penindasan di masing-masing sektor, juga memperkuat jaringan yang menyatukan kita untuk berjuang mengakhiri penindasan kelas dan untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap orang memiliki kesamaan dalam pilihan hidup dan kesempatan terlepas dari asal-usul ras, kelas dan jenis kelamin
Satu-satunya gerakan yang dapat memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak perempuan, hingga membebaskan kaum perempuan sepenuhnya, adalah sebuah gerakan yang mementingkan kebutuhan dan aspirasi mayoritas kaum perempuan daripada segelintir kaum elit

Lisa Macdonald
Oktober 1997


Dikutip dari : FEMINISM AND SOCIALISM Putting the Pieces Together
Diterbitkan oleh : Restistance Book 2001, Australia. Terjemahan Ernawati

Materi Perempuan : Untuk Pembebasan Perempuan

UNTUK PEMBEBASAN PEREMPUAN1

Diterjemahkan oleh : Vivi Widyawati2

Penindasan terhadap kaum perempuan integral dalam sistem masyarakat kapitalis dan juga integral dalam semua kelas dalam masyarakat sejak berakhirnya sistem masyarakat komunal primitif.

Penindasan terhadap kaum perempuan dilembagakan dalam sebuah sistem keluarga. Dalam masyarakat berkelas, keluarga merupakan satu-satunya lembaga yang bagi kebanyakan orang dapat beralih untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia termasuk cinta dan berpasangan. Walaupun bagi banyak orang sistem keluarga kurang memenuhi kebutuhan tersebut, tak ada alternatif yang nyata selama adanya masyarakat berkelas.

Namun, tujuan utama dari keluarga bukan untuk memenuhi kebutuhan mendasar tersebut. Keluarga bukanlah sekedar , sebuah kelompok orang dewasa yang secara suka rela hidup bersama dalam sebuah rumah tangga, bersama dengan anak-anak mereka. Keluarga adalah inti unit sosial-ekonomi dalam struktur masyarakat berkelas , yang didasari pada sebuah ikatan pernikahan legal yang memungkinkan transmisi kepemilikan pribadi dan meneruskan pembagian-pembagian klas dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Keluarga adalah sebuah mekanisme dasar yang dijalankan kelas penindas menghapuskan tanggung jawab sosial terhadap kesejahteraan ekonomi buruh yang mereka eksploitasi.

Sebagai sebuah unit ekonomi, setiap keluarga bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya. Di bawah sistem keluarga tidak ada konsep bahwa masyarakat sebagai sebuah kesatuan, harus menciptakan standar hidup yang nyaman dan aman bagi setiap anggota masyarakat. akibatnya, manusia dipaksa untuk tinggal bersama dalam sebuah rumah tangga yang individual.

Sistem keluarga memaksa pembagian kerja sosial berdasarkan pada penaklukan perempuan dan ketergantungan mereka terhadap seorang lelaki, ayah atau suamii mereka. Atas basis material inilah, ideology sexist berkembang dan dipelihara oleh Kelas penindas. Menggambarkan perempuan sebagai kaum yang secara phisikologis dan mentalogis berada di bawah kaum laki-laki dan secara biologis tidak pantas untuk berperan lebih dari melahirkan dan kerja domestik. Status hukum kaum perempuan yang lebih rendah dalam klas masyarakat menjadi sumber dari kekerasan yang bersifat anti - perempuan, perkosaan, penyiksaan terhadap istri dan pembunuhan bayi perempuan.

Ketika beberapa aspek dari sistem yang menindas telah ditentang belakangan ini, dan beberapa individu telah mampu untuk mereduksi tingkat penindasan mereka. Secara keseluruhan sistem penindasan ini masih utuh.

Tidak ada satu pun institusi lain dalam kelas masyarakat yang peran sejatinya tersembunyi oleh prasangka dan mistifikasi seperti yang terjadi pada keluarga.. Borjuis moralis mengklaim bahwa keluarga adalah basis untuk kealamian dan kesatuan moral masyarakat. Antropoligis sepakat tentang mitos bahwa unit keluarga selalu ada.Mereka mengabaikan fakta bahwa keluarga berasal dan berjalan dari perkembangan kepemilikan pribadi, kmasyarakat berkelas dan negara. Mereka mengaburkan fakta bahwa sebelum terbentuknya masyarakat berkelas basis dari unit sosial adalah klan dan dalam setiap klan kekayaan dibagi bersama – sama.

Bagaimanapun, dengan berkembangnya surplus ekonomi yang permanen dan penyalahgunaan surplus oleh individu pribadi, pasangan mulai memisahkan diri darii klan dan membangun dumah tangga secara terpisah. Kaum perempuan menjadi terisolasi dari aktifitas komunal dan monogami untuk perempuan yang sudah menikah menjadi keharusan atau dipaksa untuk mendapatkan hak waris.

Keluarga dan penaklukan terhadap perempuan hadir bersamaan denga institusi-institusi yang lain dari munculnya masyarakat berkelas untuk menopang lahirnya pembagian klas dan mengabadikan akumulasi kekayaan pribadi. Negara dengan tentara-tentara dan polisi-polisinya, hukum-hukum serta pengadilan-pengadilannya, memaksa diterapkan hubungan keluarga ini.

Asal mula sistem keluarga dalam kepemilikan pribadi diambil dari bahasa Latin yaitu famulus yang berarti budak rumahtangga dan familia dan arti keseluruhannya budak milik dari seorang laki-laki.

Selama berabad abad, struktur dan fungsi-fungsi dari institut keluarga beragam diantara masyarakat yang berbeda dan klas yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Tapi fungsi esensialnya tetap sama. Seperti halnya negara, keluarga adalah sebuah institusi yang represif yang dibuat untuk mengabadikan ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan pembagian klas dalam masyarakat kedalam klas penindas dan kelas tertindas.

Mustahil untuk mengatakan penghapusan keluarga . Orang – orang sosialis mencari cara untuk menghilangkan paksaan ekonomi dan sosial yang telah menggerakkan mayoritas orang ke dalam sebuah sistem keluarga saat ini, serta untuk memberikan pilihan yang lebih luas dan lebih bebas pada setiap individu dalam kehidupan mereka

Meskipun demikian, revolusi sosialis akan mewarisi banyak intitusi dari struktur masyarakat lama, termasuk keluarga. Peran keluarga sebagai sebuah unit ekonomi hanya akan melenyap ketika masyarakat secara keseluruhan bertanggung jawab untuk kepentingan material rakyat.

Seperti sistem keluarga yang sangat diperlukan dalam masyarakat berkelas, maka penindasan terhadap perempuan sangatlah diperlukan untuk melanggengkan sistem keluarga. Dengan munculnya sistem keluarga, perempuan yang sudah menikah dihentikan untuk berperan secara langsung dalam produksi sosial. Mereka dibatasi untuk kerja-kerja domestik dalam unit individual keluarga, menjadi secara ekonomi bergantung kepada suami. Ketergantungan ekonomi ini menetukan status sosiall masyarakt kelas dua kaum perempuan, yang mana kosehivitas dan keberlajutan darii sistem keluarga selalu bergantung pada status ini.

Perempuan diasingkan ke dalam perbudakan domestik dan berstatus kelas kedua dalam masyarakat bukan karena pelayanan kepentingan laki – laki secara umum tapi, karena berperan melayani kebutuhan perhatian dari laki-laki pada umumnya tetapi karena melayani kebutuhan kaum laki – laki yang mempunyai properti.
Sistem kapitalis telah memperhalus dan merubah penindasan terhadap kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan kapitalis. Bagi kapitalisme, penindasan terhadap kaum perempuan memiliki banyak keuntungan ekonomi yang vital:

Melalui sistem keluarga, kebanyakan perempuan berperan sebagai tenaga kerja domestik yang tidak perlu dibayar dan ditugaskan untuk mengurus seluruh anggota keluarga, maka dari itu menghemat pengeluaran pembayaran dari klas kapitalis, untuk merawat generasi buruh berikutnya dan dan sebagai bagian untuk mempertahankan generasi saat ini.
Seksime adalah salah satu alat ideologi yang digunakan oleh klas kapitalis untuk tetap memerthankan agar klas buruh terpecah, melemahkan kemampuan kaum buruh untuk bersatu dalam mempertahankan kepentingan kelasnya.
Penerimaan yang luas tentang gagasan seksis bahwa tempat perempuan adalah di rumah memudahkan bagi kapitalis untuk membenarkan eksploitasi terhadap kaum buruh, yang bertujuan untuk menekan upah buruh dengan mempertahankan cadangan tenaga kerja yang tak terpakai, dan untuk mengurangi biaya sosial dan konsekuensi mempertahankan sebuah sektor yang besar dari populasi hanya secara periodik menarik dalam produksi sosial.

Pada saat yang bersamaan, kapitalis melemahkan sistem keluarga dalam klas pekerja. Di antara para pekerja, unit keluarga berakhir menjadi unit dari produksi seperti yang terjadi dalam masyarakakat pra-kapitalis, Walaupun unit dasar konsumsi dan reproduksi tenaga kerja tetap. Setiap anggota keluarga menjual tenaga kerjanya secara indivudual dalam pasar tebaga kerja. Sistem kapitalis memutuskan rantai utama ekonomi yang sebelumnya dilakukan oleh kelas buruh secara bersama – kenyataannya bahwa mereka harus kerja sebagai unit keluarga untuk bertahan hidup.

