Januari 13, 2009

BAHAYA BAWAH SADAR KOLEKTIF

oleh Putu Wijaya

Bagaikan pisau yang bermata dua, semua perangkat kehidupan memiliki dua sisi bertentangan. Demikian juga apa yang termaktub dalam “bawah sadar kolektif”. Kegunaannya sekaligus juga adalah bahayanya. Bahayasanya bisa dibalik menjadi kegunaan. Konsep rwa bhineda dalam kehidupan orang Bali, ying & yang di masyarakat Cina dan hitam-putih dalam masyarakat internasional merupakah penanda fenomena tersebut.
Pertanyaannya sekarang: apakah bawah sadar kolektif yang kita bicarakan ini, pada prakteknya di dalam kehidupan kita selama ini, adalah kekuatan atau kelemahan?
Memang kita bisa mementahkan pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa secara teoritis kelemahan tidak pernah menjadi kelemahan lagi, karena kita dapat membalikkannya menjadi kekuatan. Dan sebaliknya kekuatan kontan menjadi kelemahan kalau kita tak berhasil mengurusnya dengan telaten. Tetapi apa senyatanya yang sudah teralami dalam kehidupan masing-masing pribadi di dalam masyarakat?
Kita inhgin mengusut bukan potensi kesadaran kolektif tetapi hasilnya dalam kenyataanya. Dengan kata lain, apakah kesadaran kolektif memberikan perimbangan/harmoni pada kehidupan atau sebaliknya sudah menyusahkan/menodai kehidupan. Apakah kesadaran kolektif adalah aksioma kehidupan atau kiat kehidupan yang diciptakan manusia untuk membahagiakan kehidupannya dalam masyarakat. Apakah kesadaran kolektif itu tergantung bagaimana manusia menerapkannya; siapa yang menerapkannya; di mana menerapkannya? Atau kesadaran kolektif adalah citra universal yang akan memberikan out pun yang sama terhadap siapa pun, di mana pun dan dalam situasi jenis apa jua.
Pada pertemuan kedua dengan para pesertan sessi pembelajaran filsafat ini, muncul pernyataan dari seorang peserta yang memetakan dirinya sebagai anak muda. Sebagai anak muda, dia metasa bahwa bawah sadar kolektif telah menjegal segala aspirasinya sebagai individu. Ia bahkan sempat menunjuk pada kenyataan sejarah bahwa pembaruan, pencapaian-pencapaian dalam peradaban selalu dilakukan oleh individu, bukan oleh masyarakat. Ia mencontohkan misalnya Nabi Muhammad, yang telah memberikan pencerah kepada zaman dan berkelanjutan sampai sekarang lewat eksistensinya sebagai individu.
Sebagai kesimpulannya dia merasakan bahwa bawah sadar kolektif lebih memberikan dampak yang buruk dalam kehidupan. Karena individu, dalam hal ini dirinya sendiri sudah terjegal berkali-kali. Ia memberi contoh konkrit dirinya yang sampai harus pindah pekerjaan kalau tak salah 5 kali, karena adanya dominasi bawah sadar kolektif. Buat dia bawah sadar kolektif itu nyata dan dalam kenyataannya telah mempersulit kehidupan. Walhasil dia menginginkan perubahan kalau tidak bisa dikatakan pembebasan manusia individu dari belitan bawah sadar kolektif.
Pertanyaan yang kemudian muncul oleh pernyataan tersebut adalah, benarkah kerugian yang nampak terjadi itu, sudah melalui perhitungan yang obyektif. Artinya sudah ditakar secara adil dari berbagai sudut. Dari individu bersangkutan, kelompok yang mendepaknya dan mereka yang tidak terlibat secara emosional dalam peristiwa itu? Silverster Stallon ketika baru memulai ditolak berkali-kali ketika membawa naskahnya pertama, sampai kemudian ia menemukan kelompok yang menerimanya, sehingga filmnya yang pertama dianugerahi oscar sebagai film yang terbaik. Seandainya ia membuatnya tanpa banyak halangan, ada kemungkinan hasilnya berbeda.
