Oktober 01, 2008

Arti Tanah bagi Suku Amungme

KAMI berpapasan dengan sekelompok lelaki suku Amungme yang ingin pergi ke Illaga, salah satu kecamatan di Kabupaten Paniai, Irian Jaya. Ini hari ketiga per jalanan melalui kampung-kampung Amungme.
Suku Amungme yang tinggal di daerah pegunungan, gemar membuat rute jalan naik ke puncak bukit dan turun sampai ke dasar lembah. Tak terasa ini adalah bukit ketujuh yang terlewati.
"Ah, kampung itu tidak lama lagi, lebih baik Ibu lepas sepatu supaya kita cepat sampai." Saya hanya bisa tersenyum. Mereka mengira sepatu penyebab jalan menjadi lambat.
Tidak heran, orang Amungme adalah pejalan kaki tangguh. Dengan beban 20 kilogram mereka bisa berlari naik gunung. Alam s udah membentuk otot kaki mereka menjadi kuat. Saat menempuh perjalanan mereka hanya membawa tas kecil berisi rokok, pisau dan ubi.
Jika bermalam, mereka tidak butuh tenda. Ada pondok-pondok dalam hutan yang hangat. Jika haus mereka tahu air mana yang layak diminum. Jika hujan mereka mengambil daun lebar untuk pelindung.
Sambil berjalan mereka mengambil daun-daunan yang pada malam harinya dimasak. Mereka kenal betul setiap pohon dan gunanya bagi manusia maupun satwa. Mereka juga ke Orang Amungme memang orang gunung yang tidak bisa dilepaskan dari gunung, hutan, sungai, dan tanah. Bagi orang Amungme tanah mempunyai arti begitu menyatu dan mendalam dengan kehidupan lahir batinnya dan mengidentifikasikan tanah sama dengan ibunya.
Semua gunung dan bukit, hutan, tanah, sungai mempunyai nama. Itu Kali Noemogong milik marga Noemol, milik orang dari Lembah Noe
Hutan itu kepunyaan kampung Umpliga, di sana batas hutan berburu kampung Eralmakawia. Setiap kampung memiliki tempat berburu sendiri. Semua ada batas, baik kampung, kebun, hutan. "Kenapa harus pakai batas?" "Akh ibu, harus begitu tokh. Ibu sukakah saya bikin kebun di Ibu punya halaman rumah? Tidak tokh?" Orang Amungme memang sangat menghargai milik orang lain. Ketika kecil seorang anak mengikuti ibunya ke kebun atau berburu bersama ayahnya sudah diajarkan menghargai milik orang lain. Mereka yang melanggar hak orang lain dibicarakan seisi kampung dan harus menerima keputusan adat.
"Anakku ini kebun marga Onawame, batas dari sungai ini sampai pohon itu kita bisa pakai untuk bertanam. Sebelah sana adalah milik keluarga lain. Kita hanya boleh berkebun di tempat kita. Jika ingin berkebun di kebun pamanmu atau bibimu kau harus meminta izin mereka," demikian petuahnya.
Sungai bisa dinamakan sesuai dengan nama pemiliknya, misalnya Kali Noemogong milik marga Noemol, orang dari Lembah Noema. Kali Pigogong milik marga Piligame. "Kita harus ingat, ada kampung lain yang menggunakan sungai ini," nasihat orang tua-tua. Memang ada aturan tidak boleh mengotori sungai dengan kotoran manusia.