Sebelum indrustrialisasi kapitalis, perempuan mempunyai sedikit hak-hak dan hampir tidak punya indentitas atau kehidupan di luar fungsi mereka di dalam keluarga. Kebangkitan kapitalisme industri mulai mengakhiri pengasingan domestik dengan memberikan sebuah peran priduktif yang indenpenden di luar rumah bagi kaum perempuan .meskipun kerja ini menjadi Brutal dan eksplotatif, namun sejumlah besar perempuan mulai untuk mencapai beberapa tingkat kemandirian ekonomi untuk pertama kalinya sejak kebangkitan masyarakat berkelas.

Keterlibatan sebagian besar perempuan dalam industrialisasi menimbulkan kontradiksi antara peningkatan kemandirian ekonomi perempuan dengan penaklukan domestik mereka di dalam unit keluarga, menggerakkan kaum perempuan untuk melawan penindasan mereka dan idiologi yang menopang penindasan.

Penindasan terhadap kaum perempuan berdasarkan jenis kelamin (karena dia perempuan) memberikan basis obyektif bagi perempuan untuk memobilisasi diri untuk berjuang di dalam organisasi-organisasi mereka. Partai mendukung pembangunan sebuah gerakan pembebasan perempuan yang di oraganisir dan di pimpin oleh kaum perempuan, dan prioritas utama adalah berjuang untuk memenangkan dan mempertahankan hak-hak kaum perempuan. Gerakan haruslah menolak untuk mensubordinasikan perjuangan untuk hak-hak kaum perempuan untuk kepentingan apappun dan harus berniat menyelesaikan perjuangan itu dengan cara apa saja dan dengan kekuatan apapun yang diperlukan.

Seperti seluruh gerakan progresif yang lainnya, demikian juga sebuah gerakan pembebasan perempuan yang independen tidak akan bisa berhasil jika hanya sendirian. Hanya dengan pengggabungkan tujuan dan tuntutan-tututan dari gerakan pembebasan perempuan dengan perjuangan klas pekerja dan gerakan progresif yang lainnya akan menjadi kekuatan penuh untuk mencapai pembebasan perempuan.

Walaupun semua perempuan di tindas karena dia perempuan tetapi dampak dari penindasan ini berbeda-beda tergantung dari klas sosialnya. Kaum pekerja perempuan mengalami penindasan secara seksis dalam bentuk yang paling akut, tidak seperti kaum perempuan kelas pemilik modal , tidak mempunyai kepenntingan di dalam menegakan akar dari penindasan yaitu sistem kepemilikan pribadi. Jika gerakan pembebasan perempuan melakukan perjuangan dengan pendirian yang teguh gerakan tersebut harus mebawa tuntutan-tuntutan dari kaum pekerja perempuan dan melibatkan mereka dalam kepemimpinan dari gerakan.

Perjuangan pembebasan perempuan memiliki persoalan reorganisasi total masyarakat mulai dari unit terkecil yang represif yaitu keluarga sampai pada yang lebih besar yaitu negara. Pembebasan perempuan menuntut sebuah restrukturisasi menyeluruh dari masyarakat produktif dan institusi-institusi reproduktif untuk memaksimalkan kesejahteraan sosoial dan membentuk eksistensi manusia dengan sungguh-sungguh untuk semua. Tanpa revolusi sosialis, kaum perempuan tidak akan mampu menciptakan prakondisi material untuk pembebasan mereka. Tanpa kesadaran dan partisipasi yang setara dari massa luas kaum perempuan, klas pekerja tidak akan sanggup untuk mentuntaskan revolusi sosialis dan membangun sosialisme.

Partai mencoba untuk meyakinkan klas pekerja tentang penyatuan perjuang bagi hak-hak kaum perempuan menjadi perjuangan klas pekerja untuk pembebasan sosial. Partai mencoba untuk menjernihkan dan memberikan jawaban konkrit dari persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh penindasan sistem kapitalis terhadap perempuan, serta membantu gerakan permbebasan perempuan untuk menegakkan cita-cita politik

Partai mengajukan tuntutan-tuntutan yang secara langsung tmengenai penghapuskan penindasan khusus terhadap kaum perempuan dan melawan klas kapitalis serta institusi sosial dan institusi politik kapitalis , yang bertanggung jawab secara ekonomi dan kondisi-kondisi sosial yang menjadi dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Tuntutan-tututan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut :

1.Hak perempuan untuk mengkontrol tubuh mereka sendiri. Hak ini Harus menjadi hak tunggal bagi setiap perempuan memutuskan untuk mencegah atau mengakhiri sebuah kehamilan. Semua undang-undang anti-aborsi harus di cabut / di batalkan. Aborsi haruslah menjadi tuntutan dan biayanya harus sepenuhnya di tanggung oleh sistem pelayanan kesehatan. Kontrasepsi yang aman dan terpecaya baik untuk perempuan ataupun laki-laki harus tersedia dengan bebas untuk setiap yang memerlukannya. KB dan pusat-pusat pendidikan seksual yang dibiayai oleh negara harus di bangun di setiap sekolah, lingkungan perumahan, rumah sakit-rumah sakit dan di tempat-tempat kerja. Hak untuk kebebasan reproduksi termasuk hak bagi perempuan untuk melahirkan jika itu menjadi pilihannya. Sterilisasi tanpa ijin perempuan atau menggunakan tekanan untuk memperoleh ijin perempuan harus di hukum.

2.Hak Perempuan untuk indenpden secara ekonomi dan kesetaraan. Termasuk hak untuk menjadi tenaga kerja penuh, kesetaraan upah, mendapat akses pekerjaan non- tradisional dan kenaikan upah dalam pekerjaan tradisional perempuan membuat mereka sebanding dengan jabatan tradisonal laki-laki yang memerlukan level dan keahlian serupa. Pekerja-pekerja paruh waktu harus dijamin mendapatkan upah yang sama seperti full timer untuk setiap jam. Partai juga mendukung bayaran untuk cuti pemeliharaan anak, akses yang sama untuk mendapatkan tunjangan bagi pengangguran tanpa memandang status perkawinan dan mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan lewat program-program pelatihan dan pelatihan ulang. Undang-undang yang berguna untuk melindungi kondisi-kondisi pekerjaaan yang khusus untuk kaum perempuan harus di tawarkan kepada laki-laki supaya memperbaiki kondisi kerja semua pekerja dan untuk mencegah tindakan serupa sebuah dalih untuk diskriminasi terhadap perempuan.

Pewajiban untuk menyediakan kuota, sangatlah penting untuk mengatasi dampak-dampak darii diskriminasi sistimatik selama beberapa dekade dalam pekerjaan, pelatihan dan promosi. Untuk mengatasi ketidakseimbangan yang ada, perawatan prefensial haruslah diiberikan kepada perempuan di dalam pekerjaan , pelatihan, penataran dan penyesuaian diri dalam kenaikan jabatan.

Pelayanan pemeliharaan anak yang murah dan nyaman adalah penting untuk memungkinkan perempuan untuk mencapai partusipasi setara dalam angktan kerja . Kebutuhan mendesak adalah sebuah program untuk menciptakan hubungan kerja yang bebas, dibiayai negara, pusat-pusat pemeliharaan anak ada disetiap lingkungan perumahan dan di tempat kerja yang besar. Pusat-pusat itu harus terbuka setiap saat dan bisa untuk mengurus semua anak-anak mulai dari tahap perkembangan sampai mendekati masa remaja. Pengasuhan/pemeliharaan , kesejahteraan dan pendidikan anak-anak harus menjadi tanggung jawab bersama dari masyarakat, dari pada semata-mata menjadi beban individu orang tua. Hukum-hukum yang mengijinkan hak kepemilikan orang tua dan mengontrol anak secara penuh harus dihapuskan.

Kaum perempuan tidak akan bisa menikmati kesetaraan ekonomi dengan kaum laki-laki sepanjang mereka dipaksa untuk memikul beban utama dari pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Ini adalah persoalan yang diciptakan secara sosial yang memerlukan sebuah solusi sosial. Solusi ini termasuk sosialisasi dari pelayanan domestik (rumah tangga) through the creation of a network of easly accsible, harga murah, fasilitas laundri untuk umum, kafetaria-kafetaria dan rumah makan-rumah makan, pelayanan kebersihan rumah pada basis industri dan lain sebagainya.

3.Hak Perempuan untuk mendapatkan kesempatan pendidikanyang setara . Sistem pendidikan saat ini mendiskriminasikan kaum perempuan dalam semua level mulai taman kanak-kanak sampai tingkatan sarjana. stereotip sex dalam buku-buku pendidikan Harus dihentikan, dan berhenti untuk menghubungkan siswa/pelajar kedalam subjek laki-laki dan perempuan dan untuk semua bentuk-bentuk yang menekan pelajar/siswa perempuan untuk mempesiapkan diri mereka untuk pekerjaan yang disebut pekerjaan perempuan (mengurus rumah, perawat, guru dan pekerjaan kesekretariatan).