Socrates dihukum mati karena pemikirannya yang menyalahi pemikiran orang banyak di masa itu. Ia menolak untuk minta ampun dan lebih suka minum racun daripada harus berkhianat pada pemikirannya. Tetapi momentum itu menjadi penanda sejarah tentang perjuangan kebenaran dari seorang individu yang tak digentarkan oleh kematian. Peristiwa yang pasti memberi inspirasi bagi para pejuang kebenaran di masa kemudian. Peristiwa itu juga melahirkan Apologi Plato yang menjadi teks klasik di dalam filsafat.
Bencana, kegagalan, sensor, ketertindasan dan sebagainya tak selamanya hanya sebuah pengrusakan, namun sebuah lompatan yang tak terdeteksi oleh akal, untuk membawa kebenaran itu bukan pada keterpurukan tetapi pada kemenangan. Tergantung dari bagaiaman, siapa dan di mana meletakkan pandang. Sebuah akrobatik berpikir dapat membalik seketika skors sehingga kemenangan dan kegagalan menjadi sangat tipis bedanya. Bahkan mungkin tak ada bedanya sama sekali, tergantung bagaimana dan siapa yang menjelaskannya.
Kembali kepada peserta yang mengaku dirinya mewakili aspirasi muda itu. Bila seorang sampai 5 kali dipecat dari pekerjaannya, benarkah itu karena kehebatannya tak mampu diikuti oleh kelompok yang dimasukinya. Atau kelompok mendapat bukti bahwa yang bersangkutan lebih banyak merugikan kalau dibiarkan hidup di dalam kelompok karena hanya menjadi penghambat. Individualisme adalah sesuatu yang baru bagi kita. Sering gambarannya tertangkap salah oleh pemahaman kita. Seakan-akan individualitas itu benar-benar bebas dari kolektivitas. Tidak ada hubungan sama sekali. Sehingga setiap ada kaitannya dengan kolektivitas akan terasa indiviadualisme mengalami kegagalan.
Masyaralat Barat yang dikenal rasional dan cenderung individualistis, bukan sama sekali tak mengenal nilai-nilai yang kolektif. Justru kolektivitas sangat dijaga, karena tidak terkacaukan oleh individualitas. Di dalam ruang publik, misalnya tidak akan dibenarkan adanya hal-hal yang sangat privat merajalela. Sebagai contoh output dari hal itu kita lihat bagaimana ketatnya masyarakat Barat membatasi film untuk dewasa dan untuk anak-anak. Sementara kita di Timur batasan itu mengabur, lembek bahkan tak punya gigi sama sekali, karena kegandrungan kita kepada individualitas sebagai kebebasan yang yang tak terbatas, sudah membuat i9ndividu dapat berbuat apa saja kalau ia memiliki kekuatan.
Besar kemungkinan bahwa individualitas yang terpasung, cidera atau invalid dalam masyarakat yanbg tebal kesadaran kelektifnya, karena ketebalan kesadaran tersebut melewati ambang batas. Dalam keadaan seperti itu memang individu menjadi bukan saja terganggu tetapi juga terkorbankan, sebagaimana yang dialami oleh beberapa individu di Indonesia. Seperti yang dialami oleh Muhtar Lubis misalnya di mamsa Orde Lama, Rendra di masa Orde Baru – sekedar menyebut beberapa contoh. Kedua-duanya adalah pribadi besar dengan potensi besar. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada setiap orang.
Begitulah kita selanjutnya sampai pada pertanyaan kedua. Apakah gangguan terhadap kebebasan individu karena adanya bawah sadar kolektif adalah sebuah gejala umum, yang berlaku pada setiap orang? Tak mungkinkah itu hanya menimpa jenius-jenius tertentu saja? Apakah setiap orang yang memperoleh kebebasan tak terbatas untuk mengembangkan individualitasnya akan ada jaminan menjadi seorang pembaru, penemu atau pendobrak. Tak usah Nabi Mumammad, ambil contoh seperti Chairil Anwar saja yang kita kenal dengan proklamasi individualitasnya dalam sajak AKU (Aku ini bintang jalang …… dan seterusnya). Berapa orang yang mampu menjadi Chairil Anwar di Indonesia. Ternyata hanya satu. Belum lagi Chairil Anwar itu mencuat individualitasnya, bukan karena ia memang bebas, tapi justru karena berusaha untuk berontak dari ketidakbebasan. Dalam kasus Chairil, kita pelajari bahwa justru ketidakbebasan membuat orang menjadi bebas. Kalau tidak ada ketidakbebasan, Chairil tak akan mungkin menjadikan dirinya “binatang jalang”.
