Januari 18, 2009

BAWAH SADAR KOLEKTIF

MASYARAKAT INDONESIA
Oleh : Putu wijaya

SATU
Para penerjemah cerita fiksi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris mengalami berbagai kesulitan. “Kesederhanaan” bahasa Indonesia selintas menjadikan orang asing cepat dapat membaca dan berbicara Indonesia. Tetapi ketika sudah mulai mengalihbahasakan, muncul berbagai keragu-raguan yang membingungkan, karena ambiguitas dalam soal waktu, jenis kelamin, rasa bahasa dan lain sebagainya..
Rasa memegang peranan yang sangat besar dalam bahasa Indonesia. Dan itu tak mungkin bisa dipahami hanya lewat tatabahasa tetapi panutan kehidupan orang Indonesia. Karena tatabahasa pun tak segan-segan dilanggar demi keselarasan rasa. Dan keselarasan rasa yang menyerbu bahasa baik secata terang-terangan mau pun rahasia, adalah tanda betapa individu pengguna bahasa,sangat berusaha untuk mengikuti atau dibingkai oleh harmoni dalam kehidupan bersama.
Ambiguitas dalam bahasa merupakan refleksi dari individu tak sanggup menentukan kehendaknya sendiri. Ia selalu melapor, mengecek untuk mendapat restu dari kelompoknya. Karena itu setiap kata-kata yang strategis menunjuk pengertian yang mengapung, sehingga setiap saat bisa diartikan berbeda.
Bahasa seakan-akan hanya sekedar bunyi, irama untuk membuat ada kesinambungan bunyi, supaya orang bertanya mendapatkan jawaban. Tetapi tidak mengandung kepastian arti. Karena kata “ya”, misalnya, selalu bisa berarti “tidak”, setiap kali dikehendaki.  Karena yang dimaksudkan dengan ya, adalah hanya sekedar pertanda bahwa yang diajak berbicara itu sudah mendengarkan.
Begitu juga kata “besok”, tidak selalu berarti hari berikutnya, tapi bisa berarti entah kapan, atau sama sekali tidak. Arti kata besok tidak ditentukan oleh apa yang dimaksud oleh yang berbicara (sebagaimana yang ditangkap oleh yang dijaknya bicara) ketika diucapkan, tapi sangat tergantung dari persetujuan kelompok sang individu yang mengucapkannya.
 
DUA
Seorang yang melamar pekerjaan misalnya, setelah menjelaskan maksud dan tujuannya menulis surat, akan mengakhiri suratnya dengan mencantumkan: “Hormat kami”, lalu membubuhkan tanda tangan dan kemudian namanya.
Kami adalah kata ganti orang kedua yang berarti jamak. Tetapi di dalam surat itu, kami hanya mewakili satu orang. Dengan menyebutkan dirinya sebagai kami, terasa ada keinginan merendah (bahwa ia hanyalah bagian kecil dari sesuatu yang sangat besar, yakni masyarakat) dan menghormati (karena secara implicit terasa bahwa ia ingin membedakan dirinya sebagai satuan kecil menghadapi satuan yang lebih besar, yang akan memberikannya pekerjaan). Tetapi bukan hanya itu.
          Perkataan kami, diam-diam juga menunjukkan pengakuan bahwa individu bukan milik dirinya, tapi kelompok. Setiap orang adalah bagian dari kelompok. Dalam keadaan sendiri-sendiri pun, ketika seseorang sedang bergulat untuk mempertahankan hidupnya, ia tetap tidak mau melupakan bahwa ia hanya merupakan serpihan kelompok. Jadi yang lebih konkrit adalah dirinya sebagai bagian kesatuan, bukan pribadinya.
Manusia perorangan menjadi hanya bayang-bayang dari kelompok.
