Oktober 01, 2008

Materi Perempuan : GERWANI

GERAKAN WANITA INDONESIA

Oleh: Donald Hindley

Usaha-usaha untuk mengorganisir perempuan serta menghasilkan kader-kader dan aktifis memerlukan usaha yang penuh kesabaran dan metode tersendiri. Mayoritas perempuan Indonesia yang miskin, dan mempunyai lebih sedikit pengalaman ketimbang pria dalam hal organisasi, ditambah kenyataan bahwa mayoritas perempuan buta huruf dan terikat secara tradisional, terutama dalam usaha pembauran. Sebagai pimpinan, Aidit sadar akan pentingnya usaha untuk menarik dan mengorganisir perempuan, karena bukan hanya separuh dari para pemilih adalah perempuan, tapi karena mereka juga memegang peranan penting dalam sektor ekonomi. Sebagian besar pekerja pada sektor industri adalah perempuan yang juga mempunyai andil besar dalam lapangan pertanian sebagai tani pengolah tanah. Dalam usaha untuk menarik dan mengorganisir perempuan, terutama dari kelas bawah, PKI menggunakan organisasi massa perempuannya seperti Gerwani, Sobsi dan BTI. Usaha yang dilakukannya berjalan cukup sukses dan berkembang dengan pesat, sehingga dalam beberapa tahun perempuan telah menempati posisi kader dan aktifis dalam partai.

1.Cara Kerja Partai
Manifesto Pemilu PKI yang disahkan pada bulan Maret 1954 menyatakan bahwa ‘untuk semua perempuan, memilih PKI berarti emansipasi dan jaminan akan persamaan hak’, Dalam sebuah artikel di Harian Rakjat, sesaat sebelum pemilihan Dewan pada bulan Desember 1955, dijelaskan secara panjang lebar apa yang dimaksud dengan persamaan hak. PKI akan menjamin persamaan hak (perempuan) dalam empat hal yaitu ,
pertama, dalam perkawinan akan diberikan kebebasan pada kedua jenis kelamin untuk memilih pasangan, persamaan dalam perceraian dan warisan, suami dan istri dilibatkan dalam usaha pembinaan anak dan memiliki (mengasuh) anak secara bersama-sama; kedua, dalam sektor ekonomi setiap perempuan yang terlibat dalam proses produksi ditempatkan dalam posisi yang sederajat dengan laki-laki;
ketiga, dalam perburuhan tidak akan dibenarkan diskriminasi atas perempuan, setiap pekerjaan yang sama akan diberlakukan upah yang sama;
keempat, dalam pertanian perempuan akan mendapat bagian yang sama bila sebidang tanah dibagi-bagi.
Usaha khusus juga dilakukan untuk menarik minat perempuan, seperti yang tampak dalam usaha mendistribusikan textil dan makanan dengan harga murah, penyediaan fasilitas pendidikan untuk anak-anak dan sebagainya.

Metode yang dijalankan PKI tersebut merupakan usaha untuk menarik minat perempuan dari segala lapisan sosial. Sebuah artikel yang ditulis oleh Setiati Surasto (salah seorang pimpinan perempuan PKI) memperlihatkan bahwa metode tersebut dilakukan untuk tiga jenis kelompok sosial: perempuan dari kelas pekerja dan pertanian, kelompok menengah dan kelompok atas. Anggota partai akan memberikan pertolongan pada para perempuan buruh dan tani, demikian tulisnya. Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan secara personal akan mendapat dukungan dari partai yang kemudian akan didatangi. Tapi karena secara umum mereka masih buta huruf, mempunyai anak banyak dan tidak mantap dalam ekonomi, menyebabkan kesulitan untuk menyertakan perempuan-perempuan miskin dalam pertemuan, apalagi bila pertemuan tidak diadakan dekat rumah mereka. Tapi meskipun demikian tetap ada usaha-usaha pendekatan oleh para kader jika dibutuhkan atau hadir dalam pertemuan-pertemuan kecil dari perempuan yang tinggal berdekatan. Kemudian usaha-usaha ini dilanjutkan dengan pembahasan masalah keseharian, menjelaskan keputusan-keputusan politik diantara mereka dan kemudian secara bertahap mereka disiapkan untuk berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan serta kursus-kursus rutin dari partai.
Kelompok (perempuan) menengah yang meliputi pedagang, petani menengah, istri para pegawai menengah dan para pelajar dibutuhkan waktu yang panjang dalam usaha menarik mereka. Para perempuan tersebut khawatir jika bergabung dengan partai, (seperti yang ditulis Setiati) akan kehilangan posisi sosial mereka atau karena mereka telah termakan oleh propaganda yang reaksioner. PKI membantu mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah keseharian, misalnya dengan memberi penjelasan tentang hak-hak mereka dan menjelaskan beberapa persoalan di sekitar pajak dan dana pengeluaran.

