November 24, 2008

Tolak Militerisme di Papua

JAYAPURA-

Puluhan massa yang menamakan diri Koalisi Peduli HAM Papua menggelar aksi demo di DPR Papua, Senin (3/11) kemarin. Aspirasi yang diusung adalah menolak kehadiran militer di Papua, karena dianggap hanya membuat rakyat Papua tak tenang.

Para pendemo itu, tiba di Gedung DPR Papua sekitar pukul 11.35 WIT setelah sebelumnya berjalan kaki dari Taman Imbi. Mereka terdiri dari masyarakat, pemuda dan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Kota Jayapura. Tak seperti biasanya, mereka hanya datang dengan membawa satu spanduk yang bertuliskan Stop Praktek Militerisme di Papua, Buka Ruang Demokrasi di Papua. Selain itu tak ada lagi pamflet lain atau sejenisnya. Setibanya di Gedung DPRP, massa yang dipimpin Jeffri Tabuni dan Bukctar Tabuni itu, berlarian mengitari air mancur yang ada di tengah halaman Gedung DPRP sembari berteriak - teriak histeris, lalu berjajar sembari membentangkan spanduknya. Mereka lalu berdoa dan selanjutnya berorasi. Dalam orasinya, mereka meminta DPRP untuk membuka ruang demokrasi bagi orang Papua. Khususnya terkait dengan sikap TNI/Polri yang menyikapi aksi mereka pada aksinya tanggal 20 Oktober lalu.
Selain itu, kedatangan sejumlah pasukan TNI pekan lalu ke Jayapura rupanya membuat mereka bertanya - tanya, sehingga mereka ingin menanyakan langsung kepada dewan apakah itu memang kebijakan daerah atau bukan. "Kami datang ke sini untuk mempertanyakan kepada DPRP tentang kedatangan militer yang semakin hari semakin tak terbatas," kata Jeffri.
Untuk itu, ia meminta DPRP agar segera membuka ruang demokrasi dan hak berekspresi atau hak menyampaikan aspirasi bagi rakyat Papua. "Sekarang ini kami datang sedikit karena tanggal 16 Oktober lalu di blok oleh aparat TNI/Polri," katanya.
Kata Jeffri, kedatangan militer di Papua tidak membuat rakyat Papua tenang sebaliknya mereka bertanya-tanya resah. "Karena itu kami menyatakan menolak aparat militer masuk ke Papua," koarnya. Untuk itu juga, pihaknya menyerukan untuk melawan praktik militerisme di Papua dan Papua. "Kenapa ada drop militer di Papua, itu hanya mengusik ketenangan masyarakat Papua," katanya.Begitu juga dengan Buktar, ia menanyakan kehadiran militer di Papua. "Kenapa bawa militer, apakah di Papua ada perang," teriaknya. Ia meminta pemerintah agar menjelaskan bahwa Papua adalah zona damai, bukan zona militer. Ia lalu berteriak "Militer," dan dijawab oleh massa "No," begitu berulang - ulang. Tak lama setelah itu, mereka lalu mengheningkan cipta selama 3 menit.Bergantian mereka berorasi, mereka juga mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab dengan kedatangan aparat militer ke Papua. Mereka juga mengatakan bahwa kalau militer tidak keluar dari Papua sosialisikan dan pulang ke daerah masing-masing. Entah apa maksudnya. Mereka juga mengatakan bahwa sikap represif aparat TNI/Polri pada 16/10 lalu sehingga massa yang hendak demo ke Kota Jayapura menjadi terhambat.
Massa sempat kesal juga karena cukup lama menunggu anggota DPRP belum juga menemui mereka, meski tak lama kemudian mereka diterima langsung oleh Ketua DPR Papua Drs John Ibo, MM yang di dampingi Ketua Komisi B Paulus Sumino, Sekretaris Komisi A Yanni, SE, Ketua Komisi C Yan Ayomi dan Miriam Ambolon.
Di depan anggota DPRP itu, Buktar bertanya apakah kehadiran militer di Papua telah disahkan oleh DPRP. Ia mengatakan bahwa yang ia tahu yang namanya tentara tugasnya adalah menjaga wilayah teritorial. "Tetapi kok militer begitu banyak yang masuk ke Papua ini sangat meresahkan," katanya.
Menanggapi hal itu, John Ibo juga mengakui bahwa pada dasarnya pihaknya tidak menyukai tindakan kekerasan. Ia mengatakan kedatangan militer ke Papua mungkin karena tugas karena kondisi daerah. Karena itu agar rakyat tidak penasaran dan bertanya - tanya maka pihaknya akan menggelar pertemuan dengan menghadirkan Pangdam XVII/Cenderawasih dan Kapolda Papua untuk duduk bersama dan bicara dari hati - hati dan mengungkap segala ganjelan di hati rakyat Papua.
"Saya akan mengupakayakan kita membuka forum untuk berbicara dari hati ke hati tentang masalah ini khususnya tentang pasukan militer yang ada di Papua," katanya. Hanya saja, kapan forum itu dilaksanakan, John Ibo tak bisa menentukan kepastiannya sebab semua sangat tergantung dari waktu yang dimiliki oleh Pangdam XVII/Cenderawasih maupun Kapolda Papua. "Sebab mereka ini sangat sibuk, jadi kita nanti menyesuaikan dengan waktu mereka," ujarnya.
Meski begitu, seusai aksi demo kemarin, John Ibo langsung memerintahkan stafnya untuk menyusun surat undangan kepada petinggi militer dan polisi di Papua.
Kendati sempat tawar - menawar dengan kepastian dilaksanakannya forum terbuka itu, akhrnya Buktar Tabuni dan setuju juga. Tak lama setelah itu tanpa membacakan pernyataan sikapnya, ia langsung menyerahkan pernyataan sikap itu kepada John Ibo. Hal ini juga tak biasanya sebab biasanya pernyataan sikap itu dibacakan dulu sebelum kemudian di serahkan.
Kendati begitu, informasi yang dihimpun Cenderawasih Pos, isi pernyataan sikap itu terdiri dari 6 point yang isinya sebagai berikut : 1, meminta dihentikannya penangkapan dan represitas TNI/Pori terhadap aksi - aksi damai rakyat Papua Barat. 2, Hentikan intervensi TNI/Polri dalam lingkungan kampus, 3, Segera lakukan proses hukum terhadap pelaku penembakan Opinus Tabuni dan pelaku pemukulan terhadap Buktar CS tanggal 20 Oktober lalu. 4, hentikan proses hukum terhadap ketua DAP, Forkorus Yaboisembut serta pengurus DAP yang lainnya demi hukum, HAM dan demokrasi. Point ke- .5 Segera tarik kembali pendropan ribuan pasukan TNI organik dan non organik dari Papua dan terakhir atau ke-6 meminta intervensi internasional dalam hal ini pasukan perdamaian PBB dalam penyelesaian masalah Papua.
Usai menyerahkan pernyataan sikap yang tembusannya tertulis ke Presiden RI itu, Buktar Tabuni langsung menyalami para anggota dewan dan memeluk John Ibo selanjutnya aksi demo yang berlangsung damai itu bubar.(ta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar kawan-kawan sangat diperlukan untuk perubahan organisasi kami...