          Penggunaan kata kami bukan hanya sekedar keinginan untuk merendah. Kalau direnungkan, terasa di dalamnya sebuah proklamasi teritorial, sebagaimana yang dilakukan oleh anjing dengan mengencingi sudut-sudut yang dilaluinya. Seorang memohon pekerjaan mengakui dirinya sedang berada dalam posisi yang sangat lemah. Tetapi dengan menempatkan dirinya sebagai kami, dalam kelemahannya ada ancaman diam-diam yang membuat pemilik kesempatan kerja tersebut, harus berhati-hati, karena ia menghadapi bukan hanya satu orang, tapi sekelompok orang.
          Kami adalah isyarat rahasia/bawah sadar dari individu terhadap lawannya yang dianggap lebih berkuasa. Kami juga adalah isyarat adanya kesadaran kelompok yang membayangi kehidupan pribadi setiap orang.
          Dalam bahasa percakapan, khususnya dalam orasi-orasi yang menyangkut lebih banyak orang lagi, kita mengenal kata ganti “kita”. Kata ganti ini tidak hanya melibatkan kelompok dari yang berbicara, tetapi juga merangkul yang diajak bicara. Kata ganti kami itu juga pada awalnya terdengar/terasa sebagai semacam upaya menghaluskan tutur. Karena individu mengajak tak hanya kelompoknya tetapi yang juga di luar kelompoknya, lawan kelompoknya, walhasil semua orang, untuk terlibat. Artinya praktis, kata kita adalah sebuah konsep yang medefinisikan bahwa “tidak ada orang yang tidak terlibat”. Semuanya ikut.
Diam-diam kata ganti kita kemudian menjadi senjata pentrasi. Menjadi sebuah upaya penyerangan yang  secara psikologis sangat taktis, sopan tapi agresif dan efektif. Yang terakhir  ini sangat penting. Sebuah seruan atau ajakan dengan memakai kata kita, maka tiba-tiba tanpa ada pertempuran tidak ada lawan dan musuh lagi. Semuanya menjadi satu kelompok. Dan secara ajaib, yang semula bermusuhan, langsung lunak oleh sihir kata kita. Kenapa? Karena kerinduan berkelompok benar-benar merupakan kunci kelemahan dari individu.
          Di dalam percakapan yang intim pun, antara dua orang, kata kita sudah menerobos masuk dan mengacaukan segala batasan. Kepentingan individu kontan musnah, karena tiba-tiba kata ganti orang pertama: aku atau saya atau gue, bisa mendadak berubah menjadi kita. Setuju tak setuju tidak diberikan waktu. Demokrasi tidak punya kesempatan lagi berkibar. Begitu kata kita dipasang, makan persoalan tersebut menjadi persoalan bersama semua orang. Di situ tidak ada lagi orang lain. Dan segala pertentangan, perbedaan, ketiadaan kesinambungan dengan bim salabim lenyap tanpa perlu ada muktamar. Sebuah agresi yang sukses?
          Kata “kita” mungkin tidak sungguh-sungguh sepenuhnya merupakan penghalusan dari upaya melakukan agresi. Artinya itu bukan kiat untuk mengkolonialisasi opini orang lain. Artinya bukan dari awalnya mengandung niat jahat. Hanya sekedar upaya untuk menahan (meskipun bisa saja kemudian sekaligus dianggap menguasai) orang lain agar tak mampu lagi punya keinginan pribadi. Artinya, memang ada rencana agar dalam diri orang tak ada kemauan yang benar-benar personal, semua terkait kepada kelompok, golongan dan komunitasnya.
          Pada akhirnya sulit untuk melacak apakah aku yang bertranformasi menjadi kami dan kemudian kita, atau sebaliknya kita yang beragresi menjadi kami dan aku. Peristiwa dahsyat yang brutal tersebut, sama sekali tak kelihatan, karena bahasa menutupi dirinya dengan bagus sekali dengan kode-kode rahasia yang sangat nyelimet. Dengan irama, minmik muka, gerak, tinggi-rendah, keras-lembut, nada suara dan sebagainya, bahasa membuat dirinya menjadi sebuah mesin metamorphose yang dahsyat dan mengerikan dalam kehidupan. Karena ia bisa menjungkir-balikkan pengertian dengan amat cepat dan fatal.
