Maret 15, 2009

Pemilu 2009: Pertempuran Yang Menentukan!

Oleh: RUDI HARTONO

Kita tetap harus melangkah kedepan. Pemilu 2009 yang merupakan persimpangan jalan sedang menunggu didepan mata; kearah mana republik ini akan bergerak? Akan sangat ditentukan oleh pertentangan dan perimbangan kekuatan politik di dalam pemilu 2009; antara unsur progressif dan kekuatan lama. Unsur progressif mengacu pada kelompok-kelompok social yang menghendaki perubahan; bukan saja perubahan kepemimpinan nasional, tetapi menghendaki perubahan haluan ekonomi, politik dan kebudayaan. Sedangkan kekuatan lama meliputi perentangan antara kekuatan politik orde baru, Golkar, dan Demokrat, beserta politisi-politisi konservatif yang tetap mempertahankan jalan lama; neoliberalisme, dan menafikan penderitaan yang dialami oleh ratusan juta rakyat.
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Dan tak bisa dihindarkan, pertentangan ini akan mewarnai situasi politik pemilu 2009, dan semakin memanas menjadi isu utama dalam pemanasan menuju 2009, serta menjadi bahan bakar politik paska pemilu itu sendiri. Tinggi dan rendahnya intensitas pertentangan ini sangat dipengaruhi beberapa factor; pertama, pertikaian politik ditingkatan elit, yang memaksa mereka melompat menggunakan tema-tema kritik anti pemerintah yang pernah digunakan kaum oposisi; partai, gerakan mahasiswa, gerakan buruh, LSM, dan lain-lain. Kedua, tingkat kesadaran massa; terutama untuk memahami konteks persoalan sekarang dan jalan keluarnya, sehingga manifest menjadi tuntutan-tuntutan politik yang akan disodorkan pada calon legislatif dan calon presiden. Ketiga, keberadaan grup anti imperialis yang bekerja dalam syarat-syarat parlementer; semakin mereka menemukan ruang yang agak leluasa, akan semakin memperbesar kesempatan menumpahkan amunisi perjuangan anti-imperialisnya. Setidaknya, factor-faktor tersebut akan menjadi variable-variabel yang saling mempengaruhi antara segi-segi politik dalam pemilu.

Posisi Strategis Pemilu 2009
Pemilu 2009 mempunyai derajat berbeda dibanding pemilu sebelumnya (1999 dan 2004), baik dalam kandungan demokratisnya, maupun makna-makna strategisnya bagi perjuangan anti -imperialis. Pemilu 2009 merupakan perhelatan ketiga rejim -rejim paska reformasi. Angka tiga menunjukkan batas-batas tolerasi dan kesabaran rakyat untuk menunggu perubahan dari janji para elit politik. gejala ketikpuasan, keresahan, protes, perlawanan, demonstrasi, sudah hadir dimana-mana dan menaikkan kekhawatiran pemerintah berkuasa, dan pengusung neoliberalisme.

