Agustus 11, 2008

Amerika ikut picu ketidakadilan di Papua

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Yusron Ihza Mahendra di Jakarta, Sabtu menilai, jika ada anggapan dari pihak Amerika telah terjadi ketidakadilan di Papua milik Indonesia, hal itu juga karena dipicu Amerika.

"Bukankah kehadiran Freeport di Timika dan banyak investasi asing lainnya, termasuk oleh British Petroleum (BP) di Bintuni, telah banyak disorot orang asli Papua sebagai sumber ketidakadilan juga," kata politisi muda Partai Bulan Bintang (PBB) yang baru saja melangsungkan kunjungan kerja Komisi I ke sejumlah wilayah Papua.

Ia mengatakan hal itu menanggapi surat dari 40 anggota Kongres Amerika Serikat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya, antara lain, meminta kemastian pembebasan segera dan tanpa syarat atas dua separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage.

Surat dialamatkan kepada Presiden Yudhoyono dengan penulisan alamat "Dr H Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, Istana Merdeka, Jakarta 10110, Indonesia".

Yusron mengemukakan, akibat adanya ketidakadilan dalam menikmati hasil sumber daya alam yang melimpah, maka ada upaya beberapa orang yang belum memahami situasi, terjebak pada gerakan-gerakan menentang Pemerintah Indonesia.

Sebagaian dari gerakan-gerakan ini dianggap Yusron Ihza Mahendra sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dianggap sebagai gerakan separatis, karena beberapa tindakan mereka menjurus kepada makar.

"Untuk mengatasi OPM dan gerakan-gerakan separatis lainnya, tidak ada cara lain, selain melakukan pendekatan keadilan, tidak semata dengan 'security approach'," katanya.

Bagi adik kandung mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra ini, gaya "politik etis" dari anggota Kongres Amerika Serikat itu, sering bertolak belakang dengan ulah orang-orang mereka di luar negeri.

"Mereka bersuara lantang tentang ketidakadilan, demokratisasi dan HAM, padahal sesungguhnya, justru ketidakadilan sering terjadi atas ulah orang-orang Barat sendiri, termasuk Amerika dan lain-lain, lewat kehadiran mesin-mesin kapitalismenya, seperti kasus Freeport dan BP (Inggeris) itu tadi di Tanah Papua," tegasnya.

Ujian
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas H Pareira menilai, manuver kalangan 'Conggressman' itu akan menjadi ujian bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Artinya, apakah dia adalah Presiden RI yang mempunyai wibawa dan otoritas di republik ini atau SBY hanya sekedar 'boneka' kepentingan asing, yang bisa ditekan dan diintervensi kepentingan asing," katanya.

Sebaliknya, mantan Ketua Umum PB HMI yang kini menjadi salah satu Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menegaskan, Papua merupakan urusan dalam negeri Indonesia dan terkait dengan integrasi teritorial, nasional serta kedaulatan NKRI.

"Karenanya, tidak pada tempatnya ada anggota parlemen negara lain ikut campur urusan dalam negeri negara lain," katanya.

"Mestinya, anggota parlemen negara besar seperti Amerika mengerti dan memahami prinsip saling menghormati dan menghargai urusan dalam negeri masing-masing negara," kata Anas Urbaningrum.

Yang terjadi sekarang, menurut dia, justru sebaliknya. "Mereka mempertontonkan arogansi dan sikap seolah-olah boleh menjadi polisi bagi negara lain," katanya.

Karena itu, dia berpendapat, surat tersebut tidak perlu ditanggapi Presiden Yudhoyono.

"Jika pun ditanggapi, materinya adalah mengajarkan prinsip hubungan antar negara yang baik dan saling menghargai," kata Anas Urbaningrum.

Hal senada dinyatakan Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Abdillah Toha (Fraksi Partai Amanat Nasional). Ia menyatakan, Presiden RI jangan menanggapi surat 40 Anggota Kongres Amerika Serikat yang meminta pembebasan segera dan tanpa syarat dua anggota OPM.

"Alasannya, pertama, anggota Kongres (AS) biasa menyurati ke mana-mana, lebih untuk kepentingan konstituennya," katanya

Abdillah Toha mengatakan, jika Presiden RI menanggapi surat itu, sampaikan saja keadaan hukum dan peradilan di Indonesia sekarang. "Yaitu, bahwa Presiden RI tidak dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan," katanya.

Alasan lainnya, kata Abdillah Toha, bagi Indonesia, NKRI sudah final. "Yaitu, bahwa bagi Indonesia, NKRI sudah final dan tidak dapat dinegosiasikan. Sedangkan mereka yang melakukan pelanggaran separatisme harus ditindak dan diproses secara hukum," katanya.

Selanjutnya, kata Abdillah Toha, Kongres AS seyogianya mengurusi terlebih dahulu pelanggaran-pelanggaran HAM di negeri sendiri seperti kasus di (penjara) Guantanamo, masalah Irak dan Afghanistan.

"Urus dulu hal-hal itu sebelum campur urusan dalam negeri orang lain," tegas Abdillah Toha yang juga Anggota Komisi I DPR RI.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Hajriyanto Yasseir Thohari menyatakan, surat 40 anggota Kongres AS kepada Presiden RI menunjukkan kebodohan mereka terhadap (kondisi) NKRI.

"Sekali lagi saya katakan, dengan surat ini jelas mereka menunjukkan kebodohan mereka terhadap Negara RI sebagai negara demokrasi dan hukum. Sebagai negara demokrasi, RI tidak kurang demokratisnya dengan AS. Sebagai negara hukum, RI juga tidak kalah dengan AS, karena kami sangat menjunjung tinggi supremasi hukum," katanya.