Program-program pengakuan khusus harus dikenalkan untuk memberi semangat kepada kaum perempuan untuk enter budaya dominasi laki-laki dari mata pelajaran dan pekerjaan.


4.Hak Perempuan untuk bebas dari kekerasan seksual dan eksploitasi. Kekerasan yang bersifat seksis adalah kenyataan sehari-hari yang dialami oleh semua perempuan dalam segala bentuk. Meskipun saat ini tidak mengambil bentuk ekstrim dari perkosaan, pemukulan-pemukulan dan pemburuhan, setiap saat menjadi ancaman serangan seksual secara implisit di dalam jangkauan yang luas dari kepustakaan seksis dan

Dibutuhkan sebuah kampanye pendidikan yang masif untuk mengkaunter keingingan untuk menindas perempuan. Kampanye ini harus didukung oleh pemerintah dan bekerja sama dengan gerakan perempuan. Hukum-hukum pelecehan seksual terhadap perempuan haruslah diperkuat dan dilaksankan dengan tegas.

Semakin bertambahnya perkosaan, pemukulan terhadap istri dan penyerangan seksual kepada anak-anak mempertegas kebutuhan untuk meningkatkan fasilitas untuk korban – korban tersebut. Fasiltitas-fasilitas tersebut harus independen dari pengadilan dan polisi, dari mereka yang berperan sebagaic status quo. .

Semua hukum yang membutuhkan pembenaran dari penyerangan seksual atau kesaksian dari kerusakan fisik atau yang melimpahkan kesalahan pada perempuan korban perkosaan harus dibatalkan. Pertanyaan-pertanyaan terhadap perempuan korban perkosaan tentang masa lalu aktivitas seksual mereka harus di larang.

Pelacuran tidak seharusnya diperlakukan sebagai krimial. Semua hukum yang mengorbankan pelacuran harus dibatalkan.

Materi Perempuan : Untuk Pembebasan Perempuan

UNTUK PEMBEBASAN PEREMPUAN1

Diterjemahkan oleh : Vivi Widyawati2

Penindasan terhadap kaum perempuan integral dalam sistem masyarakat kapitalis dan juga integral dalam semua kelas dalam masyarakat sejak berakhirnya sistem masyarakat komunal primitif.

Penindasan terhadap kaum perempuan dilembagakan dalam sebuah sistem keluarga. Dalam masyarakat berkelas, keluarga merupakan satu-satunya lembaga yang bagi kebanyakan orang dapat beralih untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia termasuk cinta dan berpasangan. Walaupun bagi banyak orang sistem keluarga kurang memenuhi kebutuhan tersebut, tak ada alternatif yang nyata selama adanya masyarakat berkelas.

Namun, tujuan utama dari keluarga bukan untuk memenuhi kebutuhan mendasar tersebut. Keluarga bukanlah sekedar , sebuah kelompok orang dewasa yang secara suka rela hidup bersama dalam sebuah rumah tangga, bersama dengan anak-anak mereka. Keluarga adalah inti unit sosial-ekonomi dalam struktur masyarakat berkelas , yang didasari pada sebuah ikatan pernikahan legal yang memungkinkan transmisi kepemilikan pribadi dan meneruskan pembagian-pembagian klas dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Keluarga adalah sebuah mekanisme dasar yang dijalankan kelas penindas menghapuskan tanggung jawab sosial terhadap kesejahteraan ekonomi buruh yang mereka eksploitasi.

Sebagai sebuah unit ekonomi, setiap keluarga bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya. Di bawah sistem keluarga tidak ada konsep bahwa masyarakat sebagai sebuah kesatuan, harus menciptakan standar hidup yang nyaman dan aman bagi setiap anggota masyarakat. akibatnya, manusia dipaksa untuk tinggal bersama dalam sebuah rumah tangga yang individual.

Sistem keluarga memaksa pembagian kerja sosial berdasarkan pada penaklukan perempuan dan ketergantungan mereka terhadap seorang lelaki, ayah atau suamii mereka. Atas basis material inilah, ideology sexist berkembang dan dipelihara oleh Kelas penindas. Menggambarkan perempuan sebagai kaum yang secara phisikologis dan mentalogis berada di bawah kaum laki-laki dan secara biologis tidak pantas untuk berperan lebih dari melahirkan dan kerja domestik. Status hukum kaum perempuan yang lebih rendah dalam klas masyarakat menjadi sumber dari kekerasan yang bersifat anti - perempuan, perkosaan, penyiksaan terhadap istri dan pembunuhan bayi perempuan.

Ketika beberapa aspek dari sistem yang menindas telah ditentang belakangan ini, dan beberapa individu telah mampu untuk mereduksi tingkat penindasan mereka. Secara keseluruhan sistem penindasan ini masih utuh.

Tidak ada satu pun institusi lain dalam kelas masyarakat yang peran sejatinya tersembunyi oleh prasangka dan mistifikasi seperti yang terjadi pada keluarga.. Borjuis moralis mengklaim bahwa keluarga adalah basis untuk kealamian dan kesatuan moral masyarakat. Antropoligis sepakat tentang mitos bahwa unit keluarga selalu ada.Mereka mengabaikan fakta bahwa keluarga berasal dan berjalan dari perkembangan kepemilikan pribadi, kmasyarakat berkelas dan negara. Mereka mengaburkan fakta bahwa sebelum terbentuknya masyarakat berkelas basis dari unit sosial adalah klan dan dalam setiap klan kekayaan dibagi bersama – sama.

Bagaimanapun, dengan berkembangnya surplus ekonomi yang permanen dan penyalahgunaan surplus oleh individu pribadi, pasangan mulai memisahkan diri darii klan dan membangun dumah tangga secara terpisah. Kaum perempuan menjadi terisolasi dari aktifitas komunal dan monogami untuk perempuan yang sudah menikah menjadi keharusan atau dipaksa untuk mendapatkan hak waris.

Keluarga dan penaklukan terhadap perempuan hadir bersamaan denga institusi-institusi yang lain dari munculnya masyarakat berkelas untuk menopang lahirnya pembagian klas dan mengabadikan akumulasi kekayaan pribadi. Negara dengan tentara-tentara dan polisi-polisinya, hukum-hukum serta pengadilan-pengadilannya, memaksa diterapkan hubungan keluarga ini.

Asal mula sistem keluarga dalam kepemilikan pribadi diambil dari bahasa Latin yaitu famulus yang berarti budak rumahtangga dan familia dan arti keseluruhannya budak milik dari seorang laki-laki.

Selama berabad abad, struktur dan fungsi-fungsi dari institut keluarga beragam diantara masyarakat yang berbeda dan klas yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Tapi fungsi esensialnya tetap sama. Seperti halnya negara, keluarga adalah sebuah institusi yang represif yang dibuat untuk mengabadikan ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan pembagian klas dalam masyarakat kedalam klas penindas dan kelas tertindas.

Mustahil untuk mengatakan penghapusan keluarga . Orang – orang sosialis mencari cara untuk menghilangkan paksaan ekonomi dan sosial yang telah menggerakkan mayoritas orang ke dalam sebuah sistem keluarga saat ini, serta untuk memberikan pilihan yang lebih luas dan lebih bebas pada setiap individu dalam kehidupan mereka

Meskipun demikian, revolusi sosialis akan mewarisi banyak intitusi dari struktur masyarakat lama, termasuk keluarga. Peran keluarga sebagai sebuah unit ekonomi hanya akan melenyap ketika masyarakat secara keseluruhan bertanggung jawab untuk kepentingan material rakyat.

Seperti sistem keluarga yang sangat diperlukan dalam masyarakat berkelas, maka penindasan terhadap perempuan sangatlah diperlukan untuk melanggengkan sistem keluarga. Dengan munculnya sistem keluarga, perempuan yang sudah menikah dihentikan untuk berperan secara langsung dalam produksi sosial. Mereka dibatasi untuk kerja-kerja domestik dalam unit individual keluarga, menjadi secara ekonomi bergantung kepada suami. Ketergantungan ekonomi ini menetukan status sosiall masyarakt kelas dua kaum perempuan, yang mana kosehivitas dan keberlajutan darii sistem keluarga selalu bergantung pada status ini.

Perempuan diasingkan ke dalam perbudakan domestik dan berstatus kelas kedua dalam masyarakat bukan karena pelayanan kepentingan laki – laki secara umum tapi, karena berperan melayani kebutuhan perhatian dari laki-laki pada umumnya tetapi karena melayani kebutuhan kaum laki – laki yang mempunyai properti.
Sistem kapitalis telah memperhalus dan merubah penindasan terhadap kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan kapitalis. Bagi kapitalisme, penindasan terhadap kaum perempuan memiliki banyak keuntungan ekonomi yang vital:

Melalui sistem keluarga, kebanyakan perempuan berperan sebagai tenaga kerja domestik yang tidak perlu dibayar dan ditugaskan untuk mengurus seluruh anggota keluarga, maka dari itu menghemat pengeluaran pembayaran dari klas kapitalis, untuk merawat generasi buruh berikutnya dan dan sebagai bagian untuk mempertahankan generasi saat ini.
Seksime adalah salah satu alat ideologi yang digunakan oleh klas kapitalis untuk tetap memerthankan agar klas buruh terpecah, melemahkan kemampuan kaum buruh untuk bersatu dalam mempertahankan kepentingan kelasnya.
Penerimaan yang luas tentang gagasan seksis bahwa tempat perempuan adalah di rumah memudahkan bagi kapitalis untuk membenarkan eksploitasi terhadap kaum buruh, yang bertujuan untuk menekan upah buruh dengan mempertahankan cadangan tenaga kerja yang tak terpakai, dan untuk mengurangi biaya sosial dan konsekuensi mempertahankan sebuah sektor yang besar dari populasi hanya secara periodik menarik dalam produksi sosial.