Beberapa kerjasama dengan partai dilakukan terhadap para intelektual perempuan terkemuka dan dari golongan pejabat tinggi dengan cara mempengaruhi para suami secara tidak langsung. Perempuan dari kelompok ini, menurut Setiati ‘memerlukan perhatian khusus’. Kelompok ini sangat sulit dilibatkan dalam partai dan usaha-usaha yang terbuka kadang justru mendapat hasil yang sebaliknya, ‘mereka takut dengan kata komunis’ serta kehilangan muka dan posisi suami mereka. Usaha keras yang dapat dilakukan partai adalah mengundang mereka dalam setiap kesempatan dengan gelar tamu kehormatan, dan menjelaskan posisi partai secara ilmiah dan terbuka. Dengan cara ini PKI dapat menarik simpati.

‘Jika mereka siap membantu (bahwa posisi PKI adalah benar) mereka akan yakin dan mendukung kita (partai). Dan jika mereka siap membantu, mereka akan memberi dukungan moral dan material untuk perjuangan, walaupun secara umum mereka tidak mengharapkan dapat memberi secara terbuka. Kita (partai) harus mengerti dan tidak berharap melebihi apa yang dapat mereka berikan’.

Setiati menekankan bahwa kelompok menengah dan atas dapat memberikan bantuan finansial bagi partai, dan disebut dengan sumbangan berkala (reguler). Ini semakin merapatkan hubungan mereka dengan partai, sebagai usaha memberi perasaan turut berpartisipasi dalam perjuangan partai.
PKI mengadakan konferensi nasional perempuan I dari tanggal 25 – 30 Mei 1958. Persoalan-persoalan yang muncul diantara beberapa anggota menjadi topik diskusi. Aidit mengatakan ‘Rintangan terbesar bagi partai dalam bekerja diantara kelas pekerja adalah adanya kepercayaan dominan bahwa kondisi yang buruk sekarang ini adalah takdir yang tidak dapat diubah’. Lebih lanjut dia menyatakan, partai harus berupaya membantu mereka untuk memahami bahwa kondisi yang buruk merupakan ciptaan manusia dan melalui organisasi, situasi yang lebih baik akan tercipta. Sudisman menghimbau partai untuk memberi perhatian yang lebih besar pada salah satu problem ekonomi mendasar yang dihadapi perempuan. Suharti lalu memperkenalkan beberapa metode yang telah erbukti berhasil untuk menarik anggota-anggota pertemuan yang baru, dengan cara: ceramah-ceramah lebih diutamakan diberikan oleh kader perempuan; persamaan hak-hak perempuan dalam perkawinan dan masalah anak; kelompok-kelompok anjangsana membantu ibu-ibu rumahtangga pada masalah tertimpa kemalangan (kematian, sakit) atau pada saat-saat sibuk (kelahiran, perkawinan, dll); memberi penjelasan dan peringatan keras kepada anggota partai yang melanggar kode moral Partai Komunis; melindungi kepentingan keseharian massa perempuan. Cara paling berhasil untuk meningkatkan keanggotaan adalah dengan mendekati laki-laki (suami) untuk membawa istrinya dalam pertemuan, dan kemudian meningkatkan kesadaran politik mereka, sampai pada tahap mereka setuju untuk bekerjasama dengan partai.
Dengan upaya-upayanya sendiri secara langsung, PKI berhasil membawa perempuan ke dalam lingkarannya-tapi ternyata masih sulit untuk memperkirakan proporsi macam apa yang dapat menarik massa (perempuan). Pada saat Konggres Nasional PKI VII, April 1962, ketua Aidit tetap belum puas dengan cara kerja Partai untuk menarik anggota-anggota perempuan. Meskipun keanggotaan perempuan telah meningkat dan presentasinya terus melonjak. Di masa yang akan datang Aidit mengatakan ‘situasi ini harus diperbaiki, tambahan pekerja perempuan harus meningkat dalam partai’.