Ia menambahkan, ke-40 'Conggressman' itu harus tahu sistem peradilan di RI, khususnya mengenai pidana politik.

"Sekarang kan keadaan peradilan kita sangat merdeka dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun," katanya.

Mengenai kasus Filep Karma dan Yusak Pakage, dia menyatakan, hal itu sudah divonis oleh Pengadilan yang merdeka itu.

"Makanya, soal tuntutan pembebasan mereka secepatnya mestinya ditempuh secara hukum pula, misalnya dengan kasasi atau pninjauan kembali (PK). Tidak melalui 'pressure' kepada Presiden Yudhoyono," kata politisi muda Partai Golkar yang oleh Kaukus Muda Parlemen Indonesia (KMPI) didaulat sebagai Menteri Luar Negeri Kabinet Bayangan Indonesia Bersatu.

Ia berharap anggota Kongres AS harus mengerti keadaan sekarang di Indonesia. "Bahwa, seorang presiden tidak memiliki kewenangan untuk membebaskan terhukum. Hanya proses hukum yang dapat memastikan kebebasan mereka," katanya.

Dalam konteks ini, surat anggota Kongres AS tersebut salah alamat dan mencerminkan ketidakmengertian mereka terhadap sistem hukum RI sekarang.

"Atau bahkan merupakan 'pressure' terhadap Presiden Yudhoyono dan intervensi terhadap kedaulatan hukum RI," katanya. Lebih itu, katanya, mereka menyuruh Presiden RI untuk melakukan intervensi hukum. "Sesuatu yang terlarang dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum," katanya.

Karena itu, kata Hajriyanto Thohari, sebaiknya Presiden RI mengabaikan saja surat tersebut. Surat itu merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap RI sebagai negara hukum.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) DPR Constan 'Nino' Ponggawa, mengatakan kalau memang yang dilakukan dua aktivis OPM merupakan kegiatan separatisme, negara berkewajiban menangkap dan mengadilinya.

"Sekali lagi harus saya tegaskan, kalau memang yang dilakukan oleh kedua orang tersebut adalah kegiatan separatisme, maka merupakan kewajiban negara untuk menangkap dan mengadilinya," katanya.

Constant Ponggawa mempertanyakan Apabila ada kegiatan separatisme di salah satu negara bagian Amerika Serikat apakah akan dibiarkan oleh Pemerintah Federal Amerika.

"Tentu tidak," katanya.

Surat para 'Conggresman' itu antara lain berbunyi, "Kami, para anggota Kongres AS, yang bertanda tangan di bawah ini dengan hormat meminta Bapak (Presiden Yudhoyono, red) memberikan perhatian terhadap kasus Filep Karma dan Yusak Pakage, yang pada Mei 2005 dijatuhi hukuman karena keterlibatan mereka dalam kegiatan damai yang dilindungi hukum, yaitu bebas mengeluarkan pendapat, di Abepura, Papua, pada 1 Desember 2004".

"Kami mendesak Bapak mengambil langkah untuk memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat bagi Bpk. Karma dan Bpk. Pakage," demikian bunyi kalimat di bagian bawah surat.

Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan Parnohadingrat membenarkan adanya surat dari sejumlah anggota Kongres AS yang langsung ditujukan kepada Presiden Yudhoyono.

"Memang benar. Surat itu tertanggal 29 Juli 2008 dan dikirimkan melalui kita. Sudah kita kirimkan ke Jakarta," katanya.

Ia melihat bobot kepentingan yang terkandung dalam surat tidak ringan. "Yang mengirimkan sudah tingkat Kongres AS dan yang memberikan tanda tangan pun cukup banyak, 40 anggota Kongres," katanya.

Pertanyaan dan kritik seputar penahanan Filep Karma dan Yusak Pakage, menurut Sudjadnan, juga cukup banyak dilontarkan oleh berbagai pihak di AS.

"Tetapi selalu kita katakan bahwa keduanya (Filep dan Yusak) ditahan karena ada unsur pidana. Proses hukumnya juga sudah tuntas dijalankan, mulai dari tingkat pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga keputusan dari Mahkamah Agung," kata Sudjadnan.

Kepada pihak-pihak yang mempertanyakan penahanan dua orang ini, Indonesia selalu menerangkan, mereka itu separatis Papua Merdeka, sehingga ditahan bukan karena melakukan demonstrasi. Tetapi, lebih karena materi unjuk rasa yang selalu mereka usung, yaitu ingin menciptakan Negara Papua Merdeka.

"Setiap negara punya kategori, apa yang dianggap menjadi ancaman terhadap keamanan. Amerika, misalnya, mereka anggap terorisme sebagai ancaman. Bagi negara kita, tidak hanya terorisme. Upaya memerdekakan bagian dari wilayah NKRI adalah masalah serius. Itu sudah termasuk ancaman terhadap keamanan," kata Sudjadnan Parnohadingrat.

Pemerintah Indonesia tidak mungkin campur tangan dalam masalah pembebasan Filep dan Yusak dari tahanan. "Pemerintah tidak boleh mencampuri wilayah tersebut. Itu kewenangan pihak yudikatif," katanya mengingatkan.

Tentang surat 40 anggota Kongres, dia mengungkapkan, pihak KBRI Washington DC dalam waktu dekat akan mengirimkan surat balasan.

"Isinya, ya sama seperti yang kami telah paparkan kepada khalayak di AS yang pernah mempertanyakan soal penahanan Filep dan Yusak," katanya.

Filep Karma dan Yusak Pakage pada Mei 2005 dijatuhi hukuman 15 dan 10 tahun penjara dalam kasus pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, pada 1 Desember 2004.
(j01)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...