Seberapa strategis pemilu 2009 bagi kaum Imperialis? Hal ini akan mudah dijelaskan dengan pendekatan ekonomi dan politik; pertama, Indonesia sampai saat ini adalah penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia, Indonesia merupakan penghasil gas terbesar di dunia, juga sebagai penghasil batubara terbesar setelah Australia, dan masih juga memproduksi minyak bumi. belum lagi jumlah penduduk yang mencapai 230 jiwa, betul-betul merupakan pangsa pasar yang sangat menggiurkan. Hal ini akan menjadi alasan ekonomis bagi imperialis untuk tidak melepaskan Indonesia dalam peta dominasi dan pengerukannya. Kedua, secara politik, proses pemaksaan dominasi atas bangsa Indonesia agak berlangsung mudah karena dikondisikan oleh keberadaan jajaran elit politik didalam negeri yang sudah pasti mendukungnya. Kolonialisme menguasai Indonesia sekitar 300 -an tahun, sebuah hitungan waktu yang panjang, menyebabkan ikatan-ikatan ekonomi dan politik yang berbau kolonialisme masih bertahan. Jika ada fraksi politik yang siap dibina dan dipelihara untuk menjaga tujuan-tujuan imperialism di Indonesia, maka adalah tindakan bodoh melepas begitu saja pertentangan politik di tahun 2009. ketiga, Indonesia adalah Negara besar, bukan saja penduduknya yang besar, tetapi juga wilayahnya, posisi strategisnya, dan kekayaan alamnya. Besarnya pengaruh Indonesia dalam konteks politik internasional dibutuhkan imperialis sebagai sekutu tambahan guna menghadapi pembangkang-pembangkang di Amerika Latin; Venezuela, Bolivia, Cuba, Paraguay, dan Ekuador, atapun untuk mengatasi pesaing-pesaingnya, seperti China, India, dan Rusia.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah, tidak mencerminkan kondisi rakyatnya. Indonesia merupakan penyumbang orang miskin terbesar dikawasan Asia tenggara, yang mencapai 60%. Besarnya kekayaan alam tidak sebanding dengan anggaran yang disusun pemerintah guna membiayai pembangunan. Sebagian besar kekayaan alam itu dirampok, sedangkan sisanya menjadi pendapatan negara yang sebagian besarnya untuk membiayai kepentingan oligarki dan multinasional. Orang miskin tidak pernah mendapatkan separuh dari pendapatan itu. Gambaran yang kontras ini, telah berkontribusi pada kesenjangan luar biasa. Menurut ekonom UGM Mudrajad Kuncoro, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2000 hanya dinikmati oleh 40% golongan menengah dan 20% golongan terkaya. Sisanya, sebanyak 40% kelompok penduduk berpendapatan terendah makin tersisih. Kelompok penduduk ini hanya menikmati porsi pertumbuhan ekonomi 19,2% pada 2006, makin kecil dibanding tahun 2000 sebesar 20,92%. Sebaliknya, 20% kelompok penduduk terkaya makin menikmati pertumbuhan ekonomi, dari 42,19% menjadi 45,72%.

Gambaran ini melahirkan ketidakpuasan yang tak dapat dibendung, bahkan dengan tidak malu-malu pemerintah berkuasa memanipulasi angka kemiskinan, seperti yang jelas-jelas dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Dalam konteks pemilu, suara ini akan menjadi lahan perebutan bagi partai-partai yang menawarkan perang atas kemiskinan. Ketidakpuasan yang mencakup mayoritas dari kalangan menengah dan kalangan bawah akan memberikan ruang yang sempit bagi para oligarki dan partai -partai pengusung neoliberal, utamanya Golkar dan Demokrat. Tapi ini bukan kesimpulan yang begitu saja benar, dan mengurangi inisiatif perjuangan kolektif. Karena pengaruh social masyarakat yang masih mengikuti pilihan politik tradisionalnya (patron-klien, primordial, dan ketokohan).

Pengelompokan Politik
Begitu rumit mendapatkan pengelompokan baku dan permanent dalam konfigurasi politik di Indonesia. Hal itu dikarenakan beberapa faktor, diantaranya; tidak adanya ideology yang jelas dari masing2 partai, orientasi partai yang sangat pragmatis, dan lemahnya jangkauan oposisi ekstra-parlemen terhadap dinamika politik diparlemen, dan politik klientalisme. Faktor-faktor tersebut mengaburkan garis demarkasi antara oposisi dan partai berkuasa. Jalan paling memungkinkan untuk menemukan pengelompokan politik dari berbagai kekuatan politik yang ada adalah sikap politik mereka dan orientasi politiknya menjelang 2009.

Ukuran tersebut berjalan berdasarkan beberapa faktor-faktor pula yang begitu mempengaruhi; seperti, pertama, perimbangan kekuatan politik antara yang pro-pada pemerintah dan yang berposisi oposisi terhadap pemerintah; Kedua, sejauh mana ungkapan-ungkapan keresahan dan ketidakpuasan terhadap neoliberalisme, dominasi asing, dan kemiskinan mengambil tempat dalam tema-tema politik. Inipun dipengaruhi oleh keterlibatan dan keberpihakan media massa, dalam mengelola isu ini; apakah memunculkannya sebagai konsumsi umum, atau menutupi, memanipulasi dan membelokkannya. Ketiga, manuver politik dari kekuatan lama untuk menawarkan "jalan damai" kepada oposisi, yang dibungkus dengan retorika "kepentingan bangsa". Golkar kelihatannya akan memanfaatkan metode ini. Sadar bahwa dukungannya bakal menurun dalam pemilu mendatang, dari pada terlempar sama sekali dari kekuasaan, akan mencoba menjajaki skenario koalisi longgar dengan PDIP. Jika ini terjadi, akan segera merubah semua peta politik yang ada dan menjinakkan kubu nasionalis dalam pemilu 2009 mendatang.

