Januari 15, 2009

Kepulangan 708 Warga Papua Tertunda

Kamis, 15 Januari 2009 - 06:41 AM

Bandung, Kepulangan 708 warga Papua yang menyeberang ke Papuaniugini dan kini hendak kembali ke daerah asalnya tertunda. Hingga kini keinginan mereka terkendala dana Pemerintah Indonesia untuk membiayai ongkos perjalanan. Menurut Direktur Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Sujatmiko di Bandung, Senin (12/1), pengajuan kepulangan mereka sebenarnya sejak tahun lalu. Namun, hingga kini, pihaknya belum menerima persetujuan dan pengucuran dana.

"Mengenai besarannya, saya serahkan pada negara. Namun, dengan keinginan besar warga untuk pulang, kami targetkan pencairan dana turun sebelum Pemilihan Umum 2009," katanya.

Menurut Sujatmiko, mereka yang ingin pulang adalah bagian dari sekitar 25.000 warga Papua yang berada di sepuluh kabupaten Papuaniugini. Mereka telah tinggal di Papuaniugini antara 5 dan 25 tahun atau bahkan lebih. Mereka meninggalkan Indonesia dengan alasan ketakutan pada organisasi pengacau keamanan (OPM), ketakutan perang adat, konflik dengan pendatang, hingga motif ekonomi.

"Mereka secara tradisional melewati perbatasan, seperti berjalan kaki. Pengawasan pertugas perbatasan tidak maksimal karena dengan batas antarnegara yang membentang 700 kilometer," katanya.

Akan tetapi, harapan mereka mendapatkan kehidupan lebih baik ternyata tidak tercapai. Sujatmiko mengatakan, mereka malah hidup lebih miskin. Bahkan, tidak jarang banyak warga Papua terpaksa hidup di hutan akibat kesulitan ekonomi. "Di luar semua itu, hal yang paling mendorong mereka untuk kembali adalah keadaan Papua yang saat ini dikatakan lebih aman," katanya.

Mengenai perkembangan kepulangan warga Papua di Australia, dari sementara target 43 orang, Deplu sudah membantu kepulangan lima warga. Adapun 38 orang lainnya, meski belum pulang, diyakini dalam waktu dekat akan kembali ke Indonesia.

Sementara itu, di Gedung Merdeka Bandung digelar diskusi bertema "Diplomasi Untuk Papua". Sebagai pembicara adalah Peneliti Senior Pusat Studi Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Muridan Widjojo dan Yoel Rohrohmana, Pejabat Fungsional Direktorat Amerika Utara dan Tengah Deplu, yang berasal dari Papua.

Menurut Muridan, masih banyak hal yang harus dilakukan Indonesia untuk Papua. Pemerintah dituntut menghapuskan marjinalisasi warga Papua, menuntuaskan pembangunan di segala bida ng dasar, persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta sejarah kepercayaan kemerdekaan Papua.

Penghapusan marjinalisasi, menurut Muridan, bisa dilakukan dengan memaksimalkan otonomi khusus. Di dalamnya bisa dilakukan pelatihan dan pendekatan, baik bagi pejabat pemerintah dari Papua, maupun kalangan swasta Papua.

Pembangunan di segala bidang dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi juga harus diperhatikan. Minimnya perhatian membuat kesejahteraan masyarakat Papua sangat rendah.

"Untuk permasalahan HAM, pemerintah bisa mendorong Komisi Nasional HAM membuat buku putih pelanggaran. Selain itu perlu dialog intensif agar masyarakat Papua bersatu dalam Republik Indonesia," katanya.

Sementara itu, Yoel mengatakan, banyak pembangunan di Papua justru tidak menyentuh kebutuhan pokok masyarakat, terutama kesejahteraan sosial, ekonomi, dan keamanan. Hal itu membuat Papua semakin tertinggal. Hal itu sangat disayangkan karena potensi ekonomi dan sosial budaya di Papua sangat tinggi.

(sumber: kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...