2.Gerwani
Barisan terdepan organisasi massa perempuan Komunis, berawal secara tidak mengejutkan pada bulan Juni 1950, ketika Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang dibentuk sebagai penyatuan dari 6 organisasi lokal perempuan yang bertebaran di Pulau Jawa. Total anggotanya hanya sekitar 500 orang.
Selama 18 bulan pertama, hanya sedikit program yang dijalankan oleh Gerwis, hal ini karena pimpinan Gerwis melarang dengan menyebutnya sebagai ‘kesadaran perempuan yang sangat politis’. Para pimpinan 99% berasal dari kelas borjuasi. Masalah-masalah yang diangkat Gerwis, tampaknya seperti berusaha untuk meningkatkan kondisi perempuan-perempuan miskin. Tapi rencana untuk terjun diantara massa tersebut tidak diikuti denan upaya yang nyata untuk turun ke bawah dan mengorganisir mereka. Aktivitas yang dijalankan terpusat pada dukungan pada perjuangan politik PKI. Akibatnya tujuh orang pimpinan ditangkap dalam operasi pembersihan massa 1951. Pada bulan Desember 1951, ketika Konggres I diadakan, keanggotaannya telah bertambah menjadi 6000 orang.
Pada Konggres I disimpulkan bahwa ‘setelah melakukan otokritik kedalam organisasi jelaslah bahwa pada masa-masa sebelumnya terlalu banyak perhatian diberikan pada aksi keluar dan tidak memperkuat Gerwis ke dalam ‘yaitu terlibat dan menaruh perhatian secara langsung dalam kehidupan sehari-hari perempuan’. Beberapa orang pimpinan dan kader mengkritik cara kerja sektarian organisasi, dan terciptanya permusuhan oleh Gerwis akibat dari cara kerja yang kurang ramah, apalagi terhadap orang-orang di luar Gerwis. Meskipun begitu konggres masih melibatkan diri dengan persoalan politik dan sedikit memperhatikan massa perempuan, seperti tampak pada dukungan terhadap kasus Irian Barat, pencarian dana untuk perundingan, politik luar negri yang bebas dan melakukan kerjasama dengan International Federation of Democratic Women (Federasi Internasional Perempuan Demokratik).
Meskipun kritik terhadap organisasi sendiri terjadi dalam Konggres I tahun 1951, para pimpinan Gerwis terlalu lamban dalam memberi reaksi untuk memenangkan dukungan massa dengan melakukan studi dan penelitian (peninjauan) terhadap problem dan minat keseharian massa perempuan. Akar dari keengganan mereka ini kemungkinan bersumber dari latar belakang sosial mereka. Para pimpinan Gerwis kebanyakan berasal dari kelas menengah, dan kelas menengah Indonesia secara umum menampakkan keengganan untuk berada di sekitar ‘lower order’ (sic, mungkin maksudnya ‘lower class’-STK2) dan mengorganisir mereka. Pada bulan Juni 1953 organisasi ini mengklaim anggotanya berjumlah sekitar 40.000. Tapi sebuah permulaan untuk bekerja di sekitar massa mulai menunjukkan indikasi, berdasarkan laporan kegiatan Gerwis di Jawa Timur. Diantara 7.016 anggotanya di Jawa Timur, telah berhasil didirikan 8 taman kanak-kanak (TK), 52 kursus peberantasan buta huruf, 29 kursus kerajinan tangan, diperbantukan pada 54 tempat dan mengadakan 17 kursus kader.
Konggres II Gerwis diadakan pada bulan Maret 1954. Keanggotaan telah berkembang menjadi 80.000, dengan jumlah cabang mencapai 203. Tiga delegasi asing juga hadir, termasuk Monika Felton dari Federasi Internasional Perempuan Demokratik. Mereka duduk sebagai anggota kehormatan dari Presidium Konggres. Umi Sardjono, ketua yang baru mengumumkan, bahwa dalam waktu dekat konggres Gerwis akan membuang ‘karakteristik sektariannya’. Dan sebagai acara simbolis penghapusan sifat sektarian, nama Gerwis diubah menjadi Gerwani. Sebagai konsekuensinya sebuah aturan baru dibentuk yang membuka keanggotaannya bagi seluruh perempuan Indonesia usia 16 tahun ke atas ‘terlepas dari politik, agama dan kelompok etnik’. Keputusan ini disetujui dan menjadi aturan dan program Gerwani.
Kongres ke II memutuskan untuk meningkatkan anggotanya menjadi 1,5 sampai 2 juta, mulai saat diputuskan sampai konggres berikutnya, meskipun target ini mendapat kritik sebagai sesuatu yang ‘tidak obyektif’. Ternyata keanggotaan terus meningkat. Sebelum September 1954 keanggotaan diklaim telah berjumlah 400.000 dan menjadi 500.000 pada saat pemilihan umum pada bulan Desember 1955. Dalam bulan Juli 1956, ketika keanggotaannya dilaporkan telah menjadi 565.147, di pulau Jawa Gerwani mempunyai cabang di tiap kabupaten dan kota-kota besar, 40% dari jumlah seluruh kecamatan dan sekitar 5000 sub cabang pada rukun tetangga di kota dan pedesaan; di luar Jawa sedang dipersiapkan cabang-cabang di seluruh Sumatra, Kalimantan Barat dan Selatan, dan Sulawesi Utara dan Selatan, sementara lapisan organisasi yang lebih kecil sedang dibentuk di Nusa Tenggara Barat dan Maluku. Pada saat konggres III Gerwani pada bulan Desember 1957 anggotanya berjumlah 671.342 orang.