Pada saat yang bersamaan, kapitalis melemahkan sistem keluarga dalam klas pekerja. Di antara para pekerja, unit keluarga berakhir menjadi unit dari produksi seperti yang terjadi dalam masyarakakat pra-kapitalis, Walaupun unit dasar konsumsi dan reproduksi tenaga kerja tetap. Setiap anggota keluarga menjual tenaga kerjanya secara indivudual dalam pasar tebaga kerja. Sistem kapitalis memutuskan rantai utama ekonomi yang sebelumnya dilakukan oleh kelas buruh secara bersama – kenyataannya bahwa mereka harus kerja sebagai unit keluarga untuk bertahan hidup.

Sebelum indrustrialisasi kapitalis, perempuan mempunyai sedikit hak-hak dan hampir tidak punya indentitas atau kehidupan di luar fungsi mereka di dalam keluarga. Kebangkitan kapitalisme industri mulai mengakhiri pengasingan domestik dengan memberikan sebuah peran priduktif yang indenpenden di luar rumah bagi kaum perempuan .meskipun kerja ini menjadi Brutal dan eksplotatif, namun sejumlah besar perempuan mulai untuk mencapai beberapa tingkat kemandirian ekonomi untuk pertama kalinya sejak kebangkitan masyarakat berkelas.

Keterlibatan sebagian besar perempuan dalam industrialisasi menimbulkan kontradiksi antara peningkatan kemandirian ekonomi perempuan dengan penaklukan domestik mereka di dalam unit keluarga, menggerakkan kaum perempuan untuk melawan penindasan mereka dan idiologi yang menopang penindasan.

Penindasan terhadap kaum perempuan berdasarkan jenis kelamin (karena dia perempuan) memberikan basis obyektif bagi perempuan untuk memobilisasi diri untuk berjuang di dalam organisasi-organisasi mereka. Partai mendukung pembangunan sebuah gerakan pembebasan perempuan yang di oraganisir dan di pimpin oleh kaum perempuan, dan prioritas utama adalah berjuang untuk memenangkan dan mempertahankan hak-hak kaum perempuan. Gerakan haruslah menolak untuk mensubordinasikan perjuangan untuk hak-hak kaum perempuan untuk kepentingan apappun dan harus berniat menyelesaikan perjuangan itu dengan cara apa saja dan dengan kekuatan apapun yang diperlukan.

Seperti seluruh gerakan progresif yang lainnya, demikian juga sebuah gerakan pembebasan perempuan yang independen tidak akan bisa berhasil jika hanya sendirian. Hanya dengan pengggabungkan tujuan dan tuntutan-tututan dari gerakan pembebasan perempuan dengan perjuangan klas pekerja dan gerakan progresif yang lainnya akan menjadi kekuatan penuh untuk mencapai pembebasan perempuan.

Walaupun semua perempuan di tindas karena dia perempuan tetapi dampak dari penindasan ini berbeda-beda tergantung dari klas sosialnya. Kaum pekerja perempuan mengalami penindasan secara seksis dalam bentuk yang paling akut, tidak seperti kaum perempuan kelas pemilik modal , tidak mempunyai kepenntingan di dalam menegakan akar dari penindasan yaitu sistem kepemilikan pribadi. Jika gerakan pembebasan perempuan melakukan perjuangan dengan pendirian yang teguh gerakan tersebut harus mebawa tuntutan-tuntutan dari kaum pekerja perempuan dan melibatkan mereka dalam kepemimpinan dari gerakan.

Perjuangan pembebasan perempuan memiliki persoalan reorganisasi total masyarakat mulai dari unit terkecil yang represif yaitu keluarga sampai pada yang lebih besar yaitu negara. Pembebasan perempuan menuntut sebuah restrukturisasi menyeluruh dari masyarakat produktif dan institusi-institusi reproduktif untuk memaksimalkan kesejahteraan sosoial dan membentuk eksistensi manusia dengan sungguh-sungguh untuk semua. Tanpa revolusi sosialis, kaum perempuan tidak akan mampu menciptakan prakondisi material untuk pembebasan mereka. Tanpa kesadaran dan partisipasi yang setara dari massa luas kaum perempuan, klas pekerja tidak akan sanggup untuk mentuntaskan revolusi sosialis dan membangun sosialisme.

Partai mencoba untuk meyakinkan klas pekerja tentang penyatuan perjuang bagi hak-hak kaum perempuan menjadi perjuangan klas pekerja untuk pembebasan sosial. Partai mencoba untuk menjernihkan dan memberikan jawaban konkrit dari persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh penindasan sistem kapitalis terhadap perempuan, serta membantu gerakan permbebasan perempuan untuk menegakkan cita-cita politik

Partai mengajukan tuntutan-tuntutan yang secara langsung tmengenai penghapuskan penindasan khusus terhadap kaum perempuan dan melawan klas kapitalis serta institusi sosial dan institusi politik kapitalis , yang bertanggung jawab secara ekonomi dan kondisi-kondisi sosial yang menjadi dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Tuntutan-tututan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut :

1.Hak perempuan untuk mengkontrol tubuh mereka sendiri. Hak ini Harus menjadi hak tunggal bagi setiap perempuan memutuskan untuk mencegah atau mengakhiri sebuah kehamilan. Semua undang-undang anti-aborsi harus di cabut / di batalkan. Aborsi haruslah menjadi tuntutan dan biayanya harus sepenuhnya di tanggung oleh sistem pelayanan kesehatan. Kontrasepsi yang aman dan terpecaya baik untuk perempuan ataupun laki-laki harus tersedia dengan bebas untuk setiap yang memerlukannya. KB dan pusat-pusat pendidikan seksual yang dibiayai oleh negara harus di bangun di setiap sekolah, lingkungan perumahan, rumah sakit-rumah sakit dan di tempat-tempat kerja. Hak untuk kebebasan reproduksi termasuk hak bagi perempuan untuk melahirkan jika itu menjadi pilihannya. Sterilisasi tanpa ijin perempuan atau menggunakan tekanan untuk memperoleh ijin perempuan harus di hukum.

2.Hak Perempuan untuk indenpden secara ekonomi dan kesetaraan. Termasuk hak untuk menjadi tenaga kerja penuh, kesetaraan upah, mendapat akses pekerjaan non- tradisional dan kenaikan upah dalam pekerjaan tradisional perempuan membuat mereka sebanding dengan jabatan tradisonal laki-laki yang memerlukan level dan keahlian serupa. Pekerja-pekerja paruh waktu harus dijamin mendapatkan upah yang sama seperti full timer untuk setiap jam. Partai juga mendukung bayaran untuk cuti pemeliharaan anak, akses yang sama untuk mendapatkan tunjangan bagi pengangguran tanpa memandang status perkawinan dan mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan lewat program-program pelatihan dan pelatihan ulang. Undang-undang yang berguna untuk melindungi kondisi-kondisi pekerjaaan yang khusus untuk kaum perempuan harus di tawarkan kepada laki-laki supaya memperbaiki kondisi kerja semua pekerja dan untuk mencegah tindakan serupa sebuah dalih untuk diskriminasi terhadap perempuan.

Pewajiban untuk menyediakan kuota, sangatlah penting untuk mengatasi dampak-dampak darii diskriminasi sistimatik selama beberapa dekade dalam pekerjaan, pelatihan dan promosi. Untuk mengatasi ketidakseimbangan yang ada, perawatan prefensial haruslah diiberikan kepada perempuan di dalam pekerjaan , pelatihan, penataran dan penyesuaian diri dalam kenaikan jabatan.

Pelayanan pemeliharaan anak yang murah dan nyaman adalah penting untuk memungkinkan perempuan untuk mencapai partusipasi setara dalam angktan kerja . Kebutuhan mendesak adalah sebuah program untuk menciptakan hubungan kerja yang bebas, dibiayai negara, pusat-pusat pemeliharaan anak ada disetiap lingkungan perumahan dan di tempat kerja yang besar. Pusat-pusat itu harus terbuka setiap saat dan bisa untuk mengurus semua anak-anak mulai dari tahap perkembangan sampai mendekati masa remaja. Pengasuhan/pemeliharaan , kesejahteraan dan pendidikan anak-anak harus menjadi tanggung jawab bersama dari masyarakat, dari pada semata-mata menjadi beban individu orang tua. Hukum-hukum yang mengijinkan hak kepemilikan orang tua dan mengontrol anak secara penuh harus dihapuskan.

Kaum perempuan tidak akan bisa menikmati kesetaraan ekonomi dengan kaum laki-laki sepanjang mereka dipaksa untuk memikul beban utama dari pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Ini adalah persoalan yang diciptakan secara sosial yang memerlukan sebuah solusi sosial. Solusi ini termasuk sosialisasi dari pelayanan domestik (rumah tangga) through the creation of a network of easly accsible, harga murah, fasilitas laundri untuk umum, kafetaria-kafetaria dan rumah makan-rumah makan, pelayanan kebersihan rumah pada basis industri dan lain sebagainya.

