Januari 02, 2009

Hati, Telinga, dan Mulut Bagi Kaum Tertindas

Kebijakan pembangunan saat ini belum berpihak kepada kaum perempuan. Untuk mendorong adanya perubahan kebijakan yang berpihak kepada kaum marginal, maka perempuan harus dapat mengisi kouta 30 persen di legislatif, baik yang ada di provinsi, kabupaten dan kota. Hal inilah yang diungkapkan Wakil Ketua II MRP, Dra. Hana S. Hikoyabi yang kini diakui sebagai hati, telinga dan mulut bagi kaum tertindas di Papua, termasuk perempuan asli Papua.
KESEDERHANAAN dan taat akan Yesus yang selalu mewarnai kehidupannya setiap hari. Bahkan dengan kesederhanaanya itu pula menjadi berkat bagi orang lain, terutama kaum yang tak bersuara alias kaum yang tertindas. Begitulah sekilas gambaran dari Wakil Ketua II MRP, Dra. Hana S. Hikoyabi.
Bagi politisi di Papua atau di Indonesia secara umum, Hana adalah salah satu contoh figur dari sekian banyak pemimpin masa depan bagi rakyat di Negeri Kasuari, Papua. Tapi kenyataan ini justru menjadi tantangan baginya untuk mendorong terciptanya perubahan kebijakan pembangunan yang berpihak kepada kaum perempuan atau kaum yang tertintas, baik yang ada di bukit, lerang, lembah, rawa, pantai, hutan belukar dan juga di perkotaan di Papua.
Hal ini juga diungkapkan para mama-mama yang berjualan di pasar-pasar, baik di Kota Jayapura maupun di Kabupaten Jayapura. Bukan itu saja, sejumlah tokoh senior LSM perempuan di Papua mengakui, bahwa Hana Hikoyabi adalah figur pemimpin bagi rakyat di negeri ini. Pengakuan itu tak membuat Hana besar kelapa. Tapi justru bagi dia, ungkapan itu adalah panggilan dari Yesus untuk berbuat lebih baik bagi kaum yang tertindas.
Sikap dan keberpihakan inilah yang membuat Hana menjadi inceran partai politik untuk meraup suara dalam pemilihan umum tahun 2009 nanti. Lirikan dari partai itu bagi seorang Hana, hanyalah dinamika politik. Tapi bagi dia, saat ini, hampir semua kebijakan tak berpihak kepada kaum perempuan. Untuk itulah, Hana S. Hikoyabi angkat bicara dalam seminar perempuan dan partai politik, khususnya, peluang mengisi kuota 30 persen di lembaga legislatif yang diselenggarakan Yayasan Santo Antonius (Yasanto) Merauke bekerjasama dengan Foker LSM Papua di Merauke pada 30 Mei 2008.
“Untuk kuota 30 persen bagi perempuan di parleman dan perlunya perubahan kebijakan yang berpihak kepada kaum perempuan, sudah sering saya sampaikan dalam berbagai pertemuan. Baik dalam pertemuan kaum perempuan di kampung-kampung, pertemuan dengan Himpunan Wanita Karya (HWK) Provinsi Papua, kaum perempuan di Merauke dan berbagai pertemuan, baik di tingkat Provinsi, kabupaten dan kota hingga ke dusun-dusun terpencil,” ungkap Hana.
Menurut penelusuran mingguan ini, bahwa sikap tegas Hana untuk mendukung perubahan kebijakan yang berpihak bagi kaum perempuan itu, bukan karena kepentingan politik. Tapi, sebagai anak adat asli Papua yang juga anak seorang guru yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai adat, agama, kebersamaan dan kesederhanaan. Jadi bukan karena kepentingan politik, Hana “berteriak” soal perlunya perubahan kebijakan, pemberdayaan perempuan asli Papua dan keberpihakan terhadap kaum marginal. Untuk itu, wajar saja kalau Hana disebut sebagai “Hati, Telingan, dan Mulut Bagi Kaum Tertindas.”
Kenyataan ini, bukan hanya di Jayapura. Tapi ketika ia berkunjung melihat dan merasakan getirnya perjuangan kaum perempuan di di berbagai kampung dan kota di Papua.
Seperti ketika ia tampil dalam seminar politik di Yasanto Merauke itu. Hana mengungkapkan bahwa untuk memperjuangkan kuota 30 persen kaum perempuan di perleman, maka perempuan harus menyiapkan diri untuk mendongkrak kapasitasnya. “Saya tidak tekankan soal 30 persen perempuan di parleman tapi, bagaimana perempuan bersikap untuk mendorong adanya perubahan kebijhakan yang berpihak pada perempuan dan kaum marginal,” kata Hana yang ditemui mingguan ini dalam wawancara eksklusif di ruang kerjanya, Kantor MRP di Korataja, Jayapura.