Masa antara konggres II dan III, melibatkan Gerwani dalam masalah politik, ekonomi dan sosial. Selama pemilu 1955, 23.000 anggota Gerwani di Jawa bekerja pada komite Pemilu yang dibentuk pemerintah untuk menjamin kelancaran pemungutan suara; 23 anggota disumbangkan dari daftar PKI, dan seorang untuk Partai Nasionalis yang kecil, yaitu PRI. Lima anggota terpilih dalam parlemen, sebagai jatah PKI untuk Dewan Pemilih (Constituent Assembly). Dalam pemilu lokal di tahun 1957, 59 anggota dipilih dalam dewan lokal, hampir semuanya berasal dari PKI. Dukungan kuat diberikan pada gerakan perdamaian, terutama dalam pengumpulan tandatangan bagi Vienna Peace Appeal, dan dukungan Gerwani juga diberikan pada semua pendirian politik PKI dalam beberapa peristiwa.
Pendidikan dalam skala yang lumayan besar dimulai dalam Gerwani setelah Konggres II. Untuk keanggotaan biasa, kampanye anti buta huruf dimulai pada tahun 1955, dan dalam waktu setahun telah diklaim bahwa 30% dari anggotanya telah melek huruf, meskipun tidak mereka semua dapat menulis. Kursus-kursus kader dipusatkan pada masalah organisasi dan administrasi, tapi di penghujung tahun 1957 coba diciptakan pendidikan kader yang sistematis dengan sekolah dan kursus-kursus pada seluruh lapisan organisasi dan penyeragaman diktat-diktat pegangan pada empat subyek mendasar: sejarah pergerakan nasional, sejarah gerakan perempuan nasional dan internasional, masalah-masalah dalam organisasi Gerwani dan perkembangannya serta instruksi-instruksi dari Federasi Internasional Perempuan Demokratik-dalam hak-hak wanita dan anak serta perdamaian. Dari bulan Oktober 1950 sampai akhir 1952, Gerwis memulai terbitan berkala Wanita Indonesia (Indonesian Women), tapi setelah tampil secara ireguler, publikasinya terhenti pada pertengahan tahun 1956. Untuk menggantikannya diterbitkan Berita Gerwani, (Gerwani News) edisi perdana yang dicurahkan secara khusus pada berita-berita organisasi dan dirancang untuk memberikan masukan pada kader dalam menjalankan tugasnya. Pada awal 1960 sirkulasinya sekitar 2000 eksemplar.
Diantara Konggres II dan III, Gerwani dari pusat dan daerah, ambil bagian secara aktif dalam aksi mempertahankan hak-hak wanita dan anak, ‘yang merupakan tujuan mendasar dari organisasi perempuan’. Dalam lapangan ini Gerwani juga membicarakan mengenai kampanye selama pemilu 1955 untuk memperlihatkan tekanan pada undang-undang perkawinan yang lebih demokratik, memperdebatkannya melalui anggota-anggota parlemen, bahwa biaya legal dari penyatuan partner yang terpisah harus dirombak, berpartisipasi dalam komite yang dibentuk oleh kementrian urusan agama untuk memecahkan masalah perkawinan, memberikan hukuman berat atas kasus perkosaan dan penculikan perempuan, dan di sub cabang dilakukan aksi-aksi dalam skala kecil yang menguntungkan para anggota. Dalam memperjuangkan kepentingan perempuan kelas pekerja dan tani. Gerwani mendapat bantuan dari SOBSI dan BTI. Aktifitas sosio-ekonomi lainnya adalah pembentukan kursus-kursus latihan bagi dukun beranak (midwives), dan pembentukan 179 Taman Kanak-kanak dan 3 Sekolah Dasar.
Pada saat konggres III yang diadakan dari tanggal 22-27 Desember 1957, Gerwani mengklaim anggotanya telah berjumlah 671.342, yang tersebar secara geografis, sebagai berikut; 613.262 anggota di Pulau Jawa; 59.740 anggota di Sumatra; 2.680 di Sulawesi; 2.260 di Nusatenggara; 1.900 di Maluku dan 1.500 di Kalimantan. Di pulau Jawa terdapat cabang pada setiap kabupaten dan kota, pembentukan organisasi di 75% dari jumlah kecamatan yang ada dan sub cabang yang meliputi 40% dari desa yang ada. Beberapa cabang dibentuk di tempat pekerjaan, tapi mereka semua dianggap tidak bergabung dengan Gerwani, ketika SOBSI membentuk departemen khusus perempuan.
Dari bulan Desember 1957 sampai Desember 1960, Gerwani menerapkan rencana operasi tiga tahun yang mana diharapkan dapat membentuk sebuah sistem pendidikan kader. Kebanyakan kursus-kursus kader dibentuk berdasarkan lapisan yang berbeda, tapi nomor (anggota) dan keikutsertaan mereka tidak akan dibocorkan keluar. Sampai awal tahun 1960 anggota kader yang bekerja secara penuh masih sedikit: tiga orang di setiap pusat dan rata-rata satu orang di setiap cabang (dalam bulan Desember 1957 terdapat 183 cabang). Sebuah tenaga yang siap pakai dari para pekerja lepas tersedia, entah dari kader perempuan dalam PKI atau organisasi massa lainnya, dan dari anggota Gerwani di parlemen dan dewan representatif di tingkat lokal. Laporan Dewan Nasional terhadap Konggres III mengkritik dengan apa yang disebut sebagai kelewat banyak memperhatikan persoalan-persoalan politik dan sedikit bahkan tak ada perhatian terhadap massa perempuan Indonesia.