3.Hak Perempuan untuk mendapatkan kesempatan pendidikanyang setara . Sistem pendidikan saat ini mendiskriminasikan kaum perempuan dalam semua level mulai taman kanak-kanak sampai tingkatan sarjana. stereotip sex dalam buku-buku pendidikan Harus dihentikan, dan berhenti untuk menghubungkan siswa/pelajar kedalam subjek laki-laki dan perempuan dan untuk semua bentuk-bentuk yang menekan pelajar/siswa perempuan untuk mempesiapkan diri mereka untuk pekerjaan yang disebut pekerjaan perempuan (mengurus rumah, perawat, guru dan pekerjaan kesekretariatan).

Program-program pengakuan khusus harus dikenalkan untuk memberi semangat kepada kaum perempuan untuk enter budaya dominasi laki-laki dari mata pelajaran dan pekerjaan.


4.Hak Perempuan untuk bebas dari kekerasan seksual dan eksploitasi. Kekerasan yang bersifat seksis adalah kenyataan sehari-hari yang dialami oleh semua perempuan dalam segala bentuk. Meskipun saat ini tidak mengambil bentuk ekstrim dari perkosaan, pemukulan-pemukulan dan pemburuhan, setiap saat menjadi ancaman serangan seksual secara implisit di dalam jangkauan yang luas dari kepustakaan seksis dan

Dibutuhkan sebuah kampanye pendidikan yang masif untuk mengkaunter keingingan untuk menindas perempuan. Kampanye ini harus didukung oleh pemerintah dan bekerja sama dengan gerakan perempuan. Hukum-hukum pelecehan seksual terhadap perempuan haruslah diperkuat dan dilaksankan dengan tegas.

Semakin bertambahnya perkosaan, pemukulan terhadap istri dan penyerangan seksual kepada anak-anak mempertegas kebutuhan untuk meningkatkan fasilitas untuk korban – korban tersebut. Fasiltitas-fasilitas tersebut harus independen dari pengadilan dan polisi, dari mereka yang berperan sebagaic status quo. .

Semua hukum yang membutuhkan pembenaran dari penyerangan seksual atau kesaksian dari kerusakan fisik atau yang melimpahkan kesalahan pada perempuan korban perkosaan harus dibatalkan. Pertanyaan-pertanyaan terhadap perempuan korban perkosaan tentang masa lalu aktivitas seksual mereka harus di larang.

Pelacuran tidak seharusnya diperlakukan sebagai krimial. Semua hukum yang mengorbankan pelacuran harus dibatalkan.

Materi Perempuan : GERWANI

GERAKAN WANITA INDONESIA

Oleh: Donald Hindley

Usaha-usaha untuk mengorganisir perempuan serta menghasilkan kader-kader dan aktifis memerlukan usaha yang penuh kesabaran dan metode tersendiri. Mayoritas perempuan Indonesia yang miskin, dan mempunyai lebih sedikit pengalaman ketimbang pria dalam hal organisasi, ditambah kenyataan bahwa mayoritas perempuan buta huruf dan terikat secara tradisional, terutama dalam usaha pembauran. Sebagai pimpinan, Aidit sadar akan pentingnya usaha untuk menarik dan mengorganisir perempuan, karena bukan hanya separuh dari para pemilih adalah perempuan, tapi karena mereka juga memegang peranan penting dalam sektor ekonomi. Sebagian besar pekerja pada sektor industri adalah perempuan yang juga mempunyai andil besar dalam lapangan pertanian sebagai tani pengolah tanah. Dalam usaha untuk menarik dan mengorganisir perempuan, terutama dari kelas bawah, PKI menggunakan organisasi massa perempuannya seperti Gerwani, Sobsi dan BTI. Usaha yang dilakukannya berjalan cukup sukses dan berkembang dengan pesat, sehingga dalam beberapa tahun perempuan telah menempati posisi kader dan aktifis dalam partai.

1.Cara Kerja Partai
Manifesto Pemilu PKI yang disahkan pada bulan Maret 1954 menyatakan bahwa ‘untuk semua perempuan, memilih PKI berarti emansipasi dan jaminan akan persamaan hak’, Dalam sebuah artikel di Harian Rakjat, sesaat sebelum pemilihan Dewan pada bulan Desember 1955, dijelaskan secara panjang lebar apa yang dimaksud dengan persamaan hak. PKI akan menjamin persamaan hak (perempuan) dalam empat hal yaitu ,
pertama, dalam perkawinan akan diberikan kebebasan pada kedua jenis kelamin untuk memilih pasangan, persamaan dalam perceraian dan warisan, suami dan istri dilibatkan dalam usaha pembinaan anak dan memiliki (mengasuh) anak secara bersama-sama; kedua, dalam sektor ekonomi setiap perempuan yang terlibat dalam proses produksi ditempatkan dalam posisi yang sederajat dengan laki-laki;
ketiga, dalam perburuhan tidak akan dibenarkan diskriminasi atas perempuan, setiap pekerjaan yang sama akan diberlakukan upah yang sama;
keempat, dalam pertanian perempuan akan mendapat bagian yang sama bila sebidang tanah dibagi-bagi.
Usaha khusus juga dilakukan untuk menarik minat perempuan, seperti yang tampak dalam usaha mendistribusikan textil dan makanan dengan harga murah, penyediaan fasilitas pendidikan untuk anak-anak dan sebagainya.

Metode yang dijalankan PKI tersebut merupakan usaha untuk menarik minat perempuan dari segala lapisan sosial. Sebuah artikel yang ditulis oleh Setiati Surasto (salah seorang pimpinan perempuan PKI) memperlihatkan bahwa metode tersebut dilakukan untuk tiga jenis kelompok sosial: perempuan dari kelas pekerja dan pertanian, kelompok menengah dan kelompok atas. Anggota partai akan memberikan pertolongan pada para perempuan buruh dan tani, demikian tulisnya. Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan secara personal akan mendapat dukungan dari partai yang kemudian akan didatangi. Tapi karena secara umum mereka masih buta huruf, mempunyai anak banyak dan tidak mantap dalam ekonomi, menyebabkan kesulitan untuk menyertakan perempuan-perempuan miskin dalam pertemuan, apalagi bila pertemuan tidak diadakan dekat rumah mereka. Tapi meskipun demikian tetap ada usaha-usaha pendekatan oleh para kader jika dibutuhkan atau hadir dalam pertemuan-pertemuan kecil dari perempuan yang tinggal berdekatan. Kemudian usaha-usaha ini dilanjutkan dengan pembahasan masalah keseharian, menjelaskan keputusan-keputusan politik diantara mereka dan kemudian secara bertahap mereka disiapkan untuk berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan serta kursus-kursus rutin dari partai.
Kelompok (perempuan) menengah yang meliputi pedagang, petani menengah, istri para pegawai menengah dan para pelajar dibutuhkan waktu yang panjang dalam usaha menarik mereka. Para perempuan tersebut khawatir jika bergabung dengan partai, (seperti yang ditulis Setiati) akan kehilangan posisi sosial mereka atau karena mereka telah termakan oleh propaganda yang reaksioner. PKI membantu mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah keseharian, misalnya dengan memberi penjelasan tentang hak-hak mereka dan menjelaskan beberapa persoalan di sekitar pajak dan dana pengeluaran.

Beberapa kerjasama dengan partai dilakukan terhadap para intelektual perempuan terkemuka dan dari golongan pejabat tinggi dengan cara mempengaruhi para suami secara tidak langsung. Perempuan dari kelompok ini, menurut Setiati ‘memerlukan perhatian khusus’. Kelompok ini sangat sulit dilibatkan dalam partai dan usaha-usaha yang terbuka kadang justru mendapat hasil yang sebaliknya, ‘mereka takut dengan kata komunis’ serta kehilangan muka dan posisi suami mereka. Usaha keras yang dapat dilakukan partai adalah mengundang mereka dalam setiap kesempatan dengan gelar tamu kehormatan, dan menjelaskan posisi partai secara ilmiah dan terbuka. Dengan cara ini PKI dapat menarik simpati.

‘Jika mereka siap membantu (bahwa posisi PKI adalah benar) mereka akan yakin dan mendukung kita (partai). Dan jika mereka siap membantu, mereka akan memberi dukungan moral dan material untuk perjuangan, walaupun secara umum mereka tidak mengharapkan dapat memberi secara terbuka. Kita (partai) harus mengerti dan tidak berharap melebihi apa yang dapat mereka berikan’.