Dalam masa Orde Baru, selama 30 tahun banyak orang merasa terpasung oleh berbagai keterbatasan. Sensor menjadi sangat angker. Para kreator, khususnya seniman berteriak-teriak karena merasa kebebasannya terpasung. Mereka menganggap bahwa kolektivitas yang dikomandokan oleh rezim yang berkuasa sudah melumpuhkan individu dan karenanya itulah alasannya mengapa masa itu menjadi masa yang mandul. Tetapi apa yang terjadi setelah reformasi. Ketika sensor seakan-akan sudah habis giginya dan orang boleh berbuat apa saja. Ternyata tak terjadi ledakan penciptaan. Individu bahkan jauh lebih produktif dalam masa berada di dalam tekanan, daripada ketika sesudah apa saja bisa diekspresikan.
Teater-teater bawah tanah yang penuh dengan pembrontakan, puisi-puisi yang menentang kezaliman justru amat subur dalam keadaan tertindas. Seekor kucing yang kepepet dapat menjadi sangat buas ketika sudah terjepit. Maling yang nyaris tertangkap bisa meloncat ke atas tembok, sesuatu yangn tidak mungkin dilakukannya dalam keadaan yang normal. Bekukan “bawah sadar kolektrif” pada beberapa individu yang memang berkualitas, justru menjadi stimulasi yang bersangkutan untuk meloncat lebih tinggi. Dalam keadaan yang sangat tertindas oleh apa yang disebutan stabilatas politik, keamanan , SARA – sesuatu yang notabene merepresentasikan secara tidak langusng bawah sadar kolektif – para seniman yang paling bebas di negeri ini seperti Rendra, Sutardji, Goenawan, Iwab Fals dan sebagainya, meskipun tidak leluasa berekspresi tetapi tetap produktif dan menghasilkan karya-karya yang bagus.
Membeberkan permasalahan bawah sadar kolektif seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bawah sadar kolektif tak pernah menghalangi eksistensi seorang individu yang memang potensial dan berkualitas. Memang sangat memberatkan bagi individu yang pas-pasan, apalagi yang sebenarnya tak punya kapasitas untuk mentgekspresikan sesuatu secara individu. Memang jadi terasa tidak adil, karena hidup hanya menjaga, mendukung dan memenangkan mereka yang potensial. Tetapi pada saat yang sama kita juga dapat memnposisikan “bawah sadar kolektif” sebagai seleksi dari kehidupan. Bayangkan bila setiap individu dibebaskanb tanpa kendali mengembangkan individunya secara tak terbatas, mereka justru akan menjadi penghambat bagi para individu yang memiliki potensi besar untuk mengangkat kualitas kehidupan.
Saya akhiri tulisan ini kembali dengan sebuah contoh yang saya alami langsung. Menyangkut kematian ibu saya pada tahun 2002. Pada tanggl 24 Desember, ketika baru saja puloang dari Kyoto setelah ti9nggal di situ selama 1 tahun, saya mendapat telepon tengah malam, ibu meninggal di rumah sakit. Besoknya saya pulang ke Bali dengan susah payah lewat Bandung, karena saat itu transportasi sangat sulit. Sore hari saya tiba di rumah. Apa yang terjadi. Saya lihat jenazah ibu saya berbaring dalam kamar sendirian, hanya ditemani oleh kedua kakak saya. Keluarga besar saya satu pun tidak kelihatan.
Kakak saya yang laki-laki marah sekali. Dia menganggap keluarga sudah melecehkan kami. Dia ingin protes. Pada hari itu memang sedang ada upacara adat di salah seorang keluarga. Dalam pemahaman adat kami, apabila tiba-tiba ada keluarga yang meninggal, kami yang masih dalam hubungan keluarga berada dalam status tidak boleh melakukan upacara. Secara otomatis upacara batal. Tetapi orang Bali, tidak hanya mengenal doktrin pembatalan mutlak itu. Orang Bali juga mengenal apa yang disebut desa-kala-patra. Upacara itu tak bisa dibatalkan karena kerugiannya sangat besar. Lalu diadainkanlah bahwa ibu saya belum meninggal. Dia dianggap masih tidur di rumah. Nanti setelah upacara selesai, semua orang baru akan menerima kematian ibu saya. Dan itu terjadi. Tengah malam, setelah upacara itu selesai, satu per satu keluarga datang. Besoknya semua datang. Dan apa yang sudah terjadi tidak lagi dibicarakan.
Dalam contoh itu yang bisa saya pelajari adalah bahwa bawah sadar kolektif dengan sendirinya teredam oleh bawah sadar kolektif yang lain, karena peran seorang individu di dalam memberikan interpretasi. Jadi sangat tergantung dari individu masing-masing apakah bawah sadar kolektif itu akan menjadi perangkat hidup yang produktif dan positip atau sebaliknya.
Pada kesempatan yang lain, saya memerankan peran invidu yang dimaksud. Sebelum kematian ibu, 21 tahun sebelumnya, ayah saya terlebih dahulu meninggal. Di dalam sureat wasiat yang ditulisnya dengan tangan, ia menjelaskan secara rinci bagaimana harusnya kami menyelenggarakan upacara kematiannya. Ia memberi petun juk tanah mana yang harus dijual untuk membiayai upacara itru. Lebih nyelimet dari itu, ia juga menentukan rute perjalanan wadah (menara pembawa jenazah ke kuburan). Ia tidak mau jalan yang singkat, tapi berputar sehingga seperti mengelilingi kota Tabanan. Saya mengerti keinginannya itu, sebab ia adalah seorang pensiunan punggawa, ia merasa pernah ikut membina kota dalam masa jabatannya dulu.
Namun amanah ayah saya itu terlalu sulit untuk dilakukan. Upacaranya akan menjadi sangat nyelimet tidak praktis dan mahal. Sementara keadaan sudah sangat berbeda. Kami sama sekali tak punya uang. Kakak saya bersikeras ingin menjalankan amanah itu, sedangkan kakak tiri saya menunjukkan kenyataan kami yangn tanpa uang. Nyaris terjadi bentrokan. Lalu saya mengambil solusi. Saya ajak seluruh keluarga duduk bersama di depan jenazah. Kami berdoa lalu berbicara dari hati kiamim kepada almarhum, bahwa kami mengerti apa yang beliau kehendaki. Namun karena semua itu sangat sulit dilakukan, kami meminta maaf untuk tidak melaksanakannya. Kami percaya, beliau yang luas pandangannya akan mengerti kesuliatn kami dan memaafkan ketidakmampuan kami. Seteloah itu kami berdoa bersama-sama dan sembahyang.
Upacara itu kemudian kami selenggarakan dengan sangat sederhana tetapi tidak kurang khidmatnya. Bahwa salah seorang saudara ayah yang ikut menyelenggarakian upacara minta maaf itu bahkan berkata, kalau giliran ia nanti yang mengalami peristiwa itu, henbdaknya hal yang sama diberlakukan. Keinginan boleh macam-macam, namun desa-kala-patra merupakan sesuatu yang kemudian mnentukan langkah konkritnya.
Uraian di atas sama sekali tak bermaksud untuk menunjukkan bahwa ada tradisi di Bali yang membuat bawah sadar kolektif dapat dijinakkan oleh individu. Semua itu hanya untuk memberikan contoh bahwa bawah sadar kolektif bukanlah suatu institusio yang mati. Dia berkembang, berubah, mengembang dan mengempis tergantung dari manusia yang menjalankannya. Tak harus melahirkan doktrin, kalau manusianya tak ingin mengikat dirinya dengan doktrin. Bawah sadar kolektif masih tetap institusi yang terbuka dan dapat dikembangkan, dikontrol, diarahkan bahkan juga di ekploatasi sebagai sumber enerji dalam kehidupan. Tetapi untuk itu memang diperlukan tindakan-tindakan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...