          Masyarakat sudah melakukannya, mungkin secara tidak sadar. Tetapi elit politik sudah memanfaatkannya secara efektif dalam hubungannya dengan kekuasaan. Dan itu dimungkinkan karena jiwa kolektif dari setiap individu tak pernah luntur meskipun nampak mengabur sementara di pergaulan kota dan metropolitan.
 
 TIGA
Bahasa sudah membuktikan bahwa bahwa kebersamaan dan kekeluargaan masih merupakan acuan yang sangat mendasar bagi manusia Indonesia. Tetapi di dalam realita pun kita temukan banyak kenyataan.
Orang kota yang mulai berpikir individualistis, yang sudah meprioritaskan efektivitas dan efisiensi untuk meraup sukses, khususnya di kota-kota, mulai dijalari oleh kesadaran baru. Mereka memberontak dari bingkai moralitas tersebut dan mencoba menampilkan dirinya sebagai individu yang utuh. Hubungan kekerabatannya mulai rapuhkalau tidak putus sama sekali.
Tetapi mereka ini pun tidak bisa lama terkatung-katung sebagai unit yang sendirian. Untuk bertahan dalam persaingan yang keras, mereka memerlukan back up sebagai senjata tambahan. Perlahan-lahan mereka kembali mengelompok oleh ikatan pekerjaan, kepentingan bersama dan idiologi maupun kepercayaan. Ikatan keluarga baru dalam kota itu kemudian membentuk unit seperti kelompok arisan, persatuan penggemar motor besar atau persatuan pencinta perkutut, ada juga yang secara guyonan mendirikan persatuan suami yang takluk istri Sunda.
Dan itu sangat cepat terjadinya, karena individu mengalami pengalaman atau bawah sadar kesadaran berkelompok di masa lalu yang benar-benar sudah mewarnai kehidupan mereka. Di Bali misalnya, kekelompokan tersebut jelas sekali terasa. Pengelompokan itu tidak saja terjadi karena orang hidup dalam tempat yang sama, yang disebut banjar, tetapi karena mereka melakukan ibadah di tempat yang sama, walau pun domisilinya mereka berjauhan. Sedangkan yang berkelompok dalam kepentingan yang sama, sampai sekarang masih sangat kuat, disebut subak. Subak adalah organisasi pengairan yang mengambil air dari satu sumber yang sama.
Tak akan mungkin minat atau dorongan pengelompokan itu bisa terjadi begitu saja. Pasti ada dorongan bawah sadar yang sudah menjadi magnitnya. Karena bukan hanya karena kebutuhan ekonomi, tetapi kebutuhan untuk mendapatkan kekerabatan baru. Rasa kekerabatan ini, walau pun pada akhirnya bisa dicurigai sebagai sekedar topeng untuk berbagai kepentingan bisnis, tetapi tak segan-segan orang mengorbankan kepentingannya untuk membela kekelompokan tersebut.
Tak semua individu berusaha untuk membebaskan diri. Para pembantu atau pekerja yang hijrah dari pedalaman ke dalam kota besar, setiap hari raya pulang dan kembali ke kota membawa teman-temannya. Itu tidak terjadi dalam hubungan bisnis tetapi rasa kekeluargaan. Ada perasaan berharga, berjasa, berbuat baik, manakala bisa membawa keluarga atau salah satu anggota kelompok, baik darah mau pun kekelompokan yang lain, untuk bergabung di tempat yang baru.
Pada gilirannya, ketika mereka sudah mulai bisa bertahan dan berkembang dalam kota, mungkin mereka tidak lagi menjadi satu satuan solidaritas, tapi mengelompok dengan kekerabatannya yang baru. Lalu mereka membentuk satuan, misalnya alumni SMA Singaraja, peguyuban masyarakat Kebumen, perkumpulan masyarakat Sunda, masyarakat Banten dan sebagainya. Mereka bertemu secara berkala dalam arisan dan membangun solidariotas untuk slaling mendukung.