Setiati menekankan bahwa kelompok menengah dan atas dapat memberikan bantuan finansial bagi partai, dan disebut dengan sumbangan berkala (reguler). Ini semakin merapatkan hubungan mereka dengan partai, sebagai usaha memberi perasaan turut berpartisipasi dalam perjuangan partai.
PKI mengadakan konferensi nasional perempuan I dari tanggal 25 – 30 Mei 1958. Persoalan-persoalan yang muncul diantara beberapa anggota menjadi topik diskusi. Aidit mengatakan ‘Rintangan terbesar bagi partai dalam bekerja diantara kelas pekerja adalah adanya kepercayaan dominan bahwa kondisi yang buruk sekarang ini adalah takdir yang tidak dapat diubah’. Lebih lanjut dia menyatakan, partai harus berupaya membantu mereka untuk memahami bahwa kondisi yang buruk merupakan ciptaan manusia dan melalui organisasi, situasi yang lebih baik akan tercipta. Sudisman menghimbau partai untuk memberi perhatian yang lebih besar pada salah satu problem ekonomi mendasar yang dihadapi perempuan. Suharti lalu memperkenalkan beberapa metode yang telah erbukti berhasil untuk menarik anggota-anggota pertemuan yang baru, dengan cara: ceramah-ceramah lebih diutamakan diberikan oleh kader perempuan; persamaan hak-hak perempuan dalam perkawinan dan masalah anak; kelompok-kelompok anjangsana membantu ibu-ibu rumahtangga pada masalah tertimpa kemalangan (kematian, sakit) atau pada saat-saat sibuk (kelahiran, perkawinan, dll); memberi penjelasan dan peringatan keras kepada anggota partai yang melanggar kode moral Partai Komunis; melindungi kepentingan keseharian massa perempuan. Cara paling berhasil untuk meningkatkan keanggotaan adalah dengan mendekati laki-laki (suami) untuk membawa istrinya dalam pertemuan, dan kemudian meningkatkan kesadaran politik mereka, sampai pada tahap mereka setuju untuk bekerjasama dengan partai.
Dengan upaya-upayanya sendiri secara langsung, PKI berhasil membawa perempuan ke dalam lingkarannya-tapi ternyata masih sulit untuk memperkirakan proporsi macam apa yang dapat menarik massa (perempuan). Pada saat Konggres Nasional PKI VII, April 1962, ketua Aidit tetap belum puas dengan cara kerja Partai untuk menarik anggota-anggota perempuan. Meskipun keanggotaan perempuan telah meningkat dan presentasinya terus melonjak. Di masa yang akan datang Aidit mengatakan ‘situasi ini harus diperbaiki, tambahan pekerja perempuan harus meningkat dalam partai’.


2.Gerwani
Barisan terdepan organisasi massa perempuan Komunis, berawal secara tidak mengejutkan pada bulan Juni 1950, ketika Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang dibentuk sebagai penyatuan dari 6 organisasi lokal perempuan yang bertebaran di Pulau Jawa. Total anggotanya hanya sekitar 500 orang.
Selama 18 bulan pertama, hanya sedikit program yang dijalankan oleh Gerwis, hal ini karena pimpinan Gerwis melarang dengan menyebutnya sebagai ‘kesadaran perempuan yang sangat politis’. Para pimpinan 99% berasal dari kelas borjuasi. Masalah-masalah yang diangkat Gerwis, tampaknya seperti berusaha untuk meningkatkan kondisi perempuan-perempuan miskin. Tapi rencana untuk terjun diantara massa tersebut tidak diikuti denan upaya yang nyata untuk turun ke bawah dan mengorganisir mereka. Aktivitas yang dijalankan terpusat pada dukungan pada perjuangan politik PKI. Akibatnya tujuh orang pimpinan ditangkap dalam operasi pembersihan massa 1951. Pada bulan Desember 1951, ketika Konggres I diadakan, keanggotaannya telah bertambah menjadi 6000 orang.
Pada Konggres I disimpulkan bahwa ‘setelah melakukan otokritik kedalam organisasi jelaslah bahwa pada masa-masa sebelumnya terlalu banyak perhatian diberikan pada aksi keluar dan tidak memperkuat Gerwis ke dalam ‘yaitu terlibat dan menaruh perhatian secara langsung dalam kehidupan sehari-hari perempuan’. Beberapa orang pimpinan dan kader mengkritik cara kerja sektarian organisasi, dan terciptanya permusuhan oleh Gerwis akibat dari cara kerja yang kurang ramah, apalagi terhadap orang-orang di luar Gerwis. Meskipun begitu konggres masih melibatkan diri dengan persoalan politik dan sedikit memperhatikan massa perempuan, seperti tampak pada dukungan terhadap kasus Irian Barat, pencarian dana untuk perundingan, politik luar negri yang bebas dan melakukan kerjasama dengan International Federation of Democratic Women (Federasi Internasional Perempuan Demokratik).
Meskipun kritik terhadap organisasi sendiri terjadi dalam Konggres I tahun 1951, para pimpinan Gerwis terlalu lamban dalam memberi reaksi untuk memenangkan dukungan massa dengan melakukan studi dan penelitian (peninjauan) terhadap problem dan minat keseharian massa perempuan. Akar dari keengganan mereka ini kemungkinan bersumber dari latar belakang sosial mereka. Para pimpinan Gerwis kebanyakan berasal dari kelas menengah, dan kelas menengah Indonesia secara umum menampakkan keengganan untuk berada di sekitar ‘lower order’ (sic, mungkin maksudnya ‘lower class’-STK2) dan mengorganisir mereka. Pada bulan Juni 1953 organisasi ini mengklaim anggotanya berjumlah sekitar 40.000. Tapi sebuah permulaan untuk bekerja di sekitar massa mulai menunjukkan indikasi, berdasarkan laporan kegiatan Gerwis di Jawa Timur. Diantara 7.016 anggotanya di Jawa Timur, telah berhasil didirikan 8 taman kanak-kanak (TK), 52 kursus peberantasan buta huruf, 29 kursus kerajinan tangan, diperbantukan pada 54 tempat dan mengadakan 17 kursus kader.
Konggres II Gerwis diadakan pada bulan Maret 1954. Keanggotaan telah berkembang menjadi 80.000, dengan jumlah cabang mencapai 203. Tiga delegasi asing juga hadir, termasuk Monika Felton dari Federasi Internasional Perempuan Demokratik. Mereka duduk sebagai anggota kehormatan dari Presidium Konggres. Umi Sardjono, ketua yang baru mengumumkan, bahwa dalam waktu dekat konggres Gerwis akan membuang ‘karakteristik sektariannya’. Dan sebagai acara simbolis penghapusan sifat sektarian, nama Gerwis diubah menjadi Gerwani. Sebagai konsekuensinya sebuah aturan baru dibentuk yang membuka keanggotaannya bagi seluruh perempuan Indonesia usia 16 tahun ke atas ‘terlepas dari politik, agama dan kelompok etnik’. Keputusan ini disetujui dan menjadi aturan dan program Gerwani.
Kongres ke II memutuskan untuk meningkatkan anggotanya menjadi 1,5 sampai 2 juta, mulai saat diputuskan sampai konggres berikutnya, meskipun target ini mendapat kritik sebagai sesuatu yang ‘tidak obyektif’. Ternyata keanggotaan terus meningkat. Sebelum September 1954 keanggotaan diklaim telah berjumlah 400.000 dan menjadi 500.000 pada saat pemilihan umum pada bulan Desember 1955. Dalam bulan Juli 1956, ketika keanggotaannya dilaporkan telah menjadi 565.147, di pulau Jawa Gerwani mempunyai cabang di tiap kabupaten dan kota-kota besar, 40% dari jumlah seluruh kecamatan dan sekitar 5000 sub cabang pada rukun tetangga di kota dan pedesaan; di luar Jawa sedang dipersiapkan cabang-cabang di seluruh Sumatra, Kalimantan Barat dan Selatan, dan Sulawesi Utara dan Selatan, sementara lapisan organisasi yang lebih kecil sedang dibentuk di Nusa Tenggara Barat dan Maluku. Pada saat konggres III Gerwani pada bulan Desember 1957 anggotanya berjumlah 671.342 orang.
Masa antara konggres II dan III, melibatkan Gerwani dalam masalah politik, ekonomi dan sosial. Selama pemilu 1955, 23.000 anggota Gerwani di Jawa bekerja pada komite Pemilu yang dibentuk pemerintah untuk menjamin kelancaran pemungutan suara; 23 anggota disumbangkan dari daftar PKI, dan seorang untuk Partai Nasionalis yang kecil, yaitu PRI. Lima anggota terpilih dalam parlemen, sebagai jatah PKI untuk Dewan Pemilih (Constituent Assembly). Dalam pemilu lokal di tahun 1957, 59 anggota dipilih dalam dewan lokal, hampir semuanya berasal dari PKI. Dukungan kuat diberikan pada gerakan perdamaian, terutama dalam pengumpulan tandatangan bagi Vienna Peace Appeal, dan dukungan Gerwani juga diberikan pada semua pendirian politik PKI dalam beberapa peristiwa.
Pendidikan dalam skala yang lumayan besar dimulai dalam Gerwani setelah Konggres II. Untuk keanggotaan biasa, kampanye anti buta huruf dimulai pada tahun 1955, dan dalam waktu setahun telah diklaim bahwa 30% dari anggotanya telah melek huruf, meskipun tidak mereka semua dapat menulis. Kursus-kursus kader dipusatkan pada masalah organisasi dan administrasi, tapi di penghujung tahun 1957 coba diciptakan pendidikan kader yang sistematis dengan sekolah dan kursus-kursus pada seluruh lapisan organisasi dan penyeragaman diktat-diktat pegangan pada empat subyek mendasar: sejarah pergerakan nasional, sejarah gerakan perempuan nasional dan internasional, masalah-masalah dalam organisasi Gerwani dan perkembangannya serta instruksi-instruksi dari Federasi Internasional Perempuan Demokratik-dalam hak-hak wanita dan anak serta perdamaian. Dari bulan Oktober 1950 sampai akhir 1952, Gerwis memulai terbitan berkala Wanita Indonesia (Indonesian Women), tapi setelah tampil secara ireguler, publikasinya terhenti pada pertengahan tahun 1956. Untuk menggantikannya diterbitkan Berita Gerwani, (Gerwani News) edisi perdana yang dicurahkan secara khusus pada berita-berita organisasi dan dirancang untuk memberikan masukan pada kader dalam menjalankan tugasnya. Pada awal 1960 sirkulasinya sekitar 2000 eksemplar.
Diantara Konggres II dan III, Gerwani dari pusat dan daerah, ambil bagian secara aktif dalam aksi mempertahankan hak-hak wanita dan anak, ‘yang merupakan tujuan mendasar dari organisasi perempuan’. Dalam lapangan ini Gerwani juga membicarakan mengenai kampanye selama pemilu 1955 untuk memperlihatkan tekanan pada undang-undang perkawinan yang lebih demokratik, memperdebatkannya melalui anggota-anggota parlemen, bahwa biaya legal dari penyatuan partner yang terpisah harus dirombak, berpartisipasi dalam komite yang dibentuk oleh kementrian urusan agama untuk memecahkan masalah perkawinan, memberikan hukuman berat atas kasus perkosaan dan penculikan perempuan, dan di sub cabang dilakukan aksi-aksi dalam skala kecil yang menguntungkan para anggota. Dalam memperjuangkan kepentingan perempuan kelas pekerja dan tani. Gerwani mendapat bantuan dari SOBSI dan BTI. Aktifitas sosio-ekonomi lainnya adalah pembentukan kursus-kursus latihan bagi dukun beranak (midwives), dan pembentukan 179 Taman Kanak-kanak dan 3 Sekolah Dasar.
Pada saat konggres III yang diadakan dari tanggal 22-27 Desember 1957, Gerwani mengklaim anggotanya telah berjumlah 671.342, yang tersebar secara geografis, sebagai berikut; 613.262 anggota di Pulau Jawa; 59.740 anggota di Sumatra; 2.680 di Sulawesi; 2.260 di Nusatenggara; 1.900 di Maluku dan 1.500 di Kalimantan. Di pulau Jawa terdapat cabang pada setiap kabupaten dan kota, pembentukan organisasi di 75% dari jumlah kecamatan yang ada dan sub cabang yang meliputi 40% dari desa yang ada. Beberapa cabang dibentuk di tempat pekerjaan, tapi mereka semua dianggap tidak bergabung dengan Gerwani, ketika SOBSI membentuk departemen khusus perempuan.
Dari bulan Desember 1957 sampai Desember 1960, Gerwani menerapkan rencana operasi tiga tahun yang mana diharapkan dapat membentuk sebuah sistem pendidikan kader. Kebanyakan kursus-kursus kader dibentuk berdasarkan lapisan yang berbeda, tapi nomor (anggota) dan keikutsertaan mereka tidak akan dibocorkan keluar. Sampai awal tahun 1960 anggota kader yang bekerja secara penuh masih sedikit: tiga orang di setiap pusat dan rata-rata satu orang di setiap cabang (dalam bulan Desember 1957 terdapat 183 cabang). Sebuah tenaga yang siap pakai dari para pekerja lepas tersedia, entah dari kader perempuan dalam PKI atau organisasi massa lainnya, dan dari anggota Gerwani di parlemen dan dewan representatif di tingkat lokal. Laporan Dewan Nasional terhadap Konggres III mengkritik dengan apa yang disebut sebagai kelewat banyak memperhatikan persoalan-persoalan politik dan sedikit bahkan tak ada perhatian terhadap massa perempuan Indonesia.