Proyeksi pemilu 2009 sebagai agenda penting, baik pejuang anti imperialis dan blok pendukungnya, maupun imperialis dan sekutunya. Hal itu akan memelihara pertentangan diantara keduanya. Sehingga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kusinggung tadi, maka pengelompokannya tidak melulu berdasarkan partai atau organisasi social, karena sikap individu terkadang tidak mencerminkan sikap partai; demikian pula sebaliknya. Berikut pengelompokannya;

Pertama, adalah kubu kekuatan lama yaitu kekuatan politik yang mengekspresikan kelanjutan tipe pemerintahan sekarang, dan selain mendukung neoliberalisme juga mau mengintensifkan dan memperluasnya. Yang sangat menonjol adalah Golkar dan Demokrat. Pada kubu ini sokongan imperialis diberikan, termasuk dukungan dana dan infrastruktur kampanye.

Kedua, kubu fundamentalis. Kubu ini dalam beberapa momentum politik paska reformasi memainkan politik oportunistik dan reaksioner, seperti yang diperlihatkan dalam kasus poros tengah yang menaikkan gusdur dan kemudian kembali membangun blok politik guna menjatuhkannya. Kekuatan ini meliputi PPP, Partai Bintang Bulan (PBB), dan juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka seringkali mempromosikan ideologi dan syariat islam sebagai topengnya, tapi mengadaptasikan diri dengan proyek neoliberal dalam praktek politik. Mereka membuat front-front ekstra-parlementer guna memupuk "suara pemilih islam", dengan memamfaatkan isu-isu agama, yahudi, dan lain-lain. Jadi meski mengaku islam, tapi pada kenyataannya dapat dimanfaatkan guna membelah kubu pertama.

Ketiga, kubu kekuatan baru. Kelompok yang mencerminkan kehendak menuju perubahan; menghendaki haluan ekonomi baru, pemerintahan baru, dan kebudayaan progressif, pendek kata, mewujudkan Indonesia baru. Hanya saja, cara pandang terhadap Indonesia baru masih begitu beraneka ragam (heterogen), spectrum ideologinya luas, dan kepentingan politik dibalik itu juga macam-macam. PDIP dan PKB misalnya, merepresentasikan kekuatan oposisi terhadap pemerintahan dan berposisi kritis terhadap kebijakan neoliberal pemerintah. Selain itu ada PBR, yang merangkum beberapa aktifis pergerakan juga memperlihatkan tujuan anti neoliberal. Di luar itu, ada pula beberapa tokoh seperti Drajat Wibowo dan Amien Rais (PAN), Rizal Ramli yang mempelopori Komite Indonesia Bangkit (KIB), dan beberapa tokoh mudah seperti Fajroel Rahman, Budiman Sujatmiko, dan lain-lain.

Pertempuran Sengit dan Menentukan
Menghadapi pemilu 2009, seluruh energi dari kedua kubu akan dikerahkan. Pengerahan kekuatan sebagai jalan memenangkan "peperangan", akan mendorong partai-partai guna memobilisasi dukungan dari rakyat. Kekosongan ideology yang nampak umum dalam tradisi partai politik kita, akan mendorong penggunaan cara-cara "menipu dan manipulatif" sebagai pendekatan utama. Kekosongan ideology membuat partai tidak punya pegangan dalam berpolitik, sekaligus arah perjuangan yang menunjukkan kehendak kolektif rakyat Indonesia. Bagaimana dengan kecenderungan Golput? Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat, penyebab paling dominant dari golput adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Akibatnya, kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow, data fiktif masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena data dasarnya saja sudah kacau. Maka, tidak heran kalau angka orang yang tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi. Bahkan di hampir setiap tempat pemungutan suara (TPS), jumlah angka fiktif itu mencapai 50 persen. (suara pembaruan, 31/8/2008)

Kecenderungan golput dan kekosongan ideology akan dimanfaatkan oleh partai yang secara ideology lebih konkret, dan lebih "rapi" dalam pengorganisasian massanya, yakni PKS. Kendati untuk pemilu 2009, PKS tidak menawarkan solusi programatik dan konkret kepada rakyat, dan terbukti PKS sebelumnya adalah pendukung setia pemerintahan SBY-JK. Akan tetapi, kampanye golput yang disuarakan sejumlah organisasi social-kerakyatan perlu dicermati ulang efektifitasnya; bukankah akan berpengaruh jika memberikan dukungan suara terhadap perimbangan kekuatan kubu anti neoliberal dan pro-neoliberal nanti. Perlu difikirkan ulang lagi oleh kawan-kawan gerakan, bukankah seruan golput akan mengamankan dukungan suara PKS.