Apakah semuanya itu karena kepentingan dagang, atau naluri bertahan, atau sebenarnya karena tradisi berkelompok yang sudah mengakar sehingga tak mungkin lagi dipangkas?
Partai yang nerupakan pengelompokan baru, dikenal mulai dari masa awal perjuangan kemerdekaan. Hanya elit politik yang benar-benar menjadi anggota kelompok ( partai) karena persamaan kepentingan, strategi perjuangan atau pun idiologi. Dalam sebuah pertemuan di Galeri Cipta ketika peluncuran buku baru Taufiq Ismail yang berjudul Katastrope, sejarawan Taufik Abdullah menceritakan bagaiman di awal masa perjuangan kemerdekaan, banyak partai Islam yang didirikan atas dasar marxisme.
Di Bali juga banyak contoh bahwa partai bukan pengelompokan idiologis, tetapi hanya bebrayatan baru. Di masa pemilihan umum pertama, 1955, ada pertentangan yang seru antara partai PNI dan partai PSI. Pertentangan itu dilanjutkan kemudian antara PNI dengan IPKI. Sesudah itu PNI melawan PKI. Kemudian PDI melawan Golkar. Pelakunya orang-orang yang sama. Selintas nampak bahwa orang gonta-ganti partai hanya untuk melanjutkan pertentangan kelompoknya. Kelompok, bukan idiologi, yang ternyata lebih tebal garis kehidupannya dalam masyarakat.
Di  dalam berbagai perhelatan, kenduri dan pertemuan bahkan juga arisan, mereka yang menghadiri pertemuan selalu pulang membawa ole-ole. Disebut bancaan/bancakan. Bahkan kalau tidak datang, di Bali dikirimkan sesuatu yang disebut jotan. Kalau kita lihat inti dari bancaan/bancakan/jotan tersebut, adalah bentuk penghirauan terhadap keluarga nmereka yang mengunjungi pertemuan tersebut. Kalau pun dalam arisan, misalnya hal tersebut tidak dilakukan lagi, karena kepentingannya adalah pertemuan antara orang-orang yang bergabung dalam urunan duit, tapi seringkali anggota dari keplompok arisan itu kemudian membungkuskan makanan dalam arisan untuk dirinya sendiri. Dan itu jelas menunjukkan ke mana pun ia pergi, individu selalu menjadi bayangan dari unit keluarganya. Individu selalu memancarkan semangat kolektivitas komunitasnya.
 
 EMPAT
          Bangkitnya televisi pernah dianggap sebagai ancaman terhadap bioskop. Film-film yang diantar oleh televisi ke rumah-rumah dianggap akan memusnahkan bioskop. Memang kehadiran televisi sempat mengganggu aliran penonton ke bioskop untuk sementara. Tapi ketika benda itu tidak merupakan benda langka yang ajaib lagi, orang tetap saja kembali ke bioskop.
          Manusia tidak hanya ingin menghibur dirinya sendirian. Manusia ingin bertemu dengan orang-orang lain. Mengalami peristiwa bersama dalam bioskop. Tertawa dan bersedih, hanyut oleh tontonan layar perak dalam masa yang bersamaan dan berdekatan, merupakan kenikmatan yang tersendiri.
Saya sendiri pernah mengalami sensasi yang sangat berbeda ketika menonton film The Rain Maker lewat televisi dengan laser disk dan ketika menontonnya di bioskop 21. Di layar televisi, sementara saya sendirian, film tersebut terasa biasa-biasa saja. Tetapi ketika saya tonton untuk kedua kalinya di bioskop dengan pikiran bahwa saya akan hambar karena sudah pernah menontonnya, saya kecele. Ternyata saya memperoleh sensasi yang luar biasa. Film itu bukan saja seperti belum pernah saya tonton, tapi juga merangsang seluruh saraf saya.