Sampai saat ini pengalaman telah membuktikan bahwa aksi yang condong pada persoalan-persoalan politik tanpa diimbangi oleh aksi sosio-ekonomi, sehingga massa perempuan tidak dapat merasakan secara langsung kepentingan mereka. Ini bukan berarti aksi-aksi politik menjadi tidak penting, tapi kita harus menekankan peningkatan jumlah tindakan terhadap hak-hak perempuan dan anak sebagai aksi sosio-ekonomi, aksi yang secara langsung menaruh perhatian pada kehidupan massa perempuan, misalnya masalah perbaikan kampung, masalah air, dan juga masalah beras, dst.

Laporan Dewan Nasional kepada Konggres menyatakan bahwa ‘untuk memperluas keanggotaan, setiap aksi harus dilandasi pada kepentingan massa perempuan secara langsung, dan dibicarakan di antara perempuan, lalu dicetuskan sekaligus didukung oleh mereka’. Sebuah penuntun dikeluarkan untuk sebuah aksi: tujuan aksi harus jelas agar mendapat sambutan dan dukungan luas dari masyarakat, dan aksi harus dilakukan pada waktu yang tepat dengan batas-batas yang jelas.
Konggres III membahas secara komprehensif 27 poin program yang bertujuan merangkul persoalan-persoalan di sekitar hukum perkawinan, undang-undang kerja, persamaan hak, wajib belajar, persamaan pelayanan kesehatan dan kontrol harga atas barang-barang pokok. Dengan program ini Gerwani berharap dapat perhatian dari segala lapisan perempuan Indonesia dari kelas pekerja dan tani perempuan sampai kelas menengah yang melek huruf.
Pada awal tahun 1960, ketika keanggotaan Gerwani diklaim berjumlah sekitar 700.000, Gerwani melibatkan diri dalam cara-cara kerja praktis untuk menarik dan memperkokoh para anggota :
1.Aktifitas yang paling popular adalah arisan dimana semua anggota kelompok memberikan sumbangan tiap minggu dan setiap anggota secara bergiliran akan menerima jumlah keseluruhan.
2.Kelompok bantuan secara berkala dibentuk pada saat-saat dibutuhkan seperti kematian, kelahiran, perkawinan, sakit dan kehamilan.
3.Pembentukan kelompok kredit dalam skala kecil.
4.Didirikan 326 TK dan 3 SD. Kursus dan latihan diberikan pada setiap staf pengajar. Beberapa TK dilengkapi dengan baik dan mempunyai guru yang terlatih, tapi mayoritas masih bergiliran.
5.Pada pertengahan tahun 1959, Dewan Nasional memutuskan bahwa setiap cabang harus mempunyai paling sedikit lima atau enam orang yang mengurusi sebuah koperasi. Kursus-kursus kader koperasi diberikan oleh para petugas dari Departemen Koperasi. Pada awal 1960 beberapa koperasi konsumer sudah disiapkan.
6.Kursus-kursus pemberantasan buta huruf masih merupakan aktifitas penting di Jawa Timur dan Tengah. Beberapa cabang menyelenggarakan kursus untuk masyarakat umum, terkadang atas nama organisasi atau bisa juga bekerja sama dengan pemerintah.
7.Perempuan dilibatkan dalam masalah-masalah perkawinan. Kader-kader Gerwani berpartisipasi dalam wujud semi-petugas untuk menyelesaikan masalah suami istri dan terkadang melindungi anggota dalam kasus-kasus perceraian.
8.Kerajinan tangan juga diberikan; di kota diberikan kerajinan membuat bantal, pakaian dan memasak.
9.Gerwani mengadakan kampanye luas terhadap kenaikan harga beberapa barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, tekstil, gula dan minyak goreng.
10.Beberapa kegiatan budaya juga diselenggarakan termasuk paduan suara dan kelompok drama, tapi kegiatan ini tidak berkembang luas.
11.Gerwani memberi bantuan terhadap organisasi massa lainnya dan pada PKI dalam upaya mereka mendapatkan masukan atas aktivitas lain dalam masyarakat.
12.Gerwani bekerjasama dengan organisasi perempuan lainnya dalam merayakan hari Kartini dan hari ibu, dan di beberapa kota besar merayakan peringatan hari perempuan internasional.