Sampai saat ini pengalaman telah membuktikan bahwa aksi yang condong pada persoalan-persoalan politik tanpa diimbangi oleh aksi sosio-ekonomi, sehingga massa perempuan tidak dapat merasakan secara langsung kepentingan mereka. Ini bukan berarti aksi-aksi politik menjadi tidak penting, tapi kita harus menekankan peningkatan jumlah tindakan terhadap hak-hak perempuan dan anak sebagai aksi sosio-ekonomi, aksi yang secara langsung menaruh perhatian pada kehidupan massa perempuan, misalnya masalah perbaikan kampung, masalah air, dan juga masalah beras, dst.

Laporan Dewan Nasional kepada Konggres menyatakan bahwa ‘untuk memperluas keanggotaan, setiap aksi harus dilandasi pada kepentingan massa perempuan secara langsung, dan dibicarakan di antara perempuan, lalu dicetuskan sekaligus didukung oleh mereka’. Sebuah penuntun dikeluarkan untuk sebuah aksi: tujuan aksi harus jelas agar mendapat sambutan dan dukungan luas dari masyarakat, dan aksi harus dilakukan pada waktu yang tepat dengan batas-batas yang jelas.
Konggres III membahas secara komprehensif 27 poin program yang bertujuan merangkul persoalan-persoalan di sekitar hukum perkawinan, undang-undang kerja, persamaan hak, wajib belajar, persamaan pelayanan kesehatan dan kontrol harga atas barang-barang pokok. Dengan program ini Gerwani berharap dapat perhatian dari segala lapisan perempuan Indonesia dari kelas pekerja dan tani perempuan sampai kelas menengah yang melek huruf.
Pada awal tahun 1960, ketika keanggotaan Gerwani diklaim berjumlah sekitar 700.000, Gerwani melibatkan diri dalam cara-cara kerja praktis untuk menarik dan memperkokoh para anggota :
1.Aktifitas yang paling popular adalah arisan dimana semua anggota kelompok memberikan sumbangan tiap minggu dan setiap anggota secara bergiliran akan menerima jumlah keseluruhan.
2.Kelompok bantuan secara berkala dibentuk pada saat-saat dibutuhkan seperti kematian, kelahiran, perkawinan, sakit dan kehamilan.
3.Pembentukan kelompok kredit dalam skala kecil.
4.Didirikan 326 TK dan 3 SD. Kursus dan latihan diberikan pada setiap staf pengajar. Beberapa TK dilengkapi dengan baik dan mempunyai guru yang terlatih, tapi mayoritas masih bergiliran.
5.Pada pertengahan tahun 1959, Dewan Nasional memutuskan bahwa setiap cabang harus mempunyai paling sedikit lima atau enam orang yang mengurusi sebuah koperasi. Kursus-kursus kader koperasi diberikan oleh para petugas dari Departemen Koperasi. Pada awal 1960 beberapa koperasi konsumer sudah disiapkan.
6.Kursus-kursus pemberantasan buta huruf masih merupakan aktifitas penting di Jawa Timur dan Tengah. Beberapa cabang menyelenggarakan kursus untuk masyarakat umum, terkadang atas nama organisasi atau bisa juga bekerja sama dengan pemerintah.
7.Perempuan dilibatkan dalam masalah-masalah perkawinan. Kader-kader Gerwani berpartisipasi dalam wujud semi-petugas untuk menyelesaikan masalah suami istri dan terkadang melindungi anggota dalam kasus-kasus perceraian.
8.Kerajinan tangan juga diberikan; di kota diberikan kerajinan membuat bantal, pakaian dan memasak.
9.Gerwani mengadakan kampanye luas terhadap kenaikan harga beberapa barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, tekstil, gula dan minyak goreng.
10.Beberapa kegiatan budaya juga diselenggarakan termasuk paduan suara dan kelompok drama, tapi kegiatan ini tidak berkembang luas.
11.Gerwani memberi bantuan terhadap organisasi massa lainnya dan pada PKI dalam upaya mereka mendapatkan masukan atas aktivitas lain dalam masyarakat.
12.Gerwani bekerjasama dengan organisasi perempuan lainnya dalam merayakan hari Kartini dan hari ibu, dan di beberapa kota besar merayakan peringatan hari perempuan internasional.