TANAH DAN IBU
Tanah mempunyai ikatan lahir dan batin bagi Amungme. Tanah bukan sekada r tempat mendirikan kampung ataupun berkebun, ataupun tempat berburu. Makna tanah begitu dalam bagi mereka.
Tanah adalah tempat kami berdiam, tanah yang memberi kami makan, tanah tempat nenek moyang kami dimakamkan dan tempat kediaman roh-roh halus pelindung kami. Tanah adalah sumber hidup bagi pohon, binatang, sungai, juga manusia.
Tanah adalah ibu, ibu yang melahirkan, memberi makan, memelihara, mendidik, membesarkan. Tanah adalah rahim ibu yang membentuk dan membuat Amungme ada. Gunung adalah buah dada ibu yang menyediakan sumber minum bagi Amungme, gudang susu yang bisa dinikmati setiap Amungme.
"Adanya sungai besar menandakan ibu masih sehat, masih dapat memberikan Amungme kesuburan. Dan lembah adalah dada ibu. Di pangkuan dada ibu ini Amungme hidup, melakukan upacara adat dan mengembangkan hidup. Tanah gunung, sungai dan lembah merupakan tubuh Ibu Amungme," demikian diungkapkan Anton Kelanangame dalam skripsinya ketika kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Katolik.
TANAH DAN AMUNGME
Bagi orang Amungme tanah adalah identitas dirinya dan untuk relasi dengan kerabatnya. Setiap orang Amungme selain dikenal namanya juga harus diketahui dari mana asalnya. Misalnya, orang itu marga Tenbak Kilangin-me artinya dari Kampung Kilangin. Dengan demikian mereka mengetahui hubungan kekerabatan yang ada dan tahu sebutan apa yang tepat jika memanggil orang itu.
Dalam cerita-cerita suci suku Amungme gunung dianggap suci yang berhubungan erat dengan manusia yang meninggal seperti Ibu Tua dalam cerita terjadinya Puncak Jaya. Manusia yang masih hidup bila berhubungan dengan gunung bukan semata-mata hubungan dengan gunung itu saja tetapi terutama manusia yang mati di gunung itu.
Sebelum tokoh itu meninggal, ia menyampaikan pesan, "Kamu harus tinggal di sini menjaga saya." Ungkapan "tinggal di sini" mengandung arti jangan pindah tetapi harus tinggal di tanah mereka sambil menaruh perhatian pada gunung itu.
Mengapa mereka dipesankan harus hidup di sana? Dulu kala leluhur mereka telah mengadakan hubungan dengan kawasan itu dan penghayatan hubungan itu harus dipertahankan terus oleh generasi selanjutnya.
Mungkin di tempat itu pernah terjadi pembakaran mayat, mendapat wahyu atau pernah ada orang meninggal dalam satu misi karena kelaparan. Mungkin salah satu orang yang dikasihi dibunuh di sana. Jadi selama orang hidup di situ hubungan dengan mereka yang sudah meninggal tetap terjalin.
Manusia Amungme dilahirkan di tanah, besar di tanah, belajar pun dari tanah, bergaul dengan tanah selama hidupnya, bergumul dengan tanah baik sengaja maupun tidak sengaja. Hubungan yang terus menerus antara orang Amungme dengan tanah sepanjang sejarahnya mengakibatkan keduanya tidak bisa dipisahkan. Atau menurut Anton Kelanangame, hubungan manusia Amungme dengan tanah itu mendatangkan rasa bahagia.
Jadi masuk akal kalau orang Amungme memasuki wilayah gunung dan tanah di Tembagapura dan melindungi hak mereka. Apalagi setelah mereka melihat gunung suci menjadi berlubang besar. Sala h satu gunung yang sakral bagi Amungme adalah Gunung Jelsegel-Ongopsegel atau Gunung Bijih atau Ertzberg yang ditambang oleh PT Freeport Indonesia.
Suku Amungme, yang jumlahnya mencapai 14.000 jiwa, menempati wilayah yang terbentang dari lembah Arwanop di sebelah barat daerah pertambangan tembaga sampai lembah Alama di ujung timur. Di sebelah utara terletak daerah Illaga, Mulia, Tiom dan di ujung selatan berbatasan dengan kawasan suku Komoro, Nafaripi yang terbentang dari Uta (Timika Barat) sampai Sungai Akimuga. Sebagian besar kawasan suku Amungme masuk dalam kawasan konsesi Freeport.
Sekarang orang Amungme sudah tidak bebas lagi melewati wilayahnya. Mereka tidak pernah membayangkan January Agreement (perjanjian Suku Amungme dengan PT Freeport) berarti tidak dapat dipakainya rute-rute jalan tradisional yang dibuat sejak dulu dengan susah payah oleh nenek moyangnya untuk berhubungan dengan sanak-saudara mereka di kampong lain. Mereka tidak pernah menyangka akan menjadi penonton kemewahan para pendatang.
Amungme harus menyingkir dari kampungnya. Di Timika, kota yang dipenuhi pendatang, tempat mereka dimukimkan, kebun-kebun menjadi jauh lebih kecil daripada miliknya di kampung lama. Sumber daya alam tidak sebanyak di tempat asal. Babi, ternak penting orang Amungme, tidak mempunyai tempat luas untuk mencari makan.
Terlebih lagi, bagi orang Amungme bermukim di tanah orang sama dengan mengambil bagian dari harga diri identitas Amungme. Bagaimana seorang Amungme akan mengidentifikasikan dirinya di tanah yang bukan miliknya karena identitas erat kaitannya dengan tempat asal.
Selain itu di tempat yang baru berarti mereka harus mulai dari nol karena sistem pengetahuan alam baru bagi mereka. Mereka tidak tahu di mana tanah subur, di mana baik untuk berburu, di mana kayu terbaik untuk membuat rumah, di mana mengambil obat sakit kepala.
Di permukiman baru semua Amungme dianggap sama, padahal Amungme dari kampung yang satu belum tentu bisa berdampingan dengan kampung lain. Di permukiman baru tidak ada sejarah dan cerita yang bisa dituturkan pada anak-cucu. Di permukiman baru ada banyak penyakit baru dan mereka tidak tahu bagaimana mengobatinya.
Mungkin perlu kita renungkan pertanyaan tokoh Amungme Victor Beanal dari Tsinga, "Saya hanya ingin tanya, kami ini Amungme orang anggap apa? Manusiakah? Setengah manusiakah? Atau bukan manusia? Kalau kami dianggap manusia, mereka akan bicara baik-baik ketika pindahkan kami Mereka tidak akan ambil milik Amungme paling be rharga, karena kami tidak pernah ingin ambil milik orang lain. Kalau sudah begini, kadang-kadang saya suka bertanya, siapakah yang lebih primitif kelakuannya?" (Harry Surjadi/Angel Manembu - Koordinator Riset Yayasan Sejati)

Dikutip dari :
From: John MacDougall
Subject: IN: KOMPAS - Arti Tanah bagi Suku Amungme(Kompas - Senin, 25 September 1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...