Anggota-anggota inti berjumpa sebulan sekali dan terkadang seminggu sekali.
Keanggotaan Gerwani meningkat secara tajam dari 700.000 di tahun 1960 mencapai 1.120.594 pada bulan Desember 1961 dan menjadi 1,5 juta pada bulan Januari 1963. Peningkatan jumlah anggota ini, mungkin merupakan hasil dari semakin besarnya perhatian terhadap perempuan tani yang diperlihatkan melalui seminar Gerwani pada bulan Januari 1961. Pada bulan Oktober 1961, ketika keanggotaannya telah mencapai jumlah 900.000 orang, Gerwani memiliki kantor cabang di semua propinsi; 225 kabupaten dan kota administratif; 70 % dari seluruh kecamatan yang ada, dan sub cabang pada 40% desa yang ada.
Kelihatannya bahwa daya tarik utama dari Gerwani baik di daerah pedesaan maupun kota adalah kerja sosialnya, organisasi berupa kelompok arisan, kelompok kredit skala kecil, saling menolong, kursus pemberantasan buta huruf, taman kanak-kanak, dan konsultasi masalah perkawinan. Pendidikan politik jarang diberikan secara langsung kepada anggota-anggota biasa, tapi Gerwani mengajarkan kepada mereka bahwa kondisi yang buruk dapat diatasi dengan organisasi, dan PKI adalah satu-satunya partai politik yang membela kepentingan mereka. Sumbangan Gerwani yang sangat berharga untuk PKI adalah kemampuannya dalam membangkitkan massa perempuan untuk persoalan politik, memobilisasi pemilih, menambah dukungan untuk garis politik PKI, membantu organisasi massa yang lain, dan menyediakan serta mendidik kader dan anggota Partai dari kalangan perempuan.
Bagian ini tidak membicarakan kegiatan serikat-serikat buruh Komunis secara umum, melainkan memberi perhatian khusus pada anggota-anggota perempuannya.
Walaupun jumlah buruh perempuan cukup tinggi di Indonesia, SOBSI dan serikat-serikat buruh yang bernaung dibawahnya tidak memberikan perhatian khusus sampai pada awal tahun 1956, setahun setelah PKI mulai mengamati alat-alat untuk menarik perhatian serta mengorganisir perempuan dalam jumlah yang lebih besar. Pada tanggal 25 Februari 1956, Dewan Nasional SOBSI mengeluarkan resolusi tentang buruh perempuan dan memasukkan keputusan-keputusan berikut:

1.Menuntut persamaan hak antara buruh perempuan dan laki-laki di tempat kerja, termasuk pembayaran upah dan penentuan upah minimum
2.Menuntut pelaksanaan hukum perburuhan no. 1 tahun 1951, dengan perhatian khusus pada hak buruh perempuan;
3.Menentang diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh sejumlah pegawai pemerintahan, perusahaan, (services) yang reaksioner;
4.Memperjuangkan hak-hak khusus untuk perempuan seperti kehamilan, melahirkan dan kondisi kerja.

Resolusi ini juga memutuskan pembentukan kelompok-kelompok khusus perempuan dalam serikat buruh yang membicarakan tuntutan khusus kaum perempuan dan mengorganisir perjuangan untuk pelaksanaan dibawah kepemimpinan serikat buruh.
Sebagai petunjuk adanya keinginan untuk melibatkan perempuan didalam kegiatan organisasi, Dewan Nasional pada bulan Februari 1956 meningkatkan jumlah anggota perempuannya dari satu menjadi lima. Pada bulan September 1957, ada 49 kader perempuan didalam komite kepemimpinan SOBSI serta serikat-serikat buruhnya, baik di tingkat regional maupun pusat, dan ‘jumlah kader perempuan yang memimpin atau berpartisipasi dalam kepemimpinan organisasi dasar meningkat dengan cepat’. Pada bulan itu pula konferensi nasional SOBSI memutuskan bahwa serikt buruh yang memiliki banyak anggota perempuan, harus membentuk departemen perempuan, pembentukan kelompok-kelompok perempuan di tempat kerja harus diselesaikan pada akhir tahun 1958, kader harus ditunjuk dalam komite-komite pusat dan regional SOBSI untuk menangani urusan perempuan, dan buruh perempuan harus dipromosikan didalam badan-badan kepemimpinan.
Selama tahun 1956 dan 1957, beberapa serikat buruh mulai mengadakan konferensi khusus untuk menangani masalah buruh perempuan; pada tahun 1957 beberapa cabang SOBSI telah mengadakan kursus-kursus untuk mengorganisir kader-kader khusus perempuan;
pada bulan Februari 1958 SOBSI menyelenggarakan seminar nasional masalah perempuan, agenda pembicaraannya mengenai metode-metode pengorganisiran buruh perempuan, masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi buruh perempuan, dan hak-hak perempuan. Sekretariat Dewan Nasional membalikkan keputusannya untuk mengorganisir kelompok-kelompok khusus perempuan, tapi kepentingan-kepentingan khusus dari buruh perempuan dipromosikan oleh bagian-bagian khusus serikat buruh dan kader-kader urusan perempuan, serta dalam pertemuan-pertemuan khusus.
Pada akhir tahun 1958 hanya sedikit perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan pusat SOBSI: ada empat perempuan dari 39 anggota Dewan Pusat serikat buruh perempuan, dimana 45% diantara buruhnya adalah perempuan, 9 dari 29 di dalam serikat buruh rokok, yang 6% buruhnya adalah perempuan, 3 dari 21 didalam serikat buruh tekstil, yang juga 65% dari buruhnya adalah perempuan. Tapi kaum perempuan dengan ‘cepat’ menduduki tempat-tempat dalam kepemimpinan organisasi-organisasi dasar. Hanya sedikit angka statistik yang tersedia mengenai peningkatan jumlah kader perempuan didalam SOBSI dan serikat-serikat buruhnya; walau angka-angka itu serta angka-angka dari akhir tahun 1958 menunjukkan proporsi yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah buruh perempuan secara keseluruhan, semuanya memperlihatkan keberhasilan SOBSI beserta serikat-serikat buruhnya dalam mengembangkan kepentingan dan kemampuan kaum perempuan di bidang organisasi, di sebuah negara dimana-paling tidak di kelas yang lebih rendah-perempuan tidak memiliki pengalaman untuk menjalankan organisasi, khususnya pada organisasi yang juga memiliki anggota laki-laki. Perhatian lebih lanjut dari pemimpin-pemimpin SOBSI mengenai masalah dan peranan buruh perempuan ditunjukkan melalui sebuah diskusi pada seminar nasional mengenai buruh perempuan yang diadakan pada bulan Mei 1961.
Singkatnya, karena jumlah buruh perempuan cukup besar dalam sekian banyak bidang pekerjaan, sebagian besar tertarik SOBSI dengan dasar kepentingan bersama sebagai seorang buruh. Pada bulan Februari 1956, bagaimanapun juga, pemimpin-pemimpin SOBSI secara khusus berusaha menarik buruh-buruh perempuan dan menguatkan ikatan mereka dengan serikat-serikat buruh melalui seruan tentang kepentingan yang spesifik sebagai buruh perempuan dan melalui pembentukan aktifis serta kader-kader perempuan. Peningkatan jumlah kader perempuan didalam serikat buruh berjalan lambat namun pasti, dan segera memperlihatkan keberhasilan usaha-usaha itu.