Anggota-anggota inti berjumpa sebulan sekali dan terkadang seminggu sekali.
Keanggotaan Gerwani meningkat secara tajam dari 700.000 di tahun 1960 mencapai 1.120.594 pada bulan Desember 1961 dan menjadi 1,5 juta pada bulan Januari 1963. Peningkatan jumlah anggota ini, mungkin merupakan hasil dari semakin besarnya perhatian terhadap perempuan tani yang diperlihatkan melalui seminar Gerwani pada bulan Januari 1961. Pada bulan Oktober 1961, ketika keanggotaannya telah mencapai jumlah 900.000 orang, Gerwani memiliki kantor cabang di semua propinsi; 225 kabupaten dan kota administratif; 70 % dari seluruh kecamatan yang ada, dan sub cabang pada 40% desa yang ada.
Kelihatannya bahwa daya tarik utama dari Gerwani baik di daerah pedesaan maupun kota adalah kerja sosialnya, organisasi berupa kelompok arisan, kelompok kredit skala kecil, saling menolong, kursus pemberantasan buta huruf, taman kanak-kanak, dan konsultasi masalah perkawinan. Pendidikan politik jarang diberikan secara langsung kepada anggota-anggota biasa, tapi Gerwani mengajarkan kepada mereka bahwa kondisi yang buruk dapat diatasi dengan organisasi, dan PKI adalah satu-satunya partai politik yang membela kepentingan mereka. Sumbangan Gerwani yang sangat berharga untuk PKI adalah kemampuannya dalam membangkitkan massa perempuan untuk persoalan politik, memobilisasi pemilih, menambah dukungan untuk garis politik PKI, membantu organisasi massa yang lain, dan menyediakan serta mendidik kader dan anggota Partai dari kalangan perempuan.
Bagian ini tidak membicarakan kegiatan serikat-serikat buruh Komunis secara umum, melainkan memberi perhatian khusus pada anggota-anggota perempuannya.
Walaupun jumlah buruh perempuan cukup tinggi di Indonesia, SOBSI dan serikat-serikat buruh yang bernaung dibawahnya tidak memberikan perhatian khusus sampai pada awal tahun 1956, setahun setelah PKI mulai mengamati alat-alat untuk menarik perhatian serta mengorganisir perempuan dalam jumlah yang lebih besar. Pada tanggal 25 Februari 1956, Dewan Nasional SOBSI mengeluarkan resolusi tentang buruh perempuan dan memasukkan keputusan-keputusan berikut:

1.Menuntut persamaan hak antara buruh perempuan dan laki-laki di tempat kerja, termasuk pembayaran upah dan penentuan upah minimum
2.Menuntut pelaksanaan hukum perburuhan no. 1 tahun 1951, dengan perhatian khusus pada hak buruh perempuan;
3.Menentang diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh sejumlah pegawai pemerintahan, perusahaan, (services) yang reaksioner;
4.Memperjuangkan hak-hak khusus untuk perempuan seperti kehamilan, melahirkan dan kondisi kerja.

Resolusi ini juga memutuskan pembentukan kelompok-kelompok khusus perempuan dalam serikat buruh yang membicarakan tuntutan khusus kaum perempuan dan mengorganisir perjuangan untuk pelaksanaan dibawah kepemimpinan serikat buruh.
Sebagai petunjuk adanya keinginan untuk melibatkan perempuan didalam kegiatan organisasi, Dewan Nasional pada bulan Februari 1956 meningkatkan jumlah anggota perempuannya dari satu menjadi lima. Pada bulan September 1957, ada 49 kader perempuan didalam komite kepemimpinan SOBSI serta serikat-serikat buruhnya, baik di tingkat regional maupun pusat, dan ‘jumlah kader perempuan yang memimpin atau berpartisipasi dalam kepemimpinan organisasi dasar meningkat dengan cepat’. Pada bulan itu pula konferensi nasional SOBSI memutuskan bahwa serikt buruh yang memiliki banyak anggota perempuan, harus membentuk departemen perempuan, pembentukan kelompok-kelompok perempuan di tempat kerja harus diselesaikan pada akhir tahun 1958, kader harus ditunjuk dalam komite-komite pusat dan regional SOBSI untuk menangani urusan perempuan, dan buruh perempuan harus dipromosikan didalam badan-badan kepemimpinan.
Selama tahun 1956 dan 1957, beberapa serikat buruh mulai mengadakan konferensi khusus untuk menangani masalah buruh perempuan; pada tahun 1957 beberapa cabang SOBSI telah mengadakan kursus-kursus untuk mengorganisir kader-kader khusus perempuan;
pada bulan Februari 1958 SOBSI menyelenggarakan seminar nasional masalah perempuan, agenda pembicaraannya mengenai metode-metode pengorganisiran buruh perempuan, masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi buruh perempuan, dan hak-hak perempuan. Sekretariat Dewan Nasional membalikkan keputusannya untuk mengorganisir kelompok-kelompok khusus perempuan, tapi kepentingan-kepentingan khusus dari buruh perempuan dipromosikan oleh bagian-bagian khusus serikat buruh dan kader-kader urusan perempuan, serta dalam pertemuan-pertemuan khusus.
Pada akhir tahun 1958 hanya sedikit perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan pusat SOBSI: ada empat perempuan dari 39 anggota Dewan Pusat serikat buruh perempuan, dimana 45% diantara buruhnya adalah perempuan, 9 dari 29 di dalam serikat buruh rokok, yang 6% buruhnya adalah perempuan, 3 dari 21 didalam serikat buruh tekstil, yang juga 65% dari buruhnya adalah perempuan. Tapi kaum perempuan dengan ‘cepat’ menduduki tempat-tempat dalam kepemimpinan organisasi-organisasi dasar. Hanya sedikit angka statistik yang tersedia mengenai peningkatan jumlah kader perempuan didalam SOBSI dan serikat-serikat buruhnya; walau angka-angka itu serta angka-angka dari akhir tahun 1958 menunjukkan proporsi yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah buruh perempuan secara keseluruhan, semuanya memperlihatkan keberhasilan SOBSI beserta serikat-serikat buruhnya dalam mengembangkan kepentingan dan kemampuan kaum perempuan di bidang organisasi, di sebuah negara dimana-paling tidak di kelas yang lebih rendah-perempuan tidak memiliki pengalaman untuk menjalankan organisasi, khususnya pada organisasi yang juga memiliki anggota laki-laki. Perhatian lebih lanjut dari pemimpin-pemimpin SOBSI mengenai masalah dan peranan buruh perempuan ditunjukkan melalui sebuah diskusi pada seminar nasional mengenai buruh perempuan yang diadakan pada bulan Mei 1961.
Singkatnya, karena jumlah buruh perempuan cukup besar dalam sekian banyak bidang pekerjaan, sebagian besar tertarik SOBSI dengan dasar kepentingan bersama sebagai seorang buruh. Pada bulan Februari 1956, bagaimanapun juga, pemimpin-pemimpin SOBSI secara khusus berusaha menarik buruh-buruh perempuan dan menguatkan ikatan mereka dengan serikat-serikat buruh melalui seruan tentang kepentingan yang spesifik sebagai buruh perempuan dan melalui pembentukan aktifis serta kader-kader perempuan. Peningkatan jumlah kader perempuan didalam serikat buruh berjalan lambat namun pasti, dan segera memperlihatkan keberhasilan usaha-usaha itu.

Kegiatan BTI

Sebuah artikel yang berjudul ‘Meningkatkan jumlah anggota di antara tani perempuan,’ yang diterbitkan dalam Harian Rakjat pada tanggal 15 Juni 1955 memperlihatkan bagaimana BTI (organisasi tani di bawah pimpinan PKI) berusaha membuat tani perempuan memiliki pengetahuan politik lalu merekrut mereka sebagai anggota BTI lalu Gerwani. Penulisnya, Kartinah, menyatakan bahwa tani perempuan masih terbelakang, pemalu, rendah hati dan tidak dapat terlibat dalam organisasi hanya dengan menyampaikan undangan pada mereka untuk datang. Kesabaran sangat diperlukan, dan, pada berbagai kasus, bantuan suami, ayah atau tetangga juga penting. Para laki-laki diharapkan dapat memberi keterangan tentang tujuan-tujuan BTI, mengajak penduduk perempuan hadir pada pertemuan, dan meyakinkan bahwa mereka ditampilkan dalam diskusi mengenai situasi desa mereka sendiri.
Dengan cara ini, menurut Kartinah, kaum perempuan akan tahu bahwa perempuan lainnya juga menghadapi persoalan yang sama, ‘dan penderitaan mereka sama saja.’ Dengan demikian mereka akan melihat gunanya bergabung bersama penduduk laki-laki di dalam perjuangan kaum tani, dan mereka akan melihat pentingnya organisasi untuk memecahkan persoalan. Saat itu BTI dan Gerwani akan menarik mereka dalam organisasi. Perhatian khusus diberikan agar menimbulkan rasa tanggungjawab dan keterlibatan melalui pelaksanaan tugas-tugas ringan, seperti menyediakan makanan untuk pertemuan, memberikan bantuan pada saat ada yang memerlukan dan kerja sosial lainnya. Pelajaran juga diberikan untuk memberantas buta huruf dan mengajarkan masalah kesehatan, menjahit dan sebagainya. Singkatnya, tulis Kartinah, tani perempuan ‘harus diberikan tanggungjawab, walaupun kecil, karena dengan pemberian tanggungjawab seperti itu, mereka akan merasa ‘bangga’ bahwa mereka sudah membantu kerja organisasi dan untuk keperluan itu tidak banyak mengeluarkan tenaga.
Artikel Kartinah ini menggambarkan tiga karakteristik PKI dalam mengorganisir massa: pertama, perhatian dan kesabaran dalam menumbuhkan kesadaran serta membawa mereka masuk ke dalam organisasi; kedua, kenyataan saling membantu diantara organisasi komunis-dalam konteks ini BTI membantu pendirian dan perkembangan Gerwani, dan Gerwani membantu BTI dalam perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup kaum tani; lalu, ketiga, artikel itu dengan jelas memperlihatkan bahwa kegiatan organisasi massa seperti itu pada akhirnya menuju pada keanggotaan partai.
STK2 1991 (Seri Terjemahan Kita-kita)