          Pastilah alasan yang serupa yang sudah membuat orang banyak menonton pertandingan bola, tinju, basket dan sebagainya secara langsung. Padahal biayanya jauh lebih mahal. Kenikmatan visualnya juga sangat tergantung dari kursi mana yang diperolehnya. Tapi menonton langsung selalu lebih mengesankan, dari menonton lewat televisi, walau pun sekarang sudah ada siaran televisi langsung. Itu terjadi karena pengaruh manusia di sekitarnya. Manusia lebih gampang terbawa bila menghadapi sesuatu sebagai kelompok.
          Tapi sangat berbeda dengan nonton life show di sebuah rumah pertunjukan bersanggama di Bangkok atau New York. Rangsangan yang timbul akibat adegan yang kita tonton itu tidak sedahsyat, apabila itu kita saksikan sendirian. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa manusia menjadi lebih intens kalau sendirian dibandingkan kalau ia di tengah keramaian. Bisa jadi begitu. Api sebetulnya saya ingin memanfaatkan itu sebagai contoh bahwa hubungan manusia individu dengan komunitasnya justru lebih jelas lagi.
          Dengan menonton pertunjukan “life show” bersama-sama, orang merasa tidak dikontrol atau diawasi lagi oleh kelompoknya, sebab semuanya sudah menonton. Dengan semua ikut menonton, maka sesuatu yang terlarang, yang langka itu jadi kecolongan esthetic distance-nya. Dia jadi hambar, karena ditonton bersama. Sebaliknya ketika ditonton sendirian, individu menjadi tertekan, karena ia rasa melakukan penyimpangan atau dosa terhadap kelompoknya. Tetapi tekanan tersebut justru menstimulasi, mengakomulasi, menghimpun rasa nikmatnya lebih tinggi, karena ia jadi seperti menonton barang yang sangat langka. Konon mangga curian jauh lebih enak dari mangga yang dibeli di pasar secara legal.
          Dengan pemahaman yang sama, kita jadi mengerti juga bahwa mengerakkan manusia dalam sebuah rapat akbar, jauh lebih mudah daripada menggerakkan manusia perorangan. Meskipun manusia perorangan bisa saja dimanfaatkan dengan pendekatan yang intens, tetapi itu memerlukan ketekunan dan waktu yangh lama. Tak sedikit kemungkinannya gagal. Karena manusia individu punya remote control dengan komunitasnya yang tidak bisa begitu saja dicabut. Sementara dalam rapat akbar, remote control itu tidak berfungsi lagi. Dalam kerumunan manusia individu dalam keadaan nol dan hanya merasa diri bagian dari satu peserta rapat akbar, tersebut. Apabila provokatornya pintar, dengan mudah massa akan digerakkan untuk tujuan apa saja. Itulah yang selalu memungkinkan bahwa kerumunan manusia dengan gampang bisa mencetuskan huru-hara.
 
LIMA
          Saya tidak hanya bermaksud untuk memaparkan bahwa bawah sadar manusia adalah solidaritas kolektif, khususnya manusia Indonesia. Terus-terang saya ingin memanfatkannya. Karena saya sudah merasakan dan menjadi korbannya. Bagaimana caranya agar karunia itu -- kalau itu boleh disebut karunia  --  menjadi produktif dan positif?
Gotong-royong misalnya, sebagai salah satu contoh kesadaran kolektif masyarakat kita, sudah kita anggap sebagai kekuatan. Kita pujikan itu sebagai sebuah aset budaya yang luar biasa potensinya. Barangkali itu yang sudah menolong bangsa ini berhasil menelorkan Borodubur, membebaskan kita dari penjajahan dan pernah berhasil bersatu dalam segala perbedaan yang konon tak mungkin diseragamkan ini.
Tapi tak jarang sekarang “gotong-royong” itu juga dipelesetkan. Citra gotong-royong bermimikri menjadi perusak etos kerja. Karena sadar bahwa keluarga, tetangga, komunitas yang akan mengurusnya, maka individu  (entah karena bodoh atau terlalu lihai) kemudian meneruskan tidur panjang, pinsan bahkan mati suri dalam kehidupan, karena toh “kerabat” akan melanjutkan nafas hidupnya.
