Januari 13, 2009

1. DASAR-DASAR RADIKALISASI KAUM PEREMPUAN

Perjuangan awal kaum perempuan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 telah berhasil membangun gerakan pembebasan perempuan

Gelombang pertama Feminisme
Pertambahan jumlah perempuan yang terintegrasi dalam pasar tenaga kerja seiring dengan terbangunnya konsolidasi antara kapitalisme industri di Eropa dan Amerika Utara. Pemisahan status sosial dan legal kaum perempuan adalah warisan feodalisme, dan status ekonomi yang baru sebagai pekerja upahan memberikan kontradiksi yang menyolok. Kapitalisme juga membuka ruang bagi perempuan dari kelas penguasa untuk memiliki kemandirian ekonomi. Kontradiksi ini telah membangkitkan gelombang pertama perjuangan kaum perempuan yang menuntut persamaan legal dengan laki-laki. Fokus utama dalam persamaan sipil adalah tuntutan mengenai hak pilih
Diantara pejuang hak-hak perempuan terdapat arus politik yang berbeda. Banyak diantara para pejuang tersebut yang percaya bahwa mereka harus menunjukkan diri sebagai penjaga yang setia dari sistem kapitalis agar dapat memenangkan suara. Sebagian lagi mendukung imperialisme dalam perang dunia pertama dan karenanya sering bersebrangan dengan hak pilih laki-laki dan perempuan miskin, imigran dan kulit berwarna
Tapi di sejumlah negara terdapat pula arus kuat dari perempuan sosialis yang melihat bahwa perjuangan untuk hak-hak perempuan adalah bagian dari perjuangan kelas pekerja untuk menghapuskan pemilihan suara berdasarkan kualifikasi kekayaan dan menggalang basis yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dari kelas pekerja. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman, mereka memainkan peran yang menentukan dalam perjuangan untuk hak pilih. Mereka juga mengajukan tuntutan untuk upah yang sama dan pelayanan kontrasepsi
Di Australia, hak perempuan untuk memilih lebih banyak dikaitkan dengan manuver dari partai-partai borjuis di level negara daripada mobilisasi perempuan dalam skala besar. Pada tahun 1890-an kaum perempuan mendapat suara di Australia bagian selatan dan barat. Tahun 1902 persemakmuran mengadopsi hak universal ketika negosiasi untuk mendirikan federasi sedang berlangsung. Negara-negara lain tertinggal di belakang, baru pada tahun 1908 perempuan di seluruh negara mendapatkan suara
Organisasi yang memimpin pembelaan terhadap hak suara perempuan adalah Liga Perempuan Kristen Anti Minuman Keras yang aktifitas pokoknya adalah merubah moral kelas pekerja dan membatasi jam minum. Kelompok-kelompok yang spesifik pada hak pilih hanya terdapat di New South Wales dan Victoria. Kelompok-kelompok ini terpisah secara garis politik. Divisi-divisi dalam politik-partai-partai konservatif, partai buruh, kelompok kecil sosialis didalam dan diluar ALP dan pekerja industri sedunia (IWW)-terus berlanjut seiring dengan mobilisasi perempuan dalam isu PD I
Bagi kelas pekerja, hak pilih perempuan yang mengikuti hak pilih laki-laki, merupakan tujuan obyektif yang harus diperhitungkan. Pada akhirnya merefleksikan dan memajukan perubahan status kaum perempuan. Untuk pertamakalinya dalam masyarakat kelas, perempuan diperhitungkan keberadaannya untuk berpartisipasi dalam masalah umum, dengan hak untuk mengajukan tuntutan politik, bukan sekedar masalah rumahtangga