Sedangkan porsi 30 kaum perempuan di parlemen yang diamanatkan oleh undang-undang itu, bagi seorang Hana, porsi itu hanyalah wadah agar lebih banyak perempuan masuk menjadi anggota parlemen dan dapat memperjuangkan adanya perubahan kebijakan yang berpihak pada perempuan secara khusus dan kaum tertindas pada umumnya.
“Saya hanya mendorong agar kuota 30 di perleman itu harus diisi. Tapi ketika perempuan yang berkapasitas dan berhasil ke parleman (legislatif), baik di provinsi, Kabupaten atau kota, maka perempuan itu harus dapat mendorongnya adanya perubahan kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Inilah yang menjadi visi bersama,”.
Pernyataan Hana itu muncul lantaran saat ini, kebijakan pemerintah selalu mengabaikan perempuan. Bahkan adanya sikap pembiaran yang menyebabkan munculnya tindakan kekerasan negara terhadap perempuan. “Untuk itu, kaum perempuan harus didorong agar dapat mengisi kouta 30 persen di parlemen sehingga mereka dapat membawa perubahan dalam arti dapat mendorong berbagai kebijakan yang berpihak kepada perempuan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, legislasi dan lain-lain,”.
Bagi Hana, perubahan itu diperlukan karena ada sejumlah kebijakan yang cenderung menjadi peluang tindakan kekerasan terhadap perempuan. “Kekerasan itu bukan hanya fisik saja. Tapi adanya kekerasan psikis yang dilakukan negara terhadap perempuan seperti kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum perempuan,” ungkap perempuan yang kini menjadi hati, telinga dan mulut kaum tertindas di Papua.
Sebagai anggota sekaligus Wakil Ketua II MRP, Hana menyatakan, bahwa Kelompok Kerja Perempuan Papua (Pokja MRP) bekerja keras untuk mendorong agar tercapainya kuota 30 persen di parlemen.
“Saya berharap agar dengan banyaknya kaum perempuan di parlemen, maka kehadiran mereka bisa membawa perubahan kebijakan bagi perempuan., khusunya perempuan asli Papua,” ujar istri dari Merthen Sarwom itu.
Menurut perempuan yang baru saja merayakan HUTnya ke 42 pada Sabtu, 7 Juni 2008 itu, bahwa kehadiran perempuan yang ada di parlemen itu harus dapat mendongkrak kehidupan kaumnya yang ada tinggal di kampung-kampung, di lobang-lobang batu, di pohon-pohon dan juga yang ada di kota-kota di Papua.
“Saya bermimpi, kaum perempuan yang masuk ke parlemen itu bisa menolong kaumnya. Sekarang ini kita sedikit. Tapi kalau kuota 30 persen itu terpenuhi, maka kita akan membawa suatu perubahan kebijakan yang berpihak pada perempuan, bukan hanya di provinsi, tapi juga di kabupaten, kota, di kampung-kampaung bahkan di dusun-dusun terpencil di Papua,” Ungkap perempuan yang kini menjadi hati, telinga dan mulut bagi kaum perempuan asli Papua.
Menurutnya, perjuangan kaum perempuan untuk perubahan kebijakan yang berpihak itu harus ditularkan kepada kaum lelaki. “Kasmi harus tularkan kepada kaum lekaki supaya mereka juga ikut bekerja untuk membawa perubahan bagi perempuan. Jadi kita mendorong agar laki-laki dapat bekerja sama dengan perempuan untuk membawa perubahan kebijakan yang berpihak pada perempuan,”.
Saat ini, kaum perempuan hanya berjuang sendiri. Untuk itu, visi kaum perempuan harus ditularkan ke kaum lelaki sehingga perempuan dan laki-laki dapat duduk dan berjuang setara untuk memperjuangkan perubahan kebijakan yang berpihak kepada perempuan secara khusus dan kaum marginal, secara umum.
Begitulah garis besar dari meteri yang disampaikan Hana di Merauke. Tapi kehadiran Hana di sana itu bukan hanya sekedar untuk seminar tapi ia juga terpanggil untuk melihat, berbicara dan mencoba merasakan penderitaan para pengindap HIV/AIDS yang kini menjadi asuhan Yayasanto Merauke itu.
Kepada Hana, para pengidap hanya meminta agar rakyat Papua jangan mengucilkan mereka lantaran virus yang kini belum ada obatnya itu. Tapi dengan iman yang teguh, perempuan Sentani ini berkata: “Bagi manusia, HIV/AIDS itu tidak ada obatnya. Tapi bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil. Untuk itu, marilah kita serahkan diri kita untuk kemuliaan bagi Tuhan. Amin.”
*** Krist Ansaka, Yosias Wambrauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...