Sementara itu individu yang bekerja keras dan sukses, diperas dan ditindas oleh dalam tanda kutip keluarga/kerabat/komunitas. Mereka yang merantau, takut pulang, karena pulang tak hanya menjadi urusan kerinduan, tetapi terpaksa mengurus kepentingan kerabat yang maunya bergantung. Perantau yang sukses tidak berhasil memotivasi agar keluarganya yang lain  mengikuti jejaknya, bekerja lebih giat, malah membuat yang lain lebih bergantungan lagi.
Apakah bawah sadar kolektif, bebrayatan, peguyuban itu adalah virus yang harus diberantas? Dekat senbelum era reformasi kita mulai mempergunakan istilah nepotisme sebagai sesuatu yang harus dikikis. Dengan mengelompokkannya dalam KKN, kita pun beramai-ramai menghujat nepotisme. Tetapi setelah itu, beberapa orang mulai berpikir-pikir bahwa kekerabatan, kecintaan kepada anak-cucu sebagaimana yang menggejala pada masa paus Adrianus I (772-795) dan memuncak di masa Alexander IV dan Julius II dan zaman renaissans, adalah sebenarnya jiwa bangsa Timur.
Rasa kekeluargaan itulah yang menyebabkan Timur berbeda dengan Barat dan mencapai ketinggian peradaban yang tak kalah hebatnya dengan Barat. Mengapa nepotisme harus diberantas? Bukankah kekerabatan itu sebuah kekuatan raksasa yang karena sudah keliru pemanfaatan dan pemetaannya berubah menjadi setan gentayangan yang menghacurkan hidup. Bila saja ia dapat dikuasai, diarahkan menurut kelayakan dan pemanfaatan manusia subyeknya, itu adalah senjata ampuh dan memang sudah berhasil membuat Indonesia  selama 50 tahun  ber “Bhineka Tunggal Ika”.
Kita sudah berusaha melawan dampak buruk kesadaran kolektif, tapi harus diakui tak berhasil mengalahkannya. Maka tak ada jalan lain kecuali harus mempelajarinya kembali dan baru kemudian setelah menguasai, memanfaatkannya.
Bagaimana memanfaatkan kekerabatan menjadi bukan virus ganas yang mematikan, tetapi justru senjata kehidupan untuk melawan segala tantangan dan kesulitan kehidupan? Saya melihat sebuah peluang dengan cara memberinya reinterpretasi dan kemudian mereposisinya, sebagaimana kita lakukan terhadap adat dan tradisi. Dengan menyikapinya sebagai “kebijakan lokal”, adat dan tradisi tidak lagi mengkanibal masyarakatnya sendiri, tetapi menyelamatkan.
Kalau kekerabatan, kolektivitas, dibenci, dia akan menjadi seperti binatang ganas yang memangsa kebebasan individu. Dan memang tak ada jalan lain kecuali memeranginya. Tetapi apabila kita mengubah tafsiran dan menganggapnya sebagai aset dan membuatnya menjadi komando, sebagai ethos kerja, maka kepentingan rakyat banyak, menjadi utama. Di situ bawah sadar kolektip akan menjadi tangga ke arah kemenangan. 
Bawah sadar kolektif masyarakat Indonesia harus diposisikan sebuah kekuatan. Kalau pun itu nyatanya kelemahan, kita harus dengan sigap membalikkannya menjadi kekuatan, sekarang juga.
Gotong royong, misalnya tidak perlu lagi diartikan sebagai  mengeroyok segala-sesuatu beramai-ramai. Mengangkat sebuah kursi tidak harus dilakukan oleh seratus orang, kalau satu orang saja sudah cukup. Sisanya boleh tidur, sehingga kalau diperlukan tenaganya, 99 orang masih gres. Bila satu atau dua orang gagal dalam perjuangan, yang lain tidak perlu ikut –ikutan gagal semi solidaritas. Yang lain harus melesat lebih jauh, untuk menebus kegagalan itu, kalau perlu meninggalkan dua yang gagal itu, karena 98 yang lain mesti diberi peluang berhasil. Itu gotong-royong.Dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...