Kegiatan BTI

Sebuah artikel yang berjudul ‘Meningkatkan jumlah anggota di antara tani perempuan,’ yang diterbitkan dalam Harian Rakjat pada tanggal 15 Juni 1955 memperlihatkan bagaimana BTI (organisasi tani di bawah pimpinan PKI) berusaha membuat tani perempuan memiliki pengetahuan politik lalu merekrut mereka sebagai anggota BTI lalu Gerwani. Penulisnya, Kartinah, menyatakan bahwa tani perempuan masih terbelakang, pemalu, rendah hati dan tidak dapat terlibat dalam organisasi hanya dengan menyampaikan undangan pada mereka untuk datang. Kesabaran sangat diperlukan, dan, pada berbagai kasus, bantuan suami, ayah atau tetangga juga penting. Para laki-laki diharapkan dapat memberi keterangan tentang tujuan-tujuan BTI, mengajak penduduk perempuan hadir pada pertemuan, dan meyakinkan bahwa mereka ditampilkan dalam diskusi mengenai situasi desa mereka sendiri.
Dengan cara ini, menurut Kartinah, kaum perempuan akan tahu bahwa perempuan lainnya juga menghadapi persoalan yang sama, ‘dan penderitaan mereka sama saja.’ Dengan demikian mereka akan melihat gunanya bergabung bersama penduduk laki-laki di dalam perjuangan kaum tani, dan mereka akan melihat pentingnya organisasi untuk memecahkan persoalan. Saat itu BTI dan Gerwani akan menarik mereka dalam organisasi. Perhatian khusus diberikan agar menimbulkan rasa tanggungjawab dan keterlibatan melalui pelaksanaan tugas-tugas ringan, seperti menyediakan makanan untuk pertemuan, memberikan bantuan pada saat ada yang memerlukan dan kerja sosial lainnya. Pelajaran juga diberikan untuk memberantas buta huruf dan mengajarkan masalah kesehatan, menjahit dan sebagainya. Singkatnya, tulis Kartinah, tani perempuan ‘harus diberikan tanggungjawab, walaupun kecil, karena dengan pemberian tanggungjawab seperti itu, mereka akan merasa ‘bangga’ bahwa mereka sudah membantu kerja organisasi dan untuk keperluan itu tidak banyak mengeluarkan tenaga.
Artikel Kartinah ini menggambarkan tiga karakteristik PKI dalam mengorganisir massa: pertama, perhatian dan kesabaran dalam menumbuhkan kesadaran serta membawa mereka masuk ke dalam organisasi; kedua, kenyataan saling membantu diantara organisasi komunis-dalam konteks ini BTI membantu pendirian dan perkembangan Gerwani, dan Gerwani membantu BTI dalam perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup kaum tani; lalu, ketiga, artikel itu dengan jelas memperlihatkan bahwa kegiatan organisasi massa seperti itu pada akhirnya menuju pada keanggotaan partai.
STK2 1991 (Seri Terjemahan Kita-kita)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...