Kaum perempuan di negara-negara kapitalis termaju memenangkan perjuangan dalam derajat yang berbeda dalam hak-hak sipil yang penting-hak untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi, hak untuk bergabung dalam perdagangan dan profesi, hak untuk mendapat dan mengatur upah mereka sendiri (yang sebelumnya menjadi hak suami atau ayah), hak untuk memiliki kekayaan, hak untuk berpartisipasi dalam organisasi politik dan hak untuk bekerja di kantor publik. Sungguhpun masyarakat kelas-lah yang membangun pondasi yang mendasari status subordinat perempuan dan peran khusus dalam keluarga, bukan penyangkalan atas persamaan legal secara hukum yang memberi kebebasan terbesar bagi perempuan untuk beraksi melainkan hak-hak demokratis dan membantu generasi berikutnya untuk melihat bahwa manifestasi atas penindasan perempuan tertutup rapat

Periode Perang Dunia II
Perubahan sosial-ekonomi selama tahun-tahun berlangsungnya PD II, yang mengakibatkan kontradiksi mendalam pada ekonomi kapitalis, pada status perempuan dan sistem keluarga telah mendasari bangkitnya gelombang feminisme ke II. Kerja di setiap negara meragamkan derajat untuk faktor yang sama yang masih tersisa di dunia kapitalis. Tidak mengherankan jika di negara-negara kapitalis termaju-lah awal bangkitnya gerakan perempuan-seperti di Amerika, Canada, Australia dan Inggris-dimana perubahan dan kontradiksi yang perkembangannya lebih pesat. Faktor-faktor yang mendasari:
a.Kemajuan dalam teknologi pengendalian kelahiran
Kemajuan dalam bidang kesehatan dan teknologi dalam usaha pengendalian kelahiran dan aborsi telah memberi kesempatan besar bagi massa perempuan untuk mengontrol fungsi reproduksi mereka. Kemampuan untuk mengontrol tubuh sendiri merupakan pra-kondisi bagi pembebasan perempuan
Ketika teknik-teknik kesehatan tersedia lebih luas, kaum borjuis dengan menggunakan hukum-hukum reaksioner, adat, kefanatikan agama dan ideologi seksis, menghalangi perempuan untuk mengontrol fungsi reproduksi mereka. Membangun berbagai rintangan, keuangan, hukum, informasi, psikologi dan moral untuk mencegah kaum perempuan menuntut hak-haknya untuk menentukan akan melahirkan anak atau tidak dan kapan.
Kapitalis membatasi penelitian dengan pertimbangan keuntungan dan pandangan seksis yang mengabaikan kehidupan perempuan yang berarti tetap membiarkan perempuan menghadapi bahaya dengan metode pengendalian kelahiran
Kontradiksi antara apa yang mungkin dan apa yang ada mempengaruhi kehidupan seluruh kaum perempuan. Hal inilah yang membangkitkan perjuangan menuntut hak aborsi, yang menjadi peran kunci dalam membangun gerakan pembebasan perempuan internasional
1.Partisipasi pasar tenaga kerja
Kondisi boom ekonomi berkepanjangan akibat ekspansi perang secara signifikan telah menambah jumlah tenaga kerja perempuan
Sebagai contoh, pada tahun 1950 di Australia 19% dari total jumlah perempuan yang berusia antara 15-64 tahun adalah pekerja. Pada tahun 1975 jumlahnya meningkat 2 kali lipat. Antara tahun 1960-1975, hampir 2/3 dari lapangan kerja yang ada diisi oleh perempuan. Di tahun 1901 jumlah perempuan yang bekerja sebesar 20,5% dari total angkatan kerja, 22,8% di tahun 1954 dan 41,8% di tahun 1991. Hal yang sama pentingnya, jumlah perempuan pekerja yang sudah menikah bertambah secara dramatis, dari 12,5 di tahun 1933 dan hingga kini lebih dari separo jumlah ibu yang memiliki anak dibawah usia 14 tahun adalah pekerja

Terdapat perubahan substansial dalam derajat diskriminasi upah terhadap perempuan seiring dengan masuknya perempuan dalam angkatan kerja. Perbedaan jenis kelamin semakin melebar di beberapa negara. Di Australia hak untuk mendapatkan upah yang sama baru dimenangkan pada tahun 1960-an dan implementasi mengenai jam kerja baru antara tahun 1972 dan 1975. Tetapi upah yang sama hanya berlaku pada ‘nilai kerja yang sama’ dan diinterpretasikan baru sebatas pada pekerjaan tertentu, jadi tidak berarti bahwa saat ini upah perempuan sudah sama dengan laki-laki. Selama 16 tahun, upah perempuan rata-rata 33% lebih rendah dari laki-laki. Meskipun kaum perempuan menerima sekitar 5-6% lebih rendah untuk kerja yang seimbang
Ketika perbedaan gender masih menjadi faktor dalam menentukan upah, maka level upah yang tidak sama menjadi hal yang pokok karena pertambahan jumlah pekerja perempuan masih belum menyebar di semua katagori kerja. Hampir di semua negara perempuan merepresentasikan sekitar 0-90% kerja di perusahaan tekstil, sepatu, baju siap pakai, tembakau dan industri ringan lainnya-sektor-sektor dimana tingkat upah sangat rendah. Lebih dari 70% perempuan juga bekerja di sektor pelayanan, dengan jumlah terbesar terserap pada posisi yang menguntungkan: sekretaris, juru ketik, pekerja kesehatan, guru SD, operator
Pemisahan jenis kelamin perempuan tertinggi di dunia adalah di Australia dimana industri terbagi dalam 3 bidang: juru tulis, sales dan pelayanan. Pekerja perempuan dalam bidang ini tidak ekuivalen nilainya dengan kerja laki-laki dengan keahlian yang sama, industri dikuasai laki-laki dan estimasi pertumbuhan pekerja di masa depan akan mengikuti trend ini-pekerja dimasa depan adalah perempuan yang bekerja penuh di sektor pelayanan dalam industri
Pada periode ini di Australia telah terjadi pemisahan angkatan kerja lebih jauh. Kekurangan pekerja telah mendorong program imigrasi secara masif pada akhir tahun 1940-an. Industri dipenuhi dengan pertumbuhan pekerja imigran yang tidak dapat berbahasa Inggris. Ketidakmampuan dalam berbahasa Inggris, terutama pekerja perempuan, melemahkan persatuan di kalangan buruh, akibatnya organisasi buruh gagal dalam melawan diskriminasi serta memicu tingginya perbedaan upah terutama di bidang yang mempekerjakan buruh-buruh ini
Semakin kecil kesempatan bagi kaum perempuan untuk meningkatkan karir. Hingga akhir 1960-an perempuan yang sudah menikah hanya menduduki posisi dalam pelayanan politik. Kaum perempuan semakin tidak diperhitungkan dalam jabatan pada level menengah atau tertinggi dengan upah tinggi sejak negara dan pelayanan kesejahteraan publik hanya menempatkan perempuan pada posisi juru tulis dan promosi dilakukan dengan melihat pengalaman kerja. Faktor-faktor lain seperti praktek diskriminasi pengupahan dan tehnik interview untuk kepentingan promosi semakin memperburuk perbedaan upah
Terpisah dari pertumbuhan angkatan kerja, terdapat asumsi bahwa kaum perempuan secara total masih melakukan kerja-kerja domestik dengan status kerja upahan. Hal ini yang menyebabkan pertambahan signifikan kaum perempuan bekerja penuh-hal lainnya karena kesulitan mendapatkan kerja fulltime dan karena masih terbeban dengan kerja domestik karena minimnya fasilitas penitipan anak yang murah. Dan kerja fulltime membawa konsekuensi pada upah rendah, keamanan kurang terjamin, kondisi kerja yang kurang dan kurangnya persatuan
Sejak akhir 1970-an, semakin bertambah pengusaha yang memperkecil anggaran untuk buruh, kondisi erosi dan bertambahnya produktivitas. Hal ini menyebabkan turunnya jumlah kerja fulltime dan pertumbuhan yang masif dari kerja kasual dan paruh waktu. Hal ini turut mempengaruhi upah pekerja perempuan. Hampir 59,8% dari kaum laki-laki bekerja dan hampir 70% bekerja fulltime. Sementara 51,9% kaum perempuan bekerja paruh waktu, setidaknya terhitung sekitar 78% dari seluruh pekerja paruh waktu adalah perempuan
Proporsi pertumbuhan angkatan kerja perempuan memberi dampak pada perilaku teman laki-laki mereka yang dapat digunakan untuk menghancurkan stereotipe seksis. Hal ini sepenuhnya tepat ketika kaum perempuan mulai berjuang melawan dominasi tradisional laki-laki dalam industri dimana perempuan sering tidak diperhitungkan
Tetapi pekerja perempuan masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan seksis-dipromosikan, diorganisir dan dipertahankan oleh bos-bos mereka. Teman kerja mereka seringkali tidak bersikap berani dalam hal ini bahkan memperlihatkan sikap terbelakang, sebagai anti perempuan. Organisasi buruh justru tidak berusaha untuk menggunakan kekuatan organisasinya untuk menuntut kasus-kasus yang menimpa pekerja perempuan seperti cuti hamil, jaminan kesehatan, praktek diskriminasi kerja dan seksual harrasment dari para supervisor/atasan laki-laki yang menggunakan jabatan untuk menekan perempuan agar mau berhubungan sex
2.Level pendidikan
Bertambahnya tingkat pendidikan perempuan juga mempertinggi kontradiksi. Kaum perempuan semakin berpendidikan seiring dengan bertambahnya produktivitas kerja dan munculnya level budaya kelas pekerja. Secara kualitatif dalam skala besar kaum perempuan juga diterima di institusi pendidikan yang lebih tinggi daripada sebelumnya
Namun seperti yang diindikasikan dalam statistik pekerjaan, prosentase jumlah perempuan yang bekerja sesuai dengan tingkat pendidikan masih belum cukup. Di seluruh bidang kerja, baik industri maupun profesi tertentu, kaum perempuan dengan pendidikan tinggi biasanya dikalahkan oleh laki-laki dengan pendidikan lebih rendah. Lebih jauh lagi anak-anak perempuan didorong untuk mengikuti pendidikan/kursus-dengan tekanan halus-yang berkaitan dengan perempuan. Sebagai contoh, meskipun saat ini di universitas di Australia jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki namun mereka masih terkonsentrasi pada fakultas seni daripada pengetahuan, tehnik dan perdagangan
Semakin tinggi pendidikan yang diterima dan semakin perjuangan sosial mampu memenuhi tuntutan mereka, kaum perempuan merasa terbeban dengan tugas-tugas rumahtangga dan tersiksa dengan kehidupan rumahtangga. Dengan begitu, tingginya pendidikan yang diterima kaum peempuan membuat kontradiksi semakin dalam antara kemampuan yang ditunjukkan kaum perempuan dan status sosial ekonomi mereka
3.Perubahan keluarga
Fungsi keluarga dalam masyarakat kapitalis maju semakin mengecil. Semakin berkurang fungsinya sebagai unit produksi-baik pertanian maupun domestik (merajut, menjahit, memasak dan lain-lain). Keluarga inti perkotaan sudah jauh berbeda dari keluarga pertanian produktif dari abad sebelumnya. Pada saat yang sama, demi untuk mendapatkan profit, industri kapitalis berorientasi konsumsi dan perusahaan iklan memaksimalkan atomisasi dan duplikasi dari kerja-kerja domestik dengan menjual barang-barang rumahtangga seperti mesincuci, pengering, mesin cuci piring, penyedot debu dan lain-lain
Seiring dengan munculnya standar kehidupan, jumlah anak di tiap keluarga pun menurun secara tajam. Industri yang menyediakan bahan makanan siap saji pun semakin banyak tersedia. Dari survei yang dilakukan di negara-negara imperialis, tidak terpisah dari kemajuan tehnologi, menyatakan bahwa perempuan yang memiliki anak lebih dari satu dan bekerja penuh harus menghabiskan 80-100 jam per minggu-lebih panjang dari survey yang dilakukan pada tahun 1926 dan 1952. Dengan berkurangnya tugas-tugas domestik, karena penyusutan jumlah unit keluarga kaum perempuan semakin tidak membutuhkan bantuan dari nenek, tante atau saudara perempuannya
Segala perubahan ini telah mengurangi pemaksaan basis obyektif untuk meyakinkan perempuan agar kembali ke rumah. Sebelumnya sistem keluarga dipertahankan demi kepentingan kelas penguasa. Ideologi borjuis dan pengkondisian sosial tetap berlaku reaksioner dengan mengatakan bahwa jatidiri perempuan terpenuhi apabila perempuan mampu berperan sebagai istri-ibu dan penjaga rumah. Pertumbuhan jumlah perempuan semakin mengaburkan kontradiksi antara realita dan mitos
Kontradiksi yang berlaku secara umum juga merujuk pada ‘krisis keluarga’ yang terlihat dari tingginya angka perceraian, bertambahnya jumlah anak yang kabur dari rumah dan munculnya laporan mengenai kekerasan seksual terhadap anak-anak dan kekerasan rumahtangga
Keretakan dalam keluarga mulai terbuka seiring dengan bertambahnya kemandirian dan kepercayaan diri kaum perempuan. Perlawanan terhadap kekerasan seksual dan fisik dalam keluarga, tempat penampungan untuk perempuan, rumah untuk anak-anak muda dan krisis center semakin kuat walaupun masih jauh dari cukup untuk memenuhi standar pelayanan. Mulai ada penerapan hukum terhadap perkosaan dalam keluarga dan kekerasan rumahtangga
Sistem keluarga semakin ditinggalkan dengan semakin terbukanya penelitian terhadap tindakan-tindakan brutal terhadap perempuan dalam rumahtangga:
• Terdapatnya seri keluarga monogami, pasangan yang menikah kemudian cerai dan masing-masing menikah lagi. Anak-anak dari hasil tiap perkawinan terhubung dalam beberapa unit keluarga
• Terdapat pertambahan jumlah pasangan yang hidup bersama tanpa nikah dan mempunyai anak. Negara kapitalis mencoba mengintegrasikan kembali hubungan seperti dengan penyebutan legal seperti ‘hubungan de facto’ atau perkawinan de facto’
• Secara dramatis jumlah orangtua tunggal, kebanyakan perempuan dengan anak, telah membuat kelas penguasa ‘melakukan pembatasan dan pemotongan terhadap pelayanan sosial seperti penitipan anak agar dapat tetap menerapkan sistem keluarga dan perempuan tetap bekerja tanpa upah dengan menjaga anak-anaknya. Sebagai akibatnya jumlah perempuan yang hidup dalam kemiskinan meningkat tajam, sebuah fenomena yang dikenal sebagai ‘feminisasi’ kemiskinan. Sekitar 80% dari orang dewasa yang hidup dibawah garis kemiskinan adalah perempuan
Hak-hak demokratik yang lebih besar dan kesempatan sosial yang lebih luas ternyata belum ‘memuaskan’ kaum perempuan, atau menjadikan mereka pasif dalam menerima ketergantungan ekonomi dan infeminitas status sosial. Sebaliknya setiap usaha untuk mengekspos tuntutan persamaan, coba dihalangi secara halus oleh masyarakat kapitalis
Sebutan perekembangan gerakan pembebasan perempuan diberikan hanya untuk menekan dalamnya penindasan terhadap perempuan. Meskipun berbagai kemajuan di bidang pendidikan dan berbagai kesempatan terus berlanjut hingga bentuk aksi. Tetapi penindasan dan penghisapan yang paling besar sekalipun tidak menjadi yang pertama dikeluarkan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka.
1.Pembebasan perempuan dan gerakan sosial lainnya
Karakter spesifik atas penindasan perempuan dan perubahan obyektif telah menjadikan radikalisasi feminis dinamis dan mandiri, hal ini tidak terpisah dari maraknya perjuangan yang dilakukan oleh gerakan tertindas lainnya. Bukan berarti secara langsung tergantung pada kekuatan sosial, subordinat terhadap kepemimpinan dan mengikuti inisiatif yang lainnya. Pada saat yang bersamaan, gerakan pembebasan perempuan saling terkait dengan kebangkitan perjuangan sosial lainnya, yang kemudian mempengaruhi kesadaran seluruh kelas pekerja
Dari semula, kemunculan perjuangan perempuan terpengaruh oleh radikalisasi kaum muda di akhir 1960-an dan awal 1970-an dan perubahan nilai-nilai borjuis yang menyertainya. Kaum muda-laki-laki dan perempuan-mulai menggugat agama, membuang patriotisme, menolak hirarkhi kekuasaan keluarga, sekolah, pabrik, tentara dan membuang keharusan untuk menjadi tenaga kerja seumur hidup

Revolusi sexual
Kaum muda radikal mulai memberontak terhadap penindasan seksual dan menolak moral tradisional yang memperlakukan sex dengan reproduksi. Revolusi sexual secara masif telah mengubah bentuk hubungan sexual dan identitas sexual. Bagi kaum perempuan hal ini juga untuk mengubah pandangan bahwa perempuan bersikap pasif, sentimental, takut dan malu-malu dalam hal sex. Kaum muda, termasuk perempuan mulai menyadari penderitaan sexual mereka dan mencoba mencari bentuk hubungan pribadi
Kesadaran kaum perempuan atas fungsi reproduksi dan fisik mereka dan kebutuhan akan kesehatan telah mendorong perjuangan perempuan untuk mengontrol pilihan reproduksi seperti halnya tuntutan untuk klinik aborsi dan kesehatan khusus untuk perempuan. Pelayanan konseling dan dukungan terhadap perempuan bermunculan untuk menyediakan informasi dan pelayanan alternatif terhadap obat-obatan yang didapat dari hasil penelitian yang menguatkan peran tradisional perempuan dalam keluarga
Revolusi sexual telah membuka iklim perdebatan dan bahan penelitian mengenai sexualitas perempuan dan sexualitas secara umum. Hal ini juga membawa perpecahan dalam gerakan perempuan karena ada sebagian feminis yang menjadikan seksualitas sebagai isu utama. Tetapi revolusi sexual juga memunculkan gugatan secara masif atas pemisahan gender maskulin dan feminin dan penderitaan manusia akibat adanya orang-orang yang memaksakan norma-norma idealis dari masyarakat kelas

Radikalisasi Feminis Lesbian
Kemunculan gerakan feminis lesbian berhubungan dengan radikalisasi perempuan walaupun dengan aspek yang berbeda kaum lesbian terorganisir sebagai sebuah komponen dari meningkatnya gerakan menuntut hak-hak kaum gay dan lesbian yang muncul sebagai konsekuensi dari revolusi sexual. Secara umum ada kebutuhan bagi gerakan lesbian untuk mengajukan tuntutan yang lebih spesifik agar kaum lesbian juga diakui dalam gerakan
Meskipun tidak ada undang-undang yang melawan seksualitas lesbian, namun terdapat pelanggaran spesifik terhadap hak-hak demokratik mereka. Tidak ada hukum yang mensahkan hubungan antara 2 perempuan. Terdapat banyak kasus dimana kaum perempuan tidak dapat membesuk partner yang sedang sakit atau menemuinya karena dihalang-halangi oleh keluarga partnernya, bahkan ketika partnernya meninggal ia tidak boleh mewarisi rumah atau barang-barang pribadi milik partnernya seperti foto. Pengadilan dan bahkan keluarga menganggap kaum lesbian tidak ‘memenuhi syarat’ untuk mengasuh anak yang mereka miliki
Tetapi diskriminasi terhadap kaum lesbian bukan hanya karena seksualitas mereka namun juga mengalami penindasan sebagai perempuan. Banyak yang menjadi radikal pertama karena kesadaran sebagai perempuan dan diskriminasi karena orientasi sexual mereka hanyalah salah satu elemen dari pembatasan sosial dan ekonomi yang dihadapi kaum perempuan saat mencoba menentukan kehidupan mereka. Dengan begitu dari sejak awal banyak kaum lesbian yang menjadi garis depan dari gerakan feminis. Mereka telah menjadi bagian dari arus politik dalam gerakan pembebasan perempuan, dari separatis lesbian menjadi Marxist revolusioner, dan membuat gerakan memiliki kesadaran akan penindasan yang lebih spesifik terhadap kaum lesbian
Kaum lesbian sering menjadi sasaran utama kaum reaksioner karena tuntutan gerakan lesbian mengenai hak perempuan untuk hidup tanpa laki-laki. Berbagai serangan, baik melalui propaganda hingga kekerasan fisik yang menimpa kaum lesbian juga ditujukan untuk menyerang gerakan perempuan secara keseluruhan

Perjuangan anti kolonial dan anti rasis
Salah satu faktor yang memberi kontribusi pada radikalisasi kaum muda internasional adalah peran dari perjuangan pembebasan oleh kelompok-kelompok rasial atau bangsa yang tertindas di negara kolonial dan negara-negara kapitalis maju. Perjuangan ini memberi dampak kuat terhadap munculnya kesadaran akan penindasan terhadap perempuan. Sebagai contoh, perjuangan kulit hitam untuk menuntut hak-hak sipil di Amerika serikat memiliki peran penting dalam membawa kesadaran luas dan penolakan terhadap stereotype rasis. Kesadaran yang sama dibangun oleh suku Aborigin di Australia. Mereka menyamakan antara sikap rasis dan stereotype seksis terhadap perempuan sebagai inferior, emosional, ketergantungan, ciptaan yang tolol tetapi bahagia yang meningkatkan sensitivitas dan penolakan beberapa karikatur
Kaum perempuan dari bangsa tertindas dan kelompok rasis mulai menonjol seiring dengan perkembangan gerakan feminis di negara-negara kapitalis maju. Mereka adalah kaum perempuan yang mengalami penindasan ganda bahkan triple, sebagai bagian dari bangsa yang tertindas atau kelompok rasis, sebagai perempuan dan yang terbesar sebagai buruh yang super terhisap
Penindasan yang serupa juga dihadapi oleh perempuan imigran. Di Australia para imigran perempuan mengalami exploitasi dengan upah terendah dengan kondisi kerja yang buruk, tidak tergabung dalam serikat buruh karena ketidakmampuannya dalam berbahasa Inggris dan kurangnya perhatian dari serikat buruh atas kondisi mereka serta penindasan rasis dan seksis
Terdapat beberapa alasan mengapa perempuan imigran dan perempuan dari kelompok rasis terlambat memiliki kesadaran penindasan spesifik terhadap mereka sebagai perempuan:
•Kebanyakan penindasan rasis menutupi keberadaan penindasan terhadap perempuan. Banyak aktifis gerakan radikal anti-rasis yang menolak tuntutan tentang perempuan dan menganggap hal tersebut dapat memecah perjuangan terhadap rasisme
•Gerakan perempuan yang terorganisir sering terjebak untuk menyuarakan penindasan dan exploitasi kaum perempuan dan memahami kesulitan khusus yang harus dihadapi
•Pengaruh keluarga sangat kuat diantara perempuan imigran non-Inggris dan perempuan dari kelompok rasis karena keluarga menjadi benteng dari serangan rasisme dan penghancuran kebudayaan
Bagaimanapun juga, pengalaman telah menunjukkan bahwa sekali kaum perempuan mengalami radikalisasi, karakter mereka akan meledak dan menempatkan mereka sebagai pemimpin dari berbagai perjuangan sosial dan politik termasuk dalam bidang pekerjaan, di serikat buruh, di kampus dan di komunitas mereka, seiring dengan kesadaran bahwa perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan tidak akan melemahkan bahkan justru memperkuat perjuangan melawan penindasan etnis maupun rasis

Krisis Agama