Berarti rakyat harus didorong untuk memobilisasi dukungannya. Tapi, memobilisasi dukungan untuk siapa? Saat ini, pada momen yang menentukan ini, berbagai bentuk ketidakpuasan, protes, dan perlawanan terbuka, sudah mengambil bentuknya dalam skala lebih luas, lebih sporadis, dan tanpa jedah. Adalah lahan besar bagi kekuatan politik yang lebih solid, punya program yang tepat, dan punya kemampuan untuk memupuk suara dari kalangan tersebut. Kerusakan-kerusakan politik dan ketidakmampuan partai pendukung neoliberalisme mengatasai keadaan, merupakan alasan utama kalangan menengah dan bawah untuk mengalihkan dukungan kepada partai yang punya program yang bersentuhan dengan kebutuhan mereka. Dan tentunya, pengusaha nasional yang dilemahkan, dihilangkan potensi pertumbuhannya, dan dihancurkan oleh capital raksasa multinasional, akan memberikan dukungan kepada kekuatan politik progressif.

Oleh karena itu, bukan sekedar memunculkan figur-figur baru dalam panggung politik, akan tetapi kekuatan politik baru harus mampu menciptakan tradisi berpolitik yang baru; berbeda dengan cara berpolitik oligarkis dan politisi lama. Tradisi berpolitik yang baru ini adalah cara mengorientasikan Negara dan aparatusnya untuk bekerja bersama rakyat; menjaga dan mendistribusikan sumber-sumber ekonomi, mengelola ekonomi dan produksi untuk rakyat, dan memajukan tenaga produktif massa rakyat.

Langkah-langkah menuju hal itu harus dipersiapkan. Beberapa langkah mendesak yang harus dipersiapkan kekuatan politik baru ini adalah; pertama, melakukan konsolidasi yang sifatnya programatik dan strategis, guna mengatasi fragmentasi politik dikalangan unsur maju dan moderat, serta mengucilkan unsur-unsur reaksioner dan kekuatan lama. Kedua, menemukan platform yang tepat dan manjur untuk menyelesaikan krisis neoliberal, yang akan menjadi platform bersama seluruh kekuatan baru dalam sebuah front persatuan nasional, aliansi antar parpol, ataupun semacam kaukus aktifis muda di parlemen. Karena problemnya merupakan perluasan dari pengaruh/efek neoliberalisme, maka platformnya adalah anti-neoliberalisme. Anti neoliberalisme adalah pijakan untuk menentang dominasi asing dan multinasional, serta menggagas Indonesia baru. Dengan sendirinya, akan menjadi ukuran bagi kekuatan politik baru yang terbentuk----untuk membedakannya dengan nasionalisme yang chauvinis.

Karena telah menderita kerusakan politik luar biasa, sudah barang tentu, partai-partai pro-asing, dalam hal ini Golkar dan Demokrat, akan memanfaatkan segala macam cara dan manipulasi untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka jelas akan unggul secara finanasial, tetapi belum tentu unggul dalam kekuatan organisasi. Karena dimana-mana mereka terlihat mengalami kekalahan dalam pilkada, belum lagi efek buruk dari kebijakannya yang tidak populer. Kurun waktu 8 bulan kedepan (sampai pemilu), tentu merupakan ukuran waktu yang tak cukup merehabilitasi kerusakan-kerusakan politik partai-partai pemerintah, meskipun pemerintah menggelontorkan sejumlah anggaran untuk program BLT, Askeskin, Raskin, KUR, PNP-M, BOS, dan sebagainya.

Untuk sementara, dan kelihatannya akan terus berlanjut; ketidakpuasan dan keresahan akan berkembang berhimpitan dengan pilihan-pilihan politik rakyat. Beratnya beban ekonomi dan kesulitan memperoleh akses terhadap ekonomi, merupakan gejala yang umum dalam masyarakat kita. Dan dalam konteks pemilu; isu-isu tersebut akan menjadi isu utama dalam pertentangan kekuatan-kekuatan politik untuk berebut pengaruh dan dukungan. Kalau arahnya adalah barbarisme, silahkan melanjutkan politik yang ada sekarang. Tapi jika kehendaknya adalah perubahan, silahkan pilih calon dan partai yang punya program anti neoliberal dan pro kemandirian nasional.

Penulis adalah Pengurus DPP PAPERNAS, Staff Redaksi Berdikari Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...