Januari 15, 2009

Menghambat HIV di Perbatasan Papua

Sinar Harapan: Menghambat HIV di Perbatasan Papua

Mindiptana – Sejak pagi hari ratusan orang sudah berkumpul di bawah tenda plastik tambal-sulam di Distrik Mindiptana, 20 kilometer dari garis batas Republik Indonesia-Papua Nugini (RI-PNG). Mereka datang dari berbagai distrik perbatasan.

Hari itu mereka menunggu rombongan Menteri Kesehatan (Meknes) Siti Fadilah Supari yang akan meresmikan rumah sakit bergerak. Perjalanan sejauh 80 kilometer harus ditempuh rombongan Menkes dengan helikopter buatan Rusia dari Tanah Merah, Boven Digoel, dilanjutkan perjalanan darat bermedan berat untuk mencapai rumah sakit bergerak itu.

Riuh suka cita masyarakat menyambut rombongan, maklum sekarang mereka punya rumah sakit. Sebelumnya pelayanan kesehatan dilayani oleh sebuah puskesmas di Mindiptana. Penyakit menular yang umum terjadi di daerah itu adalah malaria, filaria, ISPA, diare dan sakit kulit.

Untuk merujuk pasien dari puskesmas itu, biasanya dengan pesawat terbang yang datang dua kali sebulan.

Penerbangan dari Tanah Merah ke Jayapura atau Merauke hanya dua kali seminggu. ”Kalau gawat terpaksa sewa pesawat, tapi banyak juga keluarga di wilayah PNG yang sering berobat di puskesmas kita sebelumnya,” jelas Bupati Boven Digoel, Yusak Yaluwo, Kamis (16/10) siang.

Boven Digoel dengan 50.000 penduduk yang ditopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 600 miliar, memiliki sumber daya alam yang potensial. Kabupaten ini memilik emas dan tembaga di Distrik Waropko dan minyak bumi di Yamiruma.

Kampung-kampungnya di tengah hutan belantara, masyarakatnya jauh dari hidup sejahtera. Rumah sakit bergerak dengan sistem knock down tersebut akan melayani sambil menunggu rampungnya pembangunan RSUD David Hugo yang baru 75% berdiri di Tanah Merah.

Tingkat mobilitas penduduk sangat tinggi di perbatasan seperti Boven Digoel. Di wilayah ini juga berdiri perusahaan pengolahan kayu dan perkebunan kelapa sawit yang dikelola PT Korindo yang memiliki ratusan buruh dari berbagai daerah.

Hidup di wilayah yang jauh dari keramaian dan hiburan kota serta jauh dari keluarga, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi transaksi seks bebas yang berujung pada terjangkitnya penyakit HIV/AIDS di daerah ini.

Setiap bulan ada saja pasien dengan gejala HIV yang berobat karena diare dan kandida. ”Namun karena kekurangan alat maka kami tidak bisa memastikan diagnosa,” kata Dr James Takasanakeng yang sudah mengabdi sejak 2004 di Puskesmas Tanah Merah.

Lagi pula, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di daerah itu belum aktif. “Sosialisasi lambat, penyebaran HIV belum bisa terdata secara tepat. Penyebaran ke kampung-kampung lebih cepat dari yang diduga,” jelasnya.

Dilema Pemerintah dan LSM
Upaya memerangi HIV/AIDS di Papua memang menghadapi dilema. Upaya pemerintah untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan langsung menghadapi kendala dari KPA.

Pemeriksaan HIV selalu dihubungkan dengan hak azasi yang menjamin kerahasiaan penderita, sesuai aturan internasional. Sementara tugas LSM memperluas jangkauan Voluntary Conselling and Treatment (VCT) tidak mampu mengejar kecepatan penyebaran penyakit tersebut.

Menurut Dewan Kesehatan Rakyat Papua, jumlah penderita HIV/AIDS di Papua terus meningkat, mencapai 14,5 kali lipat angka nasional. Sedangkan di Papua Barat 1,8 kali lipat angka nasional. Ironisnya, aparat pemerintah daerah juga banyak yang terkena penyakit mematikan ini.

"Kalau ada program Save Papua maka pemeriksaan pertama harus dilakukan kepada aparat daerah," kata Ketua Dewan Kesehatan Rakyat Papua, Cornellis Dogomo di sela-sela peluncuran pembangunan desa siaga di Tanah Papua, di Nabire, Jumat (17/10).

Ia menjelaskan rata-rata penderita HIV/AIDS adalah golongan ekonomi berkecukupan, termasuk para pejabat daerah. Di Provinsi Papua, jumlah penderita HIV/AIDS di Nabire mencapai 435, di Jayapura 310, dan Mimika 175.

Di Provinsi Papua Barat, di Sorong terdapat 31 kasus, Kota Sorong dengan 26 kasus. Menteri Kesehatan menegaskan pembagian kerja antara pemerintah dan LSM sudah cukup jelas.

Pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan untuk pengobatan, LSM melakukan konseling. Oleh karena itu program Save Papua akan mencari para korban dan mengobati. ”Tidak ada yang bisa menghalagi kita menyelamatkan rakyat Papua,” tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...