Krisis dalam agama tradisional, terutama gereja Khatolik juga turut memberi kontribusi terhadap bangkitnya gerakan perempuan. Melemahnya peran negara (yang diikuti pertumbuhan akultisme dan mistik) merupakan manifestasi dari krisis ideologi dalam masyarakat borjuis. Agama sebagai salahsatu penopang ideologi borjuis turut memperkuat pandangan tentang perempuan sebagai mahluk inferior, atau kalau tidak sebagai reinkarnasi dari setan dan binatang
Agama Kristen dan Judaisme yang mewakili budaya negara-negara kapitalis maju selalu membenarkan ketidaksamaan posisi perempuan dan menolak hak perempuan untuk memisahkan antara seksualitas dan reproduksi. Namun sejak melemahnya peran agama, organisasi fundamental Kristen mulai tumbuh di negara-negara imperialis yang juga menyebar ke negara-negara dunia ketiga sebagai salahsatu usaha imperialis dalam mendukung kekuatan sayap kanan. Tujuan dari usaha ini adalah untuk meng-counter gerakan perempuan dan lebih luas lagi perjuangan anti imperialis di dunia ketiga yang dimotori oleh seksi radikal dari gereja Khatolik melalui teologi pembebasan
Meningginya sentimen anti imperialis dan perjuangan di berbagai negara muslim berdampak kontradiksi terhadap situasi kaum perempuan. Karena dari negara-negara yang keterbelakangan ekonominya dipertahankan oleh dominasi imperialis, agama cukup punya pengaruh kuat diantara orang-orang miskin dan tertindas. Dalam rangka perjuangan melawan dominasi imperialis mereka mencoba mengekspresikan ideologi dengan term agama. Dalam perjuangan anti imperialis yang berhasil memobilisir massa perempuan dalam revolusi 1979 di Iran, secara terselubung terjadi perebutan agama yang memberi kesempatan bagi pemuka agama Islam memperkuat praktek reaksioner terhadap perilaku anti-perempuan

Gerakan anti perang
Gerakan perempuan tumbuh bersamaan dengan masa perang Vietnam sehingga turut meningkatkan peran perempuan dalam gerakan anti-perang dan anti-nuklir. The Greenham Common Women telah menjadi inspirasi bagi jutaan perempuan Inggris untuk berkeras melawan senjata nuklir. Jumlah kaum perempuan meningkat dalam gerakan anti-uranium di Australia. Dalam gerakan anti perang imperialis melawan Irak dapat disaksikan pertambahan komposisi dan kepemimpianan kaum perempuan dalam gerakan anti perang. Hal ini juga menunjukkan bertambahnya partisipasi imigran perempuan Arab yang menentang perang dan melawan rasa takut yang terkikis oleh perang

Gerakan mengalami tekanan
Kaum imperialis di berbagai belahan dunia mengalami kelelahan akibat perang yang berkepanjangan dan menghadapi problem-problem politik, ekonomi dan sosial. Sejak pertengahan 1970-an, telah mengintensifkan serangan terhadap hak-hak perempuan pada semua level. Namun hal ini tidak lantas melemahkan perjuangan kaum perempuan atau meminggirkan mereka saat kekuatan sosial lainnya maju ke garis depan. Bahkan kesadaran feminis makin meluas dan dapat diterima saling menjalin dengan perkembangan kesadaran sosial. Perjuangan teradikalisir dengan adanya pemotongan subsidi pelayanan kesejahteraan sosial, rumah sakit dan pendidikan dimana kaum perempuan meningkat dalam perjuangan menentang pemotongan tersebut
Tingginya kesadaran feminis juga memperkuat peran perempuan dalam melawan pengikisan hak-hak demokratik dan menambah daya juang kaum perempuan dalam menahan baik serangan ideologi, ekonomi maupun politik dari kelas penguasa. Perjuangan mereka telah menjadi motor penggerak bagi protes sosial dan radikalisasi politik dan partisipasi mereka kian bertambah sebagai garis depan dari perjuangan